Rabu, 18 Mei 2016

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 10

Chapter 10 : A Monster Beneath The Snow
Aku berjalan menyeret diri diantara salju yang tebal. Sepi tempat ini, suara-suara yang tadi saling membicarakan kami sudah masuk dalam rumahnya masing-masing, menjaga diri mereka dari dingin menusuk di pagi hari. Aku yang baru tadi keluar terhempas keras oleh hembus kencang angin dingin. Tebal selimut yang kukalungi dan membungkusku tidak mampu menahan dingin yang sangat ini, juga tinggi sepatu boot yang seharusnya membuat kakiku terhindar dari kontak salju tetap saja kemasukan salju melihat tebalnya salju yang tingginya hampir sepinggangku. Salju juga turun menggunungi tudung kepalaku, membuat tudung ini perlahan-lahan berat, dan menekuk kepalaku akan menjatuhkan banyak salju yang sudah berkumpul. Sungguh aku benar-benar tidak terlindungi dari musim salju yang ganas ini.
Tapi aku terus berjalan, aku tidak peduli, persetan.
"Kau tahu malaikat bisu?"
Malaikat bisu tangannya kugandeng, hangat sekali tangannya. Sekali ku menengok, ia tidak terlihat kedinginan dan biasa saja. Putih kulitnya serta pakaiannya, seperti salju yang mengelilinginya, bersinar oleh matahari yang keluar lewat celah-celah awan mendung. Aku sebelumnya khawatir dengan Malaikat Bisu, tapi aku tahu dia bukan sosok biasa.
"Aku begitu kesusahan sekarang, tersiksa lebih tepatnya oleh dingin ini."
Aku mulai mengingat ibu, yang keluar pagi-pagi sekali, dan pulang malam. Selalu ia terlihat lelah, masih sempat membuatkan sup dan mengajariku. Betapa ia merasakan dingin yang tak kenal ampun ini hingga ibu beradaptasi dengannya?
"Ibu tak lebih sama, dengan jaket tipisnya ia berjalan setiap hari untuk bekerja. Tadi ia jatuh, dan diseret ditengah dingin tak berhati ini..."
Malaikat bisu mengangguk-ngangguk, senyumnya masih lekat pada wajahnya. Aku tidak tahu ia paham atau tidak apa yang kubicarakan, aku terus bicara saja, mengeluhkan isi hati yang tak mampu kutampung lagi. Berbicara dengan malaikat bisu, walau tidak menjawab, tapi tidak sama dengan berbicara dengan tembok. Ia mendengarkan, mau ia paham atau tidak.
"Dosakah aku Malaikat Bisu? Rasa-rasanya begitu dosa ketika diriku duduk di perapian ketika ibu bekerja keras menghidupiku di tengah dingin yang menyiksa tulang dan daging ini, mengeluh soal lapar, mengeluh kayu bakar habis, mengeluh ingin keluar, menangis dan ngambek saat dimarahi.."
Dadaku sesak, air mata keluar dari mataku yang seketika kering oleh dingin. Langkahku mulai terhenti, salju yang menutupi tudungku membuatnya berat sehingga aku berusaha membersihkannya, dan saat itu juga aku sadar terdapat angin kencang yang membuat ranting pohon di atasku menjatuhkan kumpulan saljunya ke atas kepalaku, kemudian aku terjatuh, terbenam di antara salju.
Aku benar-benar kedinginan, hingga rasanya kepalaku begitu pusing, kakiku begitu susah digerakan, aku tak bisa merasakan tanganku, kecuali yang kanan memegang malaikat bisu. Malaikat bisu segera menggali salju itu, menarikku keluar. Ketika itu aku sadar bahwa darah mengalir dari hidungku, tetes merahnya begitu kontras dengan putih salju. Aku terduduk, dan malaikat bisu memelukku. Hangat, hangat sekali malaikat bisu. Aku kemudian mengingat ibu, memelukku tadi malam sambil menangis, hangat sekali ibu.
"Betapa ibu begitu terbebani, betapa sayang dia padaku― eh?"
Malaikat bisu menggenggam tanganku. Ia kepalkan, lalu ia taruhkan ke dada. Kepala malaikat bisu menekuk, lalu bibirnya bergerak. Tiba-tiba muncul suara aneh dikepalaku: Berdoalah! Aku sadar malaikat bisu sedang berdoa, dan juga dia menyuruhku berdoa bersamanya. Apa hanya bayanganku bahwa malaikat bisu baru saja berbicara padaku? Tapi benarlah malaikat bisu, dalam segala putus asa, hanya berdoa yang mampu kita lakukan. Lihat rumahku masih terlihat dekat, dia belum tertelan ujung ufuk seperti sebagaimana aku melihat ibu berjalan tadi dari balik jendela, jelas masih jauh tempat ibu, dan aku kini malah terbenam dalam salju, tak bisa bergerak maupun berkutik oleh dingin. Jika aku sakit dan celaka, siapa yang rugi kecuali ibu, dan aku tak mau lagi membebaninya, aku ingin membantunya.
Maka aku mengikuti malaikat bisu. Aku memejamkan mataku, berdoa, sesuatu yang lama tidak kulakukan.
Dalam doa, aku jadi mengingat suatu hari ibu melempar kitab suci, dia mengamuk di kamarnya. Tidak pernah lagi ibu ajari aku kitab suci tersebut, isinya hanya kebohongan belaka katanya, harapan palsu, tidak ada pernah ada surga di bumi atau setelah mati katanya, hidup hanya siksaan katanya, padahal ibu bilang sejak kecil dulu ia dibuat hafal buku tebal tersebut. Ibu sehari itu menggila, dan aku hampir mulai memahami kegilaan ibu sampai aku bertemu dengan malaikat bisu. Mengetahui ibu tidak akan percaya, aku tidak pernah menceritakan malaikat bisu padanya.
"Tuhan tolonglah aku tuhan..."
Aku sudah lupa bagaimana cara berdoa, apa meminta saja sudah benar?
"Aku ingin bantu ibuku tuhan, dia begitu sendiri, sendirian diantara orang-orang yang terlihat tidak menyukainya. Aku sayang ibuku tuhan.. aku.. sudah berdosa pada ibu tuhan.."
Tiba-tiba aku merasakan keanehan, hangat, aku merasakan hangat. Bukan saja dari tangan malaikat bisu, tapi sekujur tubuhku. Tubuhku terasa begitu segar, darah berhenti menetes dari hidungku. Kubuka mataku, dan terdapat suatu cahaya yang mengililingi kami, dan sesuatu itu melindungi kami dari angin dingin dan menciptakan rasa hangat di tubuh. Ibu, keajaiban ibu, mukjizat itu nyata ibu!
"Mukjizat tuhankah ini!?"
Malaikat bisu mengangguk, ia angkat tunjuknya kelangit, dan setelah itu ia kepalkan tangannya yang ia taruhkan di dadanya sambil menekuk wajahnya. Entah mengapa aku paham, malaikat bisu seperti berkata: "Tuhan baru saja mengabulkan doa kita." Aku segera berdoa lagi, terimakasih tuhan! Terima kasih! Betapa baiknya dia ketika hambanya ini tidak pernah ibadah sekalipun, bahkan ibunya mengutuknya. Entah, tuhan bekerja secara misterius, sebagaimana dia kirimkan malaikat bisu padaku. Selain itu, aku berdoa juga untuk kesalamatan ibu, apakah tuhan akan mengabulkannya juga?
Ketika itu aku mulai mencoba berdiri, tapi tidak bisa. Kukeluarkan kakiku dari sepatu boot, dan kusadar kakiku telah membiru, mati rasa, seakan tidak ada darah mengalir. Salah satu cahaya yang mengelilingi kita tiba-tiba turun mendekati kakiku yang terlihat menyedihkan itu, dan warna biru itu perlahan kembali ke warna semulanya secara perlahan. Aku mulai merasakannya, hangat, jari-jari yang bisa kugerakan. Melihat ini, rasanya tadi aku seperti hampir kehilangan kakiku sendiri.
Sambil menunggu kedua kakiku kembali semula, aku melihat sekitarku. Diantara hangat, dan rasa nyaman ini aku mulai melihat suatu keindahan yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya, suatu imaji yang hanya muncul lewat buku, cerita ibu, dan lirik sembunyi-sembunyi dari jendela. Aku sadar pemandangan desa sudah tampak jelas dari tempat ini, jalanan yang teraspal, berbeda dengan depan rumah yang masih berupa tanah dan rumput. Pohon-pohon maple berjejer disini, rapi memenuhi jalan yang kini hanya berubah ranting kosong tanpa dedaunan, dia pasti indah dan teduh pada waktu musim semi nanti. Di tengah desa ini terdapat patung gagah nelayan, aku lupa, tokoh yang pernah diceritakan ibu sebagai pendiri desa nelayan ini, lalu gedung-gedung juga rumah yang tentu berbeda dengan rumah kita, ia disusun oleh batu bukan kayu, dengan asap yang keluar dari atapnya, dan di antara rumah-rumah terdapat bendera kerajaan yang tergantung dengan tali-tali yang bersambungan. Di kejauhan, aku bisa melihat laut dengan banyak kapal, dan tidak terlihat kegiatan para nelayan pagi ini, dan dari daratan yang tak jauh, sedikit terpisah oleh laut, terdapat juga tembok besar yang dikelilingi awan, tembok pembatas antara dunia manusia dan beastman. Aku baru sadar betapa dekatnya tembok tersebut dari desa ini, alasan mengapa ayah memilih tempat ini kata ibu, ia begitu terpesona oleh tembok tersebut.
Lucunya diantara kekagumanku di desa ini, ibu tak pernah terlihat senang menjelaskan detil desa ini. Dunia, kata ibu, tidak ada yang istimewa, dia bahkan cenderung buruk. Kelabu sekali dunia di mata ibu, sebagaimana dia tidak memandang ulir kayu oak menarik di rumah, ia juga tidak memandang desa ini sebagai sesuatu kecuali desa yang berisikan orang-orang udik. Kota katanya juga tak jauh berbeda dengan kemuakannya melihat kesenjangan dunia orang kaya dan miskin, tapi hal itu lebih baik dari desa ini. Ibu bercerita bahwa anak-anak yang sudah dewasa akan meninggalkan desa untuk pergi ke kota, demi kehidupan dan pendidikan yang layak, ditinggalah orang udik yang sudah nyaman seperti kutu di balik rambut kepala dan ibu katanya merasa begitu keliru memahami isi pikiran suaminya untuk tinggal disini.
Apakah pandangan seorang dewasa pasti selalu seperti itu? Apakah suatu saat kita akan bosan dengan dunia kita sendiri, sehingga kita memandang dunia ini sebagai sesuatu yang menyedihkan seperti ibu? Atau saja, jika aku tidak dikurung selama ini, apakah desa ini akan kehilangan kecantikannya ketika setiap hari aku hidup bersamanya? Kupikir tidak, sebagaimana aku melihat rumahku sendiri, desa ini tetap cantik. Tapi sebagaimana hari ini aku begitu sedih dan khawatir, aku kehilangan kemampuanku melihat kecantikan isi rumah, mungkin hal yang sama terjadi pada ibu, atau juga orang dewasa lainnya.
"Tak kusangka Aslan begitu bodoh."
Aku kaget, tiba-tiba dibelakangku muncul dua orang berjalan. Mereka tegap dan gagah, sosok nelayan di desa ini. Salah satunya memegang botol minuman dan berjalan agak sempoyongan, dan yang satu terlihat begitu marah. Mereka berjalan di dekatku, namun kemudian melewatiku begitu saja.
"Sekarang penyihir itu tidak akan selamat lagi selagi Aslan mengejar kapalnya, tepatlah istilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga, masalah kecil menjadi neraka bagi penyihir tersebut,"
"Jika saja tetua desa tidak sok moralis, jika saja Aslan membuang jauh-jauh harga dirinya"
Sosok yang memegang botol minuman itu melempar botolnya ke arah pohon hingga pecah botol tersebut. Aku kaget dan berteriak sedikit sebelum aku menutup mulutku, dan sekali lagi mereka tidak sadar keberadaanku. Aku mulai mencoba memahami, siapa Aslan, siapa yang dia maksud sebagai penyihir? Kakiku saat itu sudah mulai ingin sembuh.
"Anakku sakit, dan jika tidak ditindak cepat, dia akan seperti anak-anak lainnya! Berapa lama anak penyihir itu mati kelaparan? Cukupkah anakku bertahan hidup sampai anak terkutuk itu mati? Dan aku tanya lagi, jika saja anak terkutuk itu mati, namun anakku tidak baikan, bukankah penyihir itu yang berarti membawa petaka bagi desa ini?! Harusnya kita bunuh saja dua-duanya."
Tiba-tiba aku merasakan merinding, kata 'bunuh' begitu mengerikan di telingaku. Padahal aku sering melihatnya di buku-buku, tapi tidak percaya kata mengerikan tersebut begitu mudah keluar dari mulut, betapa mudahnya juga niat itu muncul. Dunia mengerikan ibu mulai muncul kembali dalam benakku, ketakutan yang dari tadi kupendam itu keluar perlahan-lahan.
"Kau tahu? Sudah cukup minum-minum, kita pergi ke tempat penyihir itu. Katanya mereka melempari penyihir itu dengan batu, kau ingin melampiaskannya kan?"
Entah mengapa aku semakin yakin, mereka berkata soal ibu. Aku berusaha menyangkal pikiran tersebut, betapa mengerikannya. Ibu tidak apakah engkau, ah, aku begitu khawatir, ibu..ibu..
Mereka berjalan menjauh membekaskan bekas di antara salju tebal. Aku sudah bisa berdiri, lalu aku berlari mengikuti mereka. Detil kota ini mulai hilang kembali, aku tidak tahu, tidak memperhatikan lagi, aku berbelok kemana, rumah apa yang baru kulewati, patung, dan lainnya. Aku hanya melihat salju dengan putihnya, bekas-bekas langkah, dan tebal salju yang mereka tabraki. Tanpa sadar aku berlari, selimut lepas dari kalungnya dan jatuh di antara salju tidak kupedulikan. Pikiranku hanya ada ibu, ibu, dan ibu. Kubayangi batu mengenai kepalanya, benjol yang muncul seperti aku jatuh dulu, atau darah segar yang dari kepala ibu.
Tak bisa kubayangkan selain teriakan keras dalam hatiku untuk menyangkalnya, mengutuknya.
Jika demikian, jahat memang mereka ibu. Jahat manusia itu. Jahat mereka melakukan itu pada ibu, dan niat buruk mereka pada kita. Aku semakin memahami sesuatu dari ibu yang sempat kusebut sebagai kegilaan, rasa marah ibu, rasa depresi ibu, rasa pesimis ibu. Jahat dunia ini terhadap ibu, dan bagi ibu dia yang waras, dan dunia yang gila. Semakin kubayangkan semakin aku menyutujui pandangan ibu.
Dan terakhir sampailah aku pada suatu gedung yang besar, pintu yang juga sama besar dengan orang-orang yang begitu ramai, dengan teriakan amarah, kadang tangisan. Kulihat dua pria itu memasuki pintu besar itu yang kini terbuka sedikit, dibiarkan angin dingin masuk melihat sesak dan panas yang terlihat di dalam.
Aku merasa tidak siap, jantungku berdebar kencang, kepalaku rasanya ingin meledak. Bantu ibu, bantu ibu, aku harus membantu ibu. Jalan Racke, ayo! Mengapa aku begitu susah, malaikat bisu, mengapa aku seperti ini! Aku menatap malaikat bisu dalam sedihku, dan kulihat senyum malaikat bisu juga menghilang, terlihat ia juga sama sedihnya denganku. Tangannya juga menggenggam erat-erat tanganku, dan aku sadar, aku tidak sendirian disini.
Aku kemudian berjalan melewati pintu itu, berdesak pada orang yang tak memperhatikan diriku, seakan aku tidak ada disini. Mereka begitu tinggi, hingga diriku tidak mampu melihat siapa yang mereka tonton di kejauhan. Teriakan mereka begitu kencang, hingga suara di depan terdengar begitu kecil dan senyap. Tapi saat itu tiba-tiba sepi, terlihat seorang pendeta menenangkan suasana, aku masih mencoba melihat di antara celah, dan tiba-tiba terdengar suara yang begitu keras dan lantang, suara ibu!
Ibu berdiri disana, rambutnya berantakan, matanya memerah, bajunya sobek dan menyedihkan. Tapi suaranya masih keras hingga suara orang yang mencemohnya kalah dengan suara ibu. Ibu dengan jelas menjelaskan ayat-ayat kitab, dia masih belum kehilangan hafalannya. Suara terakhirnya bergemuruh di isi aula ini, "Terkutuklah kalian, terkutuklah dalam api neraka yang kekal!" tapi orang-orang malah makin mencemohnya, pendeta itu terlihat terhina, salahkah ibu mengucapkannya? Ibu saat itu terduduk lemas, orang tua disebelahnya terlihat begitu marah, wajahnya begitu memerah, urat nadi di antara kepalanya keluar.
"Mati perempuan itu."
Seseorang berucap itu disebelahku, dan tiba-tiba banyak para penonton yang naik ke panggung, menarik rambut ibu hingga ia terseret, membuat ibu berteriak kesakitan. Kerumunan massa dibelakangku segera tertarik ke depan, aku terbawa, mereka ingin berbuat buruk pada ibu! Lalu kulihat orang tua marah itu memukul perut ibu, hingga ibu muntah karenanya.
Aku marah, sangat marah!
Ia pukul wajah ibu!
Semua orang menendanginya!
"Ibu!!"
Aku berteriak begitu kencang. Perhatian mereka segera hilang dari ibu dan kini mengarah padaku. Aku sadar cahaya-cahaya yang mengelilingiku sudah menghilang, ibu terlihat kaget melihatku saat itu hingga ia mencoba berdiri lagi dengan kakinya dengan kesusahan, tangannya mengarah padaku seakan mencoba meraihku dari kejauhan, saat itu juga Ibu dengan lotot matanya berteriak:
"Lari Racke!! LARI!!"
Semua orang datang ke arahku. Mata mereka begitu mengerikan, sangat mengerikan. Wanita dan laki-laki sama saja, terdapat horror yang tak mampu kujelaskan, kebencian yang sangat memancar dari diri mereka, dengan tangan yang terbuka seakan ingin menghancurkanku, meremukku. Kulihat, malaikat bisu sudah jauh dariku, kita terpisah ketika massa bergerak tadi, dia mencoba meraihku, tapi hempit massa yang mendekatiku dengan amarah menghalanginya.
Aku sadar kini aku benar-benar sendiri, dan kakiku seperti membeku tidak mampu bergerak. Kulihat pintu sudah ditutupi bayangan dengan mata-mata yang bersinar.
Salah satu cengkram mencoba menarik bajuku, kuhindari, sampai tangan lainnya di sisi yang berlainan juga hampir mencengkramku.
Aku segera menutup mata, berjongkok, memegangi kepalaku.
Betapa mengerikannya manusia itu ibu, betapa mengerikannya!
Aku mulai berteriak, entah, kepada ibu, kepada tuhan. Apakah mukjizat datang dua kali? Siapa yang bisa menolong kita ibu? Siapa?
"Hentikan!!"
Tiba-tiba suatu tangan memenggangi lenganku. Kubuka mataku, dan tidak ada satupun orang yang mendekatiku. Aku sadar dihadapanku kini terdapat seorang besar dengan pedang di tangannya melindungiku, suaranya begitu keras dan lantang memenuhi ruangan ini, bergema begitu kencang.
"Apa kalian ingin menjadi pembunuh anak-anak?!"
Banyak yang datang lagi, orang-orang nelayan dengan pedang juga di tangan mereka. Malaikat bisu saat itu berlari ke arahku, memelukku. Masyarakat yang marah juga mengeluarkan senjata mereka, pisau, dan lainnya, tapi mereka tidak melawan.
"Siapa yang berani menyentuh anak ini, lewati mayatku dan anak buahku."
Tetua berjalan menuruni tangga dan masyarakat membentuk jalan untuk tetua itu, dia terlihat begitu marah pada sosok di hadapanku.
"Aslan, semua masalah bisa saja selesai hari ini. Kau orang asing tidak akan mengerti ini."
"Persetan dengan orang asing, yang kulihat disini adalah aniaya yang lebih parah daripada apa yang ibu itu lakukan pada nenek tersebut. Aku tahu ada yang aneh dengan desa ini."
"Di pengadilan itu dia menghina kami Aslan, dan itu ganjaran― "
Belum selesai bicara Aslan sudah menyelak pembicaraan, dia tunjuk kepadaku dengan suara yang terdengar sangat marah.
"Lalu kau biarkan anak ini melihat ibunya di aniaya, dan kau biarkan anak ini hampir dibunuh masyarakatmu sendiri? Apa salah anak ini wahai Tetua?! Kupikir manusia disini masih memiliki moral..."
Tetua terlihat membuang mukanya, setelah diinterupsi oleh sosok bernama Aslan, dia langsung mengusir masyarakat yang ramai minta diizinkan mengakhiri ini semua, dan mereka kemudian entah mengapa menurut begitu saja, keluar memandangiku sambil mengutuk. Pendeta tadi juga melewatiku dan berdoa dihadapanku sebelum pergi keluar. Sosok Aslan masih berdebat dengan tetua dan beberapa nelayan, dan kulihat sudah sepi di depan. Ibu dikelilingi nelayan yang sepertinya merupakan anak buah sosok pelindungku. Aku segera berlari menuju tempat ibu saat itu.
"Ibu..."
Darah mengalir dari kepalanya, biru-biru wajahnya. Ibu tidak sadarkan diri, aku berusaha berbicara padanya, tapi ibu tak kunjung juga bangun. Kulihat nafasnya begitu lemah, keluar tangis dari matanya. Kulihat ibu dalam tak sadarkan dirinya menginggau: "Pukul aku, aniaya aku, tapi lepaskan anakku, lepaskan. Oh sayangku..."
"Ibu aku disini ibu, ibu..."
Kupeluk ibu, tapi ibu tak kunjung bangun.
Lalu sesuatu memegangi pundakku.
Sosok yang bernama Aslan itu terlihat masam wajahnya, ia tersenyum tidak enak padakku.
"Racke, maafkan aku."
Aku hanya terdiam, masih memeluk ibu.
"Ibumu... dia akan dirawat di rumah sakit untuk beberapa lama..."
Aku tahu dia berbohong, ibu takkan dirawat di rumah sakit atau semacamnya, desa ini kutahu tidak memiliki fasilitas seperti itu. Yang jelas aku tahu bahwa diriku takkan bisa bertemu ibu dalam waktu dekat, malam ini kita takkan bisa makan sup ikan seperti janji ibu tadi pagi.
Pria ini tentu tak bermaksud buruk berbohong seperti itu, aku jelas masih kecil. Sosok bernama Aslan ini berbeda dengan manusia yang memukuli ibu, suaranya lembut ketika berbicara denganku, lalu ia bisa berubah menjadi keras dengan murkanya melihat ketidakadilan kepada ibu dan aku. Dia orang baik, sesuatu yang ibu jarang ceritakan, sesuatu yang biasanya hanya muncul di dongeng yang hanya sedikit dimiliki ibu dalam koleksi bukunya. Tapi manusia yang banyak itu, mereka yang mengerikan tadi, mereka adalah sosok nyata yang sering ibu ceritakan.
"Aslan, mengapa mereka melakukan ini pada Ibu?"
"Kau tahu namaku? Ah, karena..."
Aslan tak kunjung menjawab seakan ia sedang mencari-cari jawaban terhadap anak kecil yang baru mengenal dunia dewasa ini. Tiba-tiba aku berucap, menjawab pertanyaanku sendiri.
"Kebencian, hingga mereka melakukan aniaya pada ibu, hingga mereka melakukan ketidakadilan pada ibu. Ibu selalu mengatakannya, buku-buku yang kubaca begitu jelas memperlihatkannya, mereka yang mampu melakukan sesuatu yang mengerikan seperti ini hanyalah monster, merekalah monsternya!"
Aku tatap mata pria itu, dan terlihat ia tidak mampu menolak ucapan anak kecil ini. Dari apa yang kubaca dan kupahami, semua orang takut terhadap diri monster hingga ia menjadi sosok jahat dalam suatu bacaan, suatu sosok buas misterius yang manusia tak mampu memahaminya. Mereka begitu percaya sosok itu membahayakan mereka, begitu percaya celaka muncul karena sosok tersebut, sehingga mereka dengan tangan dinginnya membunuh apa yang mereka sebut monster itu dengan harap kedamaian mereka akan tetap terjaga.
Melihat apa yang mereka lakukan pada ibu, yang mereka niat lakukan padaku, sosok monster yang manusia takutkan itu sesungguhnya adalah diri mereka sendiri, bersemayam dalam hati setiap manusia yang telah membuang moralnya, mereka yang telah mati rasa, yang dibutakan matanya karena kebencian dan ketakutan. Aku berhadapan dan menatap langsung sosok monster tersebut, seluruh sosok di desa ini, dan aku semakin paham dunia ibu, aku paham ironi yang bersemayam di hati juga pikiran ibu.
"Aku paham, ibu, betapa mengerikannya dunia diluar pintu itu."
Dan ibu tak kunjung juga bangun...

Senin, 09 Mei 2016

Opini : Perihal Penulis Menanggapi Pembaca

Tulisan ini sebenernya diambil dari jurnal harian dari hasil ngobrol-ngobrol dengan teman, tapi kayaknya cukup bagus untuk ditaruh di facebook mengingat banyak teman menulis disini.

Sungguh aneh rasanya melihat kawan-kawan menulis yang memiliki ratusan hingga ribuan pembaca yang kini mulai berkomentar bagaimana seharusnya pembaca berlaku, dia melevel-levelkan jenis komentar yang tak lain sama dengan mengkelompokan pembacanya, beberapa juga melevel-levelkan para pengkritik, bagaimana kritik itu seharusnya, dan lain sebagainya. Kian kali juga saya lihat penulis (terlihat) mengamuk ketika dikritik, beberapa tidak menghiraukan, seperti menutup kuping dan menyangkal ketus seakan dia diserang, sungguh ini terlihat sangat ironis.

Saya pikir kita harus mengingat bahwa adanya pembaca adalah tujuan kita menulis, yaitu tulisan yang merupakan perwujudan ide kita untuk dibaca. Bagaimanapun mereka adalah tamu terhormat, yang segala komentarnya harus disertai terima kasih penulis (walau ya, terima kasih harusnya berasal dari dua arah). Kita harus sadar bahwa pembaca sudah meluangkan waktunya, membaca tulisan yang ia tidak tahu apa itu bagus dan tidak, dan hebatnya lagi, mereka sempat-sempatnya berkomentar! (Mau itu buruk dan tidak), dan apalagi bentuk kepedulian yang sangat dari hal tersebut? Kita penulis rasanya tidak pantas melevel-levelkan, membagi pembaca sebagai sub-sub populasi, sungguh hal tersebut terlihat seperti mendeskritkan pembaca, sadar ataupun tidak sadar.

Memperhalkan kritik juga, kembali ke komentar atas, kita harus bijak dan sangat, sangat berterimakasih tentang adanya kritik. Kupikir 2 tahun ini tanpa sebuah kritik yang rajin dari kawan, saya takkan bisa sampai pada tahap menulis seperti ini. Saya tahu memang betapa kritik kadang terasa begitu menyerang, merendahkan, dan keluar dari substansi tulisan, melelahkan hati pekarya yang sudah susah-susah membuat karya (yang dirasa seperti anak kandung sendiri). Saya jadi ingat bagaimana Tere-liye, penulis novel pop terkenal di kalangan remaja pernah menulis seperti ini:

“Jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK pernah menulis buku.”

Tere-liye diam-diam begitu banyak dikritik (tentu mereka minoritas yang mengkritik), dan jawabnya pada kritikus terlihat begitu ketus (dan saya pikir konyol). Saya perhatikan fenomena bahwa pembuat seringkali begitu peduli dengan kritik negatif, dan ditanggapi juga dengan sangat negatif. GirlGamerGaB seorang youtubers menangis ketika terdapat beberapa kritik yang merendahkan dia, hal tersebut terjadi ketika ia mengomentari karakter Quiet di MGS V, walau mungkin, itu adalah 5 komentar dari 1000 pengikutnya yang setia. Deddy Corbuzier dikritik tentang Triangle The Golden Side oleh Gareth Evans mengenai stunts berbahaya dan tidak sesuai dengan regulasi keamanan, Deddy menjawab dengan sangat ketus dan mempermasalahkan bahasa yang Gareth Evans pakai tanpa membahas point sesungguhnya (disini saya baru paham bahwa Deddy ini tidak sepintar yang kita kira, dan ternyata merupakan orang yang sangat sensitif). Saya juga punya pengalaman, sekali itu berkomentar pada ajang lomba menulis cerpen mengenai harus bijaknya penulis membawa tema sensitif (disitu penulis memperlihatkan hantu yang merupakan korban keluarga PKI, dengan scene pemerkosaan dan dibawa ringan setelahnya). Penulis begitu defensif dan bahkan cenderung menyerang, mengaku sebagai keluarga PKI sehingga ia pantas menulis itu, merendahkan point-point pendapat dimana dia bilang tidak ada point yang saya jelaskan bermanfaat baginya (saya juga berkomentar soal premis dan storytelling) seakan saya sedang berusaha memancing emosinya, mencoba berargumentasi dengannya, dan sungguh-sungguh tidak ada niat melakukan itu karena saya pernah ikut dalam diskusi dokumenter mengenai korban dalam topik tempelan yang ia tulis (dokumenter Jagal dan Senyap) maka saya pikir topik sensitif seperti ini harus dibawakan secara terhormat dan serius, bukan secara horror remaja yang jenaka dan komikal.

Disini saya menilai, ada yang salah dari kebanyakan cara menanggapi kritik, dan sampai ada yang melevel-levelkan pembacanya dari cara kritik mereka, kian kali bahkan merendahkan dan mengutuk. Padahal kita tidak perlu berdebat dengan kritik, apalagi ketika komentar positif bertebaran. Kemarin yang saya kritik itu mendapatkan banyak komentar positif, dan hanya saya sendiri yang negatif sesungguhnya, mengapa dia begitu terbawa? Saya segera mengkaitkan ini dengan tulisan Anna Freud dalam bukunya The Ego and The Mechanisms of Defense, yang membahas mekanisme psikologis otomatis yang bekerja pada setiap diri manusia ketika secara psikologis ia diserang, dan ini sesungguhnya wajar dan alami, tapi diperlukan juga pemahaman dan kontrol akan mekanisme ini karena dia bisa menjadi sangat negatif bagi diri sendiri, seperti sifat destruktif dalam kehidupan sosial, dan tentu dalam perihal perkembangan dalam berkarya ini.

Saya pikir simple saja seharusnya menanggapi kritik, bagaimana kritik itu mampu bermanfaat bagi penulis, menghormati kritikus dan bahkan diri kita sendiri. Pekarya cukup seperti ini: Berterimakasih, ambil yang mampu diterima, dan buang yang tidak perlu (bahasa yang ketus, dll). Kita tidak boleh terjebak dalam psikologis defensif kita, kita tidak boleh langsung masuk dalam tahap denial dan mekanisme defensif lainnya yang membuat point-point yang mampu memperbaiki karya kita menjadi irrelevant. Dan yang paling penting, kita tidak bisa meminta dan memaksa pembaca kita menjadi sesuatu yang kita inginkan. Maka saya harus menggunakan kata mainstream seperti: “Banyakin jalan-jalan mas.” Agar tahu indonesia ini luas, dan betapa terpusatnya manusia dari seluruh wilayah dengan fragmen-fragmen sosial dan budayanya bersatu dalam dunia internet ini, dunia jejaring sosial ini. Kita tidak bisa menjadi sosok yang egosentris, dan haruslah sebagai pekarya memahami warna-warni manusia di bumi indonesia ini. Menjadi bijak dan membumi maka yang saya pikir ideal, sebagai langkah yang menghormati pembaca sebagaimana mereka seharusnya diperlakukan dan memajukan pekarya untuk menjadi lebih baik dan mencapai mahakaryanya.

Sabtu, 07 Mei 2016

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 9

Chapter 9: The Door

Ibu keluar, ia berikan kunci cadangan yang kini kugenggam erat-erat dan suara yang ramai dari penduduk mulai menjauhi rumah, saat itu juga rumah ini terasa begitu sepi dan kelabu. Ulir kayu oak yang indah nyatanya hanya lekak-lekuk kayu yang biasa, sofa empuk yang tak lain sofa kapuk usang berdebu, dan api perapian yang hanya merupakan api yang membakar kayu yang ditebang. Aku tak mampu lagi memandang detil rumah ini menjadi sesuatu yang unik dan menarik sebagaimana aku ceritakan dulu, mereka hanya seperti itu saja, dan menyadari hal itu membuatku menjadi panik, rumah ini seakan menjadi tak lebih dari sebuah kurungan. Kenapa baru sekarang aku merasakan ini? Aku segera berlari menuju jendela, kubuka gorden itu tak peduli ada yang melihat, tak peduli ancam ibu dahulu, dan kuperhatikan ibu yang sudah menjauh dan terseret oleh tebal salju.
Tangan ibu dipegangi oleh pria besar, suara makian keluar dalam teriak terdengar hingga telingaku yang berada di balik kaca, setelah itu ibu diludahi dan diikuti lemparan kerikil. Ibu jatuh sekali, dibangunkan paksa oleh pria besar itu, diseret lagi ia, ibu berjalan lagi, lalu menghilang kerumunan itu di ujung ufuk.
Pikiranku menjadi kacau saat itu, apa salah ibu hingga ia dirasa pantas mendapat perlakuan seperti itu? Aku ingat malam tadi ibu menangis, ia bilang dirinya bersalah, tapi ia tak ceritakan. Ia bilang maaf padaku, sesuatu yang belum pernah ia katakan sebelumnya. Ibu yang berkata bahwa ketidakadilan harus dilawan, ibu yang cerita tentang martabat manusia, yang bercerita soal moral-moral hingga aku tahu mana hitam putih lalu kelabunya, dan kini ia menerima itu semua. Apa ibu merasa pantas dibegitukan? Kenapa kau tak melawan? Oh Ibu, apa salahmu? Apa yang membuatmu mau menerima itu semua? Aku tidak mengerti, dan aku tidak percaya, lebih tepatnya tidak mau percaya bahwa ibu begitu bersalahnya hingga orang-orang melakukan tindakan semena-mena seperti itu pada ibu.
Aku segera terduduk, memeluk kakiku, menangis, lama sekali.
Malaikat bisu duduk disampingku, mengelus rambutku. Apa ia mengerti apa yang kurasakan? Rasa sakit di hati ini? Rasa pilu ini?
Seketika kurasakan dingin, setiap hembus nafasku mengeluarkan uap putih. Kulihat, api sudah kecil dan sebentar lagi ia padam. Aku masih ingin berlama-lama dalam tangis, tapi tangis takkan membawa ibu kembali, tak akan membuat api itu menyala lebih lama. Sesungguhnya aku masih belum paham apa gunanya tangis, betapa sia-sianya tangis itu. Aku segera berdiri, berjalan sambil mengusap air mataku, dan mengambil persediaan kayu yang ternyata telah habis. Ibu dengan segala ruwet pikirannya lupa menyediakan kayu, dan ini bukan untuk pertama kalinya.
"Aku harus ambil kayu."
Kulihat Malaikat bisu mengangguk-ngangguk, dan kini mengambil kayu bukan lagi masalah mengingat ibu memberikan kunci cadangan padaku.
Aku segera berjalan menuju kamar yang sudah rapih, mengambil selimut, memakainya padaku dua lembar selimut tebal punya aku dan ibu. Entah mengapa ingatanku kembali ketika ibu menampari pantatku, tidak mau mendengarkan alasanku mengenai kayu yang habis, ia menangis, ia marah padaku karena foto ayah yang jatuh lalu pecah bingkainya dan usahaku untuk keluar dari rumah. Lucunya aku tersenyum mengingat itu. Konyol sekali diriku hari itu, dan ibu memang seperti itu. Dulu aku menangis seharian penuh, merasa tidak adil dan sebagainya, dan kini aku malah tersenyum mengingatnya. Baru berapa menit, aku sudah begitu rindu pada ibu.
Saat itu entah mengapa di antara dingin ini, mengingat kemarin itu aku ingin melihat foto ayah, niat yang terlupa entah mengapa. Ibu menaruhnya di lemari kamar setelah bingkai itu pecah, dan aku segera membuka lemari itu. Foto itu tergeletak, gelap tidak terlihat karena buramnya gambar. Di lemari itu ada juga surat-surat, dan surat terakhir tertulis 5 tahun yang lalu, ditulis oleh John Lenard. Surat ini dari ayah! Ibu ternyata menyimpan segala surat ayah dan ia ikat dengan tali merah, dan surat terakhir tersebut tergeletak terpisah tidak terikat dari surat lainnya, seperti Ibu baru saja membacanya tadi malam.
Ibu jarang menceritakan soal ayah, dia hanya sekali bilang bahwa ayah pernah bekerja sebagai ksatria di kerajaan dan kini tinggal di desa. Hilang kemudian ayah dalam ekspedisi ke utara, benua manusia dahulu, tapi ibu percaya ayah pasti akan kembali. Ayah hilang 5 tahun yang lalu, dan ini surat terakhirnya. Aku ambil foto ayah dan surat ayah lalu kukantongi. Aku harus segera menyediakan kayu, dingin ini seakan begitu menusuk tulang, aku tidak kuat.
Aku segera berjalan, menyeret selimut, membawa kapak dari dapur, menyiapkan sepatu boot untuk kupakai.
Sudah sampai pintu depan, aku segera menyiapkan kunci cadangan yang ibu berikan. Tapi saat ingin kubuka pintu itu, kunci itu menyelip tidak bisa masuk dalam lubangnya, gagangnya meninggi dari tempat sesungguhnya. Pintu itu menjadi besar, gelap, tidak tersentuh. Kurasai perasaan yang begitu janggal, perasaan tidak enak, takut. Terdengar suara tawa dari luar, mungkin tetangga, mereka banyak, dalam omongan mereka terdengar nama ibu, terdengar nama ayah, juga aku. Tawa mereka memekik. Mereka bilang akan terjadi sesuatu yang buruk pada ibu, padaku, demi kebaikan desa. Suara itu lalu surut dan sepi.
Aku kini terduduk. Kapak kecil itu tergeletak, selimut yang kuikat dan kukalungi lepas. Aku sudah berada beberapa meter dari pintu tanpa sadar, dan disitu kuketahui bahwa kakiku gemetar, bulu kudukku berdiri, keringat keluar dari dahiku walau tempat ini dingin bukan main. Aku takut. Wajah ibu terbayang, wajah marah ibu, suara ibu yang penuh gelegar menceritakan betapa buruknya dunia luar, betapa ibu melindungiku dari ini semua. Tempat ini bukan kurungan, tempat ini adalah perlindungan, tempat ini adalah dunia kecilku kata ibu. Dan kini hanya untuk mengambil kayu saja, untuk mengambil kayu saja!
Bibirku membiru, tanganku gemetar hebat, gigiku bergetak.
Aku harus keluar, dan kulangkahkan kakiku lagi mendekati pintu, dan aku mundur entah mengapa. Lagi-lagi muncul wajah ibu, lagi dan lagi! Dan aku terjatuh, dan rasanya kini aku ingin menyerah dan pasrah.
Ibu, apa yang telah kau lakukan padaku?! Mengapa terbayang wajahmu? Mengapa terbayang cerita-cerita mengerikanmu? Mengapa pintu ini menjadi besar dan menyeramkan oh ibu? Mengapa hanya ketakutan yang kurasai diluar sana, bukan seperti mimpi rerumputan hijau dengan bunga-bunganya, tapi horror, horror dari tetangga-tetangga kita dan seluruh desa ini. Aku takut ibu, aku takut.
Aku kembali duduk menatap pintu. Saat itu cahaya mentari sudah muncul, tembus ia dari kaca pintu mengenai diriku. Aku kembali ingat foto dan surat ayah. Aku kembali menggunakan selimut itu melindungi diri lagi dari dingin, kulihat foto ayah dan terlihat rambutnya mirip denganku, senyumnya, tapi mataku lebih mirip ibu, dan ia berkumis tebal, akankah aku seperti itu? Kuingat ibu tersenyum melihat senyumku lalu mengelus rambutku. Apakah ibu melihat ayah dalam diriku?
Entah mengapa air mataku keluar lagi, kuingat ibu menolak menjual kasur, kuingat ibu menangis setiap malam melihat bingkai ini. Ibu begitu kesepian, 10 tahun lamanya ia tidak melihat suaminya, dan hanya ditemani surat terakhirnya ini yang sudah 5 tahun lamanya, dan alasannya untuk tidak kembali. Ada apa denganmu ayah? Kubuka surat yang sudah rusak pengikatnya. Surat itu sudah usang dan lecak, terlihat beberapa tulisannya memudar seperti terkena air, mungkin air mata ibu. Tulisannya miring, dan khas, aku menyipitkan mata untuk membacanya.
"Untuk Julia, maafkan aku, sudah berapa tahun aku tidak mengirim surat, tapi tak ada kisah bahagia yang mampu kuberikan pada kalian berdua. Julia sayangku, aku tahu kau menungguku, aku tahu kau mendapati rintangan dari anak kita berdua. Disaat aku harusnya berada disana, aku malah terjebak disini, didalam peperangan yang tak jauh bodohnya dengan konflik manusia beastman, dan keadaan semakin memburuk sehingga mungkin ini surat terakhir dariku padamu. Semoga kau tidak kehilangan harap, sayangku Julia."
Apa yang sesungguhnya terjadi? Perang? Di benua utara sana? Mungkin aku harus membaca surat-surat sebelumnya. Tapi surat ini belum juga selesai, tulisan ini ternyata bukan untuk ibu saja.
"Untuk anakku Racke. Ketika kau lahir, ayah berada di sampingmu nak. Ketika tanduk itu ada, tak mengurangi kebahagiaan ayah akan kelahiranmu, kau adalah anugerah tuhan seperti anak-anak lainnya. Maafkan ayah karena tidak pernah sedikitpun merawat dan menjagamu, membimbingmu menjadi pria hebat, dan aku percaya Ibumu Julia mampu membawamu menjadi anak yang hebat. Kini ibumu pasti begitu kesusahan karena tandukmu. Aku ingin kau ingat ini anakku: Terimalah apa yang tuhan berikan padamu, maka tanduk itu bukan lagi kelemahanmu. Maka jadilah kuat anakku, bantulah ibumu agar ia bisa tetap tegar, tetap kuat menjaga dan merawatmu, tidak kehilangan harap atas segala cobaan yang menimpa dirinya."
Surat kemudian berakhir dengan ayah menjelaskan soal terputusnya jalur bekal karena ganasnya laut dan badai yang berlangsung lama di samudra. Pesan ini dibawa oleh perahu terakhir yang melintas sebelum badai tersebut berlangsung kembali, dan koloni dari raja mulai terpojok oleh bangsa baru yang menduduki benua manusia sebelumnya. Jika selamat, ayah merencanakan membuat buku mengenai pulau baru tersebut dan menceritakan pada ibu dan aku. Mengetahui ini surat terakhir dari ayah membuat hatiku pilu, dan tentu ibu juga.
Mengapa ibu tidak pernah memberi surat ini padaku? Ibu mungkin berpikir 5 tahun yang lalu aku takkan memahami isi surat ini, tapi sekarang?
Surat ayah membuatku dilematis. Kembali ingat aku suara-suara dari tetangga yang menyebutkan nama kami, dan rasa takut bahwa ibu tidak kembali. Kuingat ibu diseret, diberlakukan tidak semena-mena atas kesalahannya, dan ibu sekali lagi sendirian, dia begitu kesepian diluar sana. Hanya aku anaknya yang harusnya membelanya, sebagaimanapun dosa yang ibu perbuat, seharusnya aku membantu ibu, menemaninya dari segala susah, yang mungkin karena aku juga, karena tanduk ini. Ayah, maafkan aku yang selama ini hanya berkutat pada dirinya sendiri, tapi tidak pernah sekalipun mengerti perasaan ibu, masalahnya, kesepiannya.
Kini aku akan keluar. Ibu sendirian disana, diadili, dan aku tahu, sebagaimana buku-buku yang ibu ceritakan, tak ada keadilan bagi orang yang sendirian di tengah manusia yang menunjuk.
Aku berjalan, meninggalkan foto dan surat ayah. Kutinggalkan kapak itu, aku tak peduli lagi dingin, akan kuterjang tebal salju. Aku tidak peduli dengan warga desa, yang mencaci, yang membentak, yang memukul keras pintu, yang tertawa memekik, yang melihatku seperti sosok monster.
Kubuka pintu itu lewat kunci yang ibu beri.
Aku keluar ibu, aku keluar.

Selasa, 03 Mei 2016

Vandalisme di Wajah Rini (Bagian 3)

“Buu Kerudung!”
“Eh mau pake kerudung hari ini?”
“Iya cepet!”
Sang ibu yang kemarin khawatir dengan keadaan Rini kini bahagia anaknya mulai bicara lagi, bahkan minta kerudung, sesuatu yang telah ia tinggalkan lama kecuali hari jumat ketika ada pelajaran agama di kelasnya. Sang ibu segera mengambil di lemarinya yang sudah tertumpuk pakaian lainnya, telah lama kerudung itu tidak tersentuh, dan terlihat sang anak sedang duduk di kasurnya dengan pakaian sekolah yang sudah rapih, roknya panjang, dan bajunya yang tidak lagi ketat.
“Dandanin Bu.”
Sang ibu menghela nafas lega, anaknya sudah normal lagi.
“Gak usah menor, bedakin sama kuncirin aja.”
Oke, dia aneh. Pikir sang ibu.
***
Rini mendengarkan apa yang diucapkan sang psikiatris, menjadi gadis baik-baik untuk mengubah dan menghapus tulisan yang ada di wajahnya. Walau demikian entah mengapa ia resah, ini bukan dirinya. Tapi normal kata sang psikiatris, bahkan hampir semua orang sebenarnya seperti itu untuk bisa berbaur dengan komunitasnya. Mendengar kata ‘Normal’, Rini yang tak pernah berpikir apa yang orang pikirkan terhadap dirinya hanya bisa mengangguk-ngangguk, dia yang tidak normal ternyata, dan bukan menjadi diri sendiri di hadapan teman-teman ternyata yang merupakan normal.
Di kendaraan umum Rini terus-terusan berpikir, bagaimana ia meminta maaf nanti pada Nur Jannah, ia tak pernah seumur-umur meminta maaf ketika merasa tidak bersalah, wajar dong dia marah karena perlakuan Nur Jannah yang kurang ajar, walau memang ejekan Rini kelewat parah, setidaknya Nur Jannah harus meminta maaf juga. Ia berpikir sambil memeluk tas gendong barunya, karena tasnya kemarin ketinggalan di kelas dan tidak ada satupun temannya yang mengantarkan ke rumahnya.
Telah sampai ia di gerbang sekolah, anak-anak begitu ramai masuk, memakirkan motornya, saling menyapa sesamanya, berlari ke kelas untuk menjiplak PR temannya, dimana Rini juga seharusnya seperti golongan-golongan siswa yang seperti itu, tapi kini dia tidak terlalu bersemangat, bahkan cenderung tidak peduli. Pikirannya penuh perihal konsenkuensi perihal hal yang ia lakukan kemarin, apa yang teman-teman pikirkan padanya, apa yang Jepri pikirkan padanya, apa yang guru pikirkan padanya. Tak ada habis-habisnya, Rini hanya bisa menekuk mukanya, melewatkan detil-detil pagi ini untuk segera masuk ke kelasnya.
Suasana canggung itupun benar-benar nyata. Ruangan kelas terasa kelabu seketika Rini masuk, tidak ada gembira teriak tawa yang biasanya ada ketika Rini muncul, tidak ada yang menarik Rini untuk mengobrol perihal drama korea Descendants of the sun yang baru update kemarin, padahal tadi malem Rini kegirangan karena si ganteng Yoo Si-jin gak jadi mati. Semua terdiam kaku dengan tatap mereka yang dingin. Terlihat disitu tas Rini yang tergeletak di kursinya, tidak ada satupun yang memindahkan. Rini kemudian menekuk mukanya, masuk dan duduk di mejanya dimana Iis sudah duduk disana.
“Pagi Rin..”
“Pagi Is..”
“Tumben pake kerudung Rin?”
“Iya, lagi pengen aja haha..”
Suasana begitu canggung diantara keduanya, basa-basi itu tidak berlanjut. Rini dan Iis sebenarnya tidak sedekat yang dikira, mereka hanya status teman yang akrab karena tanpa sengaja duduk bersebelahan ketika guru mengacak tempat duduk, mungkin habis ujian tengah semester sang guru akan mengacak tempat duduk lagi, status pertemanan mereka akan menjadi asing kembali. Ia kemudian menengok ke arah Nur Jannah, memantapkan tekadnya untuk minta maaf, tapi mejanya kosong, kecuali tas dengan gantungan kunci Man Jadda Wa Jadanya.
“Is, dimana Nur Jannah.”
Iis melihat Rini kaget. Apa Rini ingin membuat perhitungan lagi? Pikir Iis. Tapi Iis lihat wajah Rini yang terlihat sedih, Iis akhirnya berusaha mengingat-ngingat dimana Nur Jannah tadi.
“Keluar Rin, kupikir dipanggil guru.”
Dipanggil guru? Ada hubungannya-kah denganku? Pikir Rini. Benar saja saat itu, pintu kelas terbuka, seorang guru yang sudah berumur nenek-nenek masuk, namun bel sekolah saat itu belum juga berbunyi. Semua murid saat itu merasa kenal, tapi asing, siapa nenek-nenek ini? Guru tua tersebut lalu melihat ke kiri dan ke kanan, menyipitkan matanya di antara kacamata frame tebal silindernya. Dia menyerah, tidak ditemukan anak yang dicarinya, lalu ia berteriak :
“Siapa disini yang namanya Rini!”
Rini berdiri, teman-teman heboh. Kalau tidak salah si nenek itu wakil kepala sekolah bukan? Mereka saling berbisik, mulai ingat ketika mendengar teriakannya, teriakan khas ketika dia meneriaki murid yang terlambat saat upacara bendera. Hati Rini berdetak kencang, teman-teman geng Rini segera berkumpul mengelilingi Rini dengan wajah simpati mereka. Tidak apa Rin, omong mereka, kamu enggak salah kok. Tapi Rini begitu benci sikap mereka itu yang barusan dingin pada Rini dan kini sok simpatis, bahkan Rini belum cerita ke mereka kronologis masalahnya dengan Nur Jannah, bagaimana bisa mereka bilang Rini tidak bersalah? Tapi Rini hanya tersenyum mengangguk. Dia tidak boleh memperlihatkan sikap jijiknya tersebut. Dia berjalan menghampiri wakil kepala sekolah itu yang menyuruhnya ke ruang BK, dan semua ini terkait masalah Nur Jannah. Rini entah mengapa sudah tidak kaget.
***
“Lah, si Nur Jannah yang dulu—“
“Jangan ngelawan kamu!”
Wakil kepala sekolah membentak. Rini segera menekuk wajahnya. Air mata keluar dari mata Rini, dia bukan hanya merasa sedih menyesal, tapi juga tidak merasa adil disini. Tuduhan demi tuduhan hanya mengarah padanya, bahkan dari pengakuan teman-teman sendiri yang didatangkan jadi saksi mata, dan mereka hanya melihat separuh adegan. Setiap pembelaan Rini dibantah oleh tidak mungkinnya Nur Jannah melakukan tindakan yang dijelaskan Rini, murid-murid juga pasti tidak percaya Nur Jannah yang baik, alim, dan berprestasi bisa melakukan tindakan kelewat menyebalkan seperti apa yang Rini jelaskan.
Kemudian Rini mendengar rengekan dari kejauhan, di ruang yang terpisah seorang guru BK sedang berusaha menenangkan Nur Jannah yang mengaku ketakutan untuk ke sekolah, trauma bertemu dengan Rini, takut dibully dia dan gengnya. Rini sekali lagi memang terkenal membuat perhitungan dan perhitungan tersebut kadang dibantu oleh geng-gengnya, tapi itu juga jika satu gengnya setuju dengan apa yang Rini lakukan. Kini dia bahkan tidak mendapat simpati sama sekali.
“Saya beri kamu pilihan, kamu saya skors seminggu, dimana saya tahu kamu gak bakal naik kelas ngeliat kamu udah sering bolos, atau kamu sekarang minta maaf sama Nur Jannah, janji kamu gak bakal ngebully dan ganggu dia lagi.”
Rini ingin membalas bahwa apa yang ia lakukan tidak ada kaitannya dengan bully-membully, tapi nenek tua bangsat ini sudah begitu budek telinganya, dan buta matanya untuk menanggapi Rini bicara. Sang wakil berdiri, keluar dari mejanya berjalan ke arah Rini, tangannya dengan cepat mencubit lengan Rini.
“Aw, sakit bu!”
Cubitannya begitu kecil, keras, dan perih. Ia menarik Rini sambil mencubit, menyeretnya masuk ke dalam ruangan dimana Nur Jannah berada.
Disitu Rini dan Nur Jannah saling bertatap mata. Nur Jannah duduk di kursi berhadapan dengan guru BK. Matanya begitu merah, ingusnya keluar, dan banyak tisu berserakan. Rini tak jauh beda, hanya dia tidak diberi tisu, dia hapus ingusnya itu dengan helai kerudung usangnya. Nur Jannah saat itu mukanya masam, Rini ingin juga seperti itu, tapi wakil kepala sekolah mengamati segala gerak-geriknya, Rini hanya bisa menekuk mukanya.
“Nur Jannah, Rini tadi udah cerita dan katanya dia nyesel dan janji gak bakal sakitin Nur Jannah lagi, iya kan Rini?”
Rini kemudian didorong punggungnya, hingga lutut antara Rini dan Nur Jannah saling berdekatan. Rini disuruh meminta maaf langsung padanya. Ketika dia berusaha mengumpulkan kata-kata, tiba-tiba ia melihat suatu senyum kecil dari Nur Jannah. Hati Rini hancur berantakan. Makin susah kata itu keluar, hanya kata-kata! Lihat itu nenek tua bangsat! Lihat senyum itu! Dia jahat, aku tidak sudi minta maaf! Pikir Rini membrontak, dan lamanya Rini mengeluarkan permintaan maaf membuat wakil kepala sekolah muak.
“Rini!”
Baru pertama kali dia dihadapkan kegelisahan separah ini, ketika ia harus mengakui kesalahannya sendirian, ketika lawannya adalah manusia yang dianggap begitu suci. Rini mengutuk dalam hati, Nur Jahanam anjing, taik, babi, dan segala kebun binatang lainnya. Tapi lain dengan hatinya yang mengutuk, Rini memegang tangan Nur Jannah. Tak rela kata-kata keluar hingga air mata membanjiri mata Rini. Ucapnya perlahan, terbata-bata, suara itu seakan tidak rela keluar dari tenggorokan Rini, tapi ia harus keluar demi kebaikan Rini, demi kesembuhan Rini.
“Maafin aku Nur, aku bener-bener salah kemarin. Aku janji gak bakal sakitin kamu, khilaf kemarin aku, kamu mau maafin aku Nur?”
Nur Jannah tidak membalas langsung, dia perlahan melepas tangan Rini yang menggandengnya. Ia tengok wakil kepala sekolah dan guru BK yang menatapnya, memberi isyarat pada Nur Jannah untuk memaafkan Rini yang ada di hadapannya.
“Iya aku maafin.”
Begitu? Permintaan maaf satu arah? Dia merasa gak bersalah sama sekali? Si Nur Jahanam ini! Amarah Rini memuncak-muncak, tangan yang terlepas dari gandeng itu mengepal, urat nadi di kepalanya keluar. Jika saja bukan dihadapan wakil kepala sekolah, jika saja bukan di hadapan BK, jika saja bukan karena Rini ingin sembuh, bukan jambak yang akan Rini berikan padanya, tapi tempeleng yang keras, untuk membangunkan cewek sialan ini bangun dari delusinya.
Tapi Rini menatap realita, hanya ini yang bisa dilakukannya.
Saat itu wakil kepala sekolah tersenyum, guru BK juga, mereka berdua puas bahwa masalah ini selesai dengan mudahnya. Wakil kepala sekolah lalu menepuk pundak Nur Jannah.
“Mulia sekali kamu Nur Jannah. Memberi maaf pada seseorang walau memang susah adalah tindakan dari hati yang mulia.”
Rini segera keluar dari ruangan tersebut tanpa pamit, muak, dan ingin muntah. Dia tak pernah merasa semuak ini seumur hidupnya.
***
Hati Iis gundah, tak bisa masuk pelajaran yang diajarkan sang guru yang tak bosan menulis di depan papan tulis, tak bisa tulisan-tulisan di buku paket tebal mahal biologinya masuk dalam pikirannya untuk paham kata-kata asing macam Glikolisis, Jalur EMP, Krebs, dan omong kosong lainnya melihat wajah Rini yang tertempel di meja, dengan air matanya yang mengalir hingga becek membasahi buku tulis Iis. Tangis Rini memang tidak meraung-raung, tapi terlihat begitu menderita.
“Psst, Rin kamu gak papa?”
Berbisik Iis di telinga Rini, dan Rini segera mengangkat wajahnya dari meja. Ia lihat Iis yang terlihat khawatir padanya, ah, dia satu-satunya orang yang bisa kucurhati pikir Rini. Tapi saat itu juga Rini ingat tulisan ‘Sinting’ yang tertampang di dada Rini dulu dan tak lain itu semua dari tanggapan Iis terhadap Rini. Rini yang mengingat ingatan pahit tiba-tiba menangis semakin kencang. Sang guru yang sebenarnya dari tadi sadar bahwa Rini menangis akhirnya muak juga ketika suara keluar dari mulut Rini. Iis menyadari ini, dia tahu guru biologi ini sering melempari kapur ke muridnya yang ketahuan ngobrol.
“Ssstt Rin! Rin!”
“Huaaaaa!!”
Lalu kapur terlempar tepat ke jidat Rini.
***
Waktu istirahat tiba, kelas begitu kosong, semua anak pergi ke kantin kecuali Rini dan Iis. Air mata Rini sudah kering, tapi sedihnya masih membuat dia tidak bisa menegakan wajahnya sehingga pipinya masih tertempel di meja, mungkin jika dilepas membekaslah wajah itu oleh ulir-ulir mejanya yang berlubang karena rayap. Sedangkan saat itu Iis hanya diam, melihat handphonenya yang tidak ada notifikasi, dalam hatinya Iis ingin berbicara dengan Rini tapi bingung untuk memulai pembicaraan dari mana, dan malah Rini yang bicara duluan.
“Gak pergi ke kantin kamu Is?”
Rini bertanya sambil wajahnya yang tetap berada di meja. Bicaranya seperti anak yang baru nangis, terbata-bata, sambil menghisap ingus. Iis akhirnya menghela nafasnya, memutuskan untuk bicara terus terang.
“Aku khawatir sama kamu Rin.”
Rini kaget, wajahnya memerah, ada orang yang khawatir padanya.
“Kamu kalo mau curhat, bilang aja ke aku. Aku dengerin sampe kamu puas, tapi kamu jangan sedih kayak gini lagi yah?”
Rini terharu. Dia lupakan tulisan ‘sinting’ yang muncul padanya. Dia segera membangunkan wajahnya, dan benar, banyak pola aneh yang tertempel di pipi Rini yang merah, membuat Iis pingin ketawa, tapi ditahannya. Segera saat itu Rini memegang tangan Iis yang kecil itu, dia rasakan teman asing disebelahnya ternyata sosok malaikat digelapnya masa-masa cobaan hidup yang Rini rasai kini.
“Beneran kamu mau dengerin aku curhat?”
“Tentang Nur Jannah kan? Katanya kamu punya cerita versi kamu sendiri Rin.”
“Iya, iya, kupikir gak ada yang mau dengerin aku!”
Iis sebenernya pikir versi populer memang masuk akal sekali, dimana Rini marah karena Nur Jannah menolak memberi PR, tapi Iis ingin menjadi pendengar yang baik. Ia ingin teman disebelahnya ini baikan.
“Yaudah coba kamu cerita.”
Lalu Rini menceritakan segalanya, soal dia ingin berbicara dengan Nur Jannah, ketika Nur Jannah membanting bukunya ke tanah dan membentak Rini, segalanya, kecuali fakta bahwa Rini bisa melihat kata-kata di wajahnya. Iis mengangguk-ngangguk, walau tak bisa membayangkan Nur Jannah melakukan itu, tapi Rini yang Iis kenal selama ini memang bukan tipe cewek pembohong, lebih tepatnya kelewat jujur dan blak-blakan. Mungkin sifat kasar dan frontalnya perwujudan dari sikap polosnya itu.
“Mungkin Nur Jannah lagi ada masalah hari itu.”
“Tapi tetep, siapa yang gak marah digituin?! Semuanya juga, seakan-akan suci Nur Jannah itu, semuanya nyalahin aku. Bahkan orang guru-guru?! Brengsek semuanya!”
Rini sudah merasa lega, benar-benar lega dia bisa bercerita keluh kesahnya, dan lebih tepatnya didengarkan. Iis juga terlihat mempercayai ceritanya, Rini sangat senang dengan hal tersebut. Tapi hanya satu lagi keluh kesahnya, penyakitnya itu, tapi apa Rini bisa bercerita perihal sakit jiwanya ke Iis? Rini menahan niatnya, mencoba untuk tidak secara langsung menceritakannya.
“Is aku sebenernya selama ini lagi galau, mungkin kalo aku gak galau, gak bakal aku berantem sama Nur Jannah..”
Kaget Iis mendengar Rini galau. Rini yang berantem ketika pacarnya selingkuh, dia marah, tapi galau? Rini yang ujiannya sering berlompat-lompat dari angka 1 sampai 5, dia memang kesal, tapi galau? Mungkin karena Rini tidak pernah curhat ke Iis dan baru ini saja, tapi Rini selama ini memang tidak pernah kelihatan galau seperti gadis-gadis di kelas lainnya. Kini mendengar Rini seperti ini membuat Iis berpikir bahwa Rini ini seperti gadis normal kebanyakan.
“Galau apa Rin?”
“Kamu tahu.. emm.. kalo orang nilai kamu gitu? Yang enggak-enggak, padahal kita gak deket, atau mungkin salah paham.”
“Sosial labeling? Stigma sosial?”
Rini baru dengar istilah seperti itu, kalo dipikir-pikir kata ‘label’ memang paling pas dengan masalahnya. Untuk yang ‘Stigma’, Rini tidak paham, baru dengar saja ia sudah lupa.
“Iya itu. Aku galau soal labeling itu Is, aku merasa semua orang labeling aku jelek Is, dan semakin kupikirin, semakin sedih aku jadinya.”
Iis menghela nafasnya. Ia jadi kepikiran dulu pernah kepikiran hal yang sama dengan Rini. Iis pikir ini masalah yang mungkin umum bagi gadis seperti dirinya juga kebanyakan, dan kini hal yang sama terjadi oleh Rini: Ia mulai khawatir tentang pendapat sekitar terhadap dirinya. Kadang kegalauan yang semacam ini membuat mereka ingin ke salon, mempercantik diri, punya segala hal yang lagi trendi, up to date dengan apa yang sedang populer dikalangan cewek-cewek, atau bisa jadi malah yang berlainan sama sekali, menjadi alim dan soleha, hidup yang Iis pikir menyusahkan baginya di masa lalu.
“Kamu mau denger pendapatku soal ini Rin?”
“Iya.”
Iis berpikir dulu, dia memang pernah resah, tapi sekarang sudah dia gak pikiri lagi. Mungkin karena gak dipikirin itu Iis merasa baik-baik saja kini. Ah, setelah dipikir-pikir kini Iis mendapatkan ilham.
"Label itu gak mungkin bisa dihindari Rin, bahkan seasing apapun kamu. Sekali kamu lewati pintu itu,” Iis menunjuk ke pintu kelasnya, “Seribu label segera melekat di tubuh kamu, jeleklah, sombonglah, dan lainnya. Yang udah pasti kayak gitu gak usah dipikirin.”
Ada benarnya pikiran Iis, tapi permasalahannya Rini bisa melihat apa yang orang labeli padanya, dan tidak peduli bukanlah pilihan, Rini akan terus dihantui oleh label-label tersebut, coretan-coretan di wajahnya, kecuali Rini sembuh olehnya. Melihat wajah Rini yang belum puas dan semakin gundah, Iis mulai berpikir lagi, dan tiba-tiba saja kalimat selanjutnya keluar dari mulutnya.
“Tapi jika memang kamu ingin nyaman yah kamu harus semakin kenal dengan mereka, sadar dengan sekitar, dan jadi baik. Itu aja sih."
Rini tersenyum, ia mengangguk-ngangguk. Pendapat Iis mirip dengan psikiaternya.
“Kamu lihat kerudung sama baju ini? Startnya bagus gak?”
Rini bertanya dengan senyum lebarnya. Iis ingat-ingat, si Rini ini selalu berpakaian ketat, rok sedengkul, kerudung jika ada pelajaran agama saja, itupun sering cabut. Untuk kisaran gadis kayak Rini, Iis pikir tentu itu perubahan besar baginya.
“Bagus kok, tapi gak cuman penampilan aja loh Rin, perilaku juga.”
Rini mengangguk-ngangguk, hatinya kini berbunga-bunga. Akhirnya ia punya teman, teman yang bisa ia ceritakan hingga masalah-masalahnya, teman yang setuju padanya. Dia tak pernah cerita hati ke hati seperti ini kepada gengnya, paling yang remeh temeh, misal soal korea gitu. Ia saat itu memegang pundak Iis, dan Iis kaget Rini melakukan itu.
"Aku sadar setelah kejadianku dengan Nur Jannah, ternyata aku belum deket sama semuanya, bahkan sama geng-gengku sendiri. Is, mau kamu jadi temen deketku?"
Entah mengapa begitu aneh Iis mendengar ucapan Rini, polos sekali, bahkan condong memalukan, tapi entah mengapa Iis juga sama senangnya.
“Iya Rin.”
Iis mengangguk, wajahnya memerah malu. Rini saat itu sadar bahwa dengan adanya seorang teman dekat atau seorang sahabat, masalah yang Rini rasai entah mengapa terasa lebih ringan dari sebelumnya.
“Oh iya, Is.”
“Apa Rin?”
“Kamu nonton Descendants of the sun?”
***
Di ruangan psikiater, Rini asik bercerita mengenai keluh kesahnya di sekolah, juga betapa senangnya dia kini mendapatkan sahabat baru, mengulangi kutipan kata yang Iis berikan. Saat itu terdapat perasaan senang dari sang psikiatris yang melihat sifat Rini yang ceria tidak seperti kemarin. Tapi Rini ketika itu sadar ada yang aneh di wajah sang psikiatris, terdapat lebam di pipi kiri psikiatris juga luka di bibir kirinya. Dia juga tidak menggunakan kaca frame tipis, melainkan kaca frame tebal yang sudah kelihatan usang. Bajunya tidak stylish, hanya baju formal biasa.
“Mbak, itu wajahnya kenapa?”
“Jatuh kepeleset di rumah, sekarang juga ganti pake kacamata lama, yang kemarin pecah.”
Rini segera menerima jawaban psikiatris tersebut, dan sang psikiatris sesungguhnya berbohong, alasan yang dia berikan ke setiap orang yang bertanya padanya. Rini kemudian bercerita kembali, sang psikiatris terus mendengarkan, membiarkan waktu terus terlewat hingga selesai sesi ini. Dia menulis dan menyimpulkan bahwa terdapat perkembangan yang baik bagi Rini walau terdapat penolakan bagi Rini untuk berimpresi menjadi gadis baik, tapi keberadaan teman barunya membantu perkembangan Rini, ia mungkin harus menyarankan untuk mereka saling berhubungan secara intens. Melihat sang psikiatris sedang fokus menulis dan menyimpulkan, Rini terdiam sebentar, dan ingin sekali bertanya pada psikiatris tersebut mengenai unek-unek di hatinya yang tiba-tiba saja muncul dalam sesi curhat ini.
“Mbak kan psikiatris?”
“Iya?”
“Psikiatris-kan dengerin dan nyembuhin permasalahan orang stress yah mbak?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Apa mbak psikiatris sendiri gak punya masalah?”
Psikiatris tersebut menyadari bahwa Rini melihat kegelisahan hatinya sehingga dia bertanya demikian. Tentu, dan ya, seorang psikiatris juga manusia. Sepaham-pahamnya dia dengan masalah psikis seseorang, dia kadang memiliki ketidakseimbangan psikologi ketika dihadapkan dengan masalah, pikir psikiatris tersebut. Mengingat hal tersebut, sang psikiatris tiba-tiba berkeringat, diam-diam kegugupan muncul dalam hatinya. Setelah Rinipun masih banyak pasien yang lain, dan apakah kegelisahannya akan memberikan efek pada pasien lain? Sang psikiatris kini sadar akan kepemulaan dia di konteks kejiawaan ini dalam 2 tahun profesinya.
“Ya, setiap orang saya pikir punya masalah tersendiri dalam hidupnya. Dan sama kayak dek Rini, saya juga ada orang yang mendengarkan masalah saya, ngasih saran saya, seperti dokter yang tidak bisa mengoperasi dirinya sendiri ketika dia kena penyakit kronis.”
“Masuk akal.”
Rini tersenyum sedikit, ia keluarkan hapenya malu-malu.
“Mbak, kalo mau, kita bisa saling curhat. Saya minta nomor hape mbak dong.”
Sang psikiatris merasa resah, rasanya ia hanya ingin hubungan pasien dan psikiatrisnya berlangsung di ruangan ini saja. Tapi mengingat Rini masih remaja dan tidak paham hubungan professional ini, rasanya begitu buruk untuk menolak ajakan berkawan ini. Sang psikiatris saat itu memberi nomor hape, Rini tersenyum lebar.
“Boleh saya panggil mba psikiatris, mba Nina saja?”
“Terserah dek Rini aja.”
Sang psikiatris melihat bahwa Rini kini mulai menunjukan sifat aktif untuk mendalami setiap orang yang ditemuinya, sikap yang baru-baru ini muncul. Mungkin memang cara seperti ini yang paling efektif untuk menyembuhkan Rini.
“Mbak Nina nonton Descendants of the sun?”
***
Ayah dan ibu Rini melihat anaknya begitu bahagia, memijati sang ayah yang habis bekerja, membantu ibu mencuci piring. Aneh sekali, aneh sekali anak mereka! Pikir ayah dan ibu Rini. Sedang jatuh cintakah anak ini? Ah, si Jepri berandalan itu? Si ibu usil menanyakan Jepri, ternyata sudah putus. Ayah bertanya apa ada pacar baru? Tidak katanya, baru saja putus kemarin masa udah pingin punya pacar baru.
Ketika Rini ke WC, sang ibu bercerita pada sang ayah bahwa Rini kini menggunakan pakaian sopan yang tak pernah dipakainya, memakai kerudung yang juga jarang dipakai. Mereka berdua tentu berpikir Rini sedang mendekati cowok, mungkin cowoknya agak alim, tidak seperti Jepri berandal itu, ya, hanya itu alasan Rini berubah pesat seperti ini, pikir mereka.
Ketika itu di WC, Rini sedang asik bertukar pesan dengan Iis, kadang dengan mbak Nina. Dulu dia juga begini sama geng-gengnya di grup BBM, tapi secara personal ternyata begitu berbeda dan begitu asik. Selesai urusannya, Rini segera mencuci muka, dan tanpa sadar Rini melihat wajahnya di kaca.
Ia segera mengelak, seperti melihat suatu penampakan. Rini hanya melihat sekilas, tapi seakan bayangan tulisan itu semakin nyata dalam pikirannya. Rini tidak mau mengingatnya, Rini tak mau hari bahagianya ini segera hilang dan jatuh dalam kesedihan hatinya lagi. Lupakan, lupakan, lupakan!
Tiba-tiba ayah dan ibu mendengar suara kaca pecah di kamar mandi.
***