Minggu, 19 Juni 2016

Cerpen: Kutinggal Ia Mati

Entah bagaimana aku bisa berada dalam situasi saat ini. Hari sudah gelap gulita yang sepi, handphoneku mati, kendaraan kubawa melesat cepat diantara jalan yang hanya diterangi pencahayaan yang sedikit. Disitu kuperhatikan, terlihat samar-samar ada seorang yang melolong minta tolong. Suara itu familiar, mirip sekali dengan seorang yang kukenal. Kuperlambat mobilku, dan seketika itu aku melihatnya, pakaian yang sama, rambut yang sama, kenalanku di kantor kini sedang berada di aspal jalan.

Instingku sebagai seorang yang mengenalnya tentu memberhentikan mobil, keluar, dan berlari ke arah suara itu.

Lalu ketika telah tampak tubuh yang tersungkur di jalan itu, aku langsung menutup mulutku sembari merasakan kaget dalam dadaku. Ya, orang itu benar kenalanku. Dia tergeletak bersimbah darah, kontras dengan aspal jalanan, bau darah yang tajam sampai hidungku, dia terus menekannya dengan tangannya, namun percuma, darah itu tetap mengalir.

“Kenapa kau kawanku?”

Tak tahu apa yang harus keluar dari mulutku, aku malah bertanya demikian. Sesungguhnya tak penting menanyakan alasan ketika seorang sedang sekarat beradu maut.

“Oh kawan, aku baru saja ditabrak lari. Tolong aku.”

Aku duduk disampingnya. Kuketahui tulangnya telah berpindah, badannya terputar dengan anehnya, darah yang ia tekan ternyata menyembunyikan isi perutnya telah tumpah, kini nafasnya juga tersengal-sengal. Dalam keadaan seperti ini, apa yang bisa kutolong?

“Aku bisa menolong apa kawanku? Tak pernah sekali aku menemui kondisi setragis dirimu ini.”

“Hubungi seseorang, taruh aku di kendaraanmu, apapun itu, tolong!”

Aku tentu panik, memegang badan kenalanku ini tiba-tiba ia berteriak kesakitan. Kusadari tulangnya mungkin sudah remuk. Ketika kucoba miringkan, isi perutnya tumpah, begitu pula kondisi tubuhnya yang berputar mungkin berbahaya untuk kuangkat. Bagaimana aku membawanya? Aku harus berpikir, bisa saja memang aku bawa dia ke mobilku. Tapi jangan-jangan karena kuangkat, dia bisa saja mati.

Ah, serius, aku sekali lagi belum pernah menyelamatkan orang dalam kondisi seperti ini. Aku bukan orang yang memiliki kredibelitas, bukan orang yang pantas. Tentu jika ada orang yang tertabrak, maka orang yang tak tahu dan tak mampu lekas minggir dan yang berbadan besar juga tahu kondisi akan menolong orang yang tertabrak, meminggirkannya ke samping jalan.

Jika saja aku salah memindahkannya, maka aku membunuhnya.

Jika aku tidak segera menolongnya, dia akan mati.

Tapi jelas, apapun itu, maut lekas dekat.

Lalu dia memang kenalanku, tapi apa dia benar-benar seorang kawan, dia juga bukan karabat, apalagi saudara?

Kuperhatikan di kejauhan, tidak ada mobil yang akan lewat. Tentu hanya aku satu-satunya harapan yang ia miliki. Ia tentu tak mau mati. Tapi aku juga tak mau celaka, jika aku dituduh membunuhnya, berabe sudah.

“Maaf kawanku, aku benar-benar tak bisa menolongmu, bagaimanapun aku akan membuatmu mati, dan aku juga akan rugi!”

“Tolong, aku takkan menyalahkanmu, apapun itu, aku harus hidup.”

“Maafkan aku, kawan... ah bukan, kenalanku di kantor.”

Lalu aku tinggalkan tubuh yang sudah lemas kehilangan harap itu. Kunaiki mobil lagi, kunyalakan musik, dan mulai berjalan. Kuperhatikan di kaca spion, orang itu sudah kehabisan darahnya dan mati. Benar, maut memang sudah ditenggorokannya.

Mungkin ada benarnya kutinggal ia mati.

Tapi benak merasa ada yang salah.

Bagaimana jika aku ada pada kondisi dirinya?

Jurnal Harian: Memahami Genre Tragedi

Kemarin setelah shalat jumat, ngobrol-ngobrol soal ide cerita, temen kosan bertanya mengenai genre dan eksekusi cerita, kenapa ceritanya memakai unsur tragedi? Bukannya cerita harus mampu menyenangkan diri seseorang?

Saya pikir acuan kita untuk memahami cerita tragedi harus kembali pada kisah tragedi greeks, terutama dengan acuan The Poetics Aristotle dalam ulasannya tentang Katharsis. Pernyataan ini mengacu pada apa point dari tragedi itu sendiri, yang selalu menjadi pakem dari kisah-kisah yunani dimana tokoh utamanya mengalami Peripeteia, atau perubahan nasib dari hebat menjadi menyedihkan. Genre Tragedi mengingatkan bahwa kesalahan kecil ataupun sesuatu yang kita tidak duga mampu menghancurkan hidup menjadi berantakan, dalam hal ini tragedi bermain dalam lingkup nyata bahwa hal buruk sangat bisa terjadi pada semua orang, bahkan pada diri kita sendiri.

Manusia yang jarang melihat ini dan selalu terjebak dalam kisah-kisah utopis untuk terjaga dalam delusi yang menurut saya nantinya akan cenderung berhati keras, susah untuk berempati, dan berlebihan dalam ketakutannya atau tidak cukup dalam merasa takut ketika dihadapkan dalam masalah. Dengan mengingat kisah tragedi dalam keseharian dan merenungkannya, kita akan melihat lebih jelas dalam permasalahan hidup, menyadarkan diri kita tentang fakta kehidupan yang pahit, dan utamanya, melatih rasa empati dan rasa kasih ketika melihat sesamanya mengalami celaka dalam hidupnya.

Terakhir diskusi saya bilang tidak semua penulis menaruh tragedi untuk tujuan yang sama, beberapa hanya untuk sekedar storytelling yang menarik (semacam shock value) dan saya tidak bisa salahkan juga, karena tragedi kadang mampu menyenangkan pembaca bukan? Setidaknya selama masih ada masalah yang menarik, diikuti eksekusi yang bagus dan konklusi yang memuaskan.

Mengingat hal yang sudah saya tulis diatas, genre tragedi saya pikir adalah bacaan penting yang setidaknya bisa dijadikan selingan dari novel-novel ringan yang jadi makanan kita sehari-sehari. Buku harus bisa menjadi bentuk terapi diri, dia juga harus bisa membawa pembacanya dalam kedewasaan, membimbing pembaca ke suatu tempat tujuan yang jarang orang-orang sampai padanya, karenanya kita harus pintar-pintar memilih bacaan (mungkin juga dalam menulis).

"Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini." - P.A Toer, Bumi Manusia.