Minggu, 27 Desember 2015

Cerpen : Sarang Peluru

Cerpen ini sebenernya cerpen yang terinspirasi dari cerpen punya kakak. Diblend antara narasi kakak dan gw sendiri, dan tentunya hampir kesuluruhan cerita berbeda hingga interpetasinya walau ada yang dipinjam sana dan sini. Cameo gw masukin dari tokoh Farid beserta backgroundnya yang merupakan kisah utama kakak dan beserta nama kakak gw juga (Ricky Kinanti Sulistiyo).

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sarang Peluru
By Reza Pratama Nugraha

Mereka akan hukum tembak aku, 15 menit lagi, dan setidaknya aku sudah menunggu sejak 5 tahun yang lalu, diulur-ulur sampai bosan ingin kugigit lidah ini. Kematian kini bagai harapan dari ruang sempit, makan bersama dengan tahik-tahikku, berbicara dengan lalat setiap harinya. Bau mesiu seperti bau kemenangan yang kunanti-nantikan, apalagi mayat-mayat yang melewatiku, dibopong dengan tandu, ditutupi mata dan dahinya, dan kulihat senyumnya itu. Senyum yang mungkin akan kulepaskan nanti.
Tapi sedemikian rupa pikiranku memuja kematian, badanku tidak berkata demikian. Dia mengutuk, memberiku mimpi buruk, neraka, hanya neraka tempat penantianku. Gemetar aku dibuatnya, kakiku, bulu kudukku, air mataku yang keluar. Aku benci kemunafikan, dan kemunafikan muncul dalam alam bawah sadar terdalamku.
Dor!
Suara tembakan, Sniper Rifle Pietro Beretta, peluru berkaliber CF 18mm dengan daya letus piston 92FS, tertulis di lembaran detil eksekusiku, dan aku makin-makin familiar dengan suara teman baruku ini. Karena aku akan jadi sarangnya nanti, aku akan menjadi sarang peluru.
Dor!
Mereka tembak dua kali, yang berarti satu meleset, atau mungkin yang ditembak belum benar-benar mati.
Kini mayat digiring lagi. Satu mengenai leher, lalu kedua mengenai kepala. Kini bibir yang lewat tidak lagi senyum, dengan darah yang bercecer di mana-mana, dan mulut yang terlihat meringis, dia salah satu yang tidak beruntung untuk bertemu dengan kematian.
Mungkin saja karma.
Ya, kita yang mau dihukum mati ini punya banyak cerita, dan bentuk kematian kita mungkin merupakan wujud karma dari segala kisah yang telah kita bentuk. Dia yang mati pertama, Anton, aku kenal baik dengan dirinya. Seorang marxis, anarkis, ia rencanakan suatu kudeta untuk menyelamatkan negeri ini dari para pria gemuk kapitalis yang menggerogoti negeri ini hingga akar-akarnya, dan lucunya ia malah dimaki sedemikian rupa oleh masyarakat, disumpahi mati ketika ketahuan perbuatannya itu. Walau demikian, matinya ia pikir adalah suatu buah yang manis dan bukanlah suatu kesia-siaan, atas niat baiknya jika saja benar apa yang ia perjuangkan itu, tuhan mungkin berikan dia tempat di neraka sana dengan para penjunjung revolusi seperti Che Guevara dan mungkin Karl Marx sendiri si empunya teori, membahas teori-teori politik dan topik kemanusiaan sambil menyeduh kopi.
Satu lagi namanya Farid Agdianto, yang salah tembak tadi. Nah, yang ini menarik, terkenal di koran-koran juga televisi, tragis tapi bangsat. Pedofil, tapi dibalik itu dia juga hasil buah korban pedofil, diperkosa ayahnya hingga tidak bisa libido di depan wanita telanjang sekalipun. Diperkosanya anak-anak, lalu dibunuh. Dia juga bunuh menantunya, lalu dia bunuh ibunya. Bangsat memang, tapi ini salah nasib memang akal sehatnya menghilang, setidaknya cukup berakal untuk menceritakan kisahnya ke diriku.
Kalo aku?
Oh, aku tidak seperti mereka. Tak bisa salahkan dunia kapitalis seperti Anton yang dibunuh kaum pemodal, ataupun salahkan dunia yang kurang kemanusiaan seperti Farid yang kemudian kehilangan akal dan nuraninya.
Emakku orang baik-baik seperti emak-emak lainnya, Abah pekerja yang rela banting tulang tanpa mengeluh demi membawaku ke sekolah tinggi, jadi tolong jangan salahkan mereka. Aku dididik untuk shalat 5 waktu tepat waktu, mengaji habis magrib (walau paling 2 lembar quran tanpa terjemahan saja yang kubaca), banyak membaca buku agar tidak tolol, dan dipaksanya aku untuk tidak bekerja, hanya belajar, belajar, dan belajar, untuk bisa berkontribusi di negeri ini, mau jadi dokter, usahawan, atau yah, guru, untuk bikin pintar warga desa tolol lainnya agar setidaknya bisa membaca dan berhitung. Mereka orang yang baik-baik, dan aku hidup di lingkungan yang baik pula.
Lalu apa yang salah?
Tidak, tidak ada yang salah. Hanya aku yang tolol. Kisahku sekali lagi tidak semenarik apa yang dilalui dua lelaki tadi. Aku hanya lelaki yang kalap melihat sosok betina genit yang sembunyi-sembunyi selingkuh dariku (kusebut betina karena dia tak lebih dari binatang penuh birahi di pandanganku sekarang), setelah tahu dia kerap kali bercumbu setiap aku pergi kerja, kurencanakan pertemuan mereka, lalu kubunuh dengan keji wanita jalang dan selingkuhannya tepat sebelum mereka mencapai orgasme, belum selesai sampai disitu, kumutilasi kelamin selingkuhannya itu yang masih ereksi dan kumasukan ke mulut wanita jalang itu. Gila memang, benar-benar sinting aku saat itu. Kutelpon polisi untuk cepat tangkap aku. Pengadilan berjalan sangat lancar, pengacara ogah membelaku dan sangat jelas apa yang membuatku sampai pada tempat tembak ini: Pembunuhan berencana yang kelewat keji.
Aku mati demi cinta yang cetek. Demi satu betina kampung yang bisa kutemukan di segala pelosok negeri ini. Sudah berapa surat kabar yang menceritakan orang yang membunuh atas alasan cinta belaka? Demi persoalan selangkangan dan nafsuwi belaka? Orangtuaku banting tulang 16 tahun membawaku ke gelar sarjana, dan ternyata anaknya masih bodoh, sebodoh orang kampung yang bunuh-bunuhan karena masalah betina dan harga diri.
Oh maafkan aku Abah, Emak, yang jauh-jauh dari kampung untuk melihat kematianku, untuk membacakanku yasin di kursi kursi tunggu depan ruang mayat, untuk pulang agar dicaci maki seluruh warga kampung yang baca koran pos kota, kolom "Nah ini dia!" dengan ilustrasi calon menantumu yang pahanya keluar halus, lalu pria gendut berinisial 'Y' yang penisnya menonjol besar di antara selimut, dan sosokku yang memegang golok dengan tampang setan. Maafkan aku.
"Pak Agus, silahkan?"
Jantungku berhenti sesaat, panggilan lembut dari pria berjubah putih, sosok yang seharusnya mungkin adalah aku, si dokter muda. Memakai kaca muta bundar, rambutnya yang diseka rapih, berkali-kali mewawancarai orang yang sudah ingin berhadapan dengan maut. Aku sudah berdiri didampingi 2 polisi dengan senjata mereka, 10 menit lamanya, 5 menit lagi berarti eksekusiku. Dia suruh diriku duduk di kursi datar, mulai menyenter mataku, mendengarkan jantungku melalui stetoskop yang dikalungkan di leher, dan dipasang Sphygmomanometer di lenganku. Setelahnya dia tulis di kertas keterangan, dia lihat waktu dan sepertinya belum waktuku, dia kemudian berbasa-basi denganku:
"Agus Setiawan? Oh pernah ganti nama dari Agung pas sakit?"
"Oh sudah 26 tahun, jadi lulusan UI juga, ah, sayang sekali."
"Agama anda Islam? Sebutkan syahadat ya, nanti. Jangan lupa."
Dia lihat lagi jamnya, tatapannya berubah, dia lega. Lepas bebannya, hari ini aku yang terakhir, dan hanya sisa beberapa detik lagi.
Tentu saja, berapa kali dia menghadap teroris, musuh politik, psikopat, et cetera. Dia tidak begitu tahu bahwa diriku hanya sekedar pembunuh tengik kacangan. Bahkan dari apa yang kuterangkan, dia tidak benar-benar mendengar, bohong mungkin dikira. Muka kampungan seperti ini.
"Bapak siapa namanya?" Kini aku yang bertanya.
Wajahnya berubah, sinis, dia tidak senang dengan pertanyaanku. Memang untuk apa orang yang akan mati beberapa menit lagi ini bertanya soal nama orang asing seperti dirinya. Ekspresinya lalu berubah lagi menjadi kosong, mungkin kini dia pikir biar saja. Tidak jadi penting, sosok di depannya hanyalah pasir, sebutir pasir dari sepanjang eksistensinya di dunia ini. Sebuah jawaban tidak penting ini tentu tidak jadi persoalan seharusnya, tidak perlu panjang berpikir untuk apa, dan apa pentingnya. Hanya perihal gerakan lidah, dan udara yang menghempas dari pita suara.
"Ricky Kinanti Sulistyo"
"Bagus namanya, kayak aku yang artinya laki-laki yang setia, nama kita ini doa. Oh masih berapa menit lagi ini?"
"1 menit"
"Ah, bisalah kucerita sedikit. Aku ini hampir kayak kamu, dokter, masih masa calon dokter di daerah terpencil. Jatuh cinta sama gadis kampung genit punya selangkangan, disini akhirnya aku berada. Tolol memang, tiap hari belajar dari belum TK sampe sini, gak ada duit buat main, kupelotot buku-buku, sampe pemerintahan runtuh sama mahasiswa, sampe pemerintah punya lagi pemimpin korup lainnya, kuhiraukan dan tetep kupelotot ini buku, biar sukses, biar sentosa. Lalu apa? Aku jatuh sama selangkangan koh, sama nafsu. Kurelakan eksistensi sekali ini demi sifat primitif, jauh dari dunia manusia, aku jadi binatang. Aih, mungkin bukan aku saja. Matamu itu tahu lebih banyak dari aku perihal ini."
Seakan aku ingin memberinya petuah, peringatan, atau mungkin refleksiku sebelum mati. Meninggal untuk benar-benar meninggalkan pesan. Tapi dokter ini tidak mendengar, dia tatap handphonenya yang bisa kulihat jelas, sms dari ayang.
"Ya, pak. Em, pak polisi tolong."
Dua pria lalu menarik bahuku, mendekapnya di antara dada-dada mereka yang tegap. Kulihat jam, sudah lewat 15 detik.
Diseretnya aku. Kencing diriku di celana. Polisi ini seperti sudah biasa, sudah keseharian. Keringatku keluar menyeruak seperti kehujanan diriku dibuatnya, kerongkonganku kering, aku minta minum tapi tidak diperbolehkan. Apa aku harus mati kehausan? Ah, sudah telat sih.
Kini aku sudah berada di lapangan tembak. Dikelilingi orang bersenjata, tegap, hitam. Ditemani bau amis darah, belum sempat dibersihkan, mungkin habis ini biar sekalian saja. Salah satu pria dengan tatapnya tajam, ah, aku tahu dia yang ingin mengeksekusi diriku. Tak ada rasa ragu kupikir dalam hatinya, bahwa dia akan membunuh seorang manusia, yang berlaku kejahatan karena ia lahir di tempat, dan waktu yang salah. Tak pernahkah para penembak itu merasa, bahwa bisa saja mereka yang berada di hadapan moncong yang akan mereka tembakan itu, jika saja tuhan iseng meniupkan ruh mereka ke bayi-bayi yang hidup di lingkungan para bajingan?
Diambilnya senjatanya, dimasukan pelurunya, dan dikokang. Jantungku copot dibuatnya.
Lalu aku diberdirikan di tengah-tengah lapangan hijau bercampur bercak darah ini, dibayangi terik matahari. Takutku kemudian semakin nyata saja, perasaan yang asli muncul dari sanubari yang kutahan, yang kumasukan dan kudempul dalam-dalam di alam bawah sadar, kini membrontak dan berteriak tak karuan.
Aku ingin hidup!
Kenapa aku ingin hidup ketika sebelumnya aku sudah mantap memutuskan untuk mati, kenapa pada detik-detik ini? Bangsat!
Oh Tuhan aku menyesal, menyesal sekali! Tolong, Emak, Abah!
Ah, tubuhku berteriak dalam gemetar, aku ingin berlari tapi pikiranku menolak, nanti pelurunya kena kaki, terus badan, terus kepala, sakit matiku. Aku ingin mengigit, mengoyak-ngoyak polisi yang membawaku, toh dia tidak jauh dariku. Tapi untuk apa? Toh gerakku akan memicu gerak jari pada pelatuk senapan itu. Inikah yang disebut sebagai insting primitif, untuk bertahan hidup dengan segala cara apapun?
"Sudah siap pak?"
Aku memutuskan untuk menyerah, aku memahaminya, inilah keputusasaan, berada dalam zona tanpa harapan, tanpa tuhan, tanpa mukjizat. Harusnya aku berdoa saja tadi, tapi sebosan apa cerita ini jika kuhabiskan dengan berdoa saja?
Krek! Suara pelatuk.
Seketika aku ingat Abah dan Emak yang kujanjikan haji, yang uang tabungannya selalu habis untuk kebutuhanku yang pergi merantau. Adikku Julia yang diterima di universitas negeri, tapi Abah dan Emak tak bisa masukan dia karena ditolaknya biaya keringanan, harus keluar kocek puluhan juta karena bangsatnya pendidikan di negeri ini, aku janji bayari dia. Oh, kucingku, Belang, nanti Julia yang gantikan kau beri makan. Sahabatku Joseph yang janji sama-sama kita jejaki S3 di luar negeri. Ah... Banyak janji yang kuutarakan. Kusia-siakan semua itu, demi apa? Demi apa?
Ah..ah..ah.. Tunggu, oh tunggu! Tangan ku songsong kedepan, kelopak tangan kulebarkan, kuberi tanda berhenti. Biarkan aku bernafas sejenak, biarkan aku...
DOR!!
AAARHHHHK!!! SAKIT!! Sakit sekali!
Dinginnya peluru-peluru yang kurasakan hanya sekilas, berubah menjadi rasa panas, sakit yang tak tertahankan. Aku gigit lidahku sampai putus. Semua mati rasa, kecuali rasa sakit di jantungku.
Kucoba menarik nafas, tetapi tak bisa, percuma. Tidak ada udara yang bisa kuhisap.
Ah, jelas aku mati, dan matiku jelas sedang tidak tersenyum.
Saat ini aku tidak bisa mendengar apapun, kecuali dengung yang luar biasa berisik. Semua terasa seperti mimpi, mimpi buruk. Walau mataku dalam keadaan tertutup, aku bisa merasakan badanku melayang.
Makin tinggi, makin cepat, dan...
Lalu hilanglah semuanya.
Kudengar doa Abah dan Emak, samar-samar juga ada Julia.
...
!?وصدق دعائك انفرجت
Hah, suara siapa itu?
!!به أحد من البشر
Siapa itu? Aku dimana? Sesak, gelap sekali.
..محال أن ترى صدر
Kau bicara apa? Aku tidak mengerti!
Tiba-tiba entah darimana, cahaya dari bawah menyinari seseorang yang menjadi lawan bicaraku tersebut, mereka 2 orang. Mereka memakai sorban dengan jubah kotor, arab sekali, pikirku.
Ah, Mengapa 2 orang itu membawa pecut yang terbakar?
-End-

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 8

Chapter 8 : The Trials

Sebagaimana rasanya melihat tapi tidak mendengar, adalah perasaan mengelak dari ucapan-ucapan yang perlahan menghancurkan hati atas ironi. Seketika kututup salah satu indraku ini, maka lebih peka indraku yang lain. Mulutnya yang bergerak tanpa jeda, ludahnya yang keluar bersamanya tanpa dia beri waktu untuk menelannya, dan tatapannya yang sigap seakan dia ingin kuak kebenaran yang ia pegang, kebenaran yang ia percaya.

Ia percaya akan semua kebohongan itu, kebohongan yang ia utarakan. Maka sumpahnya terhadap tuhan ketika dihadapkan kitab dengan dua jarinya yang ia tegakkan, disaksikan tetua dan pendeta, tidaklah benar-benar suatu kepalsuan. Nyatanya kebenaran memang perihal kebenaran versi siapa, dan yang dipercayai siapa, maka khayalan tak bisa disebut kebohongan.

Sebelumnya pertama kali ia ucapkan "Nyonya Racke yang pertama kali memukulnya", lalu aku berdiri membela diriku hanya untuk diarahkan tongkat berdiri Tetua atau kusebut saja tongkat simbol kekuasaan, berteriak menyuruhku diam "Akan ada waktumu untuk berbicara!", dan kini aku hanya diam membisu seketika seluruh penonton mengangguk yakin soal kebangsatan terdakwa ini, si ibu iblis yang menganiaya nenek-nenek tidak berdaya.

Ditengah-tengah itu aku dihujani kerikil, kepalaku dibuatnya berbentuk. Orang-orang melempar kerikil, dan kulindungi kepalaku, seakan pantas saja kuterima hukuman yang prematur ini, padahal mereka tidak tahu jelas duduk perkara disini bahwa diriku juga sama dianiaya. Tapi sebelum mereka mendengar pembelaanku, mereka telah terburu-buru ingin membalas perbuatanku. Kapan lagi? Kapan lagi mereka bisa bersama-sama, berbagi-bagi, saling memberi hukuman terhadap terdakwa ini sebelum tetua memutuskan sesuatu yang mereka takutkan, tidak bisa mereka perlakukan diriku seperti ini?

Tentu saja semua ini bukanlah tahik tengik perkara, namun hanya demi kepuasan batin mereka, menjadi algojo pemberi hukuman atas dosa orang di depan mereka yang sangat-sangat mereka yakini bersalah, dan apapun pembelaanku yang mungkin membebaskanku dari semua ini, aku akan tetap bersalah.

"Jadi tak sekalipun nonya Martha memberi aniaya pada nyonya Lenard?"

"Tidak tetua.."

Dan sekalipun bekas lebam di pipiku bisa mereka lihat baik-baik, tidak ada satupun kesempatan diriku untuk membela. Pernyataan ini akan dicerna, dan padu dalam kisah yang tersimpan di otak-otak para penyaksi menjadi kenyataan. Terlalu lama mereka cerna, semakin nyata pernyataan pria ini. Aku tahu, waktu saat aku diberi kesempatan berbicara hanyalah sebuah momen semu, percuma.

Entah bagaimana seharusnya pengadilan berlangsung, tapi ini jelas cacat. Tidak ada pendampingku, tidak ada pula waktuku membela saat pernyataan diucapkan. Pengadilan ini direka hanya untuk kekalahanku. Saksi adalah kunci setidaknya dari dua pertikaian, dia adalah orang tengah dari ucapan-ucapan para pelaku yang saling membela dirinya sendiri. Pada saat aku akan berbicara nanti, apa yang bisa kuucapkan?  Itu pula Nyonya Martha dulu yang akan berbicara setelah pria ini, bukan aku.  

Setelah itu kelihatan bahwa perkaraku dengan nenek tua itu sudah selesai diutarakan, sang tetua mempersilahkan si pria itu kembali, tapi ternyata masih ada lagi yang ingin ia ucapkan: katanya aku juga menganiaya dirinya.

"Maksudmu apa tuan William?"

"Nyonya Lenard, tetua, dia melakukan sesuatu dan mungkin karena itu anakku sakit."

Aku berdiri, tapi bisu. Tetua tahu aku akan berbicara, setidaknya berteriak menolak, dan tongkatnya sudah ia tunjukan ke kepalaku.

"Teruskan tuan William."

"Baik tetua. Seperti yang kau tahu penyakit telah menyebar di desa ini. Tapi yang kuucap mungkin bukan suatu kebetulan semata tetua, dari apa yang kami, warga desa diskusikan, ini ada kaitannya dengan Nyonya Lenard, dan aku tahu semua ini terjadi ketika aku melerainya."

Omong kosong apalagi yang ia ucapkan? Aku menengok, dan amukan semakin besar di belakang. Mungkin habis ini bukan lagi kerikil, tapi batu, walau membawa mereka ke atas pengadilan ini juga atas nama aniaya, kemarahan mereka mulai tidak terbendung. Lagipula jika sebagian besar warga desa yang melakukan maka namanya bukan aniaya lagi, kau tidak bisa menangkap seluruh warga desamu. Sedangkan aku disini sasaran tembak panah mereka, tidak tahu menahu apa yang sebenarnya mereka arahkan. Pria ini melanjutkan omongannya, dan seakan telingaku ingin menolaknya kembali, tapi aku ingin tahu, aku ingin tahu apa omong kosong yang telah menyebar di desa ini.

"Nyonya Lenard jelas mengutukku yang memeganginya, karenaku pukulnya tak dikenainya di muka nyonya Martha. Lalu..lalu.."

Tangis pria ini pecah, dan aku tak sekalipun merasa simpati seperti sosok penonton di belakangku.

"Pulang itu terjadi sesuatu pada anakku tetua.. Oh tuhan, anakku demam parah dan keadaannya sudah diambang dunia dengan akhirat.."

"Aku turut berduka tuan William.."

"Omong kosong!"

Mulutku, aku tidak bisa lagi berdiam diri. Jika belakangku tidak mampu membendung kemarahannya, bagaimana pula aku?

"Nyonya Lenard, aku berjanji hukumanmu.."

"Oh tidak tetua, aku tidak bisa dibeginikan. Pengadilan ini omong kosong. Seketika nyonya Martha berbicara habis aku sudah! Aku diam, diam karena aku masih menyimpan harapan bahwa kalian mendengar alasanku, tapi aku tahu bahwa ini musyawarah, dan kalian diam-diam bersepakat dalam hati, bahwa aku satu-satunya manusia bersalah disini."

Aku keluar dari kursiku. Tetua jelas marah hingga tak bisa berucap apa-apa. Kutunjuk pria itu, hingga ia ikut berdiri sambil meninggikan dadanya, dia tidak takut pada wanita kecil ini.

"Kau sudah disumpah, disumpah kitab suci!"

"Aku tidak berbohong! Aku benar-benar yakin dari tatapmu bahwa kau mengutukku! Ketika kupegangi antara dua tanganmu dan kutarik dirimu, aku tahu kau mengutukku!"

"Asumsi sialan dari manusia yang mengartikan tatapan dalam kata."

Orang-orang mulai keluar dari kursi penontonnya, dan sekaligus dibelakang berdiri mulai menyerbu memasuki panggung. Ketuk tongkat tetua tidak berfungsi menenangkan, kuasanya hancur oleh panas kepala. Apalagi pendeta, yang tadi memegang kitab diatas kepala tuan William kini hanya berdiam diri di kursinya. Tuhan tidak mengarahkannya untuk menenangkan massa.

"Akal kalian tumpul, bagaimana mungkin diriku dan anakku kalian kaitkan dengan penyakit kalian? Lalu musim dingin ini juga? Tangkapan ikan yang sedikit pula? Lalu 8 tahun anakku dilahirkan, kenapa baru sekarang? Bukan sakit itu penyakit yang berbahaya, tapi kedunguan kalian."

"Nyonya Lenard!”

Tetua berteriak, tapi tidak kudengarkan. Mulutku bergerak, kuucapkan cemohan demi cemohan yang semakin membuat tangan-tangan dihadapanku gemas. Aku selama ini berdiri di antara orang-orang dungu, tinggal bersama orang-orang dungu, dan dihidupi oleh orang-orang dungu. Aku menolak untuk takut jatuh terhadap jurang yang dibentuk kebodohan-kebodohan ini.

"Ada apa? Apa kalian ingin memenjarakanku dengan kesempatan ini, agar anakku mati? Lalu apa bedanya kalian dengan pembunuh anak kecil? Kalian sebut diri kalian manusia bermartabat? Betapa hina kalian menyembunyikan kehinaan kalian!"

"Diam kau! Diam, diam, diam!!"

Seketika tuan William memegang pundakku, diremasnya dan didorongnya diriku.

"Kau penyihir sialan, dan anak iblismu!” dia tatap diriku dalam nafasnya yang terputus-putus, "Mereka melihat anakmu ketika bermain, dan mereka sakit. Apa kau bilang ini bukan kebetulan?"

Seketika itu pikiranku kembali pada anak-anak yang bermain bola di depan, berbicara soal iblis yang mereka lihat di jendela, bagaimana aku ingin mengambil batu dan mematikan mereka semua. Kegilaan ini benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mereka menyusun pola-pola, titik-titik, mengaitkan bintang jatuh dengan malapetaka, bagaimana mereka mengaitkan anakku dengan penyakit mereka, dan kini segala hal buruk yang mereka arahkan ke anakku.

Mereka seperti menutup segala kemungkinan, seperti mata kuda yang mereka tutupi agar menatap pada satu arah. Mereka tutupi wajah mereka dengan topeng-topeng kebohongan, bersama-sama mengangguk pada asumsi liar mereka. Dari nenek itu, hingga pria ini, lalu tetua itu. Semuanya adalah mata rantai yang memojokkanku hingga berdiri di panggung ini. Sosok yang memiliki nalar, Aslan, mungkin juga mereka singkirkan dalam keadaan tidak sadar, takut celaka delusi mereka disilaukan cahaya.

Seketika pria-pria besar ini akan memegangiku, lalu tetua akan menjatuhkan hukuman padaku. Bukan hanya perihal aniaya, tapi juga kutukan desa, dan pembrontakanku di panggung ketidakadilan ini. Tetua si pemegang kunci pada akhirnya hanyalah sosok yang serupa dengan mereka, dipertaruhkan jabatannya yang dipercayakan masyarakat, disitu juga harga dirinya. Aku tahu tidak pernah ada yang namanya keadilan kecuali atas nama kesetaraan empati, dan aku tidak pernah di antara mereka. Aku bukan bagian dari mereka kecuali borok yang harus disingkirkan.

"Demi tuhan, damailah!"

Sang pendeta berdiri, menyelinap di antara massa yang berwajah masam. Dia manusia dihormati ketiga setelah tetua dan Aslan. Dia kini berada di antaraku, dan dilepasnya genggaman tuan William dari pundakku.

"Wahai nyonya Lenard, atas nama warga ini, dan atas nama tuhan, akuilah dosamu."

Tapi nyatanya pesuruh tuhan ini adalah wajah yang sama dengan warga desa.

"Lihatlah para domba yang dibingungkan oleh amarah ini, kumohon nyonya mengakui dan tentram kembali di desa ini."

Lalu ia ucapkan domba dan sebagainya, seakan dia adalah pengembalanya. Dia hanya orang-orang tersesat disini, sama dengan lainnya. Tangisku keluar dalam keputusasaan, tidak ada tuhan di panggung ini nyatanya. Pada akhirnya kubalas ucapannya, seakan aku mengucapkan pengakuan dosaku :

"Aku membaca kitab juga pendeta, aku akui disini diriku salah, tapi biarkan aku berbicara sebelum kalian membawaku dalam lubang yang kalian sebut penjara.”

Pendeta segera membuat orang-orang berhenti mengeremuniku. Dia biarkan aku berbicara, seakan aku berada di kotak pengakuan dosa, dia menyuruhku melanjutkan dalam senyumnya sebagai utusan tuhan yang maha pengampun, walau ampunnya adalah diriku yang diseret dalam lubang kakus.

“Ini kata-kataku terakhir, kukutip dari kitab agama kita.”

Senyum dari wajah pendeta memudar, dia tahu aku tidak mengatakan pengakuan dosa.

“Bahwa iblis bisa bersembunyi dalam cahaya malaikat, menyelinap dalam kulit-kulit domba. Pikiran mata mereka yang buta, nalar mereka yang mati, lidah mereka yang beracun, dan kepala mereka yang dipenuhi api.  Oh, iblis telah bersembunyi di antara benak manusia, mereka adalah pembunuh kebenaran, karena tidak pernah ada kebenaran di antara mereka. Ketika mereka berbohong, mereka berkata apa yang ada di dalam diri mereka sendiri, dimana mereka adalah ayah dari kebohongan itu sendiri.  Mereka yang penakut, munafik, pembunuh, mengimani kebohongan, menyembah kepalsuan..”

"Jangan kau ucapkan kata-kata suci dengan lidah kotormu itu!"

Seseorang berucap mengancam, tapi aku terus mengatakannya, di depan wajah pendeta itu yang tahu bahwa tidak ada ucapanku yang menyeleweng dari isinya, tapi tahu bahwa aku mengarahkan ucapan ini kepadanya, kepada seluruh warga desa. Kupegang pundak pendeta itu, kutatap matanya dalam-dalam, kalimat itu kukeluarkan dalam teriakku.

"Lalu tuhan berkata, terkutuklah kalian, terkutuklah dalam api neraka yang kekal!"

Aku seketika itu terduduk tunduk lemas, dan saat itu juga seketika orang-orang menarikku dari rambutku, menyeretku. Kemarahan mereka yang sudah sampai pada ujung ufuk, bahwa kata kutukku keluar dari kitab yang mereka baca. Ketika itu ujung tongkat tumpul menusuk perutku, dan wajah amarah tetua sama seperti warga desa. Mereka satu topeng, dalam rupa yang sama.

"Kau kutuk kami..hah?!"

Pukulnya tongkat itu ke arah wajahku, dan keras sekali hingga darah keluar dari bibirku.

"Brengsek!"

Lalu kaki para penarikku mulai menendang ke sekujur tubuhku. Baru kali ini aku dibeginikan. Sesekali ditendangnya perutku hingga muntahku dibuatnya. Pendeta itupun hanya terdiam takjub, dan wajahnya perlahan menjadi topeng yang sama juga, karena dia disamakan dengan iblis dalam cahaya tuhan. Kini aku akan dihancurkan, hingga berkeping-keping, lalu tinggal dibuang. Lalu doa dan harapku ke tuhan kini menjadi lebih membingungkan, karena tuhanku sama dengan mereka. Tuhan jelas tidak berpihak padaku yang kini ditendang-tendangnya diriku oleh kekesalan amarah warga desa. Tuhan berpihak pada yang menang. Aku tidak bisa berharap pada siapa-siapa. Pesimis melahapku bulat-bulat di dunia tanpa kemanusiaan ini.

"Ibu!"

Suara itu?! Oh tuhan, jangan kau beri aku bencana demi bencana.

"Racke.."

Di antara salju-salju tebal, manusia-manusia yang mengutuknya, bagaimana bisa dia sampai disini? Seketika itu kaki-kaki berhenti menendang, berputar mengarah pada pintu terbuka, celahnya memperlihatkanku sosok gelap anak kecil yang dibelakangi oleh cahaya. Kepalanya ditutupi oleh tudung yang mengembang. Matanya melotot, tangisnya keluar. Dia marah, marah bahwa ibunya diperlakukan semena-mena oleh warga desa. Tapi tidak, Racke, Larilah, mereka semata-mata melampiaskan ini kepadaku karena kau!

"Lari Racke! LARI!!"

Racke tidak juga berlari, tapi diam membisu.

Lalu wajah mereka, kemarahan mereka mengarah pada Racke. Tetua berteriak, bermaksud menghentikan amukan api, tapi tidak dibendungi. Dari tingkah tetua kini kuketahui bahwa mereka tidak ingin menjadi pembunuh anak kecil, maka karena itu mereka arahkan kemarahan mereka padaku, satu-satunya pendukung hidup anakku. Tapi tidak dengan kondisi mereka ini, hati mereka, apalagi nalar, sudah ditutupi oleh amarah, euforia untuk menganiaya seseorang.

Mereka akan menjadi pembunuh, mungkin saat ini dalam benak mereka adalah nantinya semua ini akan ditutupi, menjadi rahasia umum, atau mungkin diubah sedemikan mungkin hingga dibenarkan tindakan mereka, hingga aku dan anakku mati demi kebaikan warga desa ini.

Tapi aku menolak, aku menolak dan mengutuk dalam-dalam di hatiku tentang semua ini, tentang segala bentuk ketidakmanusiaan ini. Kupegangi kaki mereka, yang kemudian dibalaskannya hingga mengenai gigiku. Dalam tangisku aku berteriak: "Pukul aku, aniaya aku, bunuh aku, cambuk aku, tapi lepaskan anakku. Lepaskan.." Sebelum satu tendang membuat segalanya gelap.

...

Lalu seketika aku melihat lagi, semuanya sudah selesai dan bubar. Aku digopoh oleh pria-pria besar, para nelayan. Tangisku pecah, sedihku tak terbendung, hatiku hancur. Aku membayangkan Racke, anakku yang tidak bersalah, wajahnya lebam, darahnya yang kontras di salju putih tebal ini.

“Oh..oh..”

Oh, bunuh aku.. bunuh aku.. aku sudah tidak kuat lagi.

"Nyonya Lenard.."

Suara datang membisik, lembut, penuh sesal didalamnya.

"Racke baik-baik saja, kita datang tepat saat itu dan menahan mereka. Maaf, karena terpedaya dan tidak bisa datang, kau jadi celaka seperti ini. Aku tahu ada yang salah dengan desa ini."

Suara itu adalah suara Aslan. Aku memaksa menengok, dan kutarik nafasku dalam-dalam.

"Kumohon, selamatkan anakku.."

Aku tidak bisa berharap pada tuhan. Hanya pada manusia, hanya pada manusia saja yang masih memiliki martabat dalam hidupnya.

"Mereka ingin membunuh anakku."

*The Trial End*

Jumat, 25 Desember 2015

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 7

Chapter 7 :Prejudice

Langit yang suram pada pagi hari menurunkan lagi butiran-butiran saljunya yang perlahan tertiup angin, turun lembut membasahi wajahku yang kering. Kututupi kemudian kepalaku dengan tudung jaketku sebelum rambut ini dipenuhi dengan salju-salju putih tersebut. Angin kencang tetap saja masuk melalui celah-celah kancing, merasuk menusuk tulang, dan sekarang jelas musim dingin sudah mencapai masa puncaknya, hari-hari tersuramnya.

Saat itu sekitarku tidak jauh berbeda, kesuraman yang sama, dipancarkan oleh mata manusia-manusia berpakaian jaket tebal lusuh, kebanyakan dari mereka masih berantakan rambutnya, mata lelah mereka, dan jelas dari bau mereka yang samar tericium bahwa mereka belum bersentuhan dengan air hangat, mungkin karena ini masih pukul 6 pagi, tetua cepat-cepat mengadakan pengadilan agar aktivitas masyarakat bisa berlangsung normal. Sedemikian mereka terlihat terburu-buru bangun, semua tentu tertarik dengan apa yang terjadi, seorang yang mereka singkirkan dalam kehidupan sosialita mereka kini akan diadili akibat perbuatannya. Ibu dari seorang Iblis, dan hukuman ini kupikir akan sedikit melepas kekesalan mereka, walau pengadilan ini hanyalah kulit dari musyawarah desa untuk menyelesaikan perkara biasa, warga desa yang berkelahi.

Anehnya kutangkap dari mimik wajah mereka, senyum sinis, mengutuk, dan marah. Jelas bahwa mereka tidak mengutukku karena memukul seorang nenek penjual di pinggir pasar, yang biasanya secara suka rela ingin memberikan 2 roti, sayur, dan bumbunya demi 2 butir koin perak, empati mereka jauh dari itu. Mereka pastinya menyalahkanku lebih dari itu, dan mungkin karena musim salju yang memuncak ini, sayur yang susah tumbuh, dan ikan-ikan yang pindah menuju pesisir laut yang lebih hangat. Jelas itu bukan salah tuhan pikir mereka, karena sifat tuhan jauh dari itu, dan memang sifat dasar manusia yang butuh kambing hitam untuk ditunjuk. Apakah bisa menyalahkan alam? tapi apa gunanya mereka tunjuk alam yang tidak bisa berbicara, sedih, tersiksa sebagai pelampiasan? Maka mereka tunjuk anakku, yang mereka anggap anjing kurap yang bersembunyi di antara kulit manusia.

"Nona Lenard, anda sudah ditunggu."

Pria yang dari tadi mengetuk pintu, keras seakan ingin mendobrak. Dia memanggilku dengan sebutan 'Nona', tapi jelas dari tampangnya terlihat bahwa lidahnya pahit mengucapkannya karena yang dihadapannya tidak terlihat seperti nona, jauh dari itu, dan hanya suatu kebiasaan desa untuk menyebut wanita dengan sebutan nona. Tidak selembut ucapannya, tangannya mendekapku keras, seakan aku ingin berlari jauh meninggalkan perkara yang kubuat, seakan aku ingin dibawa ke tempat eksekusi mati.

Ketika itu aku sekali lagi berpikir, bukankah suasana ini mirip dengan suasana orang yang ingin dieksekusi mati?

"Lepaskan, aku bisa berjalan sendiri."

Aku berusaha menariknya, tapi dia tetap bersiteguh untuk mendekapnya. Aku menatap matanya tajam untuk meyakinkan ataupun membuatnya seram, entahlah, tapi matanya yang merah membalas tatapanku menandakan bahwa dia tidak akan berkutik.

Tunggu, merah? Apa dia baru saja menangis? Aku tidak melihatnya dari tubuhnya yang gagah, kumisnya yang tebal, dan kepalaku yang hanya sampai dadanya, dia terlihat baru saja menangis, dan aku tahu dia menyalahkanku atas sesuatu. Rasanya aku ingin berteriak, 'oh, tidak lagi', dan aku mulai berpikir lagi, apakah ini hanya soal perkaraku berkelahi?

Ketika itu dia menelan ludahnya, yang kupikir, dia memikirkan alasannya untuk masih terus mendekap tanganku seakan menahan pembunuh berdarah dingin, padahal yang dipegangnya adalah 'nona' yang jaketnya jika disentuh akan langsung membungkus ke tulangku, terlihat lemah dan lunglai, berjalan di atas salju saja susah.

"Ini perintah tetua."

Tentu itu alasanmu, dan untuk apa tetua takut bahwa aku akan berlari?

"Omong kos—Ah!"

Tiba-tiba sosok dibelakang pria tersebut mendorong kami, dan kita mulai berjalan. Sekali lagi, aku tidak bisa berjalan di antara salju tebal, terutama yang belum dibersihkan, tapi langkah pria di depanku ini cepat sekali dan memaksaku mengikuti langkahnya untuk bisa tetap berada disampingnya. Ketika itu tentu aku terjatuh, dan kemudian terseret. Tapi pria ini tetap berjalan, dan hal ini memaksaku untuk mencoba melepas jaketku sampai akhirnya dia menatapku, yang kubalas tatapannya dalam batin 'Lepaskan tanganku sialan!'.

Tapi tidak, dia tidak mengerti. Ditariknya lenganku, memaksa tubuh berbalut tulang ini tertarik, dan seakan lengan lunglai ini ingin lepas ditariknya. Dan 'Sreet', jaketku robek, lalu dingin luar biasa masuk ke dalam lenganku, dan kini aku merasa teraniaya, betapa seenaknya?

"Hei! Apa kau tidak bisa melihat bahwa aku.."

Belum selesai bicara pria tersebut menarikku lagi dalam diamnya. Dia tidak bermaksud ramah, dan diamnya terasa mengancam. Tarikannya yang kuat, seretnya yang memaksa, dekapannya pada lenganku yang erat, dia seakan sedang menarik sosok yang telah berbuat sesuatu padanya, atau keluarganya, atau mungkin binatang peliharaannya. Tapi jelas, aku merasa terancam, aku merasa ditarik pada ujung takdirku bahwa pembalasannya akan benar-benar setimpal, tentunya setimpal tersebut tidak menurutku, tapi menurut ekspetasi mereka, dan jelas bahwa hukumanku bukan berupa denda yang bisa kubayar dengan menimbang bukuku, atau memotong gajiku, atau memecatku yang membuatku terpaksa berburu burung, atau jika tidak terpaksa memakan tupai yang hibernasi di dalam pohon.

Hukuman yang mereka inginkan jelas adalah anakku yang juga kena timpalannya.

Tentu kini aku menebak terlalu jauh, dan rasa takut mulai muncul dalam benakku. Dikurung, hanya itu pikiranku, dan berarti itu hukuman mati bagi Racke. Bagaimana pula dia mendapatkan makanan di musim salju seperti ini, belas kasih? Tidak mungkin! Aku bahkan sudah berjanji pada Racke untuk kembali..

Dalam renungku saat itu, tiba-tiba terpecah suasana. Kulihat dari kerumunan manusia yang berusaha melawan tumpukan salju, mengerumuni, membentuk jalan sambil melihatku, teriakan seorang ibu yang melolong keras membuat keramaian pun ikut menengok, sedikit teralih dari betapa menariknya melihat kambing kurban ini.

"Nak! Jauhi dia!"

Ketika itu wajah lucu gumpal, kemerahan di pipinya muncul di antara kerumunan yang melihatku terseret dan berjalan terseok-seok. Wajah itu dengan polos menatapku, tapi dia terlihat kebingungan, seperti apa yang dilihatnya tidak seperti apa yang ia pikirkan.

"Bagaimana jika kamu sakit?"

Sakit? Memangnya aku wabah?

"Kamu ingin seperti teman-temanmu. Ayo pulang!"

Teman-temannya? Apakah ada epidemik di desa ini? Lalu apa hubungannya semua itu dengan mendekati diriku? Tentu saja perihal ini soal Racke bukan? Oh tuhan, kini kau pukul diriku dua kali.

Jelas, aku yakin, bahkan bukan praduga lagi. Pengadilan ini tidak akan berjalan seperti apa yang kupikirkan, horror yang kubayangkan akan terjadi. Aku ingin menenggelamkan kakiku di antara salju yang dalam, menjatuhkan diriku, terserah ia ingin menyeretku atau tidak dan aku tahu, pria besar ini cukup mampu menyeretku dengan cepat, perlawananku tidak berarti.

Jaketku yang robek ingin kupaksa hingga benar-benar lepas, melongsong licin keluar dari dekapan otot pria ini, lalu berlari menuju rumah, menyuruh Racke cepat memakai jaket lalu kita pergi dari sini, di desa yang ingin membunuhnya. Tapi mungkin jika kulakukan itu, bukan hanya pria ini saja yang mengejarku, tapi seluruh warga desa ini, dari wanita kurus sepertiku hingga pria besar biasa melakukan pekerjaan fisik. Sebelum sampai anakku sudah menghilang ditawan penduduk, memaksaku kembali menuju pengadilan, tentunya dengan hukuman tambahan.

Oh tuhan tolong kami.

Ah, lagi-lagi memang dasar. Kemunafikanku muncul lagi, berdoa disaat tertindas, tapi sejak kapan aku tidak berdoa ketika penindasan sehari-hari kuanggap normalitas. Tapi mungkin aku sudah kehilangan kewarasanku jika tidak ada satupun harapan yang bisa menjadi tempat menyenderkan kepalaku yang berat dengan paranoid yang kurasakan.

Kini mereka ingin melakukan sesuatu, memakai peluang dari perkara yang kubuat. Kini kulahap pikiranku soal letak keadilan untuk menjustifikasi perbuatanku. Aku menyesal, sangat menyesal, hingga jika saja ada nenek tersebut maka akan kucium kakinya, memohon maafnya, agar aku bisa pulang bertemu Racke lagi.

Oh, baru kali ini, tidak ada sejam melangkah keluar rumah dan aku sudah mulai merindukanmu anakku, mata birunya, rambutnya yang berantakan, dan senyum musim panasnya.

Aku ingin tidur bersamanya lagi, memeluknya, mencium bau rambutnya, yang kusesali baru kulakukan malam itu, menolaknya setiap hari atas nama duka kehilangan suamiku untuk menyiksa diriku sendiri. Sesalku lebih lagi karena malam itu hanya kuhabiskan dengan menangis, menangis memikirkan kepiluanku yang pernah membenci anakku sendiri.

Kini aku berdoa dalam hati, kututup mataku, dan kupercayakan langkahku pada pria besar ini.

'Oh tuhan tolong aku.'

Tidak, aku tidak realis soal itu, aku sudah celaka disini.

'Tolong Racke.'

Ya, aku hanya memohon itu saja, tolong dia!

Lalu seketika pikiranku disadarkan, kini kedua kalinya. Kakiku dibuat gemetar olehnya, bulu kudukku berdiri, keringatku keluar yang seketika menjadi bijih es.

Aku sudah sampai di gedung musyawarah desa, tepat di depan pintu besarnya.

***

Masuk dalam ruangan yang pintu besarnya dibukakan oleh para nelayan yang bertubuh besar, seketika aku melihat ke sosok-sosok yang sudah ada sejak pagi, sebelum diriku di ruangan aula yang secara ajaib berubah menjadi tempat sidang. Tak ada satupun sosok yang familiar dihadapanku, kecuali tatapan mereka, yang terasa sama saja. Ruangan ini dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdiri karena kursi yang disidiakan hanya pada baris depan saja. Saling kasak-kusuk ingin melihat, atau mungkin agar menghangatkan diri mereka dari dingin musim salju ini. Saat itu tidak ada di antara mereka yang membuka jalan, mungkin terlalu sesak, seharusnya mereka keluar dulu, tapi tidak mereka lakukan.

Aku menatap lelaki di hadapanku, dia melihat ke arah tetua di kejauhan yang menyuruhnya untuk cepat-cepat lewat gerakan tangannya. Dia lalu mengangguk, dan aku tahu, kita akan dipaksa masuk melalui lautan manusia tersebut.

Lalu pada barisan pertama, dan sesak, sesak sekali!

Pria yang menyeretku mungkin cukup kuat, kepalanya juga ada di atas langit untuk bernafas, tapi aku bersentuhan langsung dengan punggungnya, sesak tidak ada udara, dicekik oleh bau keringat warga-warga yang saling berdesakan.

"Aw!"

Saat itu terdapat yang memukul kepalaku, cukup keras hingga rasanya kepalaku lebam karenanya. Seperti teladan, kini yang lain juga ikut-ikutan, menampar, menarik jaketku yang kini robek, dan kupikir bukan hanya aku yang menjadi tersangka, tapi semua orang yang kulewati sudah bisa dihukum atas nama penganiayaan terhadap diriku. Saat itu tiba-tiba seseorang memegangi pipiku, membuatku menatap ke matanya.

"Gara-gara kau!"

Sosok wanita, mengenakan gaun hitam tanda berbelasungkawa, matanya dan hidungnya merah sekali dan ingusnya yang keluar segera ia bersihkan. Dia pasti baru saja menangis tersedu-sedu, dan aku hanya bisa menatapnya bingung dengan pikiran 'aku bahkan tidak mengenalmu, dan apa pula yang kulakukan padamu!?'.

"Anakku.. Kembalikan anakku!!"

Lalu lepas tangannya dari pipiku, dan aku terbawa arus lautan manusia lagi. Kini aku ingat kisah nenek itu, yang menamparku dari ucapan Aslan, bahwa cucunya baru saja meninggal. Ingatanku kembali juga pada anak di jalan tersebut yang diteriaki oleh ibunya. Lalu mungkin juga, sosok yang menarik keras lengangku saat ini. Mereka jelas ingin menyaksikan sesuatu yang lain, pengadilanku atas anak-anak mereka, dan mereka tidak akan puas jika saja aku tidak mendapat balasannya.

Seketika lautan manusia tersebut menghilang dan aku dihadapkan dengan kursi, rasanya kepalaku ingin melayang, diikuti hidungku yang memaksa udara dingin ini segera masuk memenuhi paru-paruku.

"Silahkan duduk Nona Lenard."

Dilepaskan tanganku dari dekapan pria tersebut, dan sakit, darah rasanya tidak mengalir dari lengan kananku. Pria tersebut segera duduk di barisan depan, dan aku merasa bahwa matanya masih tajam menatapku, dan perasaan itu membuatku berusaha untuk tidak menengok ke arahnya.

Aku kemudian duduk sambil memijati tanganku, mencoba mengalirkan darah lagi sebelum dingin ini memakan tanganku, dan baru kusadari bahwa disebelah kananku jauh, terdapat nenek tersebut, yang kupukul, dan kuludahi, Martha, dan anaknya yang merupakan nelayan yang baru saja kehilangan bayinya.

Ketika itu aku berpikir lagi, siapa saksi perkara ini. Aku menengok ke kiri, ke kanan, dan di balikku. Aslan, dia saksi semua ini dan juga yang bertanggung jawab di lokasi pasar, lalu jelas bahwa dia manusia paling waras disini, tapi dimana dia?

"Mohon maaf, Aslan pelapor dan yang bersedia menjadi saksi tidak bisa datang karena urusan di laut yang mendesak."

Pukulan ketiga hari ini, aku tidak percaya bahwa sosok sepertinya masih mementingkan laut dibandingkan nasib seseorang yang dia sadar, bahwa aku tidak memiliki harapan disini. Tapi salahku berharap pada orang asing, bahkan sehari yang lalu sebelum momen itu dia bukan apa-apa bagiku, kecuali kisah penuh bangga ibu-ibu yang kudengar lewat telinga, dan benar ucap mereka, dia adalah pria yang tinggal di laut.

"Sebagai gantinya, William anak buah Aslan yang kebetulan berada di lokasi yang menggantikan."

Sosok berkumis itu, yang badannya besar itu, yang matanya merah itu. Ya, sosok yang selama itu menarikku, dia yang ternyata menjadi saksi. Kini kuingat-ingat lagi, ah, dia yang pertama kali menarikku ketika bersilat lidah dengan nenek tua bangka sialan tersebut, tertawa terbahak-bahak ketika nenek tersebut menampar pipiku hingga biru lebam.

Tapi aku tidak pernah ingat dirinya, di mataku dia sama saja dengan pria-pria besar lainnya, yang pada sore hari setelah melaut, duduk-duduk bersama seperti nelayan lainnya minum arak hingga mabuk, rupa mereka yang terlihat sama membuatnya tidak kelihatan.

"Baik tetua.."

William saat itu berdiri, dia yang sudah berada di kursi penonton yang berada di baris depan. Mukanya lurus, matanya tajam, ucapannya sigap. Batinnya terlihat siap untuk menghadapi semua ini, dan batinku semakin mengecil ciut karenanya. Dia akan memojokkanku, dan aku akan habis dalam pengadilan ini. Lalu jika saja tetua membiarkan penonton sebagai juri hasil pengadilan ini, maka dia sama saja melemparkanku ke laut yang penuh dengan hiu. Aku rasanya ingin sekali menutup mataku, dan jika saja boleh, menutup telingaku.

"Dengan ini, sidang kita mulai!"

*Bersambung*

Selasa, 08 Desember 2015

Naqoyqatsi - Chapter 15

ELEGIA
by Reza Pratama Nugraha



Kaca itu muncul di hadapanku. Kusam, dengan retakan pada sisi kiri dan kanannya. Ketika itu senyumku muncul dari sisi kiri, melebar sampai pinggir pipiku. Matanya juga, berkedip seperti bermain dan menggodaku dengan alisnya yang menukik ke atas. Tapi itu bukanlah aku, tetapi sesuatu yang merasukiku, menyelinap di antara kulitku, menyerupaiku. Aku bisa melihat sosok jahat dari ekspresi yang dia keluarkan, dan kini dia mengambil alih tubuhku.

“Hahaha, apa yang kau pikirkan? Aku bukan dirimu?!”

Dia tertawa hingga menekuk badannya dan memegang perutnya. Apa yang lucu dari semua ini?

“Aku adalah kamu Balthiq, kita adalah dua sisi dari koin yang sama!”

Dia bisa mendengar pikiranku!

“Ya, karena ini kepala kita.”

Tidak, siapa kau?

“Bukankah dewa sudah menjelaskannya? Aku selalu berada disisimu seperti bayangan. Kau selalu menahanku, menolak keberadaanku. Nafsumu, kebencianmu, kesombonganmu. Tetapi mengelak bukan berarti semua itu tidak ada, kenyataannya adalah hal itu muncul dalam batinmu dan kau menyimpannya di dalam lubuk hatimu.”

Kau tidak nyata, kembalikan tubuhku..

“Tidak Balthiq, aku nyata, lebih nyata darimu. Aku yang kau selalu timbun, bertubi-tubi hingga menggunung. Kau hanya tidak sadar, segala pilihanmu ketika kau berlari, menyerang, berteriak, semuanya adalah aku Balthiq, kalbumu. Tapi kau menyangkalnya, menganggapku tidak ada.”

Aku takut. Ketika itu rasanya pandanganku buyar. Mata kananku mulai mengedip di kaca tersebut, dan itu bukan kendaliku.

“Bukankah kita sudah bertemu kematian, kehilangan kesadaran, dan lenyap di antara besarnya samudra?”

Tetap aku takut..

“Kau bisa melihatku, menonton di tempatku selama ini. Lihatlah Balthiq, lihatlah dirimu yang sesungguhnya. Telanjang, tanpa rantai, etika, moral, dan apapun yang mereka berikan padamu. Lihatlah dan dengan bangga menyebut dirimu sebagai ‘aku’ yang sesungguhnya, tanpa presepsi seseorang yang mengekang tubuhmu lagi.”

Hah..

Hahaha..

Jadi ini rasanya memiliki kendali atas tubuh? Nikmat, nikmat sekali!

Oh diriku, kau sungguh menyia-nyiakan tubuh ini bukan? Liat tubuh ini! Oh tuhan, tertutupi oleh rambut kumalmu, kulitmu, wajahmu yang seperti diasapi tiap hari, dan ditambah kini dengan hidung bengkokmu, tulang pipi yang remuk dan bibir yang sobek, kau seperti mosaik, dan aku tidak yakin terdapat sihir yang dapat menyembuhkannya.

Aku buruk rupa, terima kasih diriku yang lain.

Sekarang aku harus kembali ke dunia nyata, menyelesaikan urusan yang telah kita perbuat, sekaligus berterima kasih pada Man Yi, memberikan hadiah yang kita sebut sebagai ‘Empati’.

***

"Ah Balthiq, disitu kau rupanya!”

Wajahnya tampak ceria ketika akhirnya menemukanku di antara kabut yang tebal, dan saat itu juga dia mengeluarkan pisaunya. Ah, dia ingin kematianku berada di tangannya bukan, pada detik-detik terakhir nafas berada di tenggorokanku? Tidak, aku sadar selama ini, senyumnya mengartikan sesuatu yang lebih dari itu.

Selagi itu, tubuhku kini mati rasa. Tentu saja aku mengetahuinya dari pikiranku selama ini, tapi baru aku tahu bahwa rasanya begitu mengerikan ketika tidak ada darah yang mengalir dikulitmu, hingga kulitmu membiru, dan aku tahu, beberapa menit lagi kulit ini akan menghitam.

“Oh Balthiqku sayang..”

Man Yi kini duduk menatap wajahku yang juga menatapnya miring, aku sama sekali tidak bisa menegakan kepalaku. Ketika itu pisaunya bermain di antara dagu hingga leherku, dan ketika pisaunya menusuk di bagian luar kulitku, tidak ada darah yang mengalir.

“Lihatlah, ini tanda ketika ruhmu sudah hampir lepas dari dagingmu.”

“A..k..u..”

Bibirku susah untuk digerakan, dan aku ingin mengatakan padanya bahwa diriku tahu bagaimana rasanya mati. Ketika ruh lepas dari daging seperti tubuhmu dirobek menjadi dua dengan tangan kosong. Sakit, sangat sakit, hingga tidak sakit sama sekali.

Saat itu jari Man Yi menempel pada bibirku, menurunkan pisaunya.

“Jangan berbicara Balthiq, kau menghabiskan energimu. Nikmati semua ini, kau akan mengenangnya. Nafasmu, sensasi ketika ruh masih menempel pada badanmu, kerapuhan ini.”

Ah, aku sungguh menikmatinya Man Yi, sungguh-sungguh menikmatinya.

“Kau setuju soal ini? Aku bisa melihatnya di matamu, kau sudah benar-benar mengingatnya!”

Dia kembali mendekatkan pisaunya ke leherku.

“Aku akan menyelesaikannya, oh Balthiqku sayang.”

Tapi tidak, terima kasih.

Aku lalu membayangkannya, ketika sebagian ilmu dewa menyatu dalam pikiranku ketika kontrak dibuat. Daya tarik antar benda, tidak, lebih kecil, berat, bukan, massa, ya dewa menyebutnya itu. Massa bumi, matahari, lalu..lalu..

Intinya, kau jatuh Man Yi, tertarik oleh massa bumi, kau jatuh sekarang juga!!

“Ah!”

Man Yi tiba-tiba terjatuh, dan kini wajahnya tercecer oleh darah yang menyentuh pipinya. Berkali-kali dia mengangkat badannya, dan dia tertarik lagi ke bumi, seakan dia melekat dengannya.

“T..unggu..”

Kekuatan ruhku sudah penuh terisi oleh dewa yang merestuiku. Aku mengucapkan mantra penyembuhan, menutup lukaku, mengembalikan sirkulasinya, membuat sesuatu dalam tubuhku kembali mengisi darah yang habis keluar. Perlahan rasa sakit muncul, sensasi yang sungguh menyenangkan, lalu kulitku kembali mengeluarkan warnanya. Beberapa lama kemudian aku mulai merasakannya, jariku yang mulai bergerak, nafas yang terisi penuh pada paru-paruku, otakku yang merasakan sensasi lega seketika darah mulai mengalirinya. Pikiranku benar-benar pulih, suara sorak ramai dan pandanganku menjadi sangat jelas.

Bukankah ini sangat curang, sembuh total setelah babak belur?

“Kau..”

Man Yi sekuat mungkin menengok kepadaku, lucunya, mulutnya dipenuhi oleh darahku, dia pasti terjatuh dengan mulut terbuka.

“Apa kau tidak sadar, kau terlihat lucu sekali Man Yi.”

Aku tertawa, dan Man Yi terlihat kesal.

“Apa kau benar-benar Balthiq?”

“Tentu saja, Man Yi, kau sudah sadar selama ini bukan?”

Saat itu aku melepaskan sihirku, dan dia langsung meloncat menjauhiku, dan membuat busur di tangannya.

“Kau bertemu dengan dewa.”

“Karena kau.”

“Hah, kekuatan yang muncul mendekati kematian, klise sekali. Berarti kau harus berterima kasih padaku, dan kuharap kau tidak lagi memberikan pertarungan yang membosankan Balthiq.”

Man Yi tersenyum sambil mengeluarkan panahnya, dan menembaknya dari kejauhan, melewati persis pipiku hingga berdarah dibuatnya.

“Aku yakin kau belum paham benar kekuatanmu.”

Cepat, sangat cepat, aku tidak bisa membayangkan kekuatanku terhadap panah tersebut. Kekuatanku juga tidak bisa menggapainya dari kejauhan, aku segera tahu kelemahan kekuatan ini, atau mungkin aku belum benar-benar paham mengenainya.

“Kali ini aku tidak akan meleset Balthiq!”

Ketika busur kedua ditarik, aku segera melihat panah dibelakangku. Mengamatinya, dan aku segera sadar bahwa dia terjatuh di lorong yang panjang ini. Apa yang membuat tarikan busur yang memberi dorongan pada panah menghilang? Angin? Atau juga.. ah!

Aku segera melompat, dan panah tersebut benar-benar melewati celah antara badan dan lenganku. Saat itu aku melihatnya, lintasan pada panah tersebut, lurus, melengkung, jatuh. Ya, jatuh ke tanah, dan aku paham bahwa lintasan panah tersebut berada pada kuasa kekuatanku!

Kali ini Man Yi tidak berbasa-basi dan lansung menarik busurnya sekali lagi. Kali ini aku takkan menghindar dan mengandalkan keberuntunganku lagi. Aku membayangkan lintasan itu, dan aku memberi besaran sedikit lebih besar pada kuasaku, membuat perhitungan Man Yi meleset.

Panah tersebut lalu terlontar, dan terjatuh tepat di depan kakiku.

“Kau sudah memahaminya hah?”

Lalu dia melontarkannya lagi, tiga panah kali ini dalam satu busurnya dan dia lontarkan ke atas.

Tapi tidak jauh berbeda, dengan memahami bahwa terdapat gaya yang menariknya kebawah, maka cukup dengan menambahkan salah satu elemennya, dia akan meleset, dan sekali lagi ketiganya menancap di depan kakiku.

“Tidak berguna.. tapi jelas kau tidak bisa menyentuhku dari kejauhan.”

Dia mengamatiku, dan aku mengamatinya. Dia akan mengeluarkan trik baru, dan aku harus dengan cepat memahaminya sebelum kematian menghampiriku. Ketika itu Man Yi memecah busurnya, namun tidak mengubahnya menjadi apapun. Dia tersenyum saat itu.

“Kau berubah Balthiq, nadamu, gerakan tubuhmu. Kau tersenyum menikmati panah-panah tersebut melewatimu, kau.. sangat berbeda, tapi sungguh familiar..”

Aku ingin menjawabnya, tapi pose tubuh dan gerakan tangannya menandakan dia sedang mengeluarkan sihirnya. Dimana, bawah, kiri, kanan, atau.. Atas!

Aku segera melompat kekiriku, dan sadar bahwa terdapat lantai yang berubah menjadi bilah pisau, hampir tepat mengenai pipiku ketika meloncat. Aku melihat dari kejauhan, atap runtuh menjadi bilah-bilah pisau yang jatuh menghancurkan lantai. Dia mengubah seluruh tempat ini menjadi senjata!

“Lihat, kau tersenyum lagi.”

Ya, aku tersenyum. Sangat menyenangkan, ini sangat menyenangkan!

“Dan aku merasa lega melihatmu seperti ini, aneh sekali.”

“Karena kau melihat sosokmu dalam diriku, itu sudah jelas bukan?”

“Begitukah?”

Sekali lagi dia membuat atap-atap berjatuhan, dan aku sadar bahwa seluruh lantai disekitarku berubah menajadi bilah pisau. Orang-orang yang mengitari juga berlari menjauh ketika menyadari bahwa lama kelamaan lantai diubah oleh sihir Man Yi. Dia serius kali ini, menganggapku sebagai ancaman besar.

Ketika segala jenis senjata, pisau, tombak, dan sebagainya berjatuhan dari atas, aku segera meloncat, dan menghilangkan gaya yang mengekangku. Jauh, hingga melewati para penonton, luar dari jangkauan lantai-lantai tersebut, tapi ketika senjata tersebut berjatuhan mengejarku, senjata tersebut juga mengenai penonton dibawahku. Aku cukup cepat saat itu hingga menyentuh lantai kembali.

“Ahh.. ayolah Balthiq, aku membunuh penonton jadinya.”

Sorak ramai meriah menjadi kengerian. Tubuh mereka terkoyak-koyak, beberapa hidup dan aku melihat beberapa di antara mereka yang selamat berusaha menarik pedang-pedang dari perut seseorang yang malah membunuhnya, dan lucunya lagi, beberapa berusaha menyembuhkan temannya yang bahkan sudah tidak bernyawa.

“Ah..haha..hahaha..”

Kenapa kalian terlihat sedih? Oh tuhan, bukankah ini ironis sekali! Aku tak bisa menahan tawaku, dan mereka semua menatapku, benci, pasti menyalahkanku. Bayangkan jika aku yang terkoyak-koyak tadi, tangan dan kakiku terpisah dari badanku, kepalaku sobek hingga kalian bisa menendang-nendangnya seperti bola sepak, pasti kalian sedang tertawa terbahak-bahak, seperti apa yang kulakukan sekarang!

“Kau melihat ini lucu Balthiq?”

Ketika itu Man Yi berjalan mendekatiku, membuat senjata-senjata tersebut menghilang menjadi debu dan membuat penonton membentuk jalan sambil menyeret tubuh teman mereka.

“Apa ini terlihat lucu olehmu Man Yi?”

“Tentu saja, apa menurutmu ini tidak lucu?”

Aku masih tertawa kecil, menghapus air mata di kelopak mataku.

“Kau monster..”

“Tidak Man Yi, bukan aku, tapi kita, kita adalah monster di tempat ini.”

Man Yi kembali membuat seluruh atap menjadi senjata, dan aku mulai berpikir sampai mana aku bisa memanipulasi kekuatan ini? Bukankah kekuatan ini maha luar biasa dahysat seperti apa yang dewa sebut? Bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari ini, bahkan waktu? Bagaimana jika seperti ini, bumi kuanulir dari massa pertama, lalu yang relevan hanyalah senjata yang menjatuhiku?

Ketika benda tersebut jatuh dengan kecepatan tinggi akibat dorongan di belakangnya, entah kekuatan apa yang Man Yi berikan, aku segera membayangkan kekuatan tersebut. Cukup menyerap ruhku, tidak sesederhana yang kukira tapi bekerja. Senjata tersebut yang memiliki massa yang sama tiba-tiba saling menabrakan dirinya sendiri, seperti magnet, dan hancur berkeping-keping seketika kulepas kekuatanku.

“Bagaimana bisa..”

“Kekuatan yang mengerikan bukan?”

Mengerikan, tapi terbatas. Jika dia mengeluarkan kekuatan tersebut dua kali lagi, maka kekuatanku akan terkuras. Aku tidak bisa main-main lagi, aku harus segera menghentikan pertarungan ini secepatnya.

Saat itu aku segera melompat, membuat tubuhku melayang mendekati Man Yi. Seketika dia membuat sekeliling lantainya menjadi bilah pisau dan mematerialisasikan tombak di tangannya, aku segera membuat Man Yi melekat ke lantai, dan jatuh tepat di atas tubuhnya, menungganginya.

“Kau!!”

Dia sekali lagi ingin mengeluarkan kekuatannya, dan dia tidak menatap mataku saat itu.

“Kenapa kau tidak menatap mataku, atau..”

Kau butuh melihat lokasi untuk menggunakan sihirmu?

Aku segera membayangkan, apa yang berada di mata kita sesungguhnya? Air? Atau semacam itu? Bagaimana jika aku mengubah berat didalamnya, membuatnya lebih berat 1x, 2x, atau 20x?

“AGHHH!!!!”

Mata Man Yi memerah, dan merah tersebut mulai memenuhi putih matanya, dan kemudian DUAR! Meledak! Aku tidak mampu membayangkan betapa kagetnya diriku saat itu, dan kemudian betapa kencangnya aku tertawa. Oh seperti itukah jika aku bermain kekuatanku pada mata seseorang?!

“Mati kau, mati!!”

Man Yi berusaha mengangkat tangannya, menggapaiku sebelum tangannya melekat ke lantai kembali. Kali ini dia menggaruk-garukan kukunya ke lantai, dia pasti sangat kesakitan sekarang, sekaligus kehilangan pandangannya menjadi hitam ataupun merah pasti membuat Man Yi kehilangan kewarasannya.

“Tenang Man Yi, pus..pus.. Begini, aku hilangkan rasa sakitmu, tapi kita akan mengobrol seperti orang waras oke.”

Aku segera menggunakan sihirku, menutup lukanya, tapi tidak memulihkan pandangannya. Nafasnya mulai teratur kembali, dan air matanya mengalir. Ternyata tanpa mata kita masih bisa mengeluarkan air mata.

“Kenapa kau ingin membunuhku Man Yi?”

“Jelas bukan?!”

“Tidak, tenangkan dirimu Man Yi, dan pikirkan baik-baik. Kenapa kau begitu bahagia ketika diriku mendekati kematian, kenapa kau terasa begitu lega ketika nyawaku sudah sampai pada tenggorokan seperti apa yang kau bilang tadi. Kenapa kau begitu menikmatinya, kenapa hatimu berasa begitu baikan melihatku seperti itu.”

“Hahaha! Kau sudah gila! Aku hanya ingin membunuhmu, itu saja!”

Tidak Man Yi, kau lebih dari itu, kau lebih dari pembunuh berdarah dingin.

“Kau melakukan itu atas nama empati. Kau berempati padaku, sampai-sampai ingin membunuhku. Aku tahu, kau tidak tertarik pada Guo Rong, tapi aku? Jelas, kau sangat menikmatinya.”

“Aku sudah melakukan ini berkali-kali Balthiq..”

“Melakukan ini berkali-kali pada sosok sepertiku, bukan?”

Man Yi tiba-tiba tertawa, selagi air matanya keluar secara deras dari matanya.

“Empati kau bilang? Ya, bisa jadi. Aku benci dunia ini, benci sekali. Aku bertanya padamu Balthiq, apa kau pernah merasa diberi pilihan? Tidak Balthiq, tidak sama sekali, kita hidup sesuai dengan peran kita, budak, majikan, dan sebagainya. Aku hidup sebagai gadis, boneka, budak, dan kini senjata, apapun status yang melekat padaku. Aku benci, benci, benci, hingga..”

Man Yi berhenti sebentar, menelan ludahnya sebelum melanjutkan kembali.

“Hingga kematian.., kematian adalah pengampunan.”

“Kau ingin memberi pengampunan padaku.”

“Kau mirip denganku. Ketika mereka sadar bahwa aku membunuh segalanya dengan sihirku, aku dibawa kesini. Gadis yang dipinggirkan sebagai pembunuh, tidak tahu diuntung sebagai bangsawan, dan pelacur.. Kau juga sama saja, matamu juga, dan aku tahu, nasibmu akan lebih buruk.”

“Dan kau mengubahku, mengubahku menjadi dirimu.”

“Tapi kau berbeda Balthiq, kau mahluk yang lebih mengerikan dari diriku. Apa yang terjadi padamu Balthiq, apa yang terjadi padamu?”

Aku tertawa, tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Man Yi.

Apa? Apa yang terjadi padaku? Oh, banyak sekali hingga diriku yang lain menyangkal keberadaan diriku. Baru dilihat secuil apa yang kurasakan, dia sudah teriak-teriak sendiri.

“Ya, aku berempati padamu Balthiq, aku sungguh-sungguh mengasihanimu. Kau bahkan sudah gila karenanya!”

Tiba-tiba tanah bergetar, dan semua orang berteriak tentang atap. Aku segera melihat keatas dan melihat Man Yi mengubah seluruh atap menjadi pedang, berkumpul membentuk kerucut mengarah pada kita. Apa dia ingin membunuh dirinya sendiri bersamaku? Kekuatan sebesar ini pula bisa menghabiskan seluruh ruhnya.

Tiba-tiba tangan Man Yi mengcengkram lenganku, keras sekali, dia membuat tangannya menjadi besi.

“Kita mati bersama Balthiq! Pengampunanku, dan pengampunanmu. Kita akan lepas dari dunia baik ini!”

Aku menatap ke atas, dan mengetahui alasan bahwa benda-benda itu mengarah pada kita. Aku sadar bahwa Man Yi tidak mengetahui lokasi dimana dia mematerialisasi senjatanya, tapi dia cukup tahu bahwa ada atap di atasnya, dan atas adalah lokasi yang abstrak, sehingga dia memutuskan untuk mengubah segalanya menjadi senjata. Lalu lokasi senjata itu melesat? Dia cukup tahu dimana lokasinya sendiri, dan jika aku melarikan diri, itu sama saja bunuh diri, sehingga dia membuatku terjebak bersamanya.

“Hahaha.. kau benar-benar mengasihaniku bukan Man Yi!”

Tapi tidak, aku cinta dunia yang kau sebut baik ini.

Aku segera berpikir, tidak berguna jika kubuat ratusan senjata itu saling melekatkan dirinya sendiri, aku tak punya kekuatan sebesar itu.

Tapi.. tapi bagaimana jika kekuatanku tidak ada di antara mereka. Kemana mereka jatuh? Kemana? Ah, mereka tidak jatuh bukan?

Aku segera memfokuskan kekuatanku pada pemikiran tersebut, seketika senjata tersebut ingin jatuh dan melesat pada kita, kubuat senjata tersebut menjadi kehilangan arahnya. Seketika mereka melayang, juga air mata Man Yi menjadi titik-titik bola yang melayang di udara.

Tapi kekuatanku habis saat itu juga, dan ratusan senjata itu jatuh seketika membuat guncangan besar di lantai, dan kerusakan yang luar biasa besar.

“Jadi itu kekuatan penumpasmu Man Yi? Mengerikan..”

“Kau.. menghentikannya..?”

Saat itu aku tahu Man Yi kehilangan ruhnya, dan perlahan tubuhnya akan berubah menjadi debu.

“Kau tidak boleh mati Man Yi.”

Aku segera memberikan Animaku ke dalam tubuh Man Yi, membuatnya kembali menjadi utuh, tapi tidak cukup kuat untuk kembali berdiri walau kekuatanku telah kulepas darinya. Saat itu aku juga sadar bahwa lengannya menghitam, setelah membuat besi melapisi tangannya, dia secara tidak langsung mematikan bagian tubuhnya menjadi besi, dan bagian tersebut secara cepat membusuk.

“Aku tidak bisa merasakan tanganku.. Bunuh aku Balthiq..”

“Mereka akan memotongnya, dan kau akan hidup.”

“BUNUH AKU BALTHIQ!!”

Man Yi berteriak, dan tangis masih mengalir dari matanya. Aku bisa melihat di lantai, di sekitar kepalanya bahwa banyak air mata yang bergelinang.

“Apa yang bisa kulakukan dengan tubuh ini? Aku buta, buntung! Bunuh aku, kumohon.. bunuh aku..”

“Kau tidak sadar Man Yi, ini hadiahku padamu, rasa terima kasihku padamu. Empatiku adalah tidak bersimpati denganmu.”

“Apa maksudmu Balthiq..”

“Aku benci ketika seseorang mengasihaniku, aku benci tatapan itu, tatapan ayah dan ibuku, tatapan adikku, tatapanmu.. Jika kau bilang hidup ini baik, ya, hidup di dunia ini adalah neraka yang sesungguhnya. Di dunia setelah kematian sana tidak ada neraka Man Yi, aku sudah merasakannya, ketenangan dan kesunyian yang abadi, kehilangan dirimu sendiri di antara lautan kesadaran lainnya, dan aku benci itu. Hidup di neraka ini lebih menarik dari itu.”

Man Yi terdiam, dia pasti sudah lelah atau kehabisan kata-kata.

“Karena itu, aku tidak sedikitpun mengasihanimu, aku hanya akan benar-benar membencimu. Hidupmu selama ini seperti apa? Boneka pelampias seksual para bangsawan itu? Lalu menjadi senjata manusia? Bagaimana dengan menjadi parasit? Hidup buta dan buntung, seumur hidup dikasihani, diberi makan, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Oh tuhan, mati lebih baik dari itu.”

“Oh Balthiq..oh..”

“Itu empatiku Man Yi, aku membalas maksud baikmu.”

Ya, rasakan itu Man Yi, rasakan menjadi manusia paling menyedihkan, sangat menyedihkan.. Ah, parasit, aku benar-benar suka kata tersebut.

“BALTHIQ!!”

Guo Rong..

Aku menengok kebelakang, terdapat Guo Rong yang berjalan terseok-seok didampingi Li Ling.

“Kau.. Kau bukan Balthiq!”

“Aku Balthiq Guo Rong, Aku Balthiq dari kalbu terdalamnya.”

Ya, kau tidak bisa menyangkalnya. Kau bahkan belum mengenalku lama.

“Tidak, matamu.. matamu seperti orang mati..”

“Hah?”

Mataku seperti orang mati? Lalu bagaimana dengan mata diriku yang lainnya? Hidup?

“Kembalikan Balthiqku! Kembalikan Balthiqku yang lembut. Dia tidak akan melakukan hal keji seperti dirimu!”

“Oh Guo Rong, kau..kau..”

‘Kembali, kembali, kembali kau sialan!’

Aku belum selesai, bisakah kau diam sebentar!

Hei, ah.. Sedikit teriakan dan kau bisa sekuat ini. Baiklah, apa yang kau lakukan Balthiq? Apa yang akan kau lakukan dengan kondisi yang kubuat ini? Kau tetap akan membuatnya hidup bukan? Aku tahu kau akan melakukannya, dan itu yang seharusnya kita lakukan bukan?

'Aku akan melakukan apa yang seharusnya kulakukan.'

***

Aku kembali, dan melihat seluruh tempat ini hancur berantakan. Sekitarku tertimpa oleh senjata-senjata yang tadi melayang dan jatuh tak tentu arah. Suara saat ini hanya dipenuhi teriakan rasa sakit, dan tangis, tidak ada sorak gembira yang sebelumnya kurasakan. Guo Rong saat itu merasa lega melihatku, dia seperti bisa membedakan siapa aku yang sesungguhnya.

“Kau kembali Balthiq..”

“Ya..”

Aku kembali menatap Man Yi yang tergeletak tidak berdaya. Dia masih menangis memohon.

“Bunuh Aku Balthiq.. bunuh aku..”

Aku mendekatinya, dan menatapnya. Dia yang kini tidak berdaya, dengan air matanya yang kini berubah menjadi darah, sesuatu dalam matanya pasti kembali terluka dan bercampur dengan air matanya.

“Pengampunan..”

Dia menginginkannya.

Aku mengambil pisau diantara puing-puing.

“Balthiq, hentikan..”

“Tidak Rong-chan.. aku tidak akan mengikuti ‘dia’, aku..”

Aku menyangkalmu, diriku yang lain. Aku bukan kau, dan aku adalah aku..

“Aku akan memberimu pengampunan.”

Aku segera membangunkan Man Yi, menerkam pisau tersebut kelehernya. Saat pisau tersebut menembus di sisi luar Man Yi, dia tersenyum, dan mengeluarkan kata-kata terakhirnya.

“Terima kasih Balthiq.. terima kasih..”

Darah yang secara deras keluar membasahi wajah dan tanganku yang memegangi kepalanya hingga nafasnya habis. Dia menutup matanya, tersenyum, dan aku.. aku merasa aneh. Melihat darah di tanganku, merah gelap, menghitam, hatiku merasa kosong, lalu perasaan janggal ini tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuhku.

Aku tidak merasakan lega dalam hatiku, ada sesuatu yang salah.

‘Sudah kubilang bukan?’

Diam!

Aku kembali menatap Guo Rong yang menutup mulutnya dengan tangannya, dia kemudian berteriak melihatku yang masih berlumuran dengan darah Man Yi.

“Ya, ini yang harus kulakukan.”

Ini yang harus kulakukan..

***Chapter Elegia : End***