Chapter 8 : The Trials
Sebagaimana rasanya melihat tapi tidak mendengar, adalah perasaan mengelak dari ucapan-ucapan yang perlahan menghancurkan hati atas ironi. Seketika kututup salah satu indraku ini, maka lebih peka indraku yang lain. Mulutnya yang bergerak tanpa jeda, ludahnya yang keluar bersamanya tanpa dia beri waktu untuk menelannya, dan tatapannya yang sigap seakan dia ingin kuak kebenaran yang ia pegang, kebenaran yang ia percaya.
Sebagaimana rasanya melihat tapi tidak mendengar, adalah perasaan mengelak dari ucapan-ucapan yang perlahan menghancurkan hati atas ironi. Seketika kututup salah satu indraku ini, maka lebih peka indraku yang lain. Mulutnya yang bergerak tanpa jeda, ludahnya yang keluar bersamanya tanpa dia beri waktu untuk menelannya, dan tatapannya yang sigap seakan dia ingin kuak kebenaran yang ia pegang, kebenaran yang ia percaya.
Ia percaya akan semua kebohongan itu, kebohongan yang ia utarakan. Maka sumpahnya terhadap tuhan ketika dihadapkan kitab dengan dua jarinya yang ia tegakkan, disaksikan tetua dan pendeta, tidaklah benar-benar suatu kepalsuan. Nyatanya kebenaran memang perihal kebenaran versi siapa, dan yang dipercayai siapa, maka khayalan tak bisa disebut kebohongan.
Sebelumnya pertama kali ia ucapkan "Nyonya Racke yang pertama kali memukulnya", lalu aku berdiri membela diriku hanya untuk diarahkan tongkat berdiri Tetua atau kusebut saja tongkat simbol kekuasaan, berteriak menyuruhku diam "Akan ada waktumu untuk berbicara!", dan kini aku hanya diam membisu seketika seluruh penonton mengangguk yakin soal kebangsatan terdakwa ini, si ibu iblis yang menganiaya nenek-nenek tidak berdaya.
Ditengah-tengah itu aku dihujani kerikil, kepalaku dibuatnya berbentuk. Orang-orang melempar kerikil, dan kulindungi kepalaku, seakan pantas saja kuterima hukuman yang prematur ini, padahal mereka tidak tahu jelas duduk perkara disini bahwa diriku juga sama dianiaya. Tapi sebelum mereka mendengar pembelaanku, mereka telah terburu-buru ingin membalas perbuatanku. Kapan lagi? Kapan lagi mereka bisa bersama-sama, berbagi-bagi, saling memberi hukuman terhadap terdakwa ini sebelum tetua memutuskan sesuatu yang mereka takutkan, tidak bisa mereka perlakukan diriku seperti ini?
Tentu saja semua ini bukanlah tahik tengik perkara, namun hanya demi kepuasan batin mereka, menjadi algojo pemberi hukuman atas dosa orang di depan mereka yang sangat-sangat mereka yakini bersalah, dan apapun pembelaanku yang mungkin membebaskanku dari semua ini, aku akan tetap bersalah.
"Jadi tak sekalipun nonya Martha memberi aniaya pada nyonya Lenard?"
"Tidak tetua.."
Dan sekalipun bekas lebam di pipiku bisa mereka lihat baik-baik, tidak ada satupun kesempatan diriku untuk membela. Pernyataan ini akan dicerna, dan padu dalam kisah yang tersimpan di otak-otak para penyaksi menjadi kenyataan. Terlalu lama mereka cerna, semakin nyata pernyataan pria ini. Aku tahu, waktu saat aku diberi kesempatan berbicara hanyalah sebuah momen semu, percuma.
Entah bagaimana seharusnya pengadilan berlangsung, tapi ini jelas cacat. Tidak ada pendampingku, tidak ada pula waktuku membela saat pernyataan diucapkan. Pengadilan ini direka hanya untuk kekalahanku. Saksi adalah kunci setidaknya dari dua pertikaian, dia adalah orang tengah dari ucapan-ucapan para pelaku yang saling membela dirinya sendiri. Pada saat aku akan berbicara nanti, apa yang bisa kuucapkan? Itu pula Nyonya Martha dulu yang akan berbicara setelah pria ini, bukan aku.
Setelah itu kelihatan bahwa perkaraku dengan nenek tua itu sudah selesai diutarakan, sang tetua mempersilahkan si pria itu kembali, tapi ternyata masih ada lagi yang ingin ia ucapkan: katanya aku juga menganiaya dirinya.
"Maksudmu apa tuan William?"
"Nyonya Lenard, tetua, dia melakukan sesuatu dan mungkin karena itu anakku sakit."
Aku berdiri, tapi bisu. Tetua tahu aku akan berbicara, setidaknya berteriak menolak, dan tongkatnya sudah ia tunjukan ke kepalaku.
"Teruskan tuan William."
"Baik tetua. Seperti yang kau tahu penyakit telah menyebar di desa ini. Tapi yang kuucap mungkin bukan suatu kebetulan semata tetua, dari apa yang kami, warga desa diskusikan, ini ada kaitannya dengan Nyonya Lenard, dan aku tahu semua ini terjadi ketika aku melerainya."
Omong kosong apalagi yang ia ucapkan? Aku menengok, dan amukan semakin besar di belakang. Mungkin habis ini bukan lagi kerikil, tapi batu, walau membawa mereka ke atas pengadilan ini juga atas nama aniaya, kemarahan mereka mulai tidak terbendung. Lagipula jika sebagian besar warga desa yang melakukan maka namanya bukan aniaya lagi, kau tidak bisa menangkap seluruh warga desamu. Sedangkan aku disini sasaran tembak panah mereka, tidak tahu menahu apa yang sebenarnya mereka arahkan. Pria ini melanjutkan omongannya, dan seakan telingaku ingin menolaknya kembali, tapi aku ingin tahu, aku ingin tahu apa omong kosong yang telah menyebar di desa ini.
"Nyonya Lenard jelas mengutukku yang memeganginya, karenaku pukulnya tak dikenainya di muka nyonya Martha. Lalu..lalu.."
Tangis pria ini pecah, dan aku tak sekalipun merasa simpati seperti sosok penonton di belakangku.
"Pulang itu terjadi sesuatu pada anakku tetua.. Oh tuhan, anakku demam parah dan keadaannya sudah diambang dunia dengan akhirat.."
"Aku turut berduka tuan William.."
"Omong kosong!"
Mulutku, aku tidak bisa lagi berdiam diri. Jika belakangku tidak mampu membendung kemarahannya, bagaimana pula aku?
"Nyonya Lenard, aku berjanji hukumanmu.."
"Oh tidak tetua, aku tidak bisa dibeginikan. Pengadilan ini omong kosong. Seketika nyonya Martha berbicara habis aku sudah! Aku diam, diam karena aku masih menyimpan harapan bahwa kalian mendengar alasanku, tapi aku tahu bahwa ini musyawarah, dan kalian diam-diam bersepakat dalam hati, bahwa aku satu-satunya manusia bersalah disini."
Aku keluar dari kursiku. Tetua jelas marah hingga tak bisa berucap apa-apa. Kutunjuk pria itu, hingga ia ikut berdiri sambil meninggikan dadanya, dia tidak takut pada wanita kecil ini.
"Kau sudah disumpah, disumpah kitab suci!"
"Aku tidak berbohong! Aku benar-benar yakin dari tatapmu bahwa kau mengutukku! Ketika kupegangi antara dua tanganmu dan kutarik dirimu, aku tahu kau mengutukku!"
"Asumsi sialan dari manusia yang mengartikan tatapan dalam kata."
Orang-orang mulai keluar dari kursi penontonnya, dan sekaligus dibelakang berdiri mulai menyerbu memasuki panggung. Ketuk tongkat tetua tidak berfungsi menenangkan, kuasanya hancur oleh panas kepala. Apalagi pendeta, yang tadi memegang kitab diatas kepala tuan William kini hanya berdiam diri di kursinya. Tuhan tidak mengarahkannya untuk menenangkan massa.
"Akal kalian tumpul, bagaimana mungkin diriku dan anakku kalian kaitkan dengan penyakit kalian? Lalu musim dingin ini juga? Tangkapan ikan yang sedikit pula? Lalu 8 tahun anakku dilahirkan, kenapa baru sekarang? Bukan sakit itu penyakit yang berbahaya, tapi kedunguan kalian."
"Nyonya Lenard!”
Tetua berteriak, tapi tidak kudengarkan. Mulutku bergerak, kuucapkan cemohan demi cemohan yang semakin membuat tangan-tangan dihadapanku gemas. Aku selama ini berdiri di antara orang-orang dungu, tinggal bersama orang-orang dungu, dan dihidupi oleh orang-orang dungu. Aku menolak untuk takut jatuh terhadap jurang yang dibentuk kebodohan-kebodohan ini.
"Ada apa? Apa kalian ingin memenjarakanku dengan kesempatan ini, agar anakku mati? Lalu apa bedanya kalian dengan pembunuh anak kecil? Kalian sebut diri kalian manusia bermartabat? Betapa hina kalian menyembunyikan kehinaan kalian!"
"Diam kau! Diam, diam, diam!!"
Seketika tuan William memegang pundakku, diremasnya dan didorongnya diriku.
"Kau penyihir sialan, dan anak iblismu!” dia tatap diriku dalam nafasnya yang terputus-putus, "Mereka melihat anakmu ketika bermain, dan mereka sakit. Apa kau bilang ini bukan kebetulan?"
Seketika itu pikiranku kembali pada anak-anak yang bermain bola di depan, berbicara soal iblis yang mereka lihat di jendela, bagaimana aku ingin mengambil batu dan mematikan mereka semua. Kegilaan ini benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mereka menyusun pola-pola, titik-titik, mengaitkan bintang jatuh dengan malapetaka, bagaimana mereka mengaitkan anakku dengan penyakit mereka, dan kini segala hal buruk yang mereka arahkan ke anakku.
Mereka seperti menutup segala kemungkinan, seperti mata kuda yang mereka tutupi agar menatap pada satu arah. Mereka tutupi wajah mereka dengan topeng-topeng kebohongan, bersama-sama mengangguk pada asumsi liar mereka. Dari nenek itu, hingga pria ini, lalu tetua itu. Semuanya adalah mata rantai yang memojokkanku hingga berdiri di panggung ini. Sosok yang memiliki nalar, Aslan, mungkin juga mereka singkirkan dalam keadaan tidak sadar, takut celaka delusi mereka disilaukan cahaya.
Seketika pria-pria besar ini akan memegangiku, lalu tetua akan menjatuhkan hukuman padaku. Bukan hanya perihal aniaya, tapi juga kutukan desa, dan pembrontakanku di panggung ketidakadilan ini. Tetua si pemegang kunci pada akhirnya hanyalah sosok yang serupa dengan mereka, dipertaruhkan jabatannya yang dipercayakan masyarakat, disitu juga harga dirinya. Aku tahu tidak pernah ada yang namanya keadilan kecuali atas nama kesetaraan empati, dan aku tidak pernah di antara mereka. Aku bukan bagian dari mereka kecuali borok yang harus disingkirkan.
"Demi tuhan, damailah!"
Sang pendeta berdiri, menyelinap di antara massa yang berwajah masam. Dia manusia dihormati ketiga setelah tetua dan Aslan. Dia kini berada di antaraku, dan dilepasnya genggaman tuan William dari pundakku.
"Wahai nyonya Lenard, atas nama warga ini, dan atas nama tuhan, akuilah dosamu."
Tapi nyatanya pesuruh tuhan ini adalah wajah yang sama dengan warga desa.
"Lihatlah para domba yang dibingungkan oleh amarah ini, kumohon nyonya mengakui dan tentram kembali di desa ini."
Lalu ia ucapkan domba dan sebagainya, seakan dia adalah pengembalanya. Dia hanya orang-orang tersesat disini, sama dengan lainnya. Tangisku keluar dalam keputusasaan, tidak ada tuhan di panggung ini nyatanya. Pada akhirnya kubalas ucapannya, seakan aku mengucapkan pengakuan dosaku :
"Aku membaca kitab juga pendeta, aku akui disini diriku salah, tapi biarkan aku berbicara sebelum kalian membawaku dalam lubang yang kalian sebut penjara.”
Pendeta segera membuat orang-orang berhenti mengeremuniku. Dia biarkan aku berbicara, seakan aku berada di kotak pengakuan dosa, dia menyuruhku melanjutkan dalam senyumnya sebagai utusan tuhan yang maha pengampun, walau ampunnya adalah diriku yang diseret dalam lubang kakus.
“Ini kata-kataku terakhir, kukutip dari kitab agama kita.”
Senyum dari wajah pendeta memudar, dia tahu aku tidak mengatakan pengakuan dosa.
“Bahwa iblis bisa bersembunyi dalam cahaya malaikat, menyelinap dalam kulit-kulit domba. Pikiran mata mereka yang buta, nalar mereka yang mati, lidah mereka yang beracun, dan kepala mereka yang dipenuhi api. Oh, iblis telah bersembunyi di antara benak manusia, mereka adalah pembunuh kebenaran, karena tidak pernah ada kebenaran di antara mereka. Ketika mereka berbohong, mereka berkata apa yang ada di dalam diri mereka sendiri, dimana mereka adalah ayah dari kebohongan itu sendiri. Mereka yang penakut, munafik, pembunuh, mengimani kebohongan, menyembah kepalsuan..”
"Jangan kau ucapkan kata-kata suci dengan lidah kotormu itu!"
Seseorang berucap mengancam, tapi aku terus mengatakannya, di depan wajah pendeta itu yang tahu bahwa tidak ada ucapanku yang menyeleweng dari isinya, tapi tahu bahwa aku mengarahkan ucapan ini kepadanya, kepada seluruh warga desa. Kupegang pundak pendeta itu, kutatap matanya dalam-dalam, kalimat itu kukeluarkan dalam teriakku.
"Lalu tuhan berkata, terkutuklah kalian, terkutuklah dalam api neraka yang kekal!"
Aku seketika itu terduduk tunduk lemas, dan saat itu juga seketika orang-orang menarikku dari rambutku, menyeretku. Kemarahan mereka yang sudah sampai pada ujung ufuk, bahwa kata kutukku keluar dari kitab yang mereka baca. Ketika itu ujung tongkat tumpul menusuk perutku, dan wajah amarah tetua sama seperti warga desa. Mereka satu topeng, dalam rupa yang sama.
"Kau kutuk kami..hah?!"
Pukulnya tongkat itu ke arah wajahku, dan keras sekali hingga darah keluar dari bibirku.
"Brengsek!"
Lalu kaki para penarikku mulai menendang ke sekujur tubuhku. Baru kali ini aku dibeginikan. Sesekali ditendangnya perutku hingga muntahku dibuatnya. Pendeta itupun hanya terdiam takjub, dan wajahnya perlahan menjadi topeng yang sama juga, karena dia disamakan dengan iblis dalam cahaya tuhan. Kini aku akan dihancurkan, hingga berkeping-keping, lalu tinggal dibuang. Lalu doa dan harapku ke tuhan kini menjadi lebih membingungkan, karena tuhanku sama dengan mereka. Tuhan jelas tidak berpihak padaku yang kini ditendang-tendangnya diriku oleh kekesalan amarah warga desa. Tuhan berpihak pada yang menang. Aku tidak bisa berharap pada siapa-siapa. Pesimis melahapku bulat-bulat di dunia tanpa kemanusiaan ini.
"Ibu!"
Suara itu?! Oh tuhan, jangan kau beri aku bencana demi bencana.
"Racke.."
Di antara salju-salju tebal, manusia-manusia yang mengutuknya, bagaimana bisa dia sampai disini? Seketika itu kaki-kaki berhenti menendang, berputar mengarah pada pintu terbuka, celahnya memperlihatkanku sosok gelap anak kecil yang dibelakangi oleh cahaya. Kepalanya ditutupi oleh tudung yang mengembang. Matanya melotot, tangisnya keluar. Dia marah, marah bahwa ibunya diperlakukan semena-mena oleh warga desa. Tapi tidak, Racke, Larilah, mereka semata-mata melampiaskan ini kepadaku karena kau!
"Lari Racke! LARI!!"
Racke tidak juga berlari, tapi diam membisu.
Lalu wajah mereka, kemarahan mereka mengarah pada Racke. Tetua berteriak, bermaksud menghentikan amukan api, tapi tidak dibendungi. Dari tingkah tetua kini kuketahui bahwa mereka tidak ingin menjadi pembunuh anak kecil, maka karena itu mereka arahkan kemarahan mereka padaku, satu-satunya pendukung hidup anakku. Tapi tidak dengan kondisi mereka ini, hati mereka, apalagi nalar, sudah ditutupi oleh amarah, euforia untuk menganiaya seseorang.
Mereka akan menjadi pembunuh, mungkin saat ini dalam benak mereka adalah nantinya semua ini akan ditutupi, menjadi rahasia umum, atau mungkin diubah sedemikan mungkin hingga dibenarkan tindakan mereka, hingga aku dan anakku mati demi kebaikan warga desa ini.
Tapi aku menolak, aku menolak dan mengutuk dalam-dalam di hatiku tentang semua ini, tentang segala bentuk ketidakmanusiaan ini. Kupegangi kaki mereka, yang kemudian dibalaskannya hingga mengenai gigiku. Dalam tangisku aku berteriak: "Pukul aku, aniaya aku, bunuh aku, cambuk aku, tapi lepaskan anakku. Lepaskan.." Sebelum satu tendang membuat segalanya gelap.
...
Lalu seketika aku melihat lagi, semuanya sudah selesai dan bubar. Aku digopoh oleh pria-pria besar, para nelayan. Tangisku pecah, sedihku tak terbendung, hatiku hancur. Aku membayangkan Racke, anakku yang tidak bersalah, wajahnya lebam, darahnya yang kontras di salju putih tebal ini.
“Oh..oh..”
Oh, bunuh aku.. bunuh aku.. aku sudah tidak kuat lagi.
"Nyonya Lenard.."
Suara datang membisik, lembut, penuh sesal didalamnya.
"Racke baik-baik saja, kita datang tepat saat itu dan menahan mereka. Maaf, karena terpedaya dan tidak bisa datang, kau jadi celaka seperti ini. Aku tahu ada yang salah dengan desa ini."
Suara itu adalah suara Aslan. Aku memaksa menengok, dan kutarik nafasku dalam-dalam.
"Kumohon, selamatkan anakku.."
Aku tidak bisa berharap pada tuhan. Hanya pada manusia, hanya pada manusia saja yang masih memiliki martabat dalam hidupnya.
"Mereka ingin membunuh anakku."
*The Trial End*
kayaknya bentar lagi dah mau masuk klimaks ya?
BalasHapusMungkin.. :)
BalasHapus