Cerpen ini sebenernya cerpen yang terinspirasi dari cerpen punya kakak. Diblend antara narasi kakak dan gw sendiri, dan tentunya hampir kesuluruhan cerita berbeda hingga interpetasinya walau ada yang dipinjam sana dan sini. Cameo gw masukin dari tokoh Farid beserta backgroundnya yang merupakan kisah utama kakak dan beserta nama kakak gw juga (Ricky Kinanti Sulistiyo).
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sarang Peluru
By Reza Pratama Nugraha
Mereka akan hukum tembak aku, 15 menit lagi, dan
setidaknya aku sudah menunggu sejak 5 tahun yang lalu, diulur-ulur sampai bosan
ingin kugigit lidah ini. Kematian kini bagai harapan dari ruang sempit, makan
bersama dengan tahik-tahikku, berbicara dengan lalat setiap harinya. Bau mesiu
seperti bau kemenangan yang kunanti-nantikan, apalagi mayat-mayat yang
melewatiku, dibopong dengan tandu, ditutupi mata dan dahinya, dan kulihat
senyumnya itu. Senyum yang mungkin akan kulepaskan nanti.
Tapi
sedemikian rupa pikiranku memuja kematian, badanku tidak berkata demikian. Dia
mengutuk, memberiku mimpi buruk, neraka, hanya neraka tempat penantianku.
Gemetar aku dibuatnya, kakiku, bulu kudukku, air mataku yang keluar. Aku benci
kemunafikan, dan kemunafikan muncul dalam alam bawah sadar terdalamku.
Dor!
Suara
tembakan, Sniper
Rifle Pietro Beretta, peluru berkaliber CF 18mm dengan daya letus piston
92FS, tertulis di lembaran detil eksekusiku, dan aku makin-makin familiar
dengan suara teman baruku ini. Karena aku akan jadi sarangnya nanti, aku akan
menjadi sarang peluru.
Dor!
Mereka
tembak dua kali, yang berarti satu meleset, atau mungkin yang ditembak belum
benar-benar mati.
Kini
mayat digiring lagi. Satu mengenai leher, lalu kedua mengenai kepala. Kini
bibir yang lewat tidak lagi senyum, dengan darah yang bercecer di mana-mana,
dan mulut yang terlihat meringis, dia salah satu yang tidak beruntung untuk
bertemu dengan kematian.
Mungkin
saja karma.
Ya, kita
yang mau dihukum mati ini punya banyak cerita, dan bentuk kematian kita mungkin
merupakan wujud karma dari segala kisah yang telah kita bentuk. Dia yang mati
pertama, Anton, aku kenal baik dengan dirinya. Seorang marxis, anarkis, ia
rencanakan suatu kudeta untuk menyelamatkan negeri ini dari para pria gemuk
kapitalis yang menggerogoti negeri ini hingga akar-akarnya, dan lucunya ia
malah dimaki sedemikian rupa oleh masyarakat, disumpahi mati ketika ketahuan
perbuatannya itu. Walau demikian, matinya ia pikir adalah suatu buah yang manis
dan bukanlah suatu kesia-siaan, atas niat baiknya jika saja benar apa yang ia
perjuangkan itu, tuhan mungkin berikan dia tempat di neraka sana dengan para
penjunjung revolusi seperti Che Guevara dan mungkin Karl Marx sendiri si
empunya teori, membahas teori-teori politik dan topik kemanusiaan sambil
menyeduh kopi.
Satu
lagi namanya Farid Agdianto, yang salah tembak tadi. Nah, yang ini menarik,
terkenal di koran-koran juga televisi, tragis tapi bangsat. Pedofil, tapi
dibalik itu dia juga hasil buah korban pedofil, diperkosa ayahnya hingga tidak
bisa libido di depan wanita telanjang sekalipun. Diperkosanya anak-anak, lalu
dibunuh. Dia juga bunuh menantunya, lalu dia bunuh ibunya. Bangsat memang, tapi
ini salah nasib memang akal sehatnya menghilang, setidaknya cukup berakal untuk
menceritakan kisahnya ke diriku.
Kalo
aku?
Oh, aku tidak
seperti mereka. Tak bisa salahkan dunia kapitalis seperti Anton yang dibunuh
kaum pemodal, ataupun salahkan dunia yang kurang kemanusiaan seperti Farid yang
kemudian kehilangan akal dan nuraninya.
Emakku
orang baik-baik seperti emak-emak lainnya, Abah pekerja yang rela banting
tulang tanpa mengeluh demi membawaku ke sekolah tinggi, jadi tolong jangan
salahkan mereka. Aku dididik untuk shalat 5 waktu tepat waktu, mengaji habis
magrib (walau paling 2 lembar quran tanpa terjemahan saja yang kubaca), banyak
membaca buku agar tidak tolol, dan dipaksanya aku untuk tidak bekerja, hanya
belajar, belajar, dan belajar, untuk bisa berkontribusi di negeri ini, mau jadi
dokter, usahawan, atau yah, guru, untuk bikin pintar warga desa tolol lainnya
agar setidaknya bisa membaca dan berhitung. Mereka orang yang baik-baik, dan
aku hidup di lingkungan yang baik pula.
Lalu apa
yang salah?
Tidak,
tidak ada yang salah. Hanya aku yang tolol. Kisahku sekali lagi tidak semenarik
apa yang dilalui dua lelaki tadi. Aku hanya lelaki yang kalap melihat sosok
betina genit yang sembunyi-sembunyi selingkuh dariku (kusebut betina karena dia
tak lebih dari binatang penuh birahi di pandanganku sekarang), setelah tahu dia
kerap kali bercumbu setiap aku pergi kerja, kurencanakan pertemuan mereka, lalu
kubunuh dengan keji wanita jalang dan selingkuhannya tepat sebelum mereka
mencapai orgasme, belum selesai sampai disitu, kumutilasi kelamin
selingkuhannya itu yang masih ereksi dan kumasukan ke mulut wanita jalang itu.
Gila memang, benar-benar sinting aku saat itu. Kutelpon polisi untuk cepat
tangkap aku. Pengadilan berjalan sangat lancar, pengacara ogah membelaku dan
sangat jelas apa yang membuatku sampai pada tempat tembak ini: Pembunuhan
berencana yang kelewat keji.
Aku mati
demi cinta yang cetek. Demi satu betina kampung yang bisa kutemukan di segala
pelosok negeri ini. Sudah berapa surat kabar yang menceritakan orang yang
membunuh atas alasan cinta belaka? Demi persoalan selangkangan dan nafsuwi
belaka? Orangtuaku banting tulang 16 tahun membawaku ke gelar sarjana, dan
ternyata anaknya masih bodoh, sebodoh orang kampung yang bunuh-bunuhan karena
masalah betina dan harga diri.
Oh
maafkan aku Abah, Emak, yang jauh-jauh dari kampung untuk melihat kematianku,
untuk membacakanku yasin di kursi kursi tunggu depan ruang mayat, untuk pulang
agar dicaci maki seluruh warga kampung yang baca koran pos kota, kolom
"Nah ini dia!" dengan ilustrasi calon menantumu yang pahanya keluar
halus, lalu pria gendut berinisial 'Y' yang penisnya menonjol besar di antara
selimut, dan sosokku yang memegang golok dengan tampang setan. Maafkan aku.
"Pak
Agus, silahkan?"
Jantungku
berhenti sesaat, panggilan lembut dari pria berjubah putih, sosok yang
seharusnya mungkin adalah aku, si dokter muda. Memakai kaca muta bundar, rambutnya
yang diseka rapih, berkali-kali mewawancarai orang yang sudah ingin berhadapan
dengan maut. Aku sudah berdiri didampingi 2 polisi dengan senjata mereka, 10
menit lamanya, 5 menit lagi berarti eksekusiku. Dia suruh diriku duduk di kursi
datar, mulai menyenter mataku, mendengarkan jantungku melalui stetoskop yang
dikalungkan di leher, dan dipasang Sphygmomanometer di lenganku. Setelahnya dia tulis di
kertas keterangan, dia lihat waktu dan sepertinya belum waktuku, dia kemudian
berbasa-basi denganku:
"Agus
Setiawan? Oh pernah ganti nama dari Agung pas sakit?"
"Oh
sudah 26 tahun, jadi lulusan UI juga, ah, sayang sekali."
"Agama
anda Islam? Sebutkan syahadat ya, nanti. Jangan lupa."
Dia
lihat lagi jamnya, tatapannya berubah, dia lega. Lepas bebannya, hari ini aku
yang terakhir, dan hanya sisa beberapa detik lagi.
Tentu
saja, berapa kali dia menghadap teroris, musuh politik, psikopat, et
cetera. Dia tidak begitu tahu bahwa diriku hanya sekedar pembunuh tengik
kacangan. Bahkan dari apa yang kuterangkan, dia tidak benar-benar mendengar,
bohong mungkin dikira. Muka kampungan seperti ini.
"Bapak
siapa namanya?" Kini aku yang bertanya.
Wajahnya
berubah, sinis, dia tidak senang dengan pertanyaanku. Memang untuk apa orang
yang akan mati beberapa menit lagi ini bertanya soal nama orang asing seperti
dirinya. Ekspresinya lalu berubah lagi menjadi kosong, mungkin kini dia pikir
biar saja. Tidak jadi penting, sosok di depannya hanyalah pasir, sebutir pasir
dari sepanjang eksistensinya di dunia ini. Sebuah jawaban tidak penting ini
tentu tidak jadi persoalan seharusnya, tidak perlu panjang berpikir untuk apa,
dan apa pentingnya. Hanya perihal gerakan lidah, dan udara yang menghempas dari
pita suara.
"Ricky
Kinanti Sulistyo"
"Bagus
namanya, kayak aku yang artinya laki-laki yang setia, nama kita ini doa. Oh
masih berapa menit lagi ini?"
"1
menit"
"Ah,
bisalah kucerita sedikit. Aku ini hampir kayak kamu, dokter, masih masa calon
dokter di daerah terpencil. Jatuh cinta sama gadis kampung genit punya
selangkangan, disini akhirnya aku berada. Tolol memang, tiap hari belajar dari
belum TK sampe sini, gak ada duit buat main, kupelotot buku-buku, sampe
pemerintahan runtuh sama mahasiswa, sampe pemerintah punya lagi pemimpin korup
lainnya, kuhiraukan dan tetep kupelotot ini buku, biar sukses, biar sentosa.
Lalu apa? Aku jatuh sama selangkangan koh, sama nafsu. Kurelakan eksistensi
sekali ini demi sifat primitif, jauh dari dunia manusia, aku jadi binatang.
Aih, mungkin bukan aku saja. Matamu itu tahu lebih banyak dari aku perihal
ini."
Seakan
aku ingin memberinya petuah, peringatan, atau mungkin refleksiku sebelum mati.
Meninggal untuk benar-benar meninggalkan pesan. Tapi dokter ini tidak
mendengar, dia tatap handphonenya yang bisa kulihat jelas, sms dari ayang.
"Ya,
pak. Em, pak polisi tolong."
Dua pria
lalu menarik bahuku, mendekapnya di antara dada-dada mereka yang tegap. Kulihat
jam, sudah lewat 15 detik.
Diseretnya
aku. Kencing diriku di celana. Polisi ini seperti sudah biasa, sudah keseharian.
Keringatku keluar menyeruak seperti kehujanan diriku dibuatnya, kerongkonganku
kering, aku minta minum tapi tidak diperbolehkan. Apa aku harus mati kehausan?
Ah, sudah telat sih.
Kini aku sudah berada di lapangan tembak. Dikelilingi
orang bersenjata, tegap, hitam. Ditemani bau amis darah, belum sempat
dibersihkan, mungkin habis ini biar sekalian saja. Salah satu pria dengan
tatapnya tajam, ah, aku tahu dia yang ingin mengeksekusi diriku. Tak ada rasa
ragu kupikir dalam hatinya, bahwa dia akan membunuh seorang manusia, yang
berlaku kejahatan karena ia lahir di tempat, dan waktu yang salah. Tak
pernahkah para penembak itu merasa, bahwa bisa saja mereka yang berada di
hadapan moncong yang akan mereka tembakan itu, jika saja tuhan iseng meniupkan
ruh mereka ke bayi-bayi yang hidup di lingkungan para bajingan?
Diambilnya
senjatanya, dimasukan pelurunya, dan dikokang. Jantungku copot dibuatnya.
Lalu aku
diberdirikan di tengah-tengah lapangan hijau bercampur bercak darah ini,
dibayangi terik matahari. Takutku kemudian semakin nyata saja, perasaan yang
asli muncul dari sanubari yang kutahan, yang kumasukan dan kudempul dalam-dalam
di alam bawah sadar, kini membrontak dan berteriak tak karuan.
Aku ingin hidup!
Kenapa aku ingin hidup ketika sebelumnya aku sudah mantap
memutuskan untuk mati, kenapa pada detik-detik ini? Bangsat!
Oh Tuhan aku menyesal, menyesal sekali! Tolong, Emak,
Abah!
Ah, tubuhku berteriak dalam gemetar, aku ingin berlari
tapi pikiranku menolak, nanti pelurunya kena kaki, terus badan, terus kepala,
sakit matiku. Aku ingin mengigit, mengoyak-ngoyak polisi yang membawaku, toh
dia tidak jauh dariku. Tapi untuk apa? Toh gerakku akan memicu gerak jari pada
pelatuk senapan itu. Inikah yang disebut sebagai insting primitif, untuk
bertahan hidup dengan segala cara apapun?
"Sudah
siap pak?"
Aku
memutuskan untuk menyerah, aku memahaminya, inilah keputusasaan, berada dalam
zona tanpa harapan, tanpa tuhan, tanpa mukjizat. Harusnya aku berdoa saja tadi,
tapi sebosan apa cerita ini jika kuhabiskan dengan berdoa saja?
Krek!
Suara pelatuk.
Seketika
aku ingat Abah dan Emak yang kujanjikan haji, yang uang tabungannya selalu
habis untuk kebutuhanku yang pergi merantau. Adikku Julia yang diterima di
universitas negeri, tapi Abah dan Emak tak bisa masukan dia karena ditolaknya
biaya keringanan, harus keluar kocek puluhan juta karena bangsatnya pendidikan
di negeri ini, aku janji bayari dia. Oh, kucingku, Belang, nanti Julia yang
gantikan kau beri makan. Sahabatku Joseph yang janji sama-sama kita jejaki S3
di luar negeri. Ah... Banyak janji yang kuutarakan. Kusia-siakan semua itu,
demi apa? Demi apa?
Ah..ah..ah..
Tunggu, oh tunggu! Tangan ku songsong kedepan, kelopak tangan kulebarkan,
kuberi tanda berhenti. Biarkan aku bernafas sejenak, biarkan aku...
DOR!!
AAARHHHHK!!!
SAKIT!! Sakit sekali!
Dinginnya
peluru-peluru yang kurasakan hanya sekilas, berubah menjadi rasa panas, sakit
yang tak tertahankan. Aku gigit lidahku sampai putus. Semua mati rasa, kecuali
rasa sakit di jantungku.
Kucoba
menarik nafas, tetapi tak bisa, percuma. Tidak ada udara yang bisa kuhisap.
Ah,
jelas aku mati, dan matiku jelas sedang tidak tersenyum.
Saat ini
aku tidak bisa mendengar apapun, kecuali dengung yang luar biasa berisik. Semua
terasa seperti mimpi, mimpi buruk. Walau mataku dalam keadaan tertutup, aku
bisa merasakan badanku melayang.
Makin
tinggi, makin cepat, dan...
Lalu
hilanglah semuanya.
Kudengar
doa Abah dan Emak, samar-samar juga ada Julia.
...
!?وصدق
دعائك انفرجت
Hah,
suara siapa itu?
!!به أحد
من البشر
Siapa
itu? Aku dimana? Sesak, gelap sekali.
..محال
أن ترى صدر
Kau
bicara apa? Aku tidak mengerti!
Tiba-tiba
entah darimana, cahaya dari bawah menyinari seseorang yang menjadi lawan
bicaraku tersebut, mereka 2 orang. Mereka memakai sorban dengan jubah kotor,
arab sekali, pikirku.
Ah,
Mengapa 2 orang itu membawa pecut yang terbakar?
-End-