Tulisan ini
sebenernya diambil dari jurnal harian dari hasil ngobrol-ngobrol dengan teman,
tapi kayaknya cukup bagus untuk ditaruh di facebook mengingat banyak teman
menulis disini.
Sungguh
aneh rasanya melihat kawan-kawan menulis yang memiliki ratusan hingga ribuan
pembaca yang kini mulai berkomentar bagaimana seharusnya pembaca berlaku, dia
melevel-levelkan jenis komentar yang tak lain sama dengan mengkelompokan
pembacanya, beberapa juga melevel-levelkan para pengkritik, bagaimana kritik
itu seharusnya, dan lain sebagainya. Kian kali juga saya lihat penulis
(terlihat) mengamuk ketika dikritik, beberapa tidak menghiraukan, seperti
menutup kuping dan menyangkal ketus seakan dia diserang, sungguh ini terlihat
sangat ironis.
Saya pikir
kita harus mengingat bahwa adanya pembaca adalah tujuan kita menulis, yaitu
tulisan yang merupakan perwujudan ide kita untuk dibaca. Bagaimanapun mereka
adalah tamu terhormat, yang segala komentarnya harus disertai terima kasih
penulis (walau ya, terima kasih harusnya berasal dari dua arah). Kita harus
sadar bahwa pembaca sudah meluangkan waktunya, membaca tulisan yang ia tidak
tahu apa itu bagus dan tidak, dan hebatnya lagi, mereka sempat-sempatnya berkomentar!
(Mau itu buruk dan tidak), dan apalagi bentuk kepedulian yang sangat dari hal
tersebut? Kita penulis rasanya tidak pantas melevel-levelkan, membagi pembaca
sebagai sub-sub populasi, sungguh hal tersebut terlihat seperti mendeskritkan
pembaca, sadar ataupun tidak sadar.
Memperhalkan
kritik juga, kembali ke komentar atas, kita harus bijak dan sangat, sangat
berterimakasih tentang adanya kritik. Kupikir 2 tahun ini tanpa sebuah kritik
yang rajin dari kawan, saya takkan bisa sampai pada tahap menulis seperti ini.
Saya tahu memang betapa kritik kadang terasa begitu menyerang, merendahkan, dan
keluar dari substansi tulisan, melelahkan hati pekarya yang sudah susah-susah
membuat karya (yang dirasa seperti anak kandung sendiri). Saya jadi ingat
bagaimana Tere-liye, penulis novel pop terkenal di kalangan remaja pernah
menulis seperti ini:
“Jangan mau jadi kritikus buku, tapi TIDAK
pernah menulis buku.”
Tere-liye diam-diam begitu banyak dikritik
(tentu mereka minoritas yang mengkritik), dan jawabnya pada kritikus terlihat
begitu ketus (dan saya pikir konyol). Saya perhatikan fenomena bahwa pembuat
seringkali begitu peduli dengan kritik negatif, dan ditanggapi juga dengan
sangat negatif. GirlGamerGaB seorang youtubers menangis ketika terdapat
beberapa kritik yang merendahkan dia, hal tersebut terjadi ketika ia
mengomentari karakter Quiet di MGS V, walau mungkin, itu adalah 5 komentar dari
1000 pengikutnya yang setia. Deddy Corbuzier dikritik tentang Triangle The Golden Side oleh Gareth
Evans mengenai stunts berbahaya dan tidak sesuai dengan regulasi keamanan,
Deddy menjawab dengan sangat ketus dan mempermasalahkan bahasa yang Gareth
Evans pakai tanpa membahas point sesungguhnya (disini saya baru paham bahwa
Deddy ini tidak sepintar yang kita kira, dan ternyata merupakan orang yang
sangat sensitif). Saya juga punya pengalaman, sekali itu berkomentar pada ajang
lomba menulis cerpen mengenai harus bijaknya penulis membawa tema sensitif
(disitu penulis memperlihatkan hantu yang merupakan korban keluarga PKI, dengan
scene pemerkosaan dan dibawa ringan setelahnya). Penulis begitu defensif dan
bahkan cenderung menyerang, mengaku sebagai keluarga PKI sehingga ia pantas
menulis itu, merendahkan point-point pendapat dimana dia bilang tidak ada point
yang saya jelaskan bermanfaat baginya (saya juga berkomentar soal premis dan
storytelling) seakan saya sedang berusaha memancing emosinya, mencoba
berargumentasi dengannya, dan sungguh-sungguh tidak ada niat melakukan itu
karena saya pernah ikut dalam diskusi dokumenter mengenai korban dalam topik
tempelan yang ia tulis (dokumenter Jagal dan Senyap) maka saya pikir topik
sensitif seperti ini harus dibawakan secara terhormat dan serius, bukan secara
horror remaja yang jenaka dan komikal.
Disini saya menilai, ada yang salah dari kebanyakan
cara menanggapi kritik, dan sampai ada yang melevel-levelkan pembacanya dari
cara kritik mereka, kian kali bahkan merendahkan dan mengutuk. Padahal kita
tidak perlu berdebat dengan kritik, apalagi ketika komentar positif bertebaran.
Kemarin yang saya kritik itu mendapatkan banyak komentar positif, dan hanya
saya sendiri yang negatif sesungguhnya, mengapa dia begitu terbawa? Saya segera
mengkaitkan ini dengan tulisan Anna Freud dalam bukunya The Ego and The Mechanisms of Defense, yang membahas mekanisme
psikologis otomatis yang bekerja pada setiap diri manusia ketika secara
psikologis ia diserang, dan ini sesungguhnya wajar dan alami, tapi diperlukan
juga pemahaman dan kontrol akan mekanisme ini karena dia bisa menjadi sangat
negatif bagi diri sendiri, seperti sifat destruktif dalam kehidupan sosial, dan
tentu dalam perihal perkembangan dalam berkarya ini.
Saya pikir simple saja seharusnya menanggapi kritik, bagaimana kritik itu mampu bermanfaat bagi penulis, menghormati kritikus dan bahkan diri kita sendiri. Pekarya cukup seperti ini: Berterimakasih, ambil yang mampu diterima, dan buang yang tidak perlu (bahasa yang ketus, dll). Kita tidak boleh terjebak dalam psikologis defensif kita, kita tidak boleh langsung masuk dalam tahap denial dan mekanisme defensif lainnya yang membuat point-point yang mampu memperbaiki karya kita menjadi irrelevant. Dan yang paling penting, kita tidak bisa meminta dan memaksa pembaca kita menjadi sesuatu yang kita inginkan. Maka saya harus menggunakan kata mainstream seperti: “Banyakin jalan-jalan mas.” Agar tahu indonesia ini luas, dan betapa terpusatnya manusia dari seluruh wilayah dengan fragmen-fragmen sosial dan budayanya bersatu dalam dunia internet ini, dunia jejaring sosial ini. Kita tidak bisa menjadi sosok yang egosentris, dan haruslah sebagai pekarya memahami warna-warni manusia di bumi indonesia ini. Menjadi bijak dan membumi maka yang saya pikir ideal, sebagai langkah yang menghormati pembaca sebagaimana mereka seharusnya diperlakukan dan memajukan pekarya untuk menjadi lebih baik dan mencapai mahakaryanya.
Saya pikir simple saja seharusnya menanggapi kritik, bagaimana kritik itu mampu bermanfaat bagi penulis, menghormati kritikus dan bahkan diri kita sendiri. Pekarya cukup seperti ini: Berterimakasih, ambil yang mampu diterima, dan buang yang tidak perlu (bahasa yang ketus, dll). Kita tidak boleh terjebak dalam psikologis defensif kita, kita tidak boleh langsung masuk dalam tahap denial dan mekanisme defensif lainnya yang membuat point-point yang mampu memperbaiki karya kita menjadi irrelevant. Dan yang paling penting, kita tidak bisa meminta dan memaksa pembaca kita menjadi sesuatu yang kita inginkan. Maka saya harus menggunakan kata mainstream seperti: “Banyakin jalan-jalan mas.” Agar tahu indonesia ini luas, dan betapa terpusatnya manusia dari seluruh wilayah dengan fragmen-fragmen sosial dan budayanya bersatu dalam dunia internet ini, dunia jejaring sosial ini. Kita tidak bisa menjadi sosok yang egosentris, dan haruslah sebagai pekarya memahami warna-warni manusia di bumi indonesia ini. Menjadi bijak dan membumi maka yang saya pikir ideal, sebagai langkah yang menghormati pembaca sebagaimana mereka seharusnya diperlakukan dan memajukan pekarya untuk menjadi lebih baik dan mencapai mahakaryanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar