Sabtu, 19 September 2015

Naqoyqatsi - Chapter 13

Dog Eat Dog
by Reza Pratama Nugraha

Kepalaku pening, dan aku bisa merasakan bahwa semua yang di hadapanku seperti berputar. Nafasku sesak, suara nyaring  keluar dari setiap nafas yang kutarik dan kukeluarkan. Aku tidak bisa merasakan tangan maupun jemariku dan kakiku sudah terlalu lemas untuk berdiri untuk melanjutkan pelarianku. Kini diriku hanya bisa terduduk kaku dengan kepala tertunduk lemas, bersembunyi dengan darah yang tiada henti keluar dari perutku.

Ah, bukan bersembunyi sebenarnya, karena darahku yang menetes membentuk jejak untuk ‘dia’ mengetahui tempatku berada.

 “Kau tahu, rasa sakit sesungguhnya sangatlah baik untukmu, bukti bahwa tubuhmu berteriak untuk tetap hidup, memaksamu takut, berlari, berlari dariku. Oh Balthiq, mengapa aku begitu menikmati ini?”

Dia terus meneriakan hal tersebut, menggodaku untuk segera keluar, dan orang-orang menyoraki dengan penuh kegembiraan.

Kini kita terpisahkan oleh kabut yang kuciptakan, tapi tidak benar-benar menutupi lantai yang meninggalkan bercak darah. Walau demikian, entah mengapa ia berjalan begitu santai, seperti menikmati setiap detik pelarianku, tidak ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan ini.

“...”

Kabut sudah mulai menipis, dan orang-orang menunjuki tempat persembunyianku. Mereka tertawa, seperti melihat tikus yang tersudut, menunggu kucing memangsanya.

Aku bertanya dalam hati, apa salahku pada mereka? Apa alasan mereka memojokkanku seperti ini? Mengapa aku bisa terjebak dalam situasi ini?

Disini aku mulai ingat dengan cerita Lushan, bahwa manusia seperti anjing buas kelaparan yang terlilit tali di lehernya. Aku bisa mengingat nasib seseorang yang sama denganku, dan tawa mereka tak jauh berbeda, mereka menikmati setiap pembunuhan ini.

Maka aku menutup mataku, karena diriku merasa bahwa tubuh ini tidak lagi berteriak untuk hidup. Aku lupa akan rasa takut, seperti hanyut dalam kekosongan. Lalu aku teringat kembali tentang mimpiku dulu, seperti tetes air yang jatuh pada lautan samudra. Aku menghilang, kehilangan setitik kecil diriku, dan mendapatkan sesuatu yang luar biasa besarnya. Aku merasa tenang di dalamnya.

Lalu tiba-tiba sesuatu seperti menyauti namaku, menggoyangkan badanku.

***

“Balthiq, bangun!”

Mataku terbuka, dan ternyata air liurku kini mengalir dari mulutku yang membasahi gulungan kertas, membuat tinta catatanku luntur. Guo Rong saat itu yang menggoyangkan badanku, dan membisikiku untuk bangun.

Aku segera menghadap kedepan, menegakkan badanku dan menyadari bahwa saat itu sang guru ternyata sedang berhenti menjelaskan, menatap marah kepadaku, namun tidak mengucapkan apa-apa.

“Dia pikir, karena dia seorang Ashide, maka dia bisa seenaknya disini?”

Semuanya berbisik dengan nada yang ditinggi-tinggikan, dan sang guru tidak berusaha menghentikan mereka. Dia seakan setuju dengan ucapan tersebut dengan sedikit anggukan kepalanya. Aku segera berdiri saat itu, menunduk minta maaf, dan sang guru kembali menjelaskan pelajarannya tentang sejarah tempat ini.

“Aku pikir karena ini tidak ada kaitannya dengan sihir, kau tidak bisa tidur seenaknya Balthiq.”

Guo Rong berbicara demikian, dan aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Dia yang membuatku terbangun hingga larut untuk mendengarkan ceritanya! Dia sendiri sekarang tidak mendengarkan, gadis yang lebih tua dua tahun dariku ini malah menggambar rusa-rusa dan bunga pada kertasnya.

“Rong-chan.. aku tertidur karena semalaman mendengar ceritamu.”

Guo Rong tersenyum, dia menepuk pundakku.

“Jika demikian, maka setiap kali kau tertidur di kelas adalah tugasku untuk membangunkanmu.”

Tentu aku ingin marah karena ketidakpeduliannya, tapi aku hanya tersenyum memaafkannya. Aku sesungguhnya menyukai sikap Guo Rong, dan dia salah satu orang yang paling dekat dengan diriku sekarang.

Guo Rong adalah teman keduaku disini. Aku mengenalnya karena di asrama dia tidur di sebelahku, dan setelah beberapa lama kita menjadi teman dekat. Wajahnya sedikit gemuk, dan dia setengah bar-bar karena kulitnya yang cerah, dan matanya yang sipit. Rambut kita sama, dikuncir dua dengan ujung membundar persis seperti tradisi keluarganya, dan dia sendiri yang memaksa untuk merias rambutku yang tadinya tidak beraturan. Dia terlihat seperti anak yang masa bodoh sama sekali perihal pengucilan yang dilakukan oleh hampir semua anak anak disini kepadaku, dan ketika aku menanyakan hal ini, dia berkata bahwa dirinya tidak peduli sama sekali dengan pandang orang lain.

Semua berkata bahwa Guo Rong terjebak dalam dunianya sendiri, dunia yang cerah gempita dengan rusa-rusa yang berloncatan di taman bunga, dan walau kupikir hal tersebut tidaklah baik, hal itulah yang membuatku mampu berteman dengan dirinya.

“Kau harus paham ini Guo Rong.”

Tiba-tiba terdapat suara di sebelah Guo Rong, suara nyaring itu tidak lain adalah Li Ling. Sebelum diriku, dia adalah teman baik Guo Rong. Rambutnya terurai panjang, dan dia tidak ingin mengikatnya. Jika Guo Rong sipit, maka mata Li Ling sangatlah lebar. Kulitnya sawo matang seperti diriku, dan matanya hitam, tanda bahwa dia adalah keturunan suku bar-bar murni.

“Balthiq memintamu untuk tidak menganggunya di malam hari.”

Li Ling mengucapkannya sambil tersenyum, namun dia masih menulis, mendengarkan apa yang sang guru katakan, seperti fokusnya bisa dipecah menjadi dua dengan mudahnya.

“Benarkah Balthiq?”

Raut muka Guo Rong berubah, dia menatapku dalam-dalam, dan aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Walau kubilang Guo Rong tidak peduli akan pendapat orang lain, kupikir semua itu karena dia benar-benar tidak menyadarinya, bukan sama sekali mencueki persoalan yang sedang terjadi. Terutama kali ini, dia terlihat khawatir bahwa dirinya telah mengangguku.

“Tentu saja tidak Rong-chan, aku senang mendengar ceritamu.”

Tapi raut Guo Rong tidak berubah, dia seperti melihat gerakan mataku, atau mungkin tatapanku yang tidak benar-benar lurus kepadanya. Dia tahu bahwa aku telah berbohong padanya.

“Mungkin tidak terlalu larut juga, mungkin..”

“Hei!!”

Saat aku mencoba menjelaskan, tiba-tiba terdapat suara teriakan di depan, teriakan sang guru yang tidak bisa menahan lagi amarahnya.

“Nona Balthiq! Jika anda benar-benar tidak tertarik, anda boleh keluar dari ruangan ini.”

Aku kembali berdiri kemudian memohon maaf. Sang guru menggelengkan kepalanya dengan tangan yang berada di pinggangnya. Katanya, jika saja diriku bukan seorang Ashide, maka dia akan memaksaku keluar dari tempat ini.

“Psst, Rong-chan, aku akan berbicara padamu setelah pelajaran ini, saat istirahat nanti.”

Guo Rong menganggukan kepalanya sambil menyeka air matanya, dan aku sekali lagi berusaha memahami apa yang guru itu ucapkan, namun entah mengapa Pikiranku lagi lagi melayang entah kemana. Rasanya diriku baru saja merasakan mimpi yang mengerikan, dan anehnya lagi, perasaan nostalgia. Ketika itu kutampar pipiku, mencoba memperhatikan, dan ternyata diriku seperti terombang-ambing dalam penjelasan yang entah arahnya kemana.

***

Keluar dari kelas, aku masih meraba-raba apa saja yang sang guru ucapkan. Dia seakan membaca gulungan kertas yang sangat panjang mengenai cerita dari dinasti awal, hingga sampai pada dinasti Tang. Aku bahkan tidak bisa mencatatnya, dan perhatianku kini tertuju pada Li Ling yang kini sendirian menjauhi kerumunan, dan membawa tiga gulung kertas hasil catatannya tadi.

Guo Rong tiba-tiba menarikku menuju Li Ling, menepuk pundaknya keras, membuat kertas yang Li Ling pegang berjatuhan, dan tali yang mengikat gulungan tersebut terbuka.

“Eh..”

Guo Rong polos melihat kertas-kertas yang berjatuhan tersebut, dan aku bisa melihat muka Li Ling yang memerah marah.

“Guo Rong!!”

Guo Rong yang saat itu mengetahui kemarahan Li Ling segera berlari menjauhi amarah Li Ling, sampai akhirnya Li Ling mengejarnya, dan menjitaki kepalanya. Selagi mereka kejar-kejaran, aku mengambil kertas-kertasnya, menggulungnya, dan mengikatnya kembali. Li Ling saat itu segera berterima kasih, tapi wajahnya berpaling padaku, seperti yang biasa ia lakukan.

Li Ling adalah seorang yang pendiam. Jika aku dijauhi, maka Li Linglah yang menjauhi orang-orang. Dia tidak tertarik pada basa-basi dan omongan yang dia anggap rendahan. Dia menganggap intrik-intrik yang diciptakan para siswa disini juga sama murahannya. Tapi jika saja terdapat suatu pernyataan yang ia anggap bermakna, filosofis, ataupun bersifat ilmiah maka matanya akan bersinar-sinar untuk menjawab ataupun berargumen dengan lawan bicaranya.

“Li Ling, bolehkah aku bertanya perihal sejarah padamu? Aku benar-benar tidak paham.”

“Apa yang kau tidak paham?”

Tidak berbeda jika saja aku bertanya tentang sihir, atau kini sejarah. Dia segera mendekatkan jaraknya padaku, dan meninggalkan jauh-jauh sikap tidak acuhnya. Aku sering bertanya padanya banyak hal, dan perlahan sikap dingin Li Ling padaku semakin mencair. Sama dengan Guo Rong, dia tidak peduli dengan apa yang mereka katakan tentangku, dan tanpa sadar aku sudah merasa bahwa dia adalah teman baikku, teman ketigaku disini.

“Aku sepertinya ketiduran tentang sejarah akademi sihir ini.”

“Kau tidur pada masa Dinasti Qin Balthiq, tanda bahwa kau benar-benar tidak menyimak.”

“Benarkah? Tapi aku tidak tertarik pada sejarah Dinasti selain akademi ini.”

Li Ling tersenyum, tapi ia tutupi dengan tangannya. Aku baru kali ini melihatnya seperti ini.

“Langsung ke bagian terbaik yah?”

Li Ling saat itu menyuruh kita pergi ke taman untuk menjauhi kerumunan yang menurutnya tidak nyaman. Aku membantunya membawa satu gulung kertas, dan memaksa Guo Rong membawa satunya lagi. Selagi berjalan, Li Ling menjelaskan padaku dengan nada yang riang.

“Istana depan dibangun pada Dinasti Tang sekarang ini, pada masa kekaisaran sebelumnya. Tapi sesungguhnya sebagian akademi ini sudah ada dari dulu, bahkan sebelum dinasti Xia, dan itu sudah lama sekali. Mereka bilang tempat ini adalah tempat para dewa, tapi kini kita menyebutnya bangsa kuno yang aslinya menduduki daratan china ini.”

Kini kita menyebrangi jembatan merah yang berada di tengah danau, dan duduk di antara paviliun. Guo Rong asik melihati ikan, dan Li Ling kembali menjelaskan.

“Istana di depan adalah istana baru yang diciptakan pada masa kekuasaan ratu Wu Zetian sebagai penghubung antara istana ini yang tersembunyi di dalam hutan. Dia kemudian membuat tempat yang rencana awalnya ingin dijadikan tempat kekaisaran china, menjadi tempat akademi untuk pembelajaran sihir. Karena banyaknya dokumen,  ukiran-ukiran dewa yang berkaitan keras dengan bangsa bar-bar, dan potensi akan kemajuan sihir yang pada zaman sebelum Wu Zetian yang masih sangat misterius. Hal ini lah yang menciptakan masa keemasan kerajaan dinasti Tang, kontrol fungsional terhadap kekuatan sihir.”

Li Ling asyik menceritakannya, seakan nafasnya begitu panjang untuk menjelaskan segalanya sekaligus.

“Tapi, bukankah taman ini terlalu indah untuk sebuah akademi?”

Aku usil bertanya karena dibalik badan Li Ling, Guo Rong sedang mengaduk-ngaduk tangannya di antara ikan, memberi mereka rempah-rempah roti, dan aku ingat bahwa Guo Rong selalu menceritakan betapa indahnya taman ini. Aku tahu bahwa Li Ling bisa saja membuatku merasa bodoh seakan tidak mendengarkannya, dan menjelaskan kembali tentang rencana awal tempat ini ingin dijadikan istana kaisar. Tapi matanya bersinar, seakan mengucapkan bahwa pertanyaanku adalah pertanyaan bagus.

“Wu Zetian sangat mencintai kita bangsa bar-bar, apalagi para penyihir yang seluruhnya merupakan seorang wanita. Kita menjadi simbolis kekuatan wanita yang selama ini tunduk dalam kekuasaan lelaki. Wu Zetian pada zamannya selalu berkunjung kesini, dan dia membuat istana depan menjadi istana keduanya, dia juga membuat peraturan bahwa tidak boleh ada satupun lelaki yang boleh memasuki area istana ini, kembali karena alasan simbolis tadi. Maka, jika kau lihat taman ini, kau baru saja melihat taman terindah di seluruh daratan China. Wu Zetian membangunnya selama masa hidupnya ketika mendengar bahwa dahulu terdapat taman gantung dari daratan jauh disana yang sangat indah.”

Setelah mendengar ini membuatku mengingat Lushan, apakah tidak berbahaya jika dia berada disini? Lalu kupikir, pada zaman ini peraturan itu tidak lagi berlaku secara ketat, melainkan karena alasan simbolis semata.

“Aku tidak bisa menjelaskan apapun mengenai istana belakang, karena semuanya terkesan misterius. Dijauhi oleh binatang, dan lebih dari tuju ribu tahun lamanya istana ini sudah berdiri, makanya kau tidak bisa melihat ornamen-ornamen seperti yang biasanya kau lihat di istana depan ataupun di taman ini.”

Dia mendekatiku, seakan apa yang akan diucapkannya semakin menarik, dan jujur aku juga sama tertariknya. Saat itu Guo Rong sepertinya sudah terlihat bosan, dia kini berjalan menjauhi kolam dan duduk di antara kami.

“Kau pasti bertanya dengan teknologi apa mereka membangun ini, padahal banyak bukti bahwa manusia baru masih menggunakan batu dan bahkan belum bisa menulis pada zaman itu? Maka satu jawaban yang terbukti lewat ukiran gambar di istana ini, terdapat sosok serupa manusia yang kita anggap sebagai mahluk setengah dewa. Mereka kekal, dan memimpin manusia yang lebih mirip dengan kera menjadi berakal dan mampu membentuk peradaban. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa hanya kita satu-satunya mahluk yang memiliki akal, yang membedakan kita dengan hewan.”

“Kalian begitu seru membicarakan sejarah, tapi apa sejarah semenarik itu?”

Tiba-tiba Guo Rong mengucapkan hal tersebut dalam jeda penjelasan Li Ling. Tentunya Li Ling terlihat kesal, apalagi mengingat Guo Rong tidak mendengarkan sama sekali penjelasan Li Ling sebelumnya. Tapi Li Ling bukan tipe orang yang akan menjitaki perilaku Guo Rong, selain menanggapinya serius.

“Dengan sejarah kau mampu mengetahui asal-usul bangsamu, konflik-konflik, pencapaian-pencapaian yang bisa kita contoh, dan kesalahan-kesalahan yang mampu kita hindari. Jika kita tidak mempelajari sejarah, kita seperti terombang-ambing tidak jelas di peta waktu, krisis indentitas, dan kehilangan jejak para tetua kita.”

“Kupikir kau terlalu serius Li Ling. Kau harusnya lebih serius menatap bunga-bunga, burung-burung yang bertanggap di antara ranting, ikan-ikan yang berenang, dan bermain dengan kucing. Kau tahu apa yang ibuku katakan pada orang-orang sepertimu? Rambutmu akan rontok sebelum waktunya!”

Kali ini Li Ling akhirnya mengepalkan tangannya, kali ini godaannya lebih keras untuk menjitak Guo Rong, terlebih karena dia mengkomentari rambutnya yang kutahu Li Ling sangat sensitif mengenai hal tersebut.

“Hanya orang rendah yang tidak menghargai sejarah!”

Guo Rong kaget ketika ucapan itu keluar, mukanya sama merahnya dengan Li Ling. Kupikir mereka akan mulai bertengkar, dan aku tahu bahwa diriku terjebak ditengah-tengah situasi ini, dan juga tanggung jawabku untuk melerai mereka berdua.

“Rong-chan, Li Ling.. kupikir..”

“Aku juga punya pemikiran tentang sejarah! Aku ingin kalian mendengar pendapatku soal sejarah yang kalian sukai ini.”

Guo Rong tiba-tiba menyelaku, dan aku hanya diam. Li Ling pun terlihat tertarik apa yang Guo Rong ucapkan, Guo Rong jarang sekali mengeluarkan isi pemikirannya, dan Li Ling terlihat menyiapkan argumennya yang dia pikir akan membuat Guo Rong menangis menyesal merendahkan sejarah yang ia benar-benar pelajari sampai 3 gulung kertas tebalnya.

“Aku selalu berpikir bagaimana jika kita melupakan segalanya tentang sejarah?”

Li Ling tersenyum, dan aku tahu dia telah mendapatkan jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi Guo Rong belum selesai, dia berbicara dengan mata yang serius, mata yang jarang kulihat dari Guo Rong sendiri.

“Kita lupakan darimana kita berasal, siapa yang dulu menjajah dan yang dijajah, tragedi-tragedi yang diciptakan nenek buyut kita, dan banyak hal lainnya lagi. Seperti ini, mereka ingin memaksa sejarah itu masuk ke kepala kita, sejarah yang mereka tulis sendiri. Memaksa kita percaya bahwa tanah ini milik kita dan mengusir ras lain dengan paksa, membenci ras ini dan ras itu karena dulu mereka seperti ini dan itu. Satu hal yang harusnya mereka ingat adalah, saat mereka lahir dulu mereka tidak memiliki sejarah, dan bahkan tidak membenci apapun!”

Aku dan Li Ling sama kagetnya, kini kami sadar bahwa pendapat Guo Rong sudah masuk persoalan yang personal, dan aku tahu bahwa Guo Rong sudah pernah menceritakan ini pada Li Ling, cerita malamnya mengenai perang sengit sukunya dengan suku lain yang mengambil nyawa ayahnya. Dia hidup dalam kondisi penuh kebencian, kebencian yang sesungguhnya dimulai dari nenek buyut mereka. Ketika itu kedua pihak akan selalu menyalahkan, mengutuk, menggeneralisasi kegiatan buruk seseorang ke keseluruhan sukunya.

Kita akhirnya diam seribu kata, sebelum tiba-tiba terdapat seseorang yang memegang pundakku.

“Tidak bisa begitu Rong-chan.”

Suara itu bukan berasal dari Li Ling, tapi suara lembut, dingin, dan begitu familiar. Xiao Lin berada di belakangku, dan tidak ada satupun dari kita yang menyadari kedatangannya. Aku langsung menatapnya, dan dia tidak tersenyum saat itu, tapi terlihat jijik melihat Guo Rong.

“Tapi bukankah tidak adil bahwa kita harus menanggung beban nenek buyut kita? Dosa mereka? Kebencian-kebencian mereka? Perang-perang mereka? Jika saja sejarah tidak diajar..”

“Maka aku yakin ucapan teman kita Li Ling benar, bahwa kau adalah manusia rendahan Rong-chan.”

Nada Xiao Lin sangat dingin, bahkan Li Ling yang biasanya akan menyauti kini hanya bisa diam. Guo Rong pun terlihat tidak mampu menatap langsung Xiao Lin.

“Jika saja kau bicara bahwa dosa-dosa leluhur tersebut sudah lalu, maka kau harus tau bahwa dosa adalah abadi, dan walau sudah berapa lamanya waktu telah berlalu, keadilan harus ditegakkan. Dengan sikapmu seperti ini, para leluhur akan memaki dan mengutuk seluruh hidupmu di sebrang dunia sana. Kupikir kau harus digempleng dengan buku sejarah, memahami kebencian leluhurmu, dan kematian-kematian yang timbul karenanya. Jika kau pikir dengan cara pikirmu seseorang yang kau sayangi bisa selamat karenanya, maka kupikir, kau baru saja meludahi kematian mereka.”

“Xiao Lin.. sudah..”

Aku menarik lengan Xiao Lin, memohon kepadanya untuk berhenti. Guo Rong terlihat shock, wajahnya murung pucat. Ucapan Xiao Lin kupikir terdapat kebenaran di dalamnya, namun kata-kata yang ia gunakan seperti tamparan keras terhadap Guo Rong, terutama ucapannya mengenai meludahi, seperti Guo Rong meludahi kematian ayahnya, ayahnya yang ia cintai.

Saat itu bukan aku yang segera menenangkan Guo Rong, namun Li Ling yang sebelumnya terlihat sebal, kini merasa kasihan dengan Guo Rong mengelus pundaknya. Dia menatap Xiao Lin kesal, walau tadinya Li Ling juga sepertinya kepikiran untuk membuat Guo Rong menangis dengan ucapannya, tapi cara Xiao Lin kupikir terlalu menusuk atau mungkin terlalu serius.  

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat Balthiq, kupikir ini akan jadi nasihat terakhirku padamu.”

Ekspresi Xiao Lin sudah melihatkan senyumnya kembali, dan dia seperti tidak terlihat menyesal dengan apa yang ia ucapkan pada Guo Rong. Ketika itu kupikir rasanya tidak sopan terhadap Li Ling karena dia tengah menjelaskan sesuatu padaku, terutama rasanya sayang karena aku sedang berusaha mendekatinya, sedangkan rasanya tidak enak juga kepada Xiao Lin yang selama ini mengajariku banyak hal mengenai kehidupan di akademi sebelum aku bertemu dengan Guo Rong.

Aku menatap pada Li Ling, dan dia sepertinya mengerti kondisiku.

“Pergilah Balthiq, aku bisa melanjutkan penjelasanku di asrama.”

Lalu Xiao Lin menarik lenganku, masuk jauh ke dalam taman yang entah mengapa tidak seperti biasanya, tempat yang tidak tersentuh ini menjadi begitu ramai dan penuh dengan sorak gembira.

“Kau harus melihatnya, dunia anjing memakan anjing.”

***

“Disini, kita bukan ras bar-bar, harus lebih spesifik lagi, misalkan ras, seperti kau Ashide, dan aku Gorthuk.”

Xiao Lin langsung menjelaskan padaku, dia menunjuk pada keramaian yang menghalangi pertunjukan yang tengah terjadi. Suara benturan, ledakan, dan entah apa yang terjadi di balik kerumunan yang kini tengah menonton, apakah terdapat suatu perayaan? Tapi mana mungkin ada perayaan di tempat seperti ini? Aku akhirnya memutuskan untuk fokus mendengar penjelasan Xiao Lin, dia kini tengah menunjuk seseorang.

“Tapi kita harus lebih spesifik lagi, disini kita adalah fraksi politik, yang memakai kalung giok hijau itu, dia milik anak ke lima belas Wu Zetian yang merupakan calon pengganti terkuat kaisar, dan yang memakai tusuk rambut naga tersebut, dia milik Jendral Surga Hoi Fu yang pengaruhnya sangat besar di militer dan politik kerajaan.”

“Kau mau memberitahuku bahwa kalian mewakili kekuatan politik kerajaan?”

“Ya, dan bukan aku saja, tapi kau juga. Disini kita bukan lagi manusia, melainkan kekuatan, senjata bagi fraksi-fraksi tersebut. Aku tahu kau belum menyadarinya, dan dilihat dari posisi ibumu dan bibimu, tanpa sadar kau sudah mewakili kekuatan kaisar.”

Bukan lagi manusia? Senjata? Ketika itu entah mengapa hatiku rasanya pilu mendengar hal ini, dan ingin menolak apa yang diucapkan Xiao Lin. Namun aku benar-benar tidak paham situasi di akademi ini, dan isu-isu apa yang tengah terjadi sehingga hanya bisa mengangguki ucapan Xiao Lin.

Lalu sampailah kita menerobos dan melihat apa yang mereka kerumuni.

“...!”

Aku segera menutup mulutku melihat darah yang berceceran dimana-mana. Aku sering mendengar bahwa banyak terjadi pertengkaran yang menyebabkan kematian disini, namun tidak pernah melihatnya langsung, dan tak tahu bahwa ternyata kejadian ini lebih mengerikan dari apa yang kubayangkan.

“Tolong..”

Seorang wanita tertusuk oleh bebatuan yang muncul dari tanah, menusuk perutnya, dan membuat isi perutnya keluar berceceran. Lawannya dikeremuni oleh temannya, terluka parah dengan darah yang tiada henti keluar dari lehernya, tapi dia tertawa melihat nasib lawannya. Kerumunan ini juga tidak jauh berbeda, mereka tertawa membicarakan betapa konyolnya sang lawan, membicarakannya seakan ini adalah pertandingan olahraga tanpa sama sekali merasa resah dengan apa yang terjadi.

Saat itu seseorang datang, menggunakan sihir penyembuh pada pemenang yang akhirnya menghentikan aliran darahnya. Namun tak satupun mendekati sang lawan yang kalah, walau aku melihat dari kejauhan terdapat beberapa orang yang menangisi nasibnya.

“Kenapa tidak ada yang menolongnya, oh tuhan, dia masih hidup Xiao Lin!”

“Tidak Balthiq, lihatlah.”

Tiba-tiba muncul banyak burung rajawali besar yang muncul menembus awan di langit mengelilingi gadis tersebut yang makin berteriak panik. Aku menutup telingaku, memalingkan wajahku. Lalu aku melihat mereka semua, tertawa melihatku, seakan sikapku adalah sikap yang lucu.

“...!”

Tiba-tiba Xiao Lin memegang wajahku, memaksaku melihat gadis tersebut yang kini tengah tercabik-cabik.

“Kau lihat Balthiq? kau baru saja melihat seleksi alam dan siklus kehidupan. Tapi lebih-lebih dari itu, terdapat kompetisi di dalamnya.”

“Xiao Lin.. aku tidak paham..”

Xiao Lin membisikku, suaranya tiba-tiba terdengar mengerikan di telingaku.

“Kompetisi adalah sifat alam, sehingga akademi mengijinkan hal ini terjadi. Hanya saja kini konteksnya adalah perebutan kekuatan yang terjadi di balik panggung kerajaan, atau mungkin hanya pertengkaran kecil karena berbeda pendapat, tapi tetap semua itu adalah kompetisi juga. Karena itu, aku akan mengatakan ini padamu Balthiq, disini adalah dunia anjing memakan anjing, kita dan termasuk kamu disini adalah seorang kanibal, dan kau harus mengingat ini baik-baik di otakmu.”

Xiao Lin kemudian memegang pundakku, tersenyum menatapku. Aku tidak yakin bahwa aku bisa menatap Xiao Lin dengan tatapan yang sama lagi, aku seperti baru saja melihat sisi gelap dari Xiao Lin yang bisa mewajari hal ini.

“Kau akan terbiasa Balthiq.”

“Tidak, aku tidak akan terbiasa Xiao Lin..”

Aku berusaha menjelaskan pada Xiao Lin, aku tidak bisa lagi diam dan mengangguki segala ucapan Xiao Lin. Jika saja demikian, maka rasanya aku seperti tidak jujur pada diri sendiri, membuat dadaku sesak karenanya.

“Aku tidak ingin seperti mereka Xiao Lin, ini tidak sesuai dengan moralitas yang selama ini kuketahui. Aku bukan binatang ataupun senjata. Aku manusia, dan aku merasa.. merasa bahwa jika apa yang telah kau lakukan adalah mewajari hal mengerikan ini!”

“Balthiq dengarkan aku.”

Xiao Lin menatapku serius, meremas pundakku dengan erat.

“Disini tidak ada moralitas Balthiq, hanya moril. Kau harus tahu bahwa kau berada dalam dunia yang berbeda, dunia yang berbeda sama sekali, dan tak akan lama lagi, kau akan terseret di dalamnya.”

***

“Jadi apa yang ia katakan padamu?”

“Dia menunjukan dan menjelaskan padaku tentang pertarungan di akademi, dan.. aku sedikit kaget melihatnya..”

Guo Rong bertanya padaku setelah dia berkata mukaku sama pucatnya dengan dirinya. Kini kita sedang berjalan menuju ke tempat Lushan terlebih dahulu sebelum menuju asrama dan seperti biasa, Guo Rong akan turut menemaniku. Di tengah perjalanan tadi Li Ling izin untuk menaruh gulungan kertas ke kamarnya, dia ingin melanjutkan kembali penjelasannya mengenai sejarah yang sempat terputus tadi.

“Aku juga pernah melihatnya sekali bersama Li Ling, dan oh tuhan, aku tidak bisa tidur tiga hari lamanya.”

“Mungkin aku juga tidak bisa tidur karena ini Rong-chan..”

Mendengar ucapan Guo Rong, membuatku berpikir kembali juga mengenai tidur. Mengingat gadis tersebut yang meminta tolong, tercabik-cabik oleh burung-burung tersebut dalam keadaan hidup, aku tidak yakin mimpiku akan tenang karenanya. Aku juga turut merasa berdosa, karena hanya bisa menutup mata dan kupingku tanpa ada usaha untuk menolongnya.

Guo Rong saat itu menepuk pundakku, berkata semuanya akan baik-baik saja. Saat itu matanya ke kiri dan ke kanan, tanda dia ingin mengganti topik.

“Kau tahu, karena itu aku ingin fokus dalam pengobatan, tidak tertarik soal sihir yang menghancurkan, dan sebagainya.”

Aku tersenyum melihat Guo Rong, seperti dirinya aku juga semakin ragu untuk menggunakan kekuatan ini untuk tindakan mengambil nyawa, walau banyak korban yang dari kekuatan yang kini kumiliki, bisakah diriku membalasnya dengan menyelamatkan nyawa orang?

Ketika kita berjalan, dan sudah dekat dengan tempat Lushan, aku melihat sosok pelayan yang dulu mengantarku. Kini dia tengah dikerumuni oleh penyihir-penyihir tingkat atas, salah satunya aku mengenalnya, Man Yi, yang katanya merupakan keturunan Wu Zetian. Satu hal yang kuketahui mengenai dirinya adalah untuk segera menjauh untuk tidak terkena masalah. Tetapi..

“Balthiq!!”

Dia mengenalku. Tentunya seperti yang lain, dia mengenalku karena klan Ashide yang melekat pada diriku. Dia seringkali memanggilku, mengejekku di depan teman-temannya, tetapi tidak pernah lebih dari itu.

“Aku ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik padamu!”

“Maafkan kami kakanda, kami ada urusan penting di keruang pengobatan..”

“Hmm..”

Man Yi terdiam seperti memikirkan sesuatu. Saat itu diriku dan Guo Rong menekuk muka sambil menelan ludah kami, menunggu perijinan untuk dibiarkan pergi keruang pengobatan.

“Baiklah, kuharap kau kesini lagi setelah urusanmu selesai.”

Ketika itu aku melirik pada pelayan yang kini terlihat gemetar di kakinya, menekuk mukanya juga yang tersembunyi dalam tudung tersebut. Aku turut kasihan padanya, tapi aku dan Guo Rong tahu bahwa kami tidak bisa melakukan apa-apa. Jika saja kami sedikit menyinggung urusan mereka, bisa-bisa saja kami terseret dalam pertarungan, dan aku tidak ingin bernasib sama dengan sosok di taman berikut.

“Balthiq..”

Ketika sudah di ruangan tabib, Guo Rong berhenti. Dia menatap dari kejauhan pelayan tersebut.

“Aku disini saja, lagipula di dalam aku tidak boleh melihat adikmu bukan?”

Aku khawatir pada Guo Rong, dia menatap pelayan itu dengan tatapan khawatir, dan ketakutanku adalah Guo Rong akan bertindak macam-macam untuk menolong pelayan tersebut, walau tentu aku tahu bahwa Guo Rong bukan tipe seperti itu.

“Rong-chan.. kau tidak berpikir macam-macam untuk menolong pelayan tersebut bukan?”

Guo Rong tidak berkata apa-apa ,dia hanya menggelengkan kepalanya padaku dan tersenyum. Aku kemudian menghela nafasku, dan berjalan menuju ruangan Lushan.

***

“Lushan?”

Kasur Lushan kosong saat itu, sudah dibereskan dengan selimut yang terlipat rapih. Aku tidak melihat satupun tabib kerajaan, dan segera saat itu diriku melihat ke segela ruangan untuk sadar bahwa Lushan benar-benar telah menghilang.

“Lushan!”

“Maaf nona, anda tidak seharusnya berteriak disini.”

Saat diriku berteriak, akhirnya muncul salah satu tabib yang berada di luar ruangan. Dia menggunakan gaun hitam, dan simbol naga yang menandakan dia merupakan tabib akademi.

“Maaf, adik saya sebelumnya dirawat disini oleh pihak kerajaan.”

Aku mengantarkan tabib tersebut ke arah kamar Lushan, tapi tabib tersebut menggelengkan kepalanya.

“Saya pikir tidak ada yang dirawat selama ini atas nama pihak kerajaan.”

Tabib itu terlihat kebingungan, dan tentu aku tahu terdapat hal yang aneh disini karena hampir setiap hari diriku menemani Lushan, muka tabib ini pun terlihat familiar. Saat itu segera diriku memfokuskan kekuatan sihir pada mataku, dan melihat terdapat bekas sihir pada kepala sang tabib, tanda bahwa ingatannya telah dihapus mengenai Lushan.

“Oh tidak..”

Sesuatu terjadi pada Lushan, dan mereka tidak mengatakan apa-apa padaku! Saat itu perhatianku pada Bibi, semenjak terakhir kali Lushan sadarkan diri aku tidak pernah sedikitpun melihat sosoknya lagi.

Saat itu diriku segera keluar dari ruangan pengobatan dan berpikir untuk segera menuju ruangan bibi. Ketika keluar aku menyadari bahwa Guo Rong sudah tidak  ada disini menungguku, apa dia sudah pergi ke asrama?

“Minggir sialan!”

Dari kejauhan terdapat suara teriakan, dan aku menyadari bahwa suara tersebut adalah suara Man Yi. Saat perhatianku menuju ke arahnya, mataku tidak percaya, keringatku keluar deras, dan seketika aku berlari ke arah kerumunan tersebut. Aku merasa bahwa Guo Rong berada dalam kerumunan tersebut!

Aku segera mencoba memakai sihir untuk melihat dari kejauhan. Aku melihat bahwa Guo Rong kini memegang leher seorang pelayan yang lehernya kini terbuka dan mengeluarkan darah, dia merapatkan jari-jarinya menutupi leher pelayan tersebut, namun darah tetap keluar dari celah-celah jarinya. Punggung Guo Rong saat itu penuh dengan darah, Man Yi mengeluarkan sihirnya, mematerialisasi cambuk yang kini membuat punggung Guo Rong tercabik-cabik. Tapi Guo Rong tak kunjung meninggalkan pelayan tersebut, dia tetap membacakan mantranya yang terputus-putus ketika cambukan kembali mencabik daging di punggungnya.

“Tidak, tidak, tidak...”

Aku terus berkomat-kamit, berlari secepat mungkin menuju kearah mereka, merobek bawahan gaunku agar bisa berlari secepat mungkin menuju Guo Rong.

“Dia lelaki! Pelayan ini adalah laki-laki, kau lihat!”

Man Yi menunjukan pada Guo Rong ke arah kemaluan pelayan yang kini telah terbuka pakaiannya, dan mereka semua melihat bahwa pelayan ini telah melalu proses kastrasi yang membuat pertumbuhannya tidak seperti seorang pria tulen. Man Yi berkata bahwa tempat ini tidak diperbolehkan terdapat lelaki di dalamnya, tapi Guo Rong hanya terdiam, fokus membacakan mantra penyembuhan.

Man Yi saat itu terlihat kesal, dan dia mematerialisasikan pedang di tangannya, dan siap menusukannya di punggung Guo Rong.

“Rong-chan!!”

Aku berteriak, tapi Guo Rong saat itu tidak mempedulikan apapun selain pelayan yang ada dihadapanya. Ketika pedang Man Yi bergerak, waktu seakan melambat, jarakku masih jauh dengan Guo Rong dan aku tidak tahu mantra apa yang bisa kubacakan untuk mencegah hal ini.

“Cukup sudah!”

“Tidak!!”

Tanpa sadar aku mendorong tanganku, dan saat itu juga angin berkumpul di di telapak tanganku, dan melesat cepat ke arah Man Yi yang langsung terpental jauh. Segalanya penuh dengan spontanitas, dan tanpa ucapan mantra sedikitpun. Aku segera menuju Guo Rong yang kini mukanya benar-benar pucat membiru, darah mengalir dari punggungnya, dan dia hampir mengeluarkan banyak animanya untuk menutup luka, dan mengembalikan darah yang keluar dari tubuh pelayan tersebut.

“Oh Rong-Chan..”

Saat itu Guo Rong melepaskan tangannya, dan terlihat bahwa luka pada leher pelayan ini sudah tertutup.

“Maafkan aku Balthiq, aku telah melanggar janjiku.. dan kini kau..”

Guo Rong saat itu menatapku, dan air mata keluar dari matanya.

“Tidak Rong-chan..tidak, kau telah melakukan hal yang benar..”

Saat itu aku menengok ke arah Man Yi yang kini tengah dikerumuni kawan-kawannya yang mencoba memperbaiki tangannya yang patah. Dia tersenyum menatapku sambil menjilati darah yang keluar dari mulutnya.

“Oh Balthiq, kau akan menyesali ini.”

Guo Rong memegang gaunku erat, tangannya bergemetar saat itu, dan aku bisa melihat rasa khawatir di matanya. Matanya hampir menutup saat itu, dan dia sudah hampir kehilangan kesadarannya.

“Rong-chan.. Aku berjanji bahwa aku pasti akan kembali, besok aku akan mendegar cerita-ceritamu lagi sampai larut, lalu.. aku berjanji akan menceritakan tentang diriku juga. Jadi...”

“Tidak Balthiq.. oh tuhan.. kau seperti ayahku dulu..”

Guo Rong mendekapku, menangis, memohon padaku untuk tidak meninggalkan dirinya seperti ayahnya dulu. Air mataku juga turut mengalir, aku tahu bahwa kini diriku sesungguhnya tidak bisa berjanji apa-apa padanya. Aku merasa bahwa kini diriku telah terseret dalam nasib yang sama dengan gadis di taman tersebut.

“Rong-chan..”

Saat itu aku sadar bahwa Guo Rong sudah kehilangan kesadarannya.

Aku segera membaringkan badannya di lantai, dan kini melihat bahwa Man Yi sudah berdiri dengan tangannya yang terlihat sudah baikan. Di tangannya kini terdapat dua pisau, dan kini dia melangkah mendekatiku.

Saat itu entah bagaimana kita kini telah dikelilingi kerumunan orang yang menyoraki, dan jumlah mereka semakin banyak. Guo Rong masih tergeletak dan tak ada satupun yang menyentuhnya. Aku berharap Li Ling segera kesini, tapi dia bukan tipe orang yang tertarik pada pertarungan, dan aku hanya bisa berharap dia menyadarinya hal ini saat kita tak kunjung kembali ke asrama.

“Aku takkan terburu-buru, oh Balthiqku sayang..”

Man Yi terlihat berucap dengan nada canda, dan ia mengeluarkan senyumnya yang terlihat begitu janggal di mataku, dan matanya.. aku tahu dia sangat menikmati hal ini.

Pada akhirnya ucapan Xiao Lin benar, tidak akan lama sampai aku terseret dalam keadaan ini, dan terdapat perasaan aneh dalam batinku..

Aku merasa sudah kalah sebelum pertarungan ini berlangsung.

Jumat, 18 September 2015

Naqoyqatsi Review

Naqoyqatsi ini sebenernya banyak yang udah ngasih kritik, dan kebanyakan feedback mereka ngebuat gw bener-bener ngubah rencana cerita jadi bener-bener baru dan dalam biar gak ngecewain ekspetasi mereka. Seperti komentar di Line yang ngebuat gw langsung mencoba mengurangi beberapa rancangan plot untuk bisa segera pindah setting yang menurut mereka mulai menjemukan, atau komentar beta reader merangkap editor gw yang ngebuat gw banting stir cerita (yang gw bener-bener syukurin sekarang), dari temen soal konten gore yang bikin dia gak nyaman, dan dari komentar kaskus tentang riset dan sebagainya yang ngebuat gw gak bisa main-main lagi soal setting karena immersion pembaca yang kabur dari cerita. 

Tapi feedback mereka gak pernah utuh sebenernya, cuman satu kalimat, atau ngekomentarin satu chapter, dan gw gak pernah sekalipun ngedapetin feedback yang menyeluruh dari pencapaian 12 chapter ini. Sedikit curhat juga, chapter-chapter baru kini kebanyakan cuman dapet komentar up, up, dan up yang ngebuat gw mungkin sedikit terlena dan teledor soal kelemahan gw dalam ngebuat cerita, dan dalam hal ini gw sadar : Feedback mengarahkanmu menuju masterpiecemu. It's important, mau itu tamparan berupa kritik pedas dan semacamnya. 

Tapi pada akhirnya cerita Naqoyqatsi ini dapet review dari blog : http://hittori-yudo.blogspot.co.id/2015/09/naqoyqatsi-review.html (Thx mas Liyando Hermawan Hasibuan), dan emm, oke, review ini gak seistimewa itu juga, karena gw yang nyuruh dia review hehe.  Jadi dia buat thread di Line (Grup light novel indonesia) yang nanya siapa aja yang mau direview dan gw komen, dan setelah beberapa bulan setelah dia review semua cerita (Ya, gw salut betapa niatnya penulis) baru kali ini dia review. 

So he's volunteer to read it because i tell him to, so.. probably he not gonna see deep look inside it? we'll see.

Tapi gw bener-bener berterima kasih ke mas Liyando karena tujuannya review ini untuk alasan marketing biar nambah pembaca,  karena gw pikir cerita yang sudah berchapter-chapter tanpa adanya jaminan kualitas seperti review bakalan minim banget pembaca baru.  


Untuk tulisan, coba langsung gw kutip aja disini : 

"Kali ini setengah mengatuk saya membawakan Review dari Naqoyqatsi dari Reza Prtama Nugraha. Sepertinya ini akan masuk dalam tahap List di tempat saya. Maaf karena begitu lama tidak pos tentang Review berhubung karena sibuk dan beberapa hari sibuk nulis juga.

Untuk Review pertama kita akan lihat dari judul dulu deh, judul Naqoyqatsi judul yang jarang ditemui tapi rasanya saya pernah liat disuatu film dan dicari di google ternyata judulnya memang sama. Entah ini sengaja atau tidak judul ini cukup menganggu saya selama membaca LN karena terbilang cukup unik.

Pertama kali baca chapter pertama kita akan disuguhi dialog yang cukup rumit untuk dicerna, banyak sekali plot twist yang di dapat dan entah apa yang dinginkan penulis yang pada akhirnya saya hanya bisa bilang “ini rumit kenapa tidak dipermudah” tapi kembali lagi kepada pembaca yang menyukainya, saya tidak punya hak untuk mengkritik isi dalam LN ini.

Tidak seperti Slice of life yang sering diganduring penulis LN. Naqoygqasti sepertinya mengikuti jalur baru dengan menggabungkan twist peradaban pertengahan ditambah bumbu sihir, LN ini kurasa akan sangat baik jika penulisan tidak diperumit dengan plot kembali ke masa lalu atau melihat masa depan yang dsebabkan suatu kekuatan

Reza Pratama Nugraha seperti membawa sebuah angin segar dalam dunia LN,  sebuah serial yang membawa twist yang banyak. Pertama kalinya saya membaca LN seperti ini dan harus ngulang beberapa kali karena membaca di tempat ramai. Pada akhirnya saya sadar LN ini terlalu rumit untuk bagian awal saja.

Dalam hal penulisan, hanya sedikit typo yang saya dapatkan, mungkin sebelum membuat pos sudah di cek terlebih dahulu. Soal Lushan aku suka cara pemikiran dia yang selalu berubah – ubah. Karena manusia kan subjektif jadi Lushan mewakili itu juga jika dihadapan dengan sebuah argumen berbeda.

Jangan khawatir tentang chapter LN ini sudah memiliki 12 chapter aku yakin kalian akan terpuaskan dengan plot yang menarik tadi. Karena sudut pandang orang pertama, LN ini akan banyak berbicara sendiri atau istilah katanya monolog, jadi jangan heran jika dialognya singkat saja.

Pada akhirnya saya hanya bisa menyarankan saja, maaf jika menyinggung penulis sampai bertemu lagi di LN Review berikutnya."

It's short, macam review koran kompas, tanpa pedalaman elemen-elemen (pacing, plot, character, setting, simbolist, and another shit like that), dan sebagainya yang gw yah.. pikir normalnya orang disuruh review hehe. So gw mau sedikit respon beberapa point yang dia sebut, sekaligus jadi koreksi untuk diri gw juga :

"Untuk Review pertama kita akan lihat dari judul dulu deh, judul Naqoyqatsi judul yang jarang ditemui tapi rasanya saya pernah liat disuatu film dan dicari di google ternyata judulnya memang sama. Entah ini sengaja atau tidak judul ini cukup menganggu saya selama membaca LN karena terbilang cukup unik."

Untuk judul memang gw ngambil dari film Godfrey Reggio (Well, i think i cannot recommend you to watch it), dan film ini jadi inspirasi pesan moral yang ingin gw bawakan di novel ini, jadi gw pake judulnya yang merupakan gambaran atau simbolis dari pesan tersebut. 

Gw pikir judul yah harus menarik dan unik memang, tapi awal make judul ini gak ada alasan istimewa kecuali alesan di atas. 

"Pertama kali baca chapter pertama kita akan disuguhi dialog yang cukup rumit untuk dicerna, banyak sekali plot twist yang di dapat dan entah apa yang dinginkan penulis yang pada akhirnya saya hanya bisa bilang “ini rumit kenapa tidak dipermudah” tapi kembali lagi kepada pembaca yang menyukainya, saya tidak punya hak untuk mengkritik isi dalam LN ini."

Untuk twist, gw gak naro sama sekali twist sebenernya, mungkin adegan shocking, atau konsep perbandingan masa lalu dan masa depan di chapter 1? atau moment ngereveal how the magic works? it's not really twist, well, i think. Karena ini gw jadi pengen nanya ke pembuat review, bagian plot mana yang dia anggap sebagai twist karena penulis (gw) kayaknya gak sengaja bikin banyak plot twist yang bikin pembaca gak nyaman.. (gw bahkan gak tahu cara bikin twist huhu).

Soal kerumitan plot, mungkin karena reveal misteri terus menerus, atau setting, atau.. oke, mungkin gw butuh feedback lebih untuk tahu flaw bagian mana yang bikin cerita ini jadi complicated, tapi ini pendapat yang lumayan bagus karena gw sendiri kayaknya keasikan bikin cerita tanpa tahu ada elemen plot yang bikin complicated, karena satu-satunya yang baru gw sadarin complicated : Settingnya.

"Tidak seperti Slice of life yang sering diganduring penulis LN. Naqoygqasti sepertinya mengikuti jalur baru dengan menggabungkan twist peradaban pertengahan ditambah bumbu sihir, LN ini kurasa akan sangat baik jika penulisan tidak diperumit dengan plot kembali ke masa lalu atau melihat masa depan yang dsebabkan suatu kekuatan"

Melihat masa depan.. Mungkin maksudnya flashback kali yah? Plot kembali ke masa lalu ini sebenernya inti konsepan awal Naqoyqatsi yang bikin beda dan banyaknya potensi yang bisa dibentuk dari premis ini (pada saat itu, sekarang ada manga populer yang premisnya sama). Karena esensi dari plot, gw gak bisa komentar apa-apa soal ini, tapi mungkin jadi pesan gw untuk stop ngerumitin ceritanya, ini masih 12 chapter soalnya juga, belum world buildingnya.

"Dalam hal penulisan, hanya sedikit typo yang saya dapatkan, mungkin sebelum membuat pos sudah di cek terlebih dahulu. Soal Lushan aku suka cara pemikiran dia yang selalu berubah – ubah. Karena manusia kan subjektif jadi Lushan mewakili itu juga jika dihadapan dengan sebuah argumen berbeda."

Ini harusnya jadi negatif, kalo apa yang gw inginin perkembangan karakter diaggap pemikiran yang selalu berubah-rubah namanya inkosistensi, dully noted. Untuk sedikit typo, emm, ini kayaknya kelebihan. Well, gw punya Beta Reader, yah special mention aja : Donny Rifqi yang siap mengkoreksi setiap tulisan sekaligus jadi guru EYD wkwk, thx banget :D.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Well, that's it. Gw sekali terima kasih banget sama reviewnya, udah capek-capek baca 12 chapter panjang gw untuk bikin review (pendek) ini.  Yah gw pikir sepertinya review ini lebih ke arah positif, ada beberapa point yang jadi bahan koreksi, dan semoga di Line pembacanya semakin banyak yang mau ngecek karya gw (yah gak dibaca juga tetep lanjut nulis sih) :') 

PS : Btw karena banyak elemen cerita yang sepertinya gak kena  (i dumbed down the content after all, huhuhu..), rencananya gw mau buat behind the scene naqoyqatsi yang ngebicarain message di film Naqoyqatsinya (Life as war) Godfrey Reggio, karakter2 yang nginspirasi pembuatan Naqoyqatsi, pesan tentang kekerasan, surrealism, beberapa referensi mahabrata, moralitas, budaya Dynasty Tang yang gw pake, dll yang kayaknya bakal menarik banget untuk dibahas, 

Btw, thx guys for reading, until next time :)

Rabu, 16 September 2015

Beautiful Flesh

Tangannya pucat, kaku, dan dingin. Kutegakkan perlahan lalu kutekuk, hingga akhirnya dia bergerak lebih rileks setelah lama tidak digerakkannya bagian tubuh tersebut. Kubersihkan dengan air dan sabun sari mawar dengan busa dari ujung kepala sampai ujung kaki, membersihkan bekas tanah yang menempel pada kulitnya yang cantik, menjadikan wangi, terpisahkan dari bau tanah yang menempel. Kukeramasi rambutnya yang mulai kering dengan berbagai wewangian, dan kuberi bedak pada mukanya, menjadikannya putih, dan cantik luar biasa. Kuhiasi bibirnya yang membiru dengan lipstik merah, dan aku bisa melihatnya, senyumnya yang menyerupai malaikat.

 “...”

Kutatap lama, kuperhatikan bahwa tak ada cacat sekalipun.

Sempurna, ah sempurna sekali, tubuhnya kini telah sehalus susu, lekuknya yang menawan, sosok sempurna yang takkan kau temui di wanita lain.

Dia bidadariku, tuhan kirimkan hanya untukku.

Kupasangkan gaunnya, gaun yang telah kusiapkan untuk dirinya jauh hari saat diriku bertemu dengan dirinya. Aku memang sudah bermimpi bahwa dia akan memakainya, tapi tak kusangka gaun yang kini kupakaikan pada dirinya terlihat lebih cantik dari apa yang kubayangkan.

Oh surgaku, utopiaku.

“Oh James..”

Tak kusangka saat itu juga dia membuka matanya, memegang wajahku, dan dia usap air mata yang keluar dari mataku.

“Stephenie..”

Dia berdiri, dan dia berikan tangannya padaku.

Alunan lagu berputar dengan sendirinya, kupu-kupu biru berterbangan di ruangan yang remang-remang ini, dengan lampu yang hanya menyinari kami di sebuah lingkaran suci, dunia kami semata.

Aku menari dengannya dalam alunan lagu Brahms Waltz in A-Flat Major, Op. 39 No. 15. Berputar dengan anggunnya, jentak kakinya yang lincah, dan tatapannya yang maut. Rasanya aku bisa gila, benar-benar gila jika tak segera kucium bibir merahnya yang memaksa kucium mesra.

Ahh, lalu dia peluk diriku disaat akhir, dan dia bisikan padaku ‘mantranya’, tanda bahwa dia mencintaiku, tanda bahwa hanya aku satu-satunya yang memilikinya.

“Aku mencintaimu James..”

Ya aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu, tak ada dunia selain dirimu Stephinie.

“Tapi..”

Tapi? Dia menatapku ragu, matanya terlihat mulai teralih pada pikirannya. Apa yang sesungguhnya ia ragu ucapkan? Bukankah sebelumnya kau berkata bahwa jiwa kita sudah saling terikat bagai daging dan darah yang menyatu? Sekali lagi, apa yang kau ragukan wahai Stephenieku..

“Ada apa Stephenie? Apa yang kau pikirkan?”

Aku mengucapkannya, tak sepenuhnya ucapan dari benakku kukeluarkan, namun aku tahu bahwa ketakutan keluar dari kata-kata tersebut.

“Oh James..”

Dia tahu bahwa aku melihat keraguannya, dan bibirnya bergerak perlahan, dia ucapkan pelan-pelan namun jelas.

“Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku..”

Apapun Stephenie, apapun itu akan kulakukan untukmu. Semenjak pertemuan kita, tak ada keraguan sedikitpun tentangmu, cintaku, takdirku.

“Aku ingin kau membalaskan apa yang mereka perbuat padaku..”

Ya, apapun itu Stephenie, dan kau akan menjadi milikku selamanya.

***

Ceritaku tanpa Stephenie merupakan cerita yang kelabu, hanya kematian demi kematian, kesedihan demi kesedihan. Maka siapa yang tidak gila menatap banyak sekali kepergian tersebut? Tapi itulah resiko dari pekerjaanku, mengambil momen kematian mereka seakan mereka tersenyum bersama orang yang dicintai mereka sebelum pergi ke alam barzah.

Namun sesungguhnya tidak, tidak sama sekali. Mereka hanya jasad, putih bagai tembok, dengan biru di bibir mereka yang tertutupi oleh lipstik merah tebalnya, kadang bau keluar dari tubuh mereka, kadang belatung keluar dari punggung mereka. Momen hitam-putih yang kuambil tidak mampu menangkap busuk jasad tersebut, hanya mereka dengan tatapan kosongnya, tanda bahwa jiwa mereka sudah tidak ada dan tubuh mereka yang menjadi tempat makan belatung-belatung yang menggerogoti dari dalam.

Mereka mayat, aku menggunakan nasib kelabu tersebut untuk makan sehari-hari. Orang-orang tersebut percaya bahwa jiwa mereka akan melekat dalam foto yang kuambil. Mereka menyuruhku mendadani mayat tersebut, anak-anak, laki-laki ataupun wanita tanpa rasa malu bahwa aku menelanjanginya, memandikan mereka, merias mereka. Jelas, karena mereka sudah mati, pikir mereka siapa yang tertarik dengan orang mati? 

Lagipula aku ahli dalam hal ini, luka tusukan akan kujahit sedemikian rupa, menutupinya sehingga luka tersebut tidak terlihat. Jika saja isi tubuh mereka keluar, membuat mereka kurus sehingga daging tersebut melekat pada tulang-tulang itu, akan kuisi kapas hingga benar-benar terisi dan kujahit sehingga jika kuberi baju tak terlihat betapa kurusnya mayat tersebut. Jika mata mereka keluar akibat kecelakaan, maka aku menyediakan mata palsu yang kudapat dari orang-orang gipsi yang melakukan barter oleh para perajin di timur tengah sana.

Aku belajar dari ahlinya, dan kini mungkin diriku sendiri lebih ahli dari guruku. Aku bisa mengawetkan mayat secara sempurna, hingga kau takkan sadar bahwa mereka sudah mati dan menganggap mereka hanya tidur semata.

Mereka puas akan semua ini, dan diriku akan dibayar mahal. Tapi aku tidak merasakan kepuasan dari semua sumber kekayaan yang melimpah ini karena wanita-wanita selalu menatapku jijik. Aku berurusan dengan mayat, mengambil keuntungan dari mereka, dan hal ini bukan pekerjaan yang umum saat ini atau bahkan hingga di masa depan nanti.

“Kau tahu, aku bisa melihat banyak bayangan di tubuh James. Dia mengambil keuntungan dari mayat-mayat tersebut, dan kini mereka melekat pada badannya.”

“Kau tahu, aku bertemu dengan peramal yang berkata bahwa pria bernama James tersebut takkan masuk surga, keluarganya akan dikutuk. Siapa suruh membohongi keluarga korban dengan berkata bahwa jiwa mereka kekal di foto-foto tersebut?”

Ucapan tersebut selalu berulang kali kutemukan, dibisikan dalam nada yang keras ketika diriku melewati mereka : Kau tahu? Kau tahu? Kau tahu?

Aku tahu, tak usah kalian beri beban lebih padaku. Pekerjaannya ini dicari, mereka membutuhkanku. Tak usah kalian cari salahnya, tak usah kalian jauhi aku.

Tetapi sungguh ironis, beberapa tahun aku menekuni pekerjaan ini dan sekarang diriku telah kehilangan banyak teman, saudara, dan wanita. Terutama wanita, aku sangat rindu dengan mereka. Bau mereka, hangat tubuh mereka, sensasi ketika kulit saling bersentuh dengan mereka. Kini bahkan pelacur pun tak mau menyentuhku walau berapapun biaya yang kuberikan, bisa memberi penyakit katanya, busuk katanya.

Aku berdoa pada tuhan, satu-satunya yang mengerti betapa mulianya pekerjaan ini, bahwa aku akan bersyukur sekali jika dia cabut nyawaku, membawaku ke surga bertemu dengan bidadari-bidadari, dan ia biarkan diriku mencumbu mereka.

Oh tuhan, kenapa kau beri diriku bakat yang membuatku tersiksa batin seperti ini? Jika memang kau membuat kedua insan yang akan saling bertemu, maka temukanlah aku segera dengan jodohku. Aku bisa gila oh tuhan.

Lalu Stephinie, oh Stephinie. Kaulah jawaban dari tuhan. Mereka berkata bahwa jika bertemu jodoh maka kau akan mengetahuinya, segala yang ada dari pertama kali kau menatapnya akan menandakan bahwa itulah jodohmu. Matanya yang biru, sebiru laut samudra yang dalam, hingga bisa membuatmu tenggelam di dalamnya. Bibirnya yang merah, kulitnya yang putih, rambutnya yang pirang lurus, begitu cantik jika kau bayangkan rambut tersebut terhempas angin dan aku bisa menciumnya, bau mawar. Kini ia tertidur di dalam peti dengan pakaiannya yang putih dan bunga merah mawar yang terletak di dadanya.

“Kasihan sekali oh Sthepenie, tuhan mengambilnya terlalu cepat. Seperti bunga mekar yang belum sempat terpetik, belum tersentuh satu lelakipun, belum pernah merasakan melahirkan buah hati yang akan ia susui lewat payudaranya, merasakan kasih sayang dan syukur dunia ini sebagai seorang wanita. Oh Sthepenie..”

Sang ibu berdiri di antara peti, berbicara dengan ekspresi sedih ketika sang ayah datang mengantarkanku pada tubuh wanita itu, jodohku, belahan insanku, setengah jiwaku, yang terkujur kaku di peti mati.

“Oke James, kapan bisa kita mulai?”

Dia tersenyum menatapku, dengan harapan bahwa aku bisa menangkap kecantikan anak gadisnya, dan jiwanya yang mungkin masih melekat pada tubuh yang sempurna itu.

“Sekarang juga pak, sekarang juga.”

***
Ketika mereka mengkubur Stephenie ke dalam tanah, tangisku keluar layaknya sanak saudara di sana.

Bagaimana mungkin aku tak pernah bertemu dengannya? Aku tinggal di dekat sini, dan aku kenal dengan semua orang yang menghadiri pemakaman ini! Seharusnya bau mawar itu akan mengalihkanku. Seharusnya matanya yang sebiru jernih samudra akan mengalihkanku. Seharusnya rambut panjang pirangnya yang begitu cantik ketika angin menghempasnya akan mengalihkankiu. Kenapa tuhan begitu keji mengambil belahan jiwaku pergi ke surga?

Tapi aku lupa, mungkin tuhan memang baru menunjukannya sekarang karena suatu alasan. Hal tersebut baru kumengerti setelah foto tersebut telah selesai, terpampang di kertas foto dan bingkai, siap untuk kuberikan pada keluarga Stephenie yang menunggu kenangan akhir dari anaknya. Ketika kuantarkan kerumah orang tua Stephenie, aku memutuskan untuk menatap foto Stephenie untuk terakhir kalinya.

Kulihat matanya.

“Dia hidup..”

Senyumnya yang keluar dari bibirnya yang merah.

“Dia hidup..”

Kulitnya yang mulus seperti susu, rambutnya pirangnya yang lurus terbawa angin.

Aku tak bisa melepasnya dari pikiranku seakan seluruh deskripsi dari wajahnya menguasaiku, seluruh wanita yang kutatap di jalan menyerupainya, lukisan-lukisan yang terpampang di rumahku menyerupainya.

Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta. Hal ini berlanjut sampai akhirnya ia masuk dalam setiap mimpiku. Kita berada dalam padang rumput dengan bunga-bunga yang mengelilingi kita, kupu-kupu yang terbang di antaranya, matahari yang membuat gaun Stephenie bersinar penuh silau membuatnya menjadi bidadari-bidadari surga dalam bayanganku.

Disana dia akan melihatku seakan telah menunggu lama, lalu berlari memelukku.

“Akhirnya aku bertemu denganmu oh belahan jiwaku, kalbuku, cintaku.”

Mantra tersebut dia bisikan dalam telingaku.

Ketika itu aku tahu bahwa aku telah menjadi gila.

Lalu kugali kuburannya dan kuhilangkan jejak-jejak. Aku tahu bahwa Stephenie masih hidup. Aku bisa mendengar teriakan minta tolongnya saat kugali kuburan tersebut. Dia berteriak bahwa di dalam sangatlah gelap, sesak, dan penuh dengan cacing. Aku berteriak, mengatakan bahwa aku telah berada disini dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka menaruh orang yang disayangi di dalam tempat sempit seperti itu? Bagaimana mungkin mereka tidak berpikir bahwa Stephenie masih hidup!

***

Kini aku berjalan, dengan pisau di tanganku, kloroform di sakuku.

“Aku diperkosanya!”

Dadaku sesak, meletup-letup rasanya. Otakku merasa terpanggang oleh amarah. Gigiku terlalu menekan rapat hingga darah keluar di antaranya.

“Mereka memaksaku!”

Tangisku meledak, dan aku kehabisan kata-kata untuk menenangkannya.

“Lalu mereka memasukan sesuatu padaku, mereka masukan semua itu padaku. Lalu..:lalu..”

Aku berteriak.

Mereka... bagaimana mungkin, mereka melakukan itu semua?

Oh tuhan, apakah ini ujianmu padaku untuk menguji cintaku? Maka aku akan memberi jawaban langsung padamu, bahwa aku akan tetap mencintainya, dan cintaku takkan pernah hilang sedikitpun karenanya. Lalu maafkan diriku oh tuhan, karena diriku akan melakukan dosa besar yang mungkin semua ini juga merupakan rencanamu, semoga.

Aku akan memberikan sesuatu yang buruk, sangat buruk hingga mereka akan memohon untuk pengampunanku untuk membunuh mereka.

***

“Haahh...hahh..”

Linglung, kini aku bisa melihat John sadar bahwa dirinya terikat pada kursi erat pada. Nafasnya tidak teratur, kloroform masih tersisa dalam paru-parunya dan membuat nafasnya hanya sampai setengah. Dia pasti tidak mengingat apapun kecuali gelap seketika saat berjalan mabuk menuju rumahnya. 

“Hiii!!”

Dia sadar bahwa terdapat Stephenie di hadapannya, menatapnya dengan penuh kebencian. Dia juga terkagetkan oleh pemandangan disebelahnya. Daniel dan Steven, teman mabuknya telah mati dengan tusukan pipa-pipa tajam pada kakinya, lalu terdapat setrum yang berada pada pipa besi tersebut. Mata mereka telah tercongkel, dan celananya terbuka. Terlihat bahwa kelamin temannya telah terpotong, tidak, lebih tepatnya ditarik paksa hingga putus. Dia bisa melihat bahwa mulut mereka ternganga besar, tanda bahwa mereka berteriak selama proses siksaan yang mereka alami.

“Oh tuhan, oh tuhan..”

“John..”

Stephenie berbicara padanya, dan dia terlihat kebingungan, hal yang persis dilakukan teman-temannya yang sebelumnya terbangun terlebih dahulu.

“Mengapa kau melakukan itu semua John? Kau bilang bahwa dirimu mencintaiku, mengapa kau melakukan ini? Bukankah kita telah berteman sejak kecil?”

Bukannya membalas Stephenie dia malah menatapku, dan berteriak.

“Hei kau gila! Apa-apaan ini! Oh tuhan, lepaskan aku dari sini..”

Aku segera menunjukannya moncong pistolku pada kakinya sambil berkata bahwa jika dia tidak menjawab Stephenie maka dia akan mendapatkan nasib yang sama seperti teman-temannya.

Dia tetap enggan menjawab, menggelengkan kepalanya, hingga satu peluru bersarang ke kakinya. Dia berteriak, melolong kesakitan, dan kini ancamku berubah untuk memaku tangannya jika dia tidak menjawab sekarang juga.

“Maafkan aku, maafkan aku Stephenie..Setelah kau menolakku, aku depresi, dan bahkan ingin membunuh diriku sendiri. Tapi setelah hari itu, kau tetap terlihat senang, senyum tetap berada di wajahmu seakan tidak ada aku di pikiranmu, aku..”

Dia diam sejenak, dan ketika aku menyiapkan paku dan palu, aku bisa melihat paniknya, mencoba mengambil nafas untuk melanjutkan penjelasannya.

“Aku iri melihat senyummu! Saat itu diriku mabuk, dan teman-temanku mendapatkan ide ini ketika kita bertemu dalam gang kosong tersebut. Lalu aku tidak mengingatnya lagi, ya, tiba-tiba saja semuanya sudah terjadi! Aku sungguh menyesalinya Stephenie..”

John berbicara sambil menangis, tapi Stephenie tetap menatapnya benci dan jijik. Bahkan aku sendiri sudah begitu gatal mendengarnya, dia memperkosa dan membunuh Stephenie hanya karena alasan konyol tersebut?

“Aku selalu jijik padamu John. Aku tahu bahwa kau menatapku hanya demi nafsu semata, lalu setelah kau bosan maka kau akan bermain dengan pelacur-pelacurmu, dan bermabuk-mabukan yang merupakan kebiasaan mu. Itulah alasanku menolakmu. Gara-gara kau.. aku.. aku baru bisa bertemu James, belahan hatiku dalam keadaan menyedihkan seperti ini.”

Stephenie menggenggam tanganku, menggenggamnya erat sehingga membuat diriku dapat merasakan kepedihannya, amarahnya.

“Stephenie.. ah.. sudah dengan permainan ini, kau gila, maniak!”

John terlihat muak, dia berusaha membrontak namun tali tambang yang mengikat dirinya tak sekalipun longgar. Stephenie menatapnya penuh amarah, dia menarik bajuku sambil menunjuk pada John.

“Bunuh dia sayangku, bunuh dia! Oh tuhan, aku ingin dia merasakan seburuk-buruknya siksa sebelum tuhan menjatuhkannya ke neraka...”

Stephenie berteriak, dan ekspresi John sangat terlihat sangat ketakutan.

“Lalu kau foto dia di saat-saat akhir. Aku ingin melihat ekspresinya, ekspresi jiwa yang melihat kengerian tersebut.”

“Stephenie...”

Saat itu raut ekspresi Stephenie menjadi sangat mengerikan, diikuti dengan matanya menghitam. Aku tidak menyangka bidadaraku ini memiliki kemarahan yang melebihi diriku sendiri, bernafsu untuk membuatku menyiksa pria ini dan bahkan memiliki keinginan untuk mengabdikan momen tersebut. 

Tapi aku mengerti amarahnya, dan aku ingin membuat Stephenie puas, bahwa diriku, kekasihnya, dapat melampiaskan isi hati Stephenie yang penuh dengan gejolak tanpa bisa melakukan apa-apa.

“Tentu saja, Stephnie..”

Aku mengambil kawat-kawat, hukuman yang berbeda dengan yang kulakukan pada temannya.

John menangis, kencing keluar dari celananya, persis dengan apa yang terjadi pada mereka yang sebelumnya kusiksa. Kawat-kawat tajam ini kupaksa masuk ke dalam kuku-kuku John, dan rencananya aku akan memasukan kawat-kawat ini di segala tubuh John sehingga terbentuk kerangka seperti boneka jerami. Tentunya hidup-hidup. Lalu akan kutarik kelaminnya seperti apa yag kulakukan pada Daniel sebagai pengakhir hingga ia mati kehabisan darah. Hati-hati sekali sehingga ia tidak mati karena shock, hati-hati sekali sehingga ia bisa berteriak sekeras-kerasnya, sehingga akan terasa nikmat sekali rasa sakit tersebut.

“James...”

Stephenie memanggilku, dan aku menatapnya. Dia tersenyum sambil menangis, dia seperti telah merasakan kelegaan dalam batinnya.

“Terima kasih.. Aku sungguh mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu.”

Hatiku berbunga-bunga, rasanya aku telah melayang kesurga.

Oh, Stephenieku, aku lebih-lebih mencintaimu.

Ketika itu aku kembali melakukan pekerjaanku, menyiksa John. Setelah hari yang melelahkan ini, tak sabar aku merasakan tubuh Stephenie yang katanya merupakan bukti cintanya padaku, ah, aku benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya pikiranku melayang-layang ketika pekerjaan ini masih belum selesai, kupikir, masih 50 kawat lagi.

***

Aku berbaring di sebelahnya, lelah setelah segala kenikmatan manusiawi tersebut, ketika daging indahnya denganku saling bersentuh, ketika kedua kalbu menjadi satu. Dia tersenyum menatapku, diberinya tangannya pada wajahku. Kupegang tangan tersebut, kucium dirinya.

“Aku masih ada satu permintaan, bolehkah?”

Suaranya kini kembali sedih, aku bertanya-tanya apa yang salah?

“Apapun Stephenie, apapun.”

“Ayah dan ibuku.”

Ayah dan ibunya? Aku bisa melihat kesedihan mereka yang tulus, dalam, dan rasa ingin mengabdikan momen terakhir tersebut merupakan hal yang nyata. Aku tak habis pikir mengapa Stephenie menginginkan nyawa mereka.

“Aku tak ingin kau menyiksanya, dan aku ingin kau membawaku ke rumah tersebut.”

Aku ingin tahu, tapi tak bisa menanyakannya. Dia pasti memiliki keinginan tersendiri mengapa kini dendam mengarah pada ibu dan ayahnya. Tapi aku tak meragukan Stephenie sedikitpun, dia pasti memiliki alasan yang masuk akal.

Ah, tidak, tak masuk akalpun Stephenie tetap benar. Karena aku mencintainya, dan cinta tak pernah masuk akal.

***

Malam hari, tak ada satu nyawapun yang berjalan dalam perumahan ini. Kini diriku membawa gerobak dengan peti berisikan Stephenie. Lalu kuketuk rumah tersebut, terus dan terus hingga lampu menyala dari atas. Aku telah membawa pemukul kasti, siap untuk melumpuhkan mereka.

Nona Boulavard, ibu Stephenie membukakan setengah pintunya dengan rantai pengaman. Dia masih terlihat mengantuk, dan kaget bahwa tamu di depannya merupakan diriku.

“Tuan James?’

“Nona..maksudku ibu mertua.”

Dia bingung, dan kebingungan tersebut kujawab dengan mendobrak pintu tersebut. Dia terjatuh, dan pria itu muncul dengan pistolnya, baru turun dari tangga dan menyadari bahwa keputusannya membawa pistol adalah keputusan yang tepat.

Saat ia masih terlihat ragu dan memutuskan untuk segera menekan pelatuknya, segera kulemparkan pemukul kasti tersebut yang tepat mengenai tangannya, dan diikuti tertembaknya pistol tersebut keatas. Kudorong tubuhku padanya hingga dia menabrak tembok begitu keras. Aku yakin, dua-tiga tulang rusuknya patah saat itu.

“Mengapa kau melakukan ini anak muda?”

“Maafkan aku ayah, tunggu sebentar.”

“Ayah? Apa kau gila?”

Aku membawa masuk peti, dan kubuka tutup peti tersebut. Mereka terkagetkan oleh wujud Stephenie, menatap mereka dengan sedih. Saat Stephenie berbicara, suaranya terisak-isak bercampur dengan rasa tangis.

“Kenapa kalian tidak memberitahukan polisi perihal diriku? Ayah, ibu?”

Kedua orang tuanya kehabisan kata-kata, mereka menatapku penuh dengan rasa heran, sekali lagi seperti John saat itu.

Aku segera menondongkan pistolku pada mereka, mengancam bahwa mereka tidak menjawab Stephenie maka diriku akan menembak salah satu dari mereka.

“Karena dia..ah maaf, maksudku kau mati dengan cara yang memalukan Stephenie.”
Sang ayah angkat bicara dengan suara penuh sesal, dan sang ibu menangis.

“Kau diperkosa nak, dan akulah yang pertama menemukanmu di gang kecil tersebut, bertelanjang tanpa nafas dengan cairan-cairan pria pada tubuhmu. Aku bersyukur pada tuhan, sungguh bersyukur, bahwa setidaknya aku bisa membuat kepergianmu tanpa aib, aib yang akan melekat pada dirimu setelah kau mati!”

Stephenie menangis, tangisnya meraung-raung. Lalu hal yang mengerikan terjadi, dia kemudian tertawa terkikik-kikik, kedua orang tua tersebut terlihat ketakutan setengah mati.

“Lalu kau setuju padanya Ibu? Tahukah kau bahwa aku sedang dalam perjalan kerumah untuk menjengukmu yang sakit..”

Dia menatap sang ibu, dan sang ibu menangis semakin kencang.

“Padahal kau tahu jika saja kau melihat gang tersebut.. John, Daniel, dan Steven selalu bermabuk-mabukan di tempat tersebut.”

“Kau tahu bahwa aku orang tua.. kau tahu bahwa aku takkan..”

Belum selesai sang ayah bicara, suara pistol yang begitu keras membuat dia terpaku. Sang ibu mengambil pistol disebelahnya yang terjatuh dari tangan sang ayah barusan, menembakannya ke kepala.

“Tidak! Oh sayang.. oh sayang..”

“James..”

Stephenie memanggilku, tanda bahwa aku harus mengeksekusi sang ayah. Suaranya serak oleh tangis, kematian sang ibu sepertinya membuatnya sangat berduka. Saat itu sang ayah bersujud minta ampun pada anak gadisnya.

“Aku telah banyak pergi ke gereja, aku telah banyak menyumbang setelahnya, lalu..lalu.. aku berencana bersama ibumu untuk merawat anak yatim. Sungguh mulia sekali bukan? Aku berusaha menebus dosaku..”

“Kau bilang semua ini adalah demi menutupi aibku agar diriku tenang di surga? Aib diriku?! Oh ayah, anak gadismu diperkosa! Jika kau ingin aku tenang, maka kau seharusnya menegakkan keadilan untukku, memberi hukuman pada orang-orang yang melakukan ini pada anakmu..”

Stephenie tak bisa menahan tangisnya, dia berhenti melanjutkan omongannya. Dia menangis menjadi-jadi seperti anak kecil yang kecewa, dan sang ayah hanya menatap lantai penuh sesal, terdiam. Saat itu tiba-tiba Stephenie menyeka air matanya, memantapkan dirinya dan menatap ayahnya dengan penuh amarah.

“Tatap mataku ayah!”

Sang ayah menatap mata anaknya, dan aku bisa melihat kengerian dari matanya, melihat mata Stephenie yang kini menghitam, diikuti raut mukanya yang penuh amarah. 

“Aku tahu semua ini hanya demi egomu, harga dirimu.. Apakah dunia hanya berupa harga diri bagimu? Lihatlah Ibu tadi, dia pasti sangat tersiksa, dipaksa ikut bersamamu dalam permainan ego sialan tersebut.”

Sepertinya diskusi mereka telah selesai. Perlahan aku segera menarik pelatuk di kepalanya, dan dia menangis tersedu-sedu, tapi seketika itu juga aku melihat cahaya pada matanya seperti ia mengingat sesuatu.

“Oh! Stephenie, aku mendengar berita bahwa mereka telah ma.. Aghh!!”

Bah, aku meleset. Peluru melewati pelipisnya, selanjutnya tak akan salah lagi.

“Stephenie!!”

Dan tembakan selanjutnya tidak meleset.

“James..”

 Stephenie menyuruh diriku mendekatinya, dan ia cium diriku.

“Bisakah kau potret diriku bersama kedua orang tuaku?”

Ketika itu aku menyeret tubuh kedua orang tuanya, kepala mereka cukup berantakan saat itu. Aku meletakkan mereka di atas kursi, dan juga Stephenie. Lalu kupotret, foto keluarga baru dengan Stephenie di tengah-tengah, tersenyum dengan sedikit air mata mengalir pada pipinya, seakan dengan kematian ini Stephenie memaafkan dosa mereka.

***

Hari-hari kulewati dengan bahagia bersama istri baruku. Pada pagi hari kita mandi bersama, pada siang hari kita mengobrol lama sambil kulantunkan lagu yang ia suka, pada malam hari kita menari dan bercinta. Kadang aku menghiasi bunga-bunga kesukaannya pada kamar kita, kadang aku membawanya secara diam-diam keluar menuju taman kosong yang sudah ditinggalkan pada malam hari, melihat bintang-bintang bersinar, dan kami kembali bercinta saat itu, ditemani bunyi-bunyi alam juga disaksikan rembulan.

Aku sungguh mencintainya, dan aku sungguh bersyukur tuhan telah menemukan kita.

Saat itu dia mulai meminta banyak hal padaku, teman yang dengki padanya, bos yang kasar padanya, seseorang yang suka menggodanya dan menganggu dirinya, ibu-ibu yang suka menggosipkan dirinya, dan banyak hal lainnya. Lalu ia minta diriku memotret pada akhir momen mereka seperti apa yang kita lakukan sebelumnya dengan Stephenie di tengah-tengah mereka, tersenyum penuh kepuasan.

Stephenie saat itu semakin terobsesi dengan kegiatan ini, dia mulai melakukan berbagai variasi dalam melampiaskan dendamnya. Kadang Stephenie menyuruhku memasangkan kostum pada mereka, lalu memukuli mereka dalam kostum anjing di dalam sangkar dan memotretnya. Pernah dia juga memintaku memotong tangan dan menjahitkan lengan mereka pada badan mereka, menempelkan bulu-bulu ayam yang kutempeli lewat lelehan lilin, lalu dijahitnya paruh ayam pada bibir mereka, membuat mereka persis seperti seekor ayam jadi-jadian.

Ketika kutanya alasan Stephenie melakukan ini, dia hanya menjawab bahwa ini semua merupakan simbolis dari dosa-dosa yang mereka lakukan padanya.

Kadang dengan ilmu mengawetkan mayat, ia menyuruhku membuat trofi mereka, dan menaruhnya di bawah tanah. Ada saat dia akan meminta untuk kebawah, lalu  Stephenie akan menceritakan ingatan-ingatan dirinya mengenai trofi-trofi tersebut, dan dia akan tertawa setiap kali mengakhiri kisahnya.
Namun, tiba-tiba terdapat sesuatu yang menganggu rutinitas kita. Berita soal-soal mayat yang mati mengenaskan, isu pembunuhan berantai. Pergerakanku mulai terbatas karena banyaknya patroli, dan kadang aku tidak bisa memenuhi keinginan Stephenie. Hal tersebut membuatnya marah. Kadang dia berkata bahwa dia benci padaku karena hal tersebut dan bahkan tidak ingin berbicara padaku satu hari penuh, membuatku benar-benar tersiksa karenanya.

Kini diriku sedang merencanakan bagaimana caranya meminta maaf pada Stephenie, memberinya kejutan saat akhirnya diriku mampu mewujudkan satu keinginannya. Namun dalam renungku saat ini sesuatu yang tidak terduga terjadi, sesuatu yang lama tidak terdengar di rumah ini, suara ketukan pintu.

“Pak James?”

Ketika kuintip, seorang berseragam polisi berada di depan rumahku. Segera kubawa Stephenie ke kamar, dan kusembunyikan di dalam lemariku. Aku meminta maaf padanya, dan menyuruhnya bersabar. Setelahnya aku segera menjawab polisi tersebut.

“Maaf lama menunggu pak petugas..”

“Oh tidak, saya yang seharusnya minta maaf. Maaf bapak James, perkenalkan, nama saya Donny Hilman, detektif dari kepolisian, dan saya ingin meminta ketera...”

Detektif tersebut terdiam, dia mulai mengendus-ngenduskan hidungnya.

“Apa saya mencium bau busuk disini?”

Sang detektif masuk tanpa menunggu izinku, dia mencondongkan kepalanya mencoba mencari sumber bau.

“Maaf pak, sepertinya ada tikus mati. Apa bapak ingin kopi?”

“Oh ya, tolong.”

Aku segera mengantarkannya ke ruang tamu, menyuruhnya duduk dan menyiapkan kopi. Dia makin merasa risih, mengeluh baunya semakin parah dan memintaku membuka jendela. Saat itu dia menjelaskan padaku soal penyelidikannya yang mengarahkannya kesini.

“Bapak James, kupikir kau sangatlah berbakat, aku telah melihat foto keluarga almarhum. Anak mereka terlihat sangat hidup, terutama pada matanya, dan aku tahu hanya orang-orang berbakat yang mampu menangkap momen tersebut, menangkap sisa-sisa jiwa tersebut.”

“Jika kau butuh jasaku, kau tahu tempatnya.”

Aku berusaha menjawab sekasual mungkin, berusaha tidak grogi yang menciptakan kecurigaan.

“Tapi kau tahu?”

Suaranya serius, dia segera menyeruput kopi yang kuberikan padanya.

“Foto itu yang membawaku kesini. Kau tahu pembunuhan berantai yang sedang populer kini? Semuanya terkait dengan Stephenie..”

Keringatku keluar, dan kutelan ludahku.

“Saat itu..”

Aku bisa menebak, dia memeriksa kuburan yang kosong, lalu mengkaitkannya dengan bau busuk ini.

“Maaf pak, bolehkah saya ke belakang sebentar?”

“Oh, tidak apa.”

Aku meminta alasan untuk ke kamar mandi, namun sesungguhnya aku ingin mengambil pisau yang telah kuasah untuk skenario terburuk. Aku tahu, detektif tersebut mencurigaiku, dan beberapa kata lagi maka dia telah sampai kesimpulan bahwa akulah pelakunya.

“...”

Saat aku berjalan kebelakang dan mengambil pisauku, aku mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Pria tersebut telah berjalan mencari sumber bau tersebut. Aku tahu, detektif pasti mengetahui benar bau busuk manusia. Tinggal menemukan badan tersebut, dan dia telah menemukan sang pelaku. Aku juga yakin bahwa dia telah mengeluarkan pistolnya.

Aku berjalan perlahan, dan kulihat bahwa kamarku dan Stephenie telah terbuka.

“Cantik sekali..”

Aku tak menyangka suara tersebut keluar. Sang polisi telah membuka lemariku, dia terpaku oleh kecantikan bidadariku. Aku marah, dia milikku, tak boleh ada seorangpun yang boleh melihatnya!

“HIAAAAAA!”

Aku berteriak sambil mengeluarkan pisauku, berlari untuk menghunuskan pisau tersebut.

“Agh!”

Tapi tiba-tiba peluru menembus perutku, keluar dari moncong pistol revolvernya yang tentu saja lebih cepat daripadaku. Aku kalap saat itu, kemarahan membuatku terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk menyergapnya, bodoh sekali. Dia kemudian terkagetkan oleh suasana kamar ini, banyak foto yang terpajang, foto-foto orang mati mengenaskan dengan Stephenie di antara mereka.

“Tak kusangka..”

Dia terlihat tidak percaya. Membiarkan diriku yang bersimbah darah, dan tidak berdaya di lantai. Dia mengambil rokoknya, menyalakannya, menghirup dan melepaskan asapnya untuk menenangkan diri. Dia berjalan menuju tubuh Stephenie, sambil melanjutkan omongannya.

“Setelah melihat fotomu di rumah sang orang tua, aku bertemu dengan gadis ini dalam mimpi, berkata padaku untuk menolongnya, bahwa dia disergap dan diperkosa setiap oleh seorang maniak. Aku hanya memeriksa ini karena sudah kehabisan petunjuk, dan tak kusangka bahwa semua ini benar.”

Hatiku rasanya remuk saat itu, terkhianati, dan tangisku keluar. Bagaimana mungkin? Bukankah kita adalah jodoh, belahan jiwa, insan yang ditakdirkan untuk bersatu.

Stephenie.. mengapa?! Apa karena kau marah padaku? Apa karena aku tak cukup bagimu? Hanya karena itu semua?

Tidak.. tidak mungkin, aku tidak percaya Stephenie melakukan ini semua. Detektif ini pasti hanya berhalusinasi.

Ya, Stephenie takkan mungkin melakukan itu semua.

Aku takkan sedikitpun meragukanmu Stephenie, karena aku percaya akan kekuatan cinta, yang tidak memisahkan kita yang terpisah antara hidup dan mati.

“...!”

Lalu sang detektif seperti terlihat tertegun, dia kaget melihat sesuatu pada Stephenie. Aku bisa melihat bibir Stephenie bergerak, mengucapkan sesuatu padanya dan aku tidak bisa mendengarnya.

“Kau...”

Dia terlihat marah, murka lebih tepatnya. Dia kemudian mengarahkan pistolnya padaku, dan segera menarik pelatuknya. satu demi satu peluru ditembakannya dengan perlahan ke sekujur tubuhku, bukan pada tempat yang vital. Kemudian dia keluarkan isi pelurunya, mengisinya lagi 6 peluru satu persatu-satu, dan menembakannya lagi.

Lalu pada momen akhir tersebut aku melihat Stephenie berbisik pada pria tersebut. Aku mencintaimu sebutnya, dan sang detektif tersebut menciumnya. Brengsek.

Lalu kupikir hanya diriku yang gila disini, mencintai seonggok mayat.

Gila, Hahaha...
Haha...
Ha...
...