Jumat, 29 April 2016

Vandalisme di Wajah Rini (Bagian 2)

Rini kembali datang ke tempat psikiatris itu, masih menggunakan baju sekolahnya, dia sama sekali tidak membuang waktunya untuk pergi ke tempat ini. Kantung matanya membengkak oleh tangis, ia tidak lagi merias wajahnya, dan hatinya sangat dongkol hingga ia ingin meledakannya di hadapan psikiatris ini. Ketika itu mungkin sudah 15 menit Rini menunggu dan dokter itu belum datang-datang juga, sampai akhirnya bunyi gagang pintu terdengar dan keluar wajah wanita itu. Baju jas yang dia gunakan kini berwarna coklat dengan rok pendek hingga lututnya. Masih tetap trendy pikir Rini, bahkan terkesan ingin kencan.

Maaf telat kata psikiatris tersebut, Rini tersenyum bilang tidak apa. Psikiatris tersebut segera duduk, keringat keluar dari dahinya membuat Rini tahu bahwa sang psikiatris mungkin berlari, peduli bahwa pasiennya menunggu. Psikiatris itu sadar bahwa Rini baru saja menangis dan menyuruh Rini bercerita apa yang dialaminya tanpa berbasa-basi, dia sadar waktu pertemuannya sudah terpotong karena telatnya, dan ia punya schedule lain setelah ini.
Rini melihat psikiatris itu, lalu tangan kanannya segera mengambil kaca dari sakunya sampai sang psikiatris menahannya dengan refleks.
“Apa yang ingin dek Rini lakukan?”
“Aku harus tahu, kau bisa jadi tidak bisa kupercaya seperti teman-temanku, bagaimana aku mau bercerita?”
Sang dokter akhirnya paham bahwa Rini ingin melihat pemikiran sang dokter terhadap dirinya. Dia benar-benar tidak paham apa yang kukatakan kemarin, pikir sang psikiatris.
Sang psikiatris menghela nafasnya saat itu, katanya Rini harus percaya seratus persen padanya tanpa mengandalkan kaca itu. Dia boleh mengeceknya setelah pergi dari sini, tapi untuk tidak mengganggu proses analisis agar sang psikiatris mampu memahami dan mampu menjelaskan, Rini harus menceritakan keluh kesahnya kini tanpa terpengaruh faktor lainnya, seperti saja, kaca yang Rini pegang itu.
Rini kembali mengantungi kaca kecil itu di sakunya. Ia menangis dulu, dan sang psikiatris memberinya tisu. Sedikit ia mengintip ke jam, mungkin pasiennya yang satu ini memang akan sedikit lama. Rini akhirnya mampu menahan tangisnya, mengeluarkan isi ingusnya ke tissue itu dan kembali bercerita.
***
Ibu Rini makin menganggap ada yang aneh dengan anak gadisnya ini. Dia tidak berdandan, dan tidak minta untuk didandani. Ia bangun pagi sekali, masak telur sendiri, bikin teh sendiri dan langsung berangkat tanpa dijemput pacarnya. Sang ibu segera menemui anaknya itu di pintu depan, ia ingin katakan sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi pada akhirnya hanya satu kata yang keluar: Gak salim Rin? Rini kusam wajahnya, tapi salim juga lalu pergi.
Dalam hati Rini tetap dongkol terhadap orangtuanya, terutama sang ibu. Dia ingin saja saat itu pergi, tapi Rini berpikir juga jika dia lakukan yang seperti demikian, sang ibu tetap tidak akan mengerti, toh itu dihatinya saja kan? dan malah menimbulkan tulisan baru dijidatnya. Ia putuskan untuk salim, itu juga mungkin karena Rini tetap sayang dengan ibunya.
Telah sampai di sekolah, Rini baru menyadari sepinya sekolah jika datang pagi-pagi sekali. Ia lihat jam, masih 30 menit lagi, dan ia telah menyiapkan kaca kecil dari tempat bedaknya, ia tahu anak-anak yang datang kebanyakan sendiri-sendiri membawa motor, tidak pernah berbarengan, paling-paling jika memang sudah dekat bel sekolah. Disini Rini bisa melihat, menyeleksi satu-satu siapa yang menilainya buruk, siapa yang sebut dirinya kafir, jelek, bodoh, dan lain-lain. Rini ingin buat perhitungan dengan orang-orang yang menilainya seperti itu.
Krek! Masuk seseorang, dan Rini lihat masih 20 menit lagi. Rajin sekali pikirnya. Orang tersebut adalah Nur Jannah yang kerudungnya begitu panjang, lengan panjang, rok panjang, benar-benar muslimah menurut Rini. Dia berkata selamat pagi ke Rini sambil tersenyum, dan senyumnya segera hilang ketika ia duduk di meja, segera membuka bukunya. Rini berpikir kenapa Nur Jannah tidak basa-basi padanya, seperti saja dia bertanya “Tumben kamu berangkat pagi?” dan semacamnya. Dia malah duduk tidak memedulikan sosok Rini, dan Rini sendiri sebenarnya sadar bahwa dia tidak dekat dengannya, mungkin dalam soal menyontek PR dan tidak lain.
Rini lihat kacanya saat itu, dan ketemu satu! Jadi dia! Brengsek! Pikir Rini. Tulisan kafir, bodoh, dan lacur keluar dari wajahnya, dan itu ulah Nur Jahanam di hadapannya! Ya, mulai sekarang Rini akan menyebutnya sebagai Nur Jahanam.
Rini segera berjalan dengan langkah besar, sampai suara Nur Jahanam yang menghinakan itu keluar mendengar langkah itu.
“Mau minjem PR aku lagi Rin?”
Brengsek, brengsek, brengsek! Pikir Rini. Saat itu Rini berpikir bahwa Nur Jahanam pasti menganggap Rini sebagai cewek yang rendahan sekali hingga mendekatinya saja dikira mau mencontek PRnya, walau Rini pikir saat itu dia memang belum mengerjakan PRnya setelah nangis semalaman, ah, bahkan memang biasanya Rini tak pernah mengerjakan PRnya. Apa aku tunda dulu marahnya dan pinjam PR Nur Jahanam ini? Pikir Rini. Tidak!
“Kenapa kamu pikir aku mau minjem PR kamu Nur?”
“Memang mau apa lagi?”
Suaranya terdengar kecut, Rini semakin kesal jadinya. Nur Jahanam juga tidak menyempat diri menengok, berbicara dengan tatapnya yang terus pada buku pelajaran itu, terlihat sombong sekali pikir Rini.
“Kamu sombong yah Nur, bicara gitu sama aku?”
“Kita memang gak pernah deket kok.”
Brengsek, apa anak ini memang tidak seramah ini? Pikir Rini. Rini mengingat-ngingat kembali, anak ini sebenernya ramah dengan sekitarnya, murah senyum, sering bercanda juga, pintar, ciri-ciri gadis favorite di kelas. Hanya dengan Rini saja, mungkin juga geng-geng Rini anak ini bersikap tidak acuh. Kini mereka hanya sendiri, dan Rini benar-benar terkagetkan dengan sikap yang berubah sedrastis ini. Rini tak berpikir aneh-aneh karena anak ini tak pernah mengeluh ketika dimintai PR, ataupun ketika diconteki. Apa dia sedang lagi ada masalah? Pikir Rini. Kini Rini malah simpatik sama teman di depannya ini, dan sedikit lupa soal tulisan di wajahnya. Dia ingin bertanya pada Nur, apa ada masalah dengan kamu?
“Nur—“
“Bisa diem gak sih!”
Akhirnya menengok gadis berkerudung itu. Ia buka tasnya, dan ia banting buku itu di lantai. Rini terkagetkan oleh sifat Nur yang tiba-tiba agresif seperti ini, tepatnya ia murka. Wajah Nur sendiri terlihat memerah, giginya terlihat dan ia rapatkan. Badannya tegak, wajah ia naikan, ia tunjuk bukunya sambil menatap Rini.
“Ambil tuh buku, jangan ganggu aku lagi.”
Suaranya Nur kini ragu, sesungguhnya sikap ini spontanitas dari Nur yang mulai dongkol dengan keberadaan Rini. Dia melihat ke arah Rini, dan mata Rini saat itu sudah melotot, urat nadi keluar dari dahi Rini.
“Brengsek!”
Teriak Rini memenuhi ruangan, dia berjalan ke arah Nur dengan langkah besar sambil menatapnya tajam. Tiba-tiba keluar air mata dari Nur. Rini sesungguhnya terkenal beringas di SMAnya, terutama masalah laki, Rini adalah sosok yang tidak segan membuat perhitungan. Nur Jannah mulai menyesali spontanitasnya.
“Brengsek! Bangsat! Anjing kamu!”
Rini tarik jilbabnya yang panjang itu, dan ia seret wajah itu ke dekatnya. Nur melawan, membuat kaca Rini jatuh. Sekali Rini menengok, kaca itu sudah terbuka memperlihatkan wajah Rini dengan tulisan ‘Kafir’ dan ‘Lacur’ yang membesar di wajahnya, menutupi tulisan-tuisan lainnya. Rini murka melihatnya.
“Kamu pikir diriku ini siapa hah?! Udah sok suci kamu lempar buku kayak gitu?”
“Lepasin!”
“Kamu anggap aku apa? Kafir, Lacur? Memang kamu gak jauh beda, jalang!”
Nur terlihat bingung dengan ucapan Rini, dan ketika Nur mendorong badan Rini, Rini memaksa menarik Jilbab Nur hingga lepas dari kepalanya. Kini rambutnya terurai, dan terlihat rambut keriting Nur, dan Rini yang melihat itu segera menginjak-nginjak kerudung Nur yang berada di lantai sambil tertawa.
“Ini standar suci hah? Karena ini kali kamu anggap aku lacur? Kafir? Tahik kali! Aku tahu kamu sadar pas ngaca kalo gak ada laki yang napsu liat muka kamu, jelek kayak taik, rambut keriting udah kayak jembut, makanya kamu nutupin pake kerudung ini kan? Nur Jahanam!”
Nur murka, dan tubuhnya tanpa sadar terbawa seperti kesurupan, berlari menuju ke hadapan Rini dan segera menjambak rambut Rini. Rini berteriak kesakitan membalas menjambak. Kini mereka saling jambak-jambakan sambil memaki, kaki saling menendang selagi sempat. Saat itu Rini juga Nur Jannah saling mengeluarkan air mata, sakit, kesal, mungkin juga sedih.
“Woi Rini sama Nur Jannah berantem!”
Seseorang teman datang melihat. Pertama yang muncul adalah laki-laki yang biasanya sengaja datang pagi biar bisa ngerjain pr di kelas, mereka jadi lupa akan hal itu dan asik menontoni mereka berantem, kapan lagi ada perkelahian seasik ini pagi-pagi? Lumayan biar gak ngantuk. Kedua teman-teman cewek datang, dan mereka cukup bijak untuk mencoba melerai, tapi perkelahian cukup dahsyat dengan sumpah serapah yang keluar dari mulut Rini membuat mereka ketakutan, dan kagetnya lagi, kata-kata buruk itu keluar juga dari mulut Nur yang terkenal alim. Seseorang segera memanggil guru, tapi mereka begitu lama tidak kembali-kembali. Lalu datang terakhir teman-teman geng Rini, dan mereka yang berhasil menahan pundak Rini.
“Rini udah sih!”
“Dia yang mulai duluan, si Nur Jahanam anjing ini!”
Mereka akhirnya berakhir dipisahkan ke mejanya masing-masing. Nur lelah, dan rambutnya keritingnya kini terlihat acak-acakan, pemandangan yang belum pernah laki-laki lihat sehingga mereka saling membicarakan bahwa ternyata wujud Nur Jannah seperti itu sesungguhnya. Nur Jannah saat itu segera menangis, dan kawan-kawan sekelas mulai kasihan padanya. Sstt, udah jangan nangis Nur, Si Rini itu yang salah, memang kayak gitu orangnya.
“Hei, jaga mulut kalian!”
Rini berteriak ke arah mereka, dan mereka menatap Rini yang masih berusaha ditenangkan, tatap mereka tajam menilai, tapi akhirnya mereka diam juga. Ketika itu Rini sadar kaca bedaknya yang tadi jatuh di bawah lantai, ia berjalan menjauhi teman-temannya menuju kaca itu. Saat itu sudah terbuka tempat bedak tersebut, isinya bertebaran, dan kilau menutupi mata Rini oleh cahaya matahari yang masuk lewat kaca dan ketika ia mulai bisa melihatnya, ketika itu juga ia menangis sambil kesal.
“Brengsek..”
Ia tatap teman gengnya, lalu ia tatap orang-orang yang berada di sekeliling Nur Jannah.
“Brengsek kalian semua.”
Wali kelas masuk, dan yang ia datangi segera adalah Nur Jannah. Ketika itu juga ia tatap Rini, bersiap untuk membentaknya dan menyuruh Rini pergi ke ruang guru.
“Anjing.”
Rini segera berlari keluar dari kelas, tasnya tertinggal di kursinya, ia tidak peduli.
***
Angin semilir hingga kencang menyibak rambut Rini. Ia memeluk kuat kekasihnya yang melaju kencang seketika menemukan jalan di aspal di pelosok jauh dari kota. Suatu saat seorang petani tua penuh dengan keringat dengan paculnya naik dari sawahnya, ia sudah begitu lelah hingga rasa-rasanya kakinya sudah susah untuk dilangkahkan. Tempat ini biasanya sepi, tapi ia dengar suara bising dari kejauhan, dan ketika menyebrang, sosok yang jauhnya terlihat seperti titik tahu-tahu sudah di hadapan sang petani tua. Ia lupa lelahnya dan meloncat jauh, jatuh dan merosot ke sawah yang penuh lumpur. Ia teriak “ASU!” tapi motor itu sudah jauh melesat tidak mendengar.
Rini saat itu menengok kebelakang, orang yang loncat itu sudah jauh dari jarak pandang. Pacarnya memang seperti ini, jika ada orang menyebrang ia malah menggas penuh hingga ia duluan yang melewati jalan itu. Pemotor gila ini mungkin sering sekali menabrak orang, dan dia hanya peduli soal kecepatannya yang tidak terhalangi oleh seorang pejalan kaki, yang pasti bukan siapa-siapa, karena pikirnya pejalan kaki kan tidak punya motor apalagi mobil, berarti dia secara terang-terangan memperlihatkan kemiskinannya, kan begitu? Apa ia pantas membuat motornya melambatkan kekencangannya? Omong dia ke Rini ketika suatu saat Rini mengeluh padanya perihal ini. Rini sedikit tersinggung, ayahnya jalan kaki lalu dengan kereta ke kantor walau dia punya mobil dirumah gara-gara jalanan macet.
Ah, tapi Rini tetap sayang pacarnya, karena hanya pacarnya itu yang memahami dirinya. Lihat, ketika ia curhat di telpon bahwa dia tidak ingin sekolah dan ingin curhat, langsung dijemput dia dan dibawa cabut ke tempat yang jauh dari kota, yang asri dan sepi, betapa romantisnya?
Kini mereka telah sampai di suatu jembatan, diantara sungai dengan batu-batu besar, namun sepi. Disini memang tempat dimana mereka sering mencurahkan hati mereka, saling bermadu-maduan sesama kekasih, dan dunia seakan milik mereka sendiri disini, semoga tidak diciduk warga. Rini duduk di bawah jembatan yang teduh itu selagi sang kekasih menaruh motornya di atas jembatan. Ketika itu ia lihat tanah-tanah yang basah tanda air sungai baru saja naik setelah hujan, kini air itu mengalir lembut di antara bebatuan yang memecah arus, tapi tidak ada satupun capung yang berkunjung seperti bagaimana lokasi pelosok lainnya, di kejauhan terdapat pabrik semen yang asapnya mengepul dan sungai ini diam-diam telah kotor, tapi mana lagi memang sungai yang tidak kotor?
Selagi hanyut dalam pikiran, datanglah sang pacar kembali sambil bawa minuman, dua kaleng green sand sudah tidak dingin. Mereka berdua kini duduk bersampingan, Rini mendekatkan diri selagi pacarnya mengalungkan tangannya di leher Rini. Ketika itu Rini ingin bercerita, tapi tangan sang pacar tiba-tiba liar merayap ke tubuh Rini.
“Ih, aku mau cerita dulu!” Rini berteriak kesal, sang pacar menghentikan tingkah lakunya itu.
Rini mulai bercerita tentang Nur Jannah, sang pacar ngangguk-ngangguk padahal dia tidak paham apa dan siapa yang Rini bicarakan. Rini mecoba menjelaskan segalanya tanpa menyebuti perihal penyakitnya, takut pacarnya ilfil. Rini sadar bahwa dia bahkan belum bisa terbuka pada pacarnya sendiri.
“Yah pantes digituin dong?”
“Tapi temen-temen gak ada yang belain aku, bahkan mereka pikir aku yang salah..”
“Kan ada aku sayang?”
“Ah kamu!”
Rini yang mendengar itu menjadi manja, mencium pipi sang pacar. Melihat lampu hijau tersebut, sang pacar mulai merayap lagi dan kini Rini biarkan.
Diam-diam angin berhembus menilisik leher Rini dan Jepri yang masing-masingnya sudah melorot dan mereka tidak pedulikan. Mereka terbawa dalam nafsu kebinatangan mereka di tempat kotor oleh tanah basah, dan sungai polusi limbah pabrik. Dalam panas kepala itu, ciuman-ciuman itu, sang pacar sudah mulai ingin menyantap Rini bulat-bulat. Ketika itu, tepat saat itu juga, Rini yang bertatap-tatapan dengan mata sang pacar tiba-tiba melihat dirinya, dan terdapat tulisan besar baru tertempel di wajahnya. Kotor tulisan itu, jorok dan menghinakan sekali. Bahkan Rini enggan memikirkannya, tidak etis. Rini tak percaya pacarnya memikirkan itu padanya. Perlahan sosok dihadapannya telah berubah menjadi binatang birahi dan Rini sebagai pelampias birahi tersebut. Ketika itu air mata Rini tak tertahankan, dia menangis sambil mendorong sang pacar, perlahan menjauhinya.
“Kenapa Rin?”
Rini mulai berdiri dan mengancingi bajunya lagi, sang pacar mulai merasa marah tidak dapat penjelasan.
“Woi, kenapa sih kamu Rin!”
“Aku gak nafsu Jep.”
Pacarnya tersinggung karena libidonya lagi naik-naiknya, dia tidak tahan lagi, ingin meledak. Dia segera menarik baju Rini, hampir-hampir bajunya itu robek. Spontan kaki Rini melayang dengan kencang berlandas tepat di skrotum sang pacar. Terbayang dua telur itu pecah, nyeri yang perlahan memuncak, dan seketika mata sang pacar memutih sambil berteriak “UAASUUU!!!!”
Rini panik melihat pacarnya gulang-guling di tanah basah itu, lama-lama jatuh dalam linangan lumpur, ia tidak peduli, nyeri di antara selangkannya benar-benar mengambil kendali dirinya. Rini ambil tasnya, ia segera pergi menjauhi sang pacarnya itu. Di jalan sambil menunggu kendaraan umum ia sadar, tempat ini sepi sekali tidak ada siapapun, tak ada yang namanya kendaraan umum, manusianya saja jarang. Rinipun tahu betapa jauhnya kota dari sini.
Di bawah jembatan sang pacar sudah mulai menenangkan dirinya. Matanya memerah oleh air mata, ingus belepotan di wajahnya. Ia masih tidak bisa rasai selangkannya, libidonya jumplang jatuh. Ia duduk menenangkan dirinya, menenangkan burung dan telurnya, dan tiba-tiba terdapat suara langkah mendekat. Gadis sialan itu kembali dengan wajah seakan ia tidak bersalah, tanpa minta maaf dia bicara pada pacarnya itu.
“Anterin aku pulang Jep..”
***
Diceritakan itu semua pada sang psikiatris yang keasikan mendengar cerita Rini. Ditanya Rini apakah sang pacar benar-benar mengantarkan pulang, dan iya katanya, bahkan dia tidak memukul atau mencoba berdebat mulut. Setelah mengantar ke tempat ini, sang pacar minta putus, dan Rini mengabulkannya. Sang psikiatris menghela nafas lega, memang tak ada bekas kekerasan di wajah Rini walau apa yang ia lakukan kepada pacarnya tersebut.
Kini telah selesai cerita Rini, dan sang psikiatris mulai berpikir bahwa perkembangan dari penyakit Rini tidak baik, bahkan berpotensi destruktif pada kehidupan sosial Rini karena ketidakpahaman Rini perihal penyakitnya yang merupakan alam bawah sadarnya sendiri, dan bagaimana Rini merespon hal tersebut. Melihat Rini dan kepolosannya, sang psikiatris merasakan terdapat alternatif yang baik selain hanya menyembuhkannya, yaitu mengikuti maksud dari alam bawah sadar itu sendiri yang mencoba memberitahu Rini sesuatu hingga ia muncul memberikan bentuk. Walau beresiko, mengembangkan kondisi dan kualitas hidup pasien pikir sang psikiatris akan menghasilkan hasil yang lebih memuaskan.
“Dek Rini, sepertinya dek Rini salah paham dengan apa yang kemarin saya jelaskan.”
“Memang gak paham. Mba ngomongnya ribet gitu.”
“Dek Rini ingin jadi lebih baik setelah ini atau ingin sembuh saja? Setelah semua yang dialamin dek Rini hari ini?”
Rini tidak begitu memahami apa yang psikiatris ini maksud dengan sembuh saja, atau menjadi lebih baik dari sekarang, bukankah sembuh itu lebih baik dari pada sekarang? Jika harus bicara, Rini sesungguhnya hanya ingin sembuh, tapi dari tatap dan suara sang psikiatris, Rini mulai memikirkan apa yang terjadi hari ini secara sungguh-sungguh. Jika saja Rini tidak berulah, mungkin semuanya baik-baik saja. Tapi penyakit ini memaksanya untuk bertindak, memaksanya ingin melabrak orang-orang disekitarnya. Dia sadar, dialah yang mengacaukan segalanya.
“Ingin jadi lebih baik..”
Sang psikiatris menghela nafas, entah mengapa terdapat keraguan dari dirinya melakukan ini. Dia menjelaskan dengan rinci apa yang Rini harus lakukan, dan persyarat-persyaratan yang harus Rini ikuti. Rini mengangguk, ia tinggalkan kaca bedaknya di meja sang psikiatris, berjanji untuk tidak akan menggunakannya lagi sampai ia sembuh.
Ketika Rini pergi, sang psikiatris kembali melihat jamnya. Telah lama ia telat dari schedulenya, bertemu pacarnya di hotel, sang pacar pasti marah besar dan ia seringkali memukul jika marah. Tapi setelah mendengar cerita Rini, entah mengapa ia tidak begitu merasa bersalah, pikiran pria mau bagaimanapun memang seperti itu bukan, dominansi terhadap wanita? Sang psikiatris tadinya ingin memikirkan seribu alasan, tapi akhirnya ia tidak peduli.
Ia ambil kaca itu yang sudah tidak ada bedaknya, dan menaruhnya di tas. Setelah itu ia keluar dari ruangan, melihat dari kejauhan Rini menunggu angkutan umum. Ia segera mengunci pintu dan segera pergi memesan taksi sambil mendatangi Rini untuk mengantarkannya pulang sebagai permintaan maaf telatnya tadi. 

Sabtu, 16 April 2016

Vandalisme di Wajah Rini (Bagian 1)

Bau alkohol yang khas, ruangan yang serba putih, gorden hijau yang menutupi jendela menyisakan cahaya sore yang sedikit, disebelahnya terdapat suatu televisi kecil yang membentuk garis naik turun berbunyi dengan ritme yang stabil. Rini sadar dia telah terbangun di rumah sakit setelah mimpi lamanya, dan ingatan terakhirnya adalah dirinya yang terpeleset dari tangga ketika ingin segera menonton sinetron koreanya di tv. Suster yang masuk terngaga melihat Rini, ia jatuhkan papan tulis yang berisikan laporan pasien dan berlari menuju ruang dokter. Sang dokter yang berada di meja kerjanya saat itu melepas nafas lega, perasaan senangnya bahwa tidak ada yang salah dari operasi yang ia jalani kemarin. Ia segera memberitahukan lewat telpon kepada orang tua Rini yang sedang bekerja bahwa anaknya telah siuman.

Dokter segera masuk ke kamar dan memeriksa denyut nadi dan pupil mata Rini, normal katanya. Saat itu Rini bertanya apa yang terjadi, dan dokter menjelaskan secara singkat bahwa Rini telah koma 3 hari ini, ia jatuh dan mengalami gegar otak. Menurut pengetahuan orang tua, Rini katanya sempat bangun kembali, namun segera pingsan kembali. Sampai dirumah sakit, keterangan tersebut menandakan gegar otak yang berat dan harus segera dilaksanakan operasi. Setelah operasi untuk menghentikan pendarahan, kondisi Rini telah baikan namun kesadaran yang tak kunjung pulih membuat sang dokter khawatir bahwa terdapat efek samping dari operasi atau benturan, syukur dia tidak melihat hal yang seperti itu.

Saat itu Rini yang menyadari dirinya jatuh dari tangga dengan panik segera menyuruh suster mengambilkan kaca. Bagaimana mukanya? Bonyokkah? Ada yang terlukakah kulitnya? Suster dan dokter yang melihat tingkah Rini langsung tertawa, berkata bahwa dari segala hal yang dialaminya malah Rini mengkhawatirkan wajahnya. Selagi dokter izin keluar untuk melihat keadaan pasien lainnya, sang suster segera membawakan Rini kaca, dia bilang Rini tetap cantik, tanpa cacat.

Tapi ketika kaca itu berhadapan dengannya, Rini langsung berteriak kencang. Sang dokter yang sudah ingin keluar segera berbalik menuju Rini. Ada apa katanya? Suster juga panik melihat Rini tak henti-hentinya berteriak menatap wajahnya. Orang-orang di lorong segera melihat ramai di kamar itu, orang yang berada di sebelahnya juga, orang tua Rini yang saat itu berada di lorong segera berlari panik menuju kamar anaknya yang dikerumuni orang-orang.

Rini melihat wajahnya telah hitam, hitam seperti sebuah papan tulis. Dan saat itu muncul perlahan kata-kata yang menempel pada wajahnya, tulisan kapur putih.

Jelek.

Menyusahkan,

Narsis.

Rini melempar kaca itu hingga pecah.

***

Beberapa hari kemudian setelah Rini sudah bebas rawat, ia segera diperiksa di ruang CT Scan, menjalani MRI, EEG, dan berbagai nama pemeriksaan otak lainnya yang Rini juga orang tuanya sendiri tidak mengerti arti ataupun kepanjangan dari serangkaian pemeriksaan itu, namun kata dokter tidak ditemukan kejanggalan apapun dalam otaknya, kadar hormonnya pun diperkirakan normal. Akhirnya sang dokter yang mengurusi Rini menganjurkan Rini diperiksa oleh seorang psikiatris kenalannya sebagai hipotesisnya mengenai kondisi paska trauma operasi, dan tentu orang tua Rini tidak setuju. Psikiatris seringkali dikaitkan dengan penyakit jiwa, dan mereka menolak bahwa anaknya Rini adalah seorang sakit jiwa. Tapi keputusan ada ditangan Rini, dan Rini menyetujuinya. Dia tidak peduli apa yang terjadi, dia ingin normal, dan ia tidak tahan untuk tidak bisa melihat wajahnya sendiri, dan tulisan-tulisan buruk yang menempel pada wajahnya benar-benar menganggu batinnya, ia tidak mengerti kenapa tulisan itu bisa muncul.

Rinipun akhirnya datang menemui psikiatris tersebut pulang sekolah. Ruangannya seperti bayangan Rini di film-film, sebuah kursi panjang yang mampu dipakai untuk bersender, pencahayaan yang redup tapi nyaman, bebauan aromaterapi, dan banyak sekali lemari buku dengan isi yang tidak Rini mengerti, bahasanya jelas bukan bahasa indonesia, bahkan bukan bahasa inggris.

Lalu muncul psikiatris tersebut, seorang wanita setengah baya dengan baju jas hitamnya. Rambutnya terurai sebahu diwarnai coklat. Dia terlihat pintar dengan kacamatanya frame tipisnya, dan kini sedang mengutak-ngatik file Rini, file dari sang dokter mengenai treatment dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada Rini. Sang psikiatris yang telah memahami isi file segera menaruhnya di meja, dan duduk berhadapan dengan Rini. Psikiatris itu awalnya langsung memperkenalkan diri, Nina katanya, dan setelah mereka saling berkenalan, Rini memperbolehkan sang psikiatris memanggilnya dengan awalan ‘Dek’ biar akrab. Mereka saling berbasa-basi, dan beberapa saat kemudian sang dokter akhirnya memulai pembicaraan sesungguhnya, dia bertanya mengenai keadaan Rini dan Rini menjawab seadanya.

“Jadi dek Rini tidak mampu melihat wajah dek Rini sendiri, bahkan sampai di foto-foto? Terlihat tulisan aneh yang segera menempel di wajah dek Rini, seperti saja, ‘menyusahkan’ seperti itu?”

Rini mengangguk.

“Tak adakah kejadian spesifik bagaimana tulisan-tulisan itu muncul?”

Rini mulai mengingat, dan ingatan itu kembali ketika ia pergi ke sekolah setelah kesembuhannya. Ketika itu dia memutuskan untuk tidak mempedulikan sesuatu yang abnormal ini, dan memutuskan untuk pergi ke sekolah setelah dikatakan bebas rawat.

***

Rini duduk dihadapan ibunya yang mencoba meriasnya. Sang ibu sesungguhnya tidak tahu bagaimana biasanya Rini menghias wajahnya, tapi Rini bersikeras untuk didandani. Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri di kaca, atau lebihnya lagi ia tidak tahan. Sang ibu memakai alat-alat yang diberikan, membedakinya, menguncirnya, memberikan apa yang Rini katakan sebagai eyeshadow pada matanya. Sang ibu ingat ketika kecil ia tidak pernah seperti anaknya ini yang begitu peduli pada penampilannya. Pada zamannya, penampilan macam anaknya ini pasti sudah dikatai.. Ah, bagaimana seorang ibu bisa berpikir demikian pada anaknya? Pikir sang ibu.

Ketika itu Rini segera bertanya pada sang ibu apakah dirinya sudah cantik? Sudah katanya, tapi sang ibu tidak yakin apakah gaya meriasnya persis seperti anaknya yang berbeda generasi ini, dan dia hanya bisa bilang betapa cantik anaknya seperti ibunya dulu. Rini tersenyum pahit, ia tidak pernah melihat ibunya sebagai sosok cantik. Tak pakai kerudung? Kata ibu. Tidak usah, tidak ada pelajaran agama, kata Rini.

Rini saat itu segera berangkat dengan rambu terurainya, dan namanya kebiasaan, menuju ke arah pintu keluar dia langsung mengecek wajahnya di kaca pajangan yang dekat dengan ruang tamu, dan ada tulisan baru dijidatnya.

Lonte.

Rini kaget, sejak kapan tulisan itu ada disana? Rini mengabaikan tulisan itu, dia tidak seharusnya melihat kaca, dan segera pergi menuju sekolahnya, dijemput pacarnya Lucky dengan motor ninja hijaunya.

***

Rini masuk dalam kelasnya, dan kawan-kawan segengnya segera berlari menyambutnya. Sang laki yang mengantar sampai depan pintu segera mencium pipi Rini sebelum kembali ke kelasnya membuat Rini malu dihadapan teman-temannya yang mensuit-suit dirinya. Ketika Rini sudah duduk di meja dan meletakan tasnya, kawan-kawannya itu segera berkumpul mengerumuninya, bertanya-tanya mengenai apa yang sebenernya terjadi. Jatuh dari tangga? Kok bisa, sedang mau nonton korea? Operasi? Koma 3 hari? Maaf tidak menjenguk, sibuk mau UN. Setelah itu pembicaraan kembali ke topik biasa, soal sinetron korea yang Rini sempat tertinggal 3 episode, toko es krim yang baru saja dibuka, bicara soal laki, dan harus ditunda pembicaraan ini karena guru masuk, si walikelas, dan melihat Rini, walikelas segera mengucapkan selamat bahwa Rini telah kembali.

Rasanya hari berlangsung baik-baik saja, walikelas berusaha untuk tidak menunjuk Rini kedepan ketika terdapat kegiatan tunjuk menunjuk, dan seringkali wali kelas menunjuk Rini untuk pertunjukan bagaimana siswa yang tidak belajar dipermalukan. Sang walikelas mencoba menahan diri. Rini saat itu sudah mulai lupa tentang kondisinya, sampai ia tiba-tiba ingin kebelakang. Rini minta izin, dan minta ditemani teman sebelahnya Iis. Ketika Rini memasuki WC, tak sengaja ia menegok ke kiri dan spontan ia berteriak. Iis yang berada di luar segera masuk, melihat Rini telah terjatuh di lantai sambil menunjuk ke kaca.

“Kamu kenapa Rin?”

“Siapa itu Is?

Iis tidak melihat sesuatu, dan Rini berdiri melihat kaca itu kembali.

Disitu terdapat sosoknya dengan gores-gores kapur yang menggerogoti wajahnya, tulisan itu begitu mengerikan, suatu kapur yang seakan ditekan keras hingga tergores kasar di papan hitam wajahnya itu. Jelek, Lacur, Goblok, Telmi, Ceroboh, Kafir, dan lain-lain. Tulisan itu bukan saja menggerogoti wajahnya, tapi hingga leher ke dada seakan tidak cukup wajah itu menjadi tempat cemooh. Iis bilang bahwa Rini pasti kelelahan karena operasi di kepalanya, dan ketika itu Rini melihat langsung telah muncul tulisan baru di dadanya itu, Sinting.

***

Rini menjelaskan pada psikiatris itu mengenai keadaannya saat itu, bagaimana tulisan itu mendadak memenuhi seluruh badannya ketika memasuki kelas. Psikiatris itu bertanya, bisa hilangkah tulisan itu? Ya, dan tidak. Rini telah 3 hari ini pergi ke sekolah, dan tulisan itu setelah tidur akan menghilang beberapa, tapi akan terisi lagi memenuhi badannya ketika memasuki kelas, dan kadang beberapa tulisan seperti goblok, dan narsis terlihat selalu melekat pada dahinya.

“Aku ingin kau besok kembali kesini, tapi dek Rini, kamu ingin tahu pendapatku mengenai keadaanmu itu?”

Rini mengangguk. Sang psikiatris segera menyilangkan kakinya, membuat dirinya nyaman sebelum menjelaskan kepada Rini, mencoba menjelaskan seringan mungkin hingga orang yang dihadapannya ini mampu memahami isi penjelasannya. Singkatnya, ia bilang bahwa tulisan itu adalah pikiran orang terhadapnya, walau tidak demikian tepat, sesungguhnya semua itu adalah hasil dari interpetasi alam bawah sadar Rini sendiri terhadap presepsi orang kepada dirinya. Rini berkata bahwa dia masih belum paham, tapi ia paham sedikit soal kalimat pertamanya,dan sang psikiatris menganggap bahwa Rini punya kecerdasan dibawah rata-rata.

***

Rini tidak memahami definisi dari interpetasi alam bawah sadar, bahkan dia tidak tahu arti dari kata ‘interpetasi’, apalagi ‘alam bawah sadar’, bukankah itu yang sering diucapkan para pelaku hipnotis di televisi? Tapi ia jelas tahu bahwa apa yang tertulis di tubuhnya adalah tanggapan orang padanya, dan menyadari itu, seakan penuh kemarahan dalam hatinya. Siapa? Siapa yang berkata demikian? Kenapa kalian mengumpat dibelakangku? Pikir Rini.

Rini akhirnya memutuskan untuk mengetahui siapa yang berpikiran buruk padanya, seorang kawan tidak mungkin melakukan ini padanya. Kalau tidak salah dari novel teenlit yang dibacanya, bukannya sebuah persahabatan seharusnya merupakan tanpa syarat, jujur, terbuka, dan pastinya, tidak akan berpikir yang tidak-tidak pada temannya. Terutama Rini sendiri tidak pernah berpikiran buruk mengenai temannya seperti Iis, dan ketika ia berpikir seperti itu sesuatu mengganjal hatinya. Benarkah begitu? Ya, pasti begitu!

Rini kembali ke meja makan. Sang ayah dan sang ibu sudah berada disana, mereka makan dengan tenang-tenang saja. Sang ayah bercerita mengenai susah kerjanya, sang ibu diam memperhatikan TV, Rini fokus pada hapenya, sang ayah terdiam. Sang Ibu menanyakan kondisi Rini, dan Rini bilang biasa saja dengan wajah datar menatap layar hapenya. Sang ibu tahu bahwa Rini berbohong, tapi akhirnya memutuskan untuk diam saja. Makan malam yang hambar ini memang terus berlansung setiap malamnya, tak ada satupun yang saling peduli satu sama lain, sampai tiba-tiba handphone Rini baterenya habis hingga terlihat refleksi wajahnya dari bening layarnya itu.

Anak tidak tahu diuntung.

Durhaka.

Pembohong.

Rini menengok pada orang tuanya, dan ia lihat wajah orang tuanya terlihat biasa, tenang-tenang saja memasukan makanan ke dalam mulutnya dan Rini terlihat begitu kesal hingga ia dobrak meja itu, membuat sang ayah memuncratkan makanannya ke sang istri karena kaget.

“Hei! Ada apa Rini?” Sang ayah berteriak sambil mengelap makanan yang tercecer diwajah istrinya yang kini merasa kehilangan nafsu makannya, sedikit ingin muntah.

“Bapak atau Ibu, kalau kesal bilang saja ke Rini!”

Mereka kebingungan, sang suami menengok ke istrinya, sang istri menggeleng-geleng tidak mengerti. Mungkin lagi ‘mens’ pikir ayah, dan sang ibu pikir memang anaknya ini sedang ada masalah. Rini yang tahu ayah ibunya membisu akan kemarahannya segera mangkir dari meja dan masuk ke kamarnya. Sang ayah segera mengikutinya dan mengetuk kencang, ada apa? Kenapa kamu marah dengan kami? Hei!

Rini hanya terdiam menangis.

Bahkan orangtuanya sendiri menilai dia yang buruk-buruk, anak mereka sendiri, anak satu-satunya. Lalu apa kasih sayang yang murni dari orang tua terhadap anak itu hanya bohong belaka? Rini ingat saat itu, habis ibu meriasnya terdapat tulisan ‘lonte’ dijidatnya, Rini segera membekap wajahnya dengan bantal sambil berteriak kesal.

***


Rabu, 06 April 2016

Tetes Air Mata Dari Atas Langit



Angin berhembus kencang saat itu seketika pesta diadakan, dimana orang-orang menggunakan baju berhias bulu-bulu cendrawasih dari pulau barat, beberapa sosok mengenakan kostum ogoh-ogoh, dan beberapanya lagi adalah seorang pria yang menyerupai dirinya sebagai wanita. Alunan lagu, gebuk gamelan, rindik, dan ceng-ceng berlomba dengan suara angin juga hujan yang akan segera menghampiri. Demikian kencangnya angin tidak boleh menganggu gugat pesta ini, karena yang diatas akan tersinggung jika mereka tidak bersuka cita atas penyembahan yang akan dilakukan esok hari.

Pesta ini tidak pernah membuat orang-orangnya senang, sungguh pesta yang janggal dengan senyum yang dibuat-buat, keluar dari bibir namun tidak sampai di hati. Tawa lepas yang biasa keluar dari pesta masyarakat juga tidak keluar, arak-arak juga tidak diteguk karena takut jujur bahwa kutuk dalam hati tahu-tahu saja lepas dari benak. Tepuk tangan dan tawa lepas itu hanya muncul dari anak-anak yang menyaksikan adegan heroik, suatu kisah yang memperlihatkan dewa yang menyelamatkan gadis dari siluman jahat, lalu diikuti gadis juga dewa yang saling jatuh cinta, dan keberkahan yang melimpahi desa. Perasaan gegap gempita dari anak-anak itu tak lain merupakan kepolosan, dan semakin dewasa kupikir tawa itu akan hilang, berubah menjadi kemurkaan, kutukan, dan ketertindasan atas kehambaan suatu mahluk terhadap yang maha kuasa.

“Oh, anakku!”

Tiba-tiba dari meja tamu terhormati terlepas isak tangis, dan semuanya menengok panik dengan senyum yang tiba-tiba terlupakan. Saat diperhatikan baik-baik ternyata orang tua gadis yang menjadi sesembahan saat itu melepas tangisnya, dan tak disangka bahwa dia sudah meneguk salah satu arak yang terasingkan itu. Wajahnya memerah, dan tangisnya semakin lepas hingga terdengar seperti teriakan penuh penderitaan. Salah satu anak lelakinya segera memegangi sang ibu untuk menariknya kedalam, tapi teriaknya tak kunjung berhenti.

“Masih umur enam belas, tapi kebebasannya harus direngut! Dia belum lagi puas bermanja-manja dengan ibunya, bermain bersama teman, dia juga pasti belum tentu tahu apa itu cinta. Apakah dewa—”

“Diam ibu! Diam!”

Anak lelakinya langsung menutupi mulut ibunya, dan secara panik membawanya kedalam.

Semua yang menengok dengan senyum yang hilang seketika kembali tersenyum lagi. Mereka berdoa dalam hati bahwa dewa tidak marah ataupun murka.

Selagi itu angin semakin kencang, dan hati semakin murung dibuatnya. Akupun saat itu muak di tempat para penonton yang murungnya bukan main mendengar teriakan isak tangis sang ibu yang makin lama menjauh dari pesta ini, dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi menemuinya, si gadis sesembahan itu.

Keluar dari tempat itu, diriku segera berbelok dan menyeroboti semak-semak, masuk dalam pepohonan, menjauhi obor hingga lama-lama gelap karena tertutupnya rembulan oleh awan mendung, dan hanya satu cahaya saat itu, rumah pengasingan untuk gadis sesembahan, tak lain dan tak bukan adalah sahabatku, dan cintaku diam-diam.

Kudekati gubuk yang sudah dibersihkan itu, kuketuk, dan kupanggil namanya lembut.

“Liana? Masih bangun?”

Liana namanya. Teman masa kecil, dari bayi hingga kini. Sebentar lagi ia akan menjadi kekasih para dewa, tepatnya esok ketika gerhana tiba. Aku bayangkan dia menangis karena tidak bisa lagi bertemu ibunya, ayahnya, membantu ibu membuat kain, bermain bersama teman, atau mungkin, yah mungkin saja, tidak ketemu aku.

“Gus? Kamu itu gus?”

Suara Liana ternyata tak seperti yang kupikirkan. Tidak serak kudengar dari suaranya, tidak seperti ibunya yang meraung-raung di rumahnya.

“Bisa dibuka pintunya?”

“Gak bisa Gus, tetua yang memegang kunci. Tidak boleh satupun orang kecuali ibuku sendiri yang boleh menemuiku, kamu tahu sendiri bukan?”

Kubayangi Liana dibalik pintu itu, wajahnya yang bulat itu, rambutnya yang ia biasa urai panjang melewati bahu kanannya, ketika ia menyanyikan lagu suka cita alam di pantai, dan mengaggumi ukiran-ukiran patung para dewa. Kini ia telah dihias, dan esok lagi ia akan dimandikan kembang tujuh rupa. Dibawanya ia ke pantai para dewa, lalu ditinggalkan dan hilang sekejap dari pandangan mata, tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada manusia yang dipuja dewa itu, kemana dia pergi.

“Tak sedih kamu Liana?”

“Menjadi kekasih dewa adalah kehormatan seumur hidup Gus, mau ngeluh apa aku jika sudah takdir langit?”

“Tidak takut kamu? Ingat kamu soal—”

“Ssst, Gus, kamu jangan takuti diriku. Aku akan baik-baik saja.”

Lalu ingatanku kembali ke 5 tahun yang lalu, ketika tiba-tiba burung cendrawasih jatuh ke desa dan seketika berubah menjadi seorang wanita berumur 40an, dengan gaun sobek memperlihatkan tubuhnya yang babak belur, wajah yang terkoyak, dan tulang yang patah-patah keluar dari kulit. Dalam sesaknya nafas dari paru-parunya yang telah terkenai sabetan keris, ia teriakan dalam lirih hingga kami yang menontoninya mendengar dengan jelas ucap akhir dari udara yang tersisa di kerongkongannya : “Tolong aku, tolong aku bapak, ibu.. neraka, neraka di tempat para dewa-dewa itu.. tolong..”

Tak ada satupun saat itu yang segera menolong, wanita itu telah katakan bahwa dia berasal dari tempat para dewa, dan dewalah yang membuatnya demikian, kita yang manusia ini bisa dibuat celaka. Pada saat-saat terakhir itu, sang wanita menutup matanya seketika tangannya menjulang ke atas langit, seakan ia telah raih kebebasan dari kematian yang kemudian menjemputnya. Semua orang diusir oleh tetua setelah itu, dan kita ketahui bahwa sosok wanita itu adalah gadis sesembahan 33 tahun yang lalu ketika gerhana muncul terakhir kali.

“Kita ini masih kecil Liana, tapi dengar ucapanmu itu, terdengar dewasa sekali.”

“Kita tak bisa selamanya jadi anak kecil Gus, terutama aku ini yang ingin segera diperistri dewa, kamu juga harus segera dewasa karena kewajibanmu sebagai seorang pria. Tak bisa larut dalam sedih karena meninggalkan orangtua, meninggalkan—”

“Tapi aku khawatir Liana! Bundamu juga, sekampung ini juga.. Semua cinta suaramu yang memuji alam, pada senyum dan tawamu yang mententramkan hati, dan lagi, umurmu sama denganku, 16 tahun, belum juga merasakan hasil keringat dari bekerja, belum berpuas diri untuk bermanja-manja dengan ibunda tercinta, belum terpuas hati pada kekaguman terhadap ayahanda.. Jika saja aku dalam keadaan sepertimu Liana, masih diberi waktu di dunia ini, maka akan kuhabiskan waktu yang tersisa di dunia ini sebagai anak kecil, bukan terlena dalam suatu keterpaksaan yang disebut sebagai kewajiban..”

Liana tidak membalas, aku juga sudah kehabisan kata-kata, dan apa juga tujuanku kesini pada gadis yang sudah kehilangan harapnya ini. Apa yang sesungguhnya kuinginkan?

Tanpa sadar air mataku mengalir, mungkin karena cinta walau aku tidak tahu definisinya kecuali perasaan yang menggebu-gebu dan menyakitkan ini, mungkin juga karena alasan empati ketika seorang sahabatnya kehilangan hak atas segalanya terhadap mahluk yang tak pernah kita jumpai wujudnya dan dunianya itu, hanya karena tulisan tinta dalam lembar-lembar daun yang digulung bertuliskan banyak kembang desa yang diambil acak oleh tetua, karena suatu yang acak itu! Lalu mereka sebut bahwa tak ada suatu kebetulan di dunia ini, sang dewa telah memilih gadisnya, dan seakan-akan beruntunglah gadis itu, walau tak ada puji syukur keluar, bahkan dari mulut tetua sendiri.

Seketika itu aku terduduk lemas menyender pada pintu yang dingin itu, memeluki kakiku, merasakan semuak-muaknya rasa hati ini, dan tak bisa kukatakan apa-apa dalam bibirku ini, bahkan kata makianpun.

Ketika itu dalam diam yang lama kurasakan pintu bergetar, kurasakan keberadaan Liana dibalik pintu itu, mungkin juga bersender.

“Cinta kamu Gus sama aku?”

Jantungku langsung berdetak kencang seketika mendengarnya, benak juga terasa semakin perih.

“Jika rasa perih ini, rasa sakit ini, rasa tak rela ini yang disebut cinta, maka iya Liana, Aku mungkin memang jatuh hati denganmu.”

“Aku juga Gus, dipikiranku kini hanya kamu dan ternyata kamu yang datang kesini. Pernah aku mendengar bunda mengisahkan kisahnya perihal pertemuannya dengan ayahanda dan kisah dimana mereka dimabuk asmara, dan tak lain, aku mengingat wajahmu setelah itu. Ketika itu aku senang mendengar kau sekasta denganku, senang bahwa hubungan ayah kita begitu dekat, senang bahwa kau selalu mengajakku bermain, pujian-pujianmu akan suaraku, dan..dan..”

Akhirnya kudengar pecah tangisnya Liana. Dia berulang kali mengambil nafas sebelum tangisnya pecah lagi. Beberapa saat kemudian akhirnya tangis itu bisa ditahannya, dan ia berusaha berbicara lagi. Aku mendengarkan, mendekatkan telingaku ke pintu tersebut.

“Tapi aku lebih sering mendengar kisah para Dewa Gus, tentang kebaikan-kebaikannya pada tanah ini, dan aku selalu memujinya, setiap waktu, dimana saja. Lalu kudengar tentang seorang dewa yang menginginkanku di khayangan, dan seharusnya aku merasa senang telah mendapatkan kemulian dalam tujuan hidup, kemuliaan yang jarang ditemukan seorang wanita, tapi aku malah ingat kamu Gus. Oh Bagus, telah kau racuni apa kemurnianku, kecintaanku pada dewa?”

“Liana aku..”

Tiba-tiba terdengar suara ketuk, dan kurasai getar ketuk itu berada tepat dihadapan wajahku.

“Kau rasakan itu Gus? Dekatkan bibirmu disitu.”

Kudekatkan bibirku itu, dan tak kumengerti maksudnya.

“Sentuh bibirmu pada pintu Gus.”

Kusentuhkan bibirku pada pintu yang dingin itu. Lama tak keluar suara dari Liana, dan akhirnya pecah keheningan itu dengan suara Liana yang terdengar membisik dalam malu :

“Disitu barusan tertempel bibirku, beberapa saat dalam hening itu.”

Mendengar itu kepalaku langsung panas, tapi juga semakin sesak hati ini. Apakah itu momen terakhirku pada Liana, momen terakhir kenangan terhadap Liana, momen terakhir bukti akan kisah cinta kita yang dimulai malam ini dan berakhir juga pada malam yang sama?

“Disitu kutinggalkan perasaan ini, harapan muda ini, semua padamu.”

“Liana telah kau buat aku ingat, dan semakin sakit benak ini..”

Seketika itu kurasakan sesak dalam hatiku, dan kuketahui bahwa dari kejauhan obor-obor menemani Ibu Liana yang ingin berkunjung ke tempat Liana, mungkin ingin berjumpa untuk terakhir kalinya dan tetua izini.

“Aku harus pergi Liana.”

“Selamat tinggal Bagus, selamat tinggal..”

Kemudian aku berlari menuju rimbun pohon yang gelap itu. Ketidakrelaan ini, sesak di dada, dan air mata yang tak kunjung berhenti ini membuatku berpikir, berpikir keras akan ketidakadilan seseorang demi khalayak desa, demi kisah-kisah yang tak pernah kita saksikan. Aku mengutuk, dan dalam kutukan itu keluar sifat membara dalam hati, murka tepatnya, pembrontakan akan ketertindasan nasib!

***

Pagi setelah hujan dipenuhi dengan suasana kabut, terasa bau basah tanah, embun yang menetes pada ujung rerumputan, dan matahari yang mencoba menembus suasana kabut. Liana telah berada di panggul yang dibopong orang banyak, tersembunyi dalam kotak kayu yang diukir sedemikian cantik, dihiasi bunga-bunga, dan diiringi nyanyi-nyanyian syukur. Seluruh warga desa menamaninya sampai gerbang depan desa sambil mengucap doa, beberapanya memegangi dupa, dan kemudian dalam gerak, asap dupa itu membentuk jejak seperti tali yang diurai dan tak kunjung jatuh ke bumi. Ketika itu telah lewatlah gerbang, dan semuanya mengucapkan selamat tinggal pada gadis di dalam ruang sempit kotak kayu itu.

Aku ada disana hingga melewati gerbang menemani ayahku setelah semalaman berdebat dengannya, kukatakan demi ucap selamat tinggal juga ingin melihat mukjizat dewa secara langsung yang sering diceritakan ayah. Iapun menerima, dan menyuruhku menyimak baik-baik apa yang dilakukan dalam ucapara ini.

Dipertengahan jalan, kuperhatikan saat itu kabut-kabut seketika menghilang seperti dibelah, segala jenis mahluk hidup dari yang di atas langit seperti burung layang hingga yang menginjak tanah seperti ayam saling berbunyian, kulihat sapi dan kambing ternak juga, mungkin para semut di kaki juga. Pepohonan bergerak walau tanpa angin, membuat daun-daun lepas menghujani kami, dan kulihat sungai menjadi kering dengan ikan-ikan yang saling berlompatan di dasarnya, mungkin dilakukan dewa untuk memudahkan kita lewat. Jadi inikah mukjizat para dewa?

Panggul itu kita bawa hingga ke di pantai yang bersentuh dengan ombak, menghadap pada lautan. Selagi itu telah terlihat tanda-tanda gerhana tiba, dan tetua mengadakan nyanyian syukur sambil menyiapkan sesajen, dupa, dan menebar kembang di antara panggul itu selagi kita berlarian menuju batu besar karena tidak diperbolehkannya manusia biasa melihat dewa kecuali sosok brahmana.

Disitu aku melihat kesempatan, dengan segala kepengecutan itu mereka takkan melihatku. Hati ini semakin yakin dan merasa bisa, dan rasa takut semakin sirna terhadap dewa yang kuasanya hingga membelah kabut juga mengeringkan sungai, aku pasti bisa membawa lari Liana! Kubayangkan setelah itu orang-orang akan menganggap Liana telah hilang oleh dewa, dan aku sudah jauh berada di seberang pulau dengan perahu nelayan yang kucuri di dekat pantai dewa.

“Ayahanda, aku izin kebelakang, bolehkah?”

“Tak bisa kau tahan? Bukankah kau ingin berada disini sambil mengenang kepergian sahabatmu?”

“Tak tahan ayahanda, lagipula telah kutemani Liana sampai tempat ini. Itu bentuk penghormatanku ayah.”

“Baik, tapi jauh-jauh nak, jangan kotori pantai dewa ini.”

Seketika itu aku pergi, memutar diam-diam, dan mengintip tetua yang masih berada disana. Seketika matahari mulai tertutupi sesuatu, tetua lari menuju tempat orang-orang bersembunyi dan saat itu juga aku segera menuju ke panggul itu, kuangkat kakiku agar tidak terseret pasir, dan sesampainya disana segera kubuka kotak tersebut. Kulihat wajah Liana yang memerah matanya, yang luntur segala yang menghiasi wajahnya karena tangisnya itu, yang bibirnya seketika memperlihatkan kaget karena aku yang kini ada dihadapannya.

“Bagus apa yang kamu—“

“Ssstt..”

Aku segera menariknya keluar, dan ternyata Liana tidak rela keluar dari kotak tersebut. Langit belum juga menutup, masih ada momen untuk melarikan Liana.

“Tidak gus.. tidak bisa..”

“Aku tahu dari tangismu itu, kau tidak rela bukan? Ayo!”

“Sudah kau lihat kekuatan dewa bukan? Apa yang ia bisa lakukan pada alam? Bayangkan Gus, apa yang bisa ia lakukan pada desa kita? Kita juga tidak bersembunyi dari dewa!”

Kulihat orang-orang mulai keluar dari batu besar itu, ternyata mereka mendengar kami, dan terutama ayah, dia berteriak dalam wajahnya yang luar biasa murka.

“BAGUS!!”

Aku tidak peduli, dan semakin erat tanganku memegangnya.

“Dengar ini Liana, telah kujelajahi kota lain bersama ayah, telah kujelajahi pulau lain. Tak ada satupun yang menyembah pada dewa, tak ada! Tapi mereka tak kurang kaya, mereka berjuang dengan keringatnya sendiri dan mereka dapat kekayaan itu. Kita juga tak lain Liana, dewa tak berbuat sesuatupun, kecuali dalam kisah-kisah yang kau puja itu. Dengar aku Liana, jika dia memang punya kekuatan di pulau ini, dia tidak punya sesuatupun diluarnya. Kita bisa pergi ke sana, keluar sana.”

Kupandangi erat-erat mata itu, dan akhirnya ia rela! Aku dan Liana berlari, dan Liana angkat gaunnya hingga kakinya berlari bebas di pasir itu. Di belakang para pria itu menyerah, kami sudah begitu jauh dari pantai hingga bertemu tanah yang sesungguhnya, dan jauh hingga gerhana menutupi langit, dalam gelap itu aku tengok wajah Liana, dan samar-samar kulihat dirinya tersenyum, dan betapa leganya hati ini, betapa leganya..

“Mungkinkah ini gus? Mungkinkah ini yang kuinginkan hingga aku tidak bisa berhenti tersenyum?”

Seketika ucapan itu keluar, wajah Liana berubah seketika menjadi takut.

“Ada apa Liana?”

“Wajahmu gus, ah..”

Aku berhenti, dan mencari genangan air hujan tadi malam. Seketika cahaya muncul lagi, dan kulihat wajah itu. Wajah itu sudah berubah menjadi sosok yang kuingat mati dalam benakku. Ogoh-ogoh, dengan giginya yang panjang, dan seketika jari-jariku keluar kuku yang panjang juga tajam. Rambutku memutih, memanjang hingga dadaku. Badanku seketika membesar, dan seketika Liana terlihat kecil, dan dunia berubah menjadi pasir putih itu lagi. Kita, entah bagaimana, telah kembali ke pantai dewa itu lagi.

Liana memelukku walau telah berubah diriku menjadi mahluk mengerikan. Saat itu dihadapanku muncul sosok yang sama besar denganku, bercahaya terang hingga menyilaukan mata. Orang-orang, juga ayah ketika itu telah bersujud di pantai itu.

“Apa yang kau, mahluk jahat, lakukan terhadap permaisuriku?”

Dia bertanya padaku sambil menunjukan pedangnya yang bercahaya terang seperti seakan-akan ia telah menggenggam matahari.

“Dewa..— ah?!”

Suaraku?! Telah berubah ia menjadi serak, berat, dan keras. Aku seketika masuk dalam sandiwara pesta itu, menjadi tokoh ogoh-ogoh yang siap untuk dibunuh dan dibakar. Tapi berbeda kali ini tokoh wanita itu memeluk kakiku. Tahu tokoh permaisurinya tidak segera berlari pada pahlawannya, sosok bercahaya itu memainkan pedangnya, menebasnya ke laut hingga terbelah dibuatnya.

“Tak takut kamu? Enyah kamu dari sini. Permaisuri, sini, jangan takut.”

“Liana..”

“Kalian semua yang bersembah sujud, lihat baik-baik apa yang akan kulakukan pada siluman ini, lihatlah!”

Kulihat Liana, dia tak juga pergi dari kakiku. Aku segera mendorongnya dengan tangan untuk menjauhi diriku, tapi ia tetap berusaha mendekatiku, walau tadi ia tahu bahwa tebas dewa tersebut mampu memusnahkan kami berdua sekaligus.

Saat itu kutatap mahluk penuh cahaya itu, yang kini menyombongkan diri di hadapan orang-orang, dia ulang kisahnya kembali hingga orang-orang itu kembali mengingatnya bahwa dia adalah pahlawan yang seharusnya secara tulus ditemani tepuk tangan dan gegap gempita, dinyanyikan bukan hanya pada saat gerhana, diingat selalu dalam semua tindak dan doa. Kini sosoknya telah makin rendah dan rendah seketika permaisuri terdahulunya sempat melarikan diri dari tempatnya. Ia takut bahwa semua kemewahan sesosok dewa di atas bumi ini hilang, dimana ia dicintai betinanya, dipuja yang tua, ditepuk tangani yang kecil, maka dibuatnya aku menjadi sosok buruk rupa, Ogoh-ogoh, yang merupakan imaji manusia tentang mahluk jahat, sekaligus menjadi hukumanku sebagai mahluk pembrontak. Setidaknya itu pikirku kini.

Saat itu kuberanikan diri, karena tak lain kisah ini terjadi dengan pembantaian diriku sebagai sosok jahat, perlawananku satu-satunya adalah kata-kata yang keluar dari bibir ini, dan tidak lain.

“Oh dewa, semuanya telah tahu bahwa dinding khayangan itu menyembunyikan neraka di dalamnya. Kisah itu telah tersebar dari mulut permaisurimu sendiri yang telah kau siksa dan bunuh itu, dan saat itu hingga kini telah jatuhlah derajatmu, telah hilang kemuliaan kisahmu, kecuali ketakutan oh dewa, dan dari ketakutan akan muncul perlawanan. Dan aku perlawanan pertamamu, akan kulindungi Liana, takkan kuberikan dia padamu!”

“Berhenti berbicara tentang kebohonganmu!”

“Liana, ingin kau tinggal di khayangan sana?”

Liana menggeleng-geleng, dia tetap memelukku. Aku tahu tadi malam dia telah memantapkan hatinya untuk bersedia dikorbankan, untuk hidup yang lebih celaka dari mati. Tapi kini akhirnya ia mampu menerima bahwa dirinya lebih baik dari itu, telah ia percayai ucapanku, bahwa manusia bisa hidup kaya dengan usahanya sendiri tanpa pengaruh dewa-dewa. Telah ia tinggali kekagumannya pada dewa demi cinta, demi perasaan jujur yang sudah ada sejak lahir manusia. Telah ia tinggalkan tujuan mulia dalam pengabdian, demi hidup bebas, sebagaimana seharusnya manusia hidup.

“Kurang ajar!”

Ketika pedang itu dihempas, aku segera memeluk Liana, memunggungi pedang itu hingga dibuatnya punggung terkoyak-koyak. Tak bisa ia belah punggung ini seperti laut itu, dan terbukti lagi bahwa itu omongannya sekali lagi hanya bohong belaka. Seketika rasa sakit itu semakin menjadi, namun tatapanku, dari mata yang membesar ini kepada mata kecil Liana membuatku kuat. Terus dan terus, walau dari mulutku telah keluar darah.

“Lawan aku siluman!”

Tidak, tidak aku lawan api dengan api. Takkan kuhidupkan dongeng sialanmu. Kisah itu akan berubah dimana ogoh-ogoh yang buruk rupa ini melindungi suatu gadis belia dari tangan dingin penguasa yang angkuh juga sombong, yang dengan paksa dan juga ancam mengambil gadis-gadis desa untuk diperistri dan disiksa. Saat itu Liana dalam tangisnya menyebutkan namaku sambil mengusap wajahku yang kasar ini.

“Bagus, oh.. bagus..”

Dari kejauhan ayah juga berteriak, memohon ampun dewa terhadap anaknnya. Telah ia kenali aku sebagai anaknya walau dalam wujud ogoh-ogoh ini. Tapi tak kunjung dewa berhenti menebas punggung ini, yang besar ini, sampai akhirnya aku roboh, ditelan oleh gelap sementara, sampai cahaya memasukinya lagi, dan kulihat Liana sudah membelakangiku, berada di hadapanku dengan lengan yang ia buka lebar, menahan sang dewa untuk mengakhiriku saat itu juga.

“Jangan kau sakiti lagi oh Dewa. Tak lain perilaku sahabatku ini adalah jauh dari mahluk jahat, ia lindungi hamba karena kasih sayangnya, sikap yang kau puji dari manusia itu. Kamipun masih muda, masih tidak bisa membedakan kewajiban diri sebagai seorang hamba. Maafkan kekhilafan kami dewa, maafkan..”

Dalam kedip itu kulihat cahaya dewa itu mendekati Liana, ia pengangi tangannya dan ia ciumi tangan tersebut.

“Kumaafkan dia demi kau permaisuriku, dan —“

Dewa itu menatapku yang sudah babak belur, kaku di tanah dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan gejolak amarah dalam hatinya.

“Aku berjanji di khayangan sana, takkan pernah kusakiti dirimu.”

“Maka hamba rela ikut denganmu oh mahadewa.”

Setelah ucapnya, seketika berubah saat itu sosok Liana menjadi seekor burung cendrawasih dengan ekornya yang panjang juga indah. Sosok bercahaya itu juga, sama indah, besar, dan gagah. Dari pandangku yang semakin gelap, kuketahui bahwa tanganku telah berubah menjadi kecil lagi, menjadi sosokku yang semula. Punggungku terasa sakit dan perih, tapi tak lebih sakit yang kurasai di dada ini, pecah tangisku dalam ketidakberdayaan ini, dalam perlawanan yang sia-sia terhadap takdir.

Ketika itu juga terdengar bisik, bisik itu begitu halus memasuki kepalaku seketika kedua burung tersebut mulai terbang menjauhi pantai ini.

“Ingatlah aku, Gus, ingatlah. Bagaimanapun nasibku di dunia dewa, ingatanmu tentang aku akan membuatku ada di tanah bumi ini, ada bersamamu. Selamat tinggal Gus.. selamat tinggal cintaku..”

Dan seketika tetes air hujan turun, ia adalah air mata yang turun dari langit, ia adalah ratapan dari ketidakberdayaan manusia terhadap kuasa yang diatas. Lalu tak lama, burung itu telah menghilang ditelan langit, dan air mata itupun berhenti bersamanya.