Kamis, 05 Januari 2017

Mémoire: Prologue



Pagar-pagar tinggi berkawat tajam, disertai dengan lampu-lampu tembak, dan dihiasi dengan kebun-kebun berbunga untuk menutupi keangkerannya. Tempat ini dijauhi oleh anak-anak yang menggosipkan bahwa tempat ini merupakan sarang para psikopat yang tidak dapat ditahan di penjara, dan kabar burung ini berasal dari para tua berbau tanah yang nongkrong di warung kopi yang begitu serius mendiskusikannya, selagi muda mentertawai, gosip ini menyebar begitu saja.

Tapi memang demikian tampak angker sebanyak apapun bunga dirangkai di depannya, dengan satpam-satpam bermuka galak yang siaga membawa tongkat tonfa. Warga kampung sendiri sebenarnya kenal beberapa yang tinggal di tempat itu, ada Pak Sumardi yang tinggal sendiri di kediamannya, tak mau keluar, dikiranya berdukun sekarang tinggal di tempat ini. Johan yang diikat dirumahnya lebih dari 3 tahun tanpa pakaian oleh orang tuanya sendiri sekarang tinggal di tempat ini. Lalu Pak Johan yang keliling kampung tanpa pakaian, yang kemudian dikenali anaknya yang baru pulang dari perantauan kini tinggal disana.

Ya, tempat itu Rumah sakit jiwa, tepatnya Rumah Sakit Jiwa Dharma Kusuma.

Pagar tinggi RS Jiwa ini jarang terbuka setelah direnovasi sehingga tidak banyak pasien (atau warga kampung menyebutnya tahanan) yang kabur, namun kali ini berbeda. Anak-anak mengikuti truk box yang membawa sesuatu, diikuti oleh mobil-mobil mewah di belakangnya. Pagar tersebut terbuka, diikuti orang-orang berjas putih yang menyambut mobil box itu. Di dalam sudah ada panggung, sound system, dan orang yang menyiapkan pigura beserta piagam. Sebuah Banner yang baru dipasang beberapa jam yang lalu mempelihatkan wajah yang tidak tersenyum, serius, lelaki yang mungkin telah berumur 60an, yang baru-baru ini sempat muncul di TV sebagai peraih nobel pertama dari Indonesia, Prof. Fuadi Darwis, SpKJ, Ph.D.

Para dokter tua maupun muda berkeringat melihat sosok luar biasa datang ke rumah sakit jiwa mereka yang sepi, dekat kampung, yang tiba-tiba mendapati kehormatan mendapatkan hasil research luar biasa dari sosok ini. Mereka dipilih setelah Prof. Fuadi Darwis melihat berkas kasus-kasus kejiwaan dan prognosis dari penyebab neurosis pada pasien, dan dia menemukan sesuatu yang menarik pada salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini.

Prof. Fuadi berdiri di atas panggung setelah berbincang-bincang dengan kepala rumah sakit. Mesin ajaib dikeluarkan dari mobil box, dan diletakan di atas panggung. Orang-orang terguncang melihat kemewahan dari mesin sederhana itu, yang tersembunyi harga yang sama dengan mobil Porsche terbaru. Alat itu kini menjadi primadona para mahasiswa medis dalam melakukan penilitian, jurnal-jurnal mencoba mengidentifikasi potensi dari alat tersebut, dan si pemulai, Prof. Fuadi ada di hadapan mereka, berbicara seperti detik-detik Live ketika dia berada di atas panggung penerimaan Nobel dalam bidang studi medis karena studi kasusnya mengenai penyembuhan neurosis lewat terminasi memori traumatic lewat mesin ajaibnya itu, yang dibuktikan di negeri paman sam sana, telah menyembuhkan gejala neurosis lebih dari 95% pasien dari ratusan sample pasien dari banyak rumah sakit berbeda, suatu kesuksesan dan revolusi besar dalam dunia medis kejiwaan saat ini.

Orang-orang masih ingat kata-katanya yang membuat seluruh panggung terdiam, dan kini ia ucapkan kembali ketika melihat pasien yang akan ditreatment disini, Febriansyah Putra yang terdiam dalam mata kosongnya, yang menetes air liurnya. Menatap kosong jauh ke antara pagar-pagar ketika seluruh massa memandangnya.

“Saya ingin membuktikan pertanyaan saya selama ini, apakah suatu individu itu eksis karena ia terbentuk dari tiupan arwah oleh tuhan yang tertakdirkannya menjadi unik, ataukah ia terbentuk dari DNA dalam random dan absurditas dunia yang membuatnya seperti demikian, dan terakhir ataukah memori yang selama ini terbentuk selama hidupnya yang membuat seorang menjadi individu yang selama ini kita kenal? Bagaimana jika kita merengutnya, masihkah mereka adalah individu yang sama, atau dia menjadi seorang yang lain, seperti arwah atau nyawa yang lain, yang demikian A bukan A lagi tapi adalah B? Ratusan pasien, dan saya masih belum memahaminya dengan sempurna saudara-saudara.”

Dia menurunkan badannya seakan dia menghamba kepada Febriansyah Putra yang masih terjebak dalam dunianya. Dunia idealnya. Dipegang tangannya dengan lembut, dan tak ada perlawanan dari seorang penyakit jiwa ini.

“Dan Pemuda ini akan menjawabnya.”

Sekali lagi semuanya terdiam, sebagaimana panggung internasional yang penuh dengan manusia-manusia yang memiliki kontribusi besar pada dunia terdiam.

Dan pasien kelaian jiwa itu tidak peduli, hatinya sepenuhnya bahagia melihat seorang gadis dan ibunya melambai-lambai padanya di balik kebun bunga terbakar yang menyembunyikan pagar-pagar jauh di hadapannya.