Tangannya pucat, kaku,
dan dingin. Kutegakkan perlahan lalu kutekuk, hingga akhirnya dia bergerak
lebih rileks setelah lama tidak digerakkannya bagian tubuh tersebut.
Kubersihkan dengan air dan sabun sari mawar dengan busa dari ujung kepala sampai
ujung kaki, membersihkan bekas tanah yang menempel pada kulitnya yang cantik,
menjadikan wangi, terpisahkan dari bau tanah yang menempel. Kukeramasi
rambutnya yang mulai kering dengan berbagai wewangian, dan kuberi bedak pada
mukanya, menjadikannya putih, dan cantik luar biasa. Kuhiasi bibirnya yang
membiru dengan lipstik merah, dan aku bisa melihatnya, senyumnya yang menyerupai
malaikat.
“...”
Kutatap lama,
kuperhatikan bahwa tak ada cacat sekalipun.
Sempurna, ah
sempurna sekali, tubuhnya kini telah sehalus susu, lekuknya yang menawan, sosok
sempurna yang takkan kau temui di wanita lain.
Dia bidadariku,
tuhan kirimkan hanya untukku.
Kupasangkan gaunnya, gaun
yang telah kusiapkan untuk dirinya jauh hari saat diriku bertemu dengan
dirinya. Aku memang sudah bermimpi bahwa dia akan memakainya, tapi tak kusangka
gaun yang kini kupakaikan pada dirinya terlihat lebih cantik dari apa yang
kubayangkan.
Oh surgaku,
utopiaku.
“Oh James..”
Tak kusangka saat itu juga
dia membuka matanya, memegang wajahku, dan dia usap air mata yang keluar dari
mataku.
“Stephenie..”
Dia berdiri, dan dia
berikan tangannya padaku.
Alunan lagu berputar
dengan sendirinya, kupu-kupu biru berterbangan di ruangan yang remang-remang
ini, dengan lampu yang hanya menyinari kami di sebuah lingkaran suci, dunia
kami semata.
Aku menari dengannya
dalam alunan lagu Brahms Waltz in A-Flat Major, Op.
39 No. 15. Berputar dengan anggunnya, jentak kakinya yang lincah,
dan tatapannya yang maut. Rasanya aku bisa gila, benar-benar gila jika tak
segera kucium bibir merahnya yang memaksa kucium mesra.
Ahh, lalu dia peluk
diriku disaat akhir, dan dia bisikan padaku ‘mantranya’, tanda bahwa dia
mencintaiku, tanda bahwa hanya aku satu-satunya yang memilikinya.
“Aku mencintaimu James..”
Ya aku juga
mencintaimu, sangat mencintaimu, tak ada dunia selain dirimu Stephinie.
“Tapi..”
Tapi? Dia menatapku
ragu, matanya terlihat mulai teralih pada pikirannya. Apa yang sesungguhnya ia
ragu ucapkan? Bukankah sebelumnya kau berkata bahwa jiwa kita sudah saling
terikat bagai daging dan darah yang menyatu? Sekali lagi, apa yang kau ragukan
wahai Stephenieku..
“Ada apa Stephenie? Apa yang kau pikirkan?”
Aku mengucapkannya,
tak sepenuhnya ucapan dari benakku kukeluarkan, namun aku tahu bahwa ketakutan
keluar dari kata-kata tersebut.
“Oh James..”
Dia tahu bahwa aku
melihat keraguannya, dan bibirnya bergerak perlahan, dia ucapkan pelan-pelan
namun jelas.
“Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku..”
Apapun Stephenie,
apapun itu akan kulakukan untukmu. Semenjak pertemuan kita, tak ada keraguan
sedikitpun tentangmu, cintaku, takdirku.
“Aku ingin kau
membalaskan apa yang mereka perbuat padaku..”
Ya, apapun itu
Stephenie, dan kau akan menjadi milikku selamanya.
***
Ceritaku tanpa Stephenie
merupakan cerita yang kelabu, hanya kematian demi kematian, kesedihan demi
kesedihan. Maka siapa yang tidak gila menatap banyak sekali kepergian tersebut?
Tapi itulah resiko dari pekerjaanku, mengambil momen kematian mereka seakan
mereka tersenyum bersama orang yang dicintai mereka sebelum pergi ke alam
barzah.
Namun sesungguhnya
tidak, tidak sama sekali. Mereka hanya jasad, putih bagai tembok, dengan biru
di bibir mereka yang tertutupi oleh lipstik merah tebalnya, kadang bau keluar
dari tubuh mereka, kadang belatung keluar dari punggung mereka. Momen
hitam-putih yang kuambil tidak mampu menangkap busuk jasad tersebut, hanya
mereka dengan tatapan kosongnya, tanda bahwa jiwa mereka sudah tidak ada dan
tubuh mereka yang menjadi tempat makan belatung-belatung yang menggerogoti dari
dalam.
Mereka mayat, aku
menggunakan nasib kelabu tersebut untuk makan sehari-hari. Orang-orang tersebut
percaya bahwa jiwa mereka akan melekat dalam foto yang kuambil. Mereka
menyuruhku mendadani mayat tersebut, anak-anak, laki-laki ataupun wanita tanpa
rasa malu bahwa aku menelanjanginya, memandikan mereka, merias mereka. Jelas,
karena mereka sudah mati, pikir mereka siapa yang tertarik dengan orang mati?
Lagipula aku ahli dalam
hal ini, luka tusukan akan kujahit sedemikian rupa, menutupinya sehingga luka
tersebut tidak terlihat. Jika saja isi tubuh mereka keluar, membuat mereka
kurus sehingga daging tersebut melekat pada tulang-tulang itu, akan kuisi kapas
hingga benar-benar terisi dan kujahit sehingga jika kuberi baju tak terlihat betapa
kurusnya mayat tersebut. Jika mata mereka keluar akibat kecelakaan, maka aku
menyediakan mata palsu yang kudapat dari orang-orang gipsi yang melakukan
barter oleh para perajin di timur tengah sana.
Aku belajar dari
ahlinya, dan kini mungkin diriku sendiri lebih ahli dari guruku. Aku bisa
mengawetkan mayat secara sempurna, hingga kau takkan sadar bahwa mereka sudah
mati dan menganggap mereka hanya tidur semata.
Mereka puas akan
semua ini, dan diriku akan dibayar mahal. Tapi aku tidak merasakan kepuasan
dari semua sumber kekayaan yang melimpah ini karena wanita-wanita selalu
menatapku jijik. Aku berurusan dengan mayat, mengambil keuntungan dari mereka,
dan hal ini bukan pekerjaan yang umum saat ini atau bahkan hingga di masa depan
nanti.
“Kau tahu, aku bisa
melihat banyak bayangan di tubuh James. Dia mengambil keuntungan dari
mayat-mayat tersebut, dan kini mereka melekat pada badannya.”
“Kau tahu, aku bertemu dengan peramal yang berkata bahwa pria bernama James tersebut takkan masuk surga, keluarganya akan dikutuk. Siapa suruh membohongi keluarga korban dengan berkata bahwa jiwa mereka kekal di foto-foto tersebut?”
Ucapan tersebut
selalu berulang kali kutemukan, dibisikan dalam nada yang keras ketika diriku
melewati mereka : Kau tahu? Kau tahu? Kau tahu?
Aku tahu, tak usah
kalian beri beban lebih padaku. Pekerjaannya ini dicari, mereka membutuhkanku.
Tak usah kalian cari salahnya, tak usah kalian jauhi aku.
Tetapi sungguh
ironis, beberapa tahun aku menekuni pekerjaan ini dan sekarang diriku telah
kehilangan banyak teman, saudara, dan wanita. Terutama wanita, aku sangat rindu
dengan mereka. Bau mereka, hangat tubuh mereka, sensasi ketika kulit saling
bersentuh dengan mereka. Kini bahkan pelacur pun tak mau menyentuhku walau
berapapun biaya yang kuberikan, bisa memberi penyakit katanya, busuk katanya.
Aku berdoa pada
tuhan, satu-satunya yang mengerti betapa mulianya pekerjaan ini, bahwa aku akan
bersyukur sekali jika dia cabut nyawaku, membawaku ke surga bertemu dengan
bidadari-bidadari, dan ia biarkan diriku mencumbu mereka.
Oh tuhan, kenapa kau
beri diriku bakat yang membuatku tersiksa batin seperti ini? Jika memang kau
membuat kedua insan yang akan saling bertemu, maka temukanlah aku segera dengan
jodohku. Aku bisa gila oh tuhan.
Lalu Stephinie, oh
Stephinie. Kaulah jawaban dari tuhan. Mereka berkata bahwa jika bertemu jodoh
maka kau akan mengetahuinya, segala yang ada dari pertama kali kau menatapnya
akan menandakan bahwa itulah jodohmu. Matanya yang biru, sebiru laut samudra
yang dalam, hingga bisa membuatmu tenggelam di dalamnya. Bibirnya yang merah,
kulitnya yang putih, rambutnya yang pirang lurus, begitu cantik jika kau
bayangkan rambut tersebut terhempas angin dan aku bisa menciumnya, bau mawar.
Kini ia tertidur di dalam peti dengan pakaiannya yang putih dan bunga merah
mawar yang terletak di dadanya.
“Kasihan sekali oh Sthepenie, tuhan
mengambilnya terlalu cepat. Seperti bunga mekar yang belum sempat terpetik,
belum tersentuh satu lelakipun, belum pernah merasakan melahirkan buah hati
yang akan ia susui lewat payudaranya, merasakan kasih sayang dan syukur dunia
ini sebagai seorang wanita. Oh Sthepenie..”
Sang ibu berdiri di
antara peti, berbicara dengan ekspresi sedih ketika sang ayah datang
mengantarkanku pada tubuh wanita itu, jodohku, belahan insanku, setengah
jiwaku, yang terkujur kaku di peti mati.
“Oke James, kapan
bisa kita mulai?”
Dia tersenyum
menatapku, dengan harapan bahwa aku bisa menangkap kecantikan anak gadisnya,
dan jiwanya yang mungkin masih melekat pada tubuh yang sempurna itu.
“Sekarang juga pak,
sekarang juga.”
***
Ketika mereka mengkubur Stephenie
ke dalam tanah, tangisku keluar layaknya sanak saudara di sana.
Bagaimana mungkin
aku tak pernah bertemu dengannya? Aku tinggal di dekat sini, dan aku kenal
dengan semua orang yang menghadiri pemakaman ini! Seharusnya bau mawar itu akan
mengalihkanku. Seharusnya matanya yang sebiru jernih samudra akan
mengalihkanku. Seharusnya rambut panjang pirangnya yang begitu cantik ketika
angin menghempasnya akan mengalihkankiu. Kenapa tuhan begitu keji mengambil
belahan jiwaku pergi ke surga?
Tapi aku lupa,
mungkin tuhan memang baru menunjukannya sekarang karena suatu alasan. Hal
tersebut baru kumengerti setelah foto tersebut telah selesai, terpampang di
kertas foto dan bingkai, siap untuk kuberikan pada keluarga Stephenie yang
menunggu kenangan akhir dari anaknya. Ketika kuantarkan kerumah orang tua
Stephenie, aku memutuskan untuk menatap foto Stephenie untuk terakhir kalinya.
Kulihat matanya.
“Dia hidup..”
Senyumnya yang
keluar dari bibirnya yang merah.
“Dia hidup..”
Kulitnya yang mulus
seperti susu, rambutnya pirangnya yang lurus terbawa angin.
Aku tak bisa
melepasnya dari pikiranku seakan seluruh deskripsi dari wajahnya menguasaiku,
seluruh wanita yang kutatap di jalan menyerupainya, lukisan-lukisan yang
terpampang di rumahku menyerupainya.
Aku jatuh cinta,
benar-benar jatuh cinta. Hal ini berlanjut sampai akhirnya ia masuk dalam
setiap mimpiku. Kita berada dalam padang rumput dengan bunga-bunga yang
mengelilingi kita, kupu-kupu yang terbang di antaranya, matahari yang membuat
gaun Stephenie bersinar penuh silau membuatnya menjadi bidadari-bidadari surga
dalam bayanganku.
Disana dia akan
melihatku seakan telah menunggu lama, lalu berlari memelukku.
“Akhirnya aku bertemu denganmu oh belahan jiwaku, kalbuku, cintaku.”
Mantra tersebut dia
bisikan dalam telingaku.
Ketika itu aku tahu
bahwa aku telah menjadi gila.
Lalu kugali
kuburannya dan kuhilangkan jejak-jejak. Aku tahu bahwa Stephenie masih hidup.
Aku bisa mendengar teriakan minta tolongnya saat kugali kuburan tersebut. Dia
berteriak bahwa di dalam sangatlah gelap, sesak, dan penuh dengan cacing. Aku
berteriak, mengatakan bahwa aku telah berada disini dan tak ada yang perlu
dikhawatirkan.
Dalam hati aku
bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka menaruh orang yang disayangi di dalam
tempat sempit seperti itu? Bagaimana mungkin mereka tidak berpikir bahwa
Stephenie masih hidup!
***
Kini aku berjalan, dengan
pisau di tanganku, kloroform di sakuku.
“Aku diperkosanya!”
Dadaku sesak, meletup-letup
rasanya. Otakku merasa terpanggang oleh amarah. Gigiku terlalu menekan rapat
hingga darah keluar di antaranya.
“Mereka memaksaku!”
Tangisku meledak, dan aku kehabisan kata-kata untuk menenangkannya.
“Lalu mereka memasukan sesuatu padaku, mereka
masukan semua itu padaku. Lalu..:lalu..”
Aku berteriak.
Mereka... bagaimana
mungkin, mereka melakukan itu semua?
Oh tuhan, apakah ini
ujianmu padaku untuk menguji cintaku? Maka aku akan memberi jawaban langsung
padamu, bahwa aku akan tetap mencintainya, dan cintaku takkan pernah hilang
sedikitpun karenanya. Lalu maafkan diriku oh tuhan, karena diriku akan
melakukan dosa besar yang mungkin semua ini juga merupakan rencanamu, semoga.
Aku akan memberikan
sesuatu yang buruk, sangat buruk hingga mereka akan memohon untuk pengampunanku
untuk membunuh mereka.
***
“Haahh...hahh..”
Linglung, kini aku
bisa melihat John sadar bahwa dirinya terikat pada kursi erat pada. Nafasnya
tidak teratur, kloroform masih tersisa dalam paru-parunya dan membuat nafasnya
hanya sampai setengah. Dia pasti tidak mengingat apapun kecuali gelap seketika
saat berjalan mabuk menuju rumahnya.
“Hiii!!”
Dia sadar bahwa
terdapat Stephenie di hadapannya, menatapnya dengan penuh kebencian. Dia juga
terkagetkan oleh pemandangan disebelahnya. Daniel dan Steven, teman mabuknya
telah mati dengan tusukan pipa-pipa tajam pada kakinya, lalu terdapat setrum
yang berada pada pipa besi tersebut. Mata mereka telah tercongkel, dan
celananya terbuka. Terlihat bahwa kelamin temannya telah terpotong, tidak,
lebih tepatnya ditarik paksa hingga putus. Dia bisa melihat bahwa mulut mereka
ternganga besar, tanda bahwa mereka berteriak selama proses siksaan yang mereka
alami.
“Oh tuhan, oh
tuhan..”
“John..”
Stephenie berbicara
padanya, dan dia terlihat kebingungan, hal yang persis dilakukan teman-temannya
yang sebelumnya terbangun terlebih dahulu.
“Mengapa kau
melakukan itu semua John? Kau bilang bahwa dirimu mencintaiku, mengapa kau
melakukan ini? Bukankah kita telah berteman sejak kecil?”
Bukannya membalas
Stephenie dia malah menatapku, dan berteriak.
“Hei kau gila!
Apa-apaan ini! Oh tuhan, lepaskan aku dari sini..”
Aku segera
menunjukannya moncong pistolku pada kakinya sambil berkata bahwa jika dia tidak
menjawab Stephenie maka dia akan mendapatkan nasib yang sama seperti
teman-temannya.
Dia tetap enggan
menjawab, menggelengkan kepalanya, hingga satu peluru bersarang ke kakinya. Dia
berteriak, melolong kesakitan, dan kini ancamku berubah untuk memaku tangannya
jika dia tidak menjawab sekarang juga.
“Maafkan aku,
maafkan aku Stephenie..Setelah kau menolakku, aku depresi, dan bahkan ingin
membunuh diriku sendiri. Tapi setelah hari itu, kau tetap terlihat senang,
senyum tetap berada di wajahmu seakan tidak ada aku di pikiranmu, aku..”
Dia diam sejenak,
dan ketika aku menyiapkan paku dan palu, aku bisa melihat paniknya, mencoba
mengambil nafas untuk melanjutkan penjelasannya.
“Aku iri melihat
senyummu! Saat itu diriku mabuk, dan teman-temanku mendapatkan ide ini ketika kita
bertemu dalam gang kosong tersebut. Lalu aku tidak mengingatnya lagi, ya,
tiba-tiba saja semuanya sudah terjadi! Aku sungguh menyesalinya Stephenie..”
John berbicara
sambil menangis, tapi Stephenie tetap menatapnya benci dan jijik. Bahkan aku
sendiri sudah begitu gatal mendengarnya, dia memperkosa dan membunuh Stephenie
hanya karena alasan konyol tersebut?
“Aku selalu jijik
padamu John. Aku tahu bahwa kau menatapku hanya demi nafsu semata, lalu setelah
kau bosan maka kau akan bermain dengan pelacur-pelacurmu, dan bermabuk-mabukan
yang merupakan kebiasaan mu. Itulah alasanku menolakmu. Gara-gara kau.. aku..
aku baru bisa bertemu James, belahan hatiku dalam keadaan menyedihkan seperti
ini.”
Stephenie menggenggam
tanganku, menggenggamnya erat sehingga membuat diriku dapat merasakan
kepedihannya, amarahnya.
“Stephenie.. ah..
sudah dengan permainan ini, kau gila, maniak!”
John terlihat muak,
dia berusaha membrontak namun tali tambang yang mengikat dirinya tak sekalipun
longgar. Stephenie menatapnya penuh amarah, dia menarik bajuku sambil menunjuk
pada John.
“Bunuh dia sayangku, bunuh dia! Oh tuhan, aku
ingin dia merasakan seburuk-buruknya siksa sebelum tuhan menjatuhkannya ke
neraka...”
Stephenie berteriak,
dan ekspresi John sangat terlihat sangat ketakutan.
“Lalu kau foto dia
di saat-saat akhir. Aku ingin melihat ekspresinya, ekspresi jiwa yang melihat
kengerian tersebut.”
“Stephenie...”
Saat itu raut ekspresi Stephenie menjadi sangat mengerikan, diikuti dengan matanya menghitam. Aku tidak menyangka
bidadaraku ini memiliki kemarahan yang melebihi diriku sendiri, bernafsu
untuk membuatku menyiksa pria ini dan bahkan memiliki keinginan untuk mengabdikan momen
tersebut.
Tapi aku mengerti
amarahnya, dan aku ingin membuat Stephenie puas, bahwa diriku, kekasihnya, dapat
melampiaskan isi hati Stephenie yang penuh dengan gejolak tanpa bisa melakukan
apa-apa.
“Tentu saja,
Stephnie..”
Aku mengambil
kawat-kawat, hukuman yang berbeda dengan yang kulakukan pada temannya.
John menangis,
kencing keluar dari celananya, persis dengan apa yang terjadi pada mereka yang
sebelumnya kusiksa. Kawat-kawat tajam ini kupaksa masuk ke dalam kuku-kuku
John, dan rencananya aku akan memasukan kawat-kawat ini di segala tubuh John
sehingga terbentuk kerangka seperti boneka jerami. Tentunya hidup-hidup. Lalu
akan kutarik kelaminnya seperti apa yag kulakukan pada Daniel sebagai pengakhir
hingga ia mati kehabisan darah. Hati-hati sekali sehingga ia tidak mati karena
shock, hati-hati sekali sehingga ia bisa berteriak sekeras-kerasnya, sehingga
akan terasa nikmat sekali rasa sakit tersebut.
“James...”
Stephenie
memanggilku, dan aku menatapnya. Dia tersenyum sambil menangis, dia seperti
telah merasakan kelegaan dalam batinnya.
“Terima kasih.. Aku
sungguh mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu.”
Hatiku
berbunga-bunga, rasanya aku telah melayang kesurga.
Oh, Stephenieku, aku
lebih-lebih mencintaimu.
Ketika itu aku
kembali melakukan pekerjaanku, menyiksa John. Setelah hari yang melelahkan ini,
tak sabar aku merasakan tubuh Stephenie yang katanya merupakan bukti cintanya
padaku, ah, aku benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya pikiranku melayang-layang
ketika pekerjaan ini masih belum selesai, kupikir, masih 50 kawat lagi.
***
Aku berbaring di
sebelahnya, lelah setelah segala kenikmatan manusiawi tersebut, ketika daging
indahnya denganku saling bersentuh, ketika kedua kalbu menjadi satu. Dia
tersenyum menatapku, diberinya tangannya pada wajahku. Kupegang tangan
tersebut, kucium dirinya.
“Aku masih ada satu permintaan, bolehkah?”
Suaranya kini
kembali sedih, aku bertanya-tanya apa yang salah?
“Apapun Stephenie,
apapun.”
“Ayah dan ibuku.”
Ayah dan ibunya? Aku
bisa melihat kesedihan mereka yang tulus, dalam, dan rasa ingin mengabdikan
momen terakhir tersebut merupakan hal yang nyata. Aku tak habis pikir mengapa
Stephenie menginginkan nyawa mereka.
“Aku tak ingin kau
menyiksanya, dan aku ingin kau membawaku ke rumah tersebut.”
Aku ingin tahu, tapi
tak bisa menanyakannya. Dia pasti memiliki keinginan tersendiri mengapa kini
dendam mengarah pada ibu dan ayahnya. Tapi aku tak meragukan Stephenie
sedikitpun, dia pasti memiliki alasan yang masuk akal.
Ah, tidak, tak masuk
akalpun Stephenie tetap benar. Karena aku mencintainya, dan cinta tak pernah
masuk akal.
***
Malam hari, tak ada satu
nyawapun yang berjalan dalam perumahan ini. Kini diriku membawa gerobak dengan
peti berisikan Stephenie. Lalu kuketuk rumah tersebut, terus dan terus hingga
lampu menyala dari atas. Aku telah membawa pemukul kasti, siap untuk
melumpuhkan mereka.
Nona Boulavard, ibu
Stephenie membukakan setengah pintunya dengan rantai pengaman. Dia masih
terlihat mengantuk, dan kaget bahwa tamu di depannya merupakan diriku.
“Tuan James?’
“Nona..maksudku ibu
mertua.”
Dia bingung, dan
kebingungan tersebut kujawab dengan mendobrak pintu tersebut. Dia terjatuh, dan
pria itu muncul dengan pistolnya, baru turun dari tangga dan menyadari bahwa
keputusannya membawa pistol adalah keputusan yang tepat.
Saat ia masih
terlihat ragu dan memutuskan untuk segera menekan pelatuknya, segera
kulemparkan pemukul kasti tersebut yang tepat mengenai tangannya, dan diikuti
tertembaknya pistol tersebut keatas. Kudorong tubuhku padanya hingga dia
menabrak tembok begitu keras. Aku yakin, dua-tiga tulang rusuknya patah saat
itu.
“Mengapa kau
melakukan ini anak muda?”
“Maafkan aku ayah,
tunggu sebentar.”
“Ayah? Apa kau
gila?”
Aku membawa masuk
peti, dan kubuka tutup peti tersebut. Mereka terkagetkan oleh wujud Stephenie,
menatap mereka dengan sedih. Saat Stephenie berbicara, suaranya terisak-isak
bercampur dengan rasa tangis.
“Kenapa kalian tidak
memberitahukan polisi perihal diriku? Ayah, ibu?”
Kedua orang tuanya
kehabisan kata-kata, mereka menatapku penuh dengan rasa heran, sekali lagi
seperti John saat itu.
Aku segera
menondongkan pistolku pada mereka, mengancam bahwa mereka tidak menjawab
Stephenie maka diriku akan menembak salah satu dari mereka.
“Karena dia..ah
maaf, maksudku kau mati dengan cara yang memalukan Stephenie.”
Sang ayah angkat
bicara dengan suara penuh sesal, dan sang ibu menangis.
“Kau diperkosa nak,
dan akulah yang pertama menemukanmu di gang kecil tersebut, bertelanjang tanpa
nafas dengan cairan-cairan pria pada tubuhmu. Aku bersyukur pada tuhan, sungguh
bersyukur, bahwa setidaknya aku bisa membuat kepergianmu tanpa aib, aib yang
akan melekat pada dirimu setelah kau mati!”
Stephenie menangis,
tangisnya meraung-raung. Lalu hal yang mengerikan terjadi, dia kemudian tertawa
terkikik-kikik, kedua orang tua tersebut terlihat ketakutan setengah mati.
“Lalu kau setuju
padanya Ibu? Tahukah kau bahwa aku sedang dalam perjalan kerumah untuk
menjengukmu yang sakit..”
Dia menatap sang
ibu, dan sang ibu menangis semakin kencang.
“Padahal kau tahu
jika saja kau melihat gang tersebut.. John, Daniel, dan Steven selalu
bermabuk-mabukan di tempat tersebut.”
“Kau tahu bahwa aku
orang tua.. kau tahu bahwa aku takkan..”
Belum selesai sang
ayah bicara, suara pistol yang begitu keras membuat dia terpaku. Sang ibu mengambil
pistol disebelahnya yang terjatuh dari tangan sang ayah barusan, menembakannya
ke kepala.
“Tidak! Oh sayang..
oh sayang..”
“James..”
Stephenie
memanggilku, tanda bahwa aku harus mengeksekusi sang ayah. Suaranya serak oleh
tangis, kematian sang ibu sepertinya membuatnya sangat berduka. Saat itu sang
ayah bersujud minta ampun pada anak gadisnya.
“Aku telah banyak
pergi ke gereja, aku telah banyak menyumbang setelahnya, lalu..lalu.. aku
berencana bersama ibumu untuk merawat anak yatim. Sungguh mulia sekali bukan?
Aku berusaha menebus dosaku..”
“Kau bilang semua
ini adalah demi menutupi aibku agar diriku tenang di surga? Aib diriku?! Oh ayah,
anak gadismu diperkosa! Jika kau ingin aku tenang, maka kau seharusnya
menegakkan keadilan untukku, memberi hukuman pada orang-orang yang melakukan
ini pada anakmu..”
Stephenie tak bisa
menahan tangisnya, dia berhenti melanjutkan omongannya. Dia menangis
menjadi-jadi seperti anak kecil yang kecewa, dan sang ayah hanya menatap lantai
penuh sesal, terdiam. Saat itu tiba-tiba Stephenie menyeka air matanya,
memantapkan dirinya dan menatap ayahnya dengan penuh amarah.
“Tatap mataku ayah!”
Sang ayah menatap
mata anaknya, dan aku bisa melihat kengerian dari matanya, melihat mata
Stephenie yang kini menghitam, diikuti raut mukanya yang penuh amarah.
“Aku tahu semua ini
hanya demi egomu, harga dirimu.. Apakah dunia hanya berupa harga diri bagimu?
Lihatlah Ibu tadi, dia pasti sangat tersiksa, dipaksa ikut bersamamu dalam
permainan ego sialan tersebut.”
Sepertinya diskusi
mereka telah selesai. Perlahan aku segera menarik pelatuk di kepalanya, dan dia
menangis tersedu-sedu, tapi seketika itu juga aku melihat cahaya pada matanya
seperti ia mengingat sesuatu.
“Oh! Stephenie, aku
mendengar berita bahwa mereka telah ma.. Aghh!!”
Bah, aku meleset.
Peluru melewati pelipisnya, selanjutnya tak akan salah lagi.
“Stephenie!!”
Dan tembakan selanjutnya
tidak meleset.
“James..”
Stephenie menyuruh diriku mendekatinya, dan ia
cium diriku.
“Bisakah kau potret
diriku bersama kedua orang tuaku?”
Ketika itu aku
menyeret tubuh kedua orang tuanya, kepala mereka cukup berantakan saat itu. Aku
meletakkan mereka di atas kursi, dan juga Stephenie. Lalu kupotret, foto
keluarga baru dengan Stephenie di tengah-tengah, tersenyum dengan sedikit air
mata mengalir pada pipinya, seakan dengan kematian ini Stephenie memaafkan dosa
mereka.
***
Hari-hari kulewati dengan
bahagia bersama istri baruku. Pada pagi hari kita mandi bersama, pada siang
hari kita mengobrol lama sambil kulantunkan lagu yang ia suka, pada malam hari
kita menari dan bercinta. Kadang aku menghiasi bunga-bunga kesukaannya pada
kamar kita, kadang aku membawanya secara diam-diam keluar menuju taman kosong
yang sudah ditinggalkan pada malam hari, melihat bintang-bintang bersinar, dan
kami kembali bercinta saat itu, ditemani bunyi-bunyi alam juga disaksikan
rembulan.
Aku sungguh
mencintainya, dan aku sungguh bersyukur tuhan telah menemukan kita.
Saat itu dia mulai
meminta banyak hal padaku, teman yang dengki padanya, bos yang kasar padanya,
seseorang yang suka menggodanya dan menganggu dirinya, ibu-ibu yang suka
menggosipkan dirinya, dan banyak hal lainnya. Lalu ia minta diriku memotret
pada akhir momen mereka seperti apa yang kita lakukan sebelumnya dengan
Stephenie di tengah-tengah mereka, tersenyum penuh kepuasan.
Stephenie saat itu semakin
terobsesi dengan kegiatan ini, dia mulai melakukan berbagai variasi dalam
melampiaskan dendamnya. Kadang Stephenie menyuruhku memasangkan kostum pada
mereka, lalu memukuli mereka dalam kostum anjing di dalam sangkar dan
memotretnya. Pernah dia juga memintaku memotong tangan dan menjahitkan lengan
mereka pada badan mereka, menempelkan bulu-bulu ayam yang kutempeli lewat
lelehan lilin, lalu dijahitnya paruh ayam pada bibir mereka, membuat mereka
persis seperti seekor ayam jadi-jadian.
Ketika kutanya
alasan Stephenie melakukan ini, dia hanya menjawab bahwa ini semua merupakan
simbolis dari dosa-dosa yang mereka lakukan padanya.
Kadang dengan ilmu
mengawetkan mayat, ia menyuruhku membuat trofi mereka, dan menaruhnya di bawah
tanah. Ada saat dia akan meminta untuk kebawah, lalu Stephenie akan
menceritakan ingatan-ingatan dirinya mengenai trofi-trofi tersebut, dan dia
akan tertawa setiap kali mengakhiri kisahnya.
Namun, tiba-tiba terdapat
sesuatu yang menganggu rutinitas kita. Berita soal-soal mayat yang mati
mengenaskan, isu pembunuhan berantai. Pergerakanku mulai terbatas karena
banyaknya patroli, dan kadang aku tidak bisa memenuhi keinginan Stephenie. Hal
tersebut membuatnya marah. Kadang dia berkata bahwa dia benci padaku karena hal
tersebut dan bahkan tidak ingin berbicara padaku satu hari penuh, membuatku
benar-benar tersiksa karenanya.
Kini diriku sedang
merencanakan bagaimana caranya meminta maaf pada Stephenie, memberinya kejutan
saat akhirnya diriku mampu mewujudkan satu keinginannya. Namun dalam renungku
saat ini sesuatu yang tidak terduga terjadi, sesuatu yang lama tidak terdengar
di rumah ini, suara ketukan pintu.
“Pak James?”
Ketika kuintip, seorang
berseragam polisi berada di depan rumahku. Segera kubawa Stephenie ke kamar,
dan kusembunyikan di dalam lemariku. Aku meminta maaf padanya, dan menyuruhnya
bersabar. Setelahnya aku segera menjawab polisi tersebut.
“Maaf lama menunggu
pak petugas..”
“Oh tidak, saya yang
seharusnya minta maaf. Maaf bapak James, perkenalkan, nama saya Donny Hilman,
detektif dari kepolisian, dan saya ingin meminta ketera...”
Detektif tersebut
terdiam, dia mulai mengendus-ngenduskan hidungnya.
“Apa saya mencium
bau busuk disini?”
Sang detektif masuk
tanpa menunggu izinku, dia mencondongkan kepalanya mencoba mencari sumber bau.
“Maaf pak,
sepertinya ada tikus mati. Apa bapak ingin kopi?”
“Oh ya, tolong.”
Aku segera
mengantarkannya ke ruang tamu, menyuruhnya duduk dan menyiapkan kopi. Dia makin
merasa risih, mengeluh baunya semakin parah dan memintaku membuka jendela. Saat
itu dia menjelaskan padaku soal penyelidikannya yang mengarahkannya kesini.
“Bapak James,
kupikir kau sangatlah berbakat, aku telah melihat foto keluarga almarhum. Anak
mereka terlihat sangat hidup, terutama pada matanya, dan aku tahu hanya
orang-orang berbakat yang mampu menangkap momen tersebut, menangkap sisa-sisa
jiwa tersebut.”
“Jika kau butuh
jasaku, kau tahu tempatnya.”
Aku berusaha
menjawab sekasual mungkin, berusaha tidak grogi yang menciptakan kecurigaan.
“Tapi kau tahu?”
Suaranya serius, dia
segera menyeruput kopi yang kuberikan padanya.
“Foto itu yang
membawaku kesini. Kau tahu pembunuhan berantai yang sedang populer kini?
Semuanya terkait dengan Stephenie..”
Keringatku keluar,
dan kutelan ludahku.
“Saat itu..”
Aku bisa menebak, dia memeriksa kuburan yang kosong, lalu mengkaitkannya dengan bau busuk ini.
“Maaf pak, bolehkah
saya ke belakang sebentar?”
“Oh, tidak apa.”
Aku meminta alasan
untuk ke kamar mandi, namun sesungguhnya aku ingin mengambil pisau yang telah
kuasah untuk skenario terburuk. Aku tahu, detektif tersebut mencurigaiku, dan
beberapa kata lagi maka dia telah sampai kesimpulan bahwa akulah pelakunya.
“...”
Saat aku berjalan
kebelakang dan mengambil pisauku, aku mendengar suara langkah kaki menaiki
tangga. Pria tersebut telah berjalan mencari sumber bau tersebut. Aku tahu,
detektif pasti mengetahui benar bau busuk manusia. Tinggal menemukan badan
tersebut, dan dia telah menemukan sang pelaku. Aku juga yakin bahwa dia telah
mengeluarkan pistolnya.
Aku berjalan
perlahan, dan kulihat bahwa kamarku dan Stephenie telah terbuka.
“Cantik sekali..”
Aku tak menyangka
suara tersebut keluar. Sang polisi telah membuka lemariku, dia terpaku oleh
kecantikan bidadariku. Aku marah, dia milikku, tak boleh ada seorangpun yang
boleh melihatnya!
“HIAAAAAA!”
Aku berteriak sambil
mengeluarkan pisauku, berlari untuk menghunuskan pisau tersebut.
“Agh!”
Tapi tiba-tiba
peluru menembus perutku, keluar dari moncong pistol revolvernya yang tentu saja
lebih cepat daripadaku. Aku kalap saat itu, kemarahan membuatku terlalu
terburu-buru mengambil keputusan untuk menyergapnya, bodoh sekali. Dia kemudian
terkagetkan oleh suasana kamar ini, banyak foto yang terpajang, foto-foto orang
mati mengenaskan dengan Stephenie di antara mereka.
“Tak kusangka..”
Dia terlihat tidak
percaya. Membiarkan diriku yang bersimbah darah, dan tidak berdaya di lantai.
Dia mengambil rokoknya, menyalakannya, menghirup dan melepaskan asapnya untuk
menenangkan diri. Dia berjalan menuju tubuh Stephenie, sambil melanjutkan
omongannya.
“Setelah melihat
fotomu di rumah sang orang tua, aku bertemu dengan gadis ini dalam mimpi,
berkata padaku untuk menolongnya, bahwa dia disergap dan diperkosa setiap oleh
seorang maniak. Aku hanya memeriksa ini karena sudah kehabisan petunjuk, dan
tak kusangka bahwa semua ini benar.”
Hatiku rasanya remuk
saat itu, terkhianati, dan tangisku keluar. Bagaimana mungkin? Bukankah kita
adalah jodoh, belahan jiwa, insan yang ditakdirkan untuk bersatu.
Stephenie..
mengapa?! Apa karena kau marah padaku? Apa karena aku tak cukup bagimu? Hanya
karena itu semua?
Tidak.. tidak mungkin, aku
tidak percaya Stephenie melakukan ini semua. Detektif ini pasti hanya
berhalusinasi.
Ya, Stephenie takkan
mungkin melakukan itu semua.
Aku takkan
sedikitpun meragukanmu Stephenie, karena aku percaya akan kekuatan cinta, yang
tidak memisahkan kita yang terpisah antara hidup dan mati.
“...!”
Lalu sang detektif seperti
terlihat tertegun, dia kaget melihat sesuatu pada Stephenie. Aku bisa melihat
bibir Stephenie bergerak, mengucapkan sesuatu padanya dan aku tidak bisa
mendengarnya.
“Kau...”
Dia terlihat marah,
murka lebih tepatnya. Dia kemudian mengarahkan pistolnya padaku, dan segera
menarik pelatuknya. satu demi satu peluru ditembakannya dengan perlahan ke
sekujur tubuhku, bukan pada tempat yang vital. Kemudian dia keluarkan isi
pelurunya, mengisinya lagi 6 peluru satu persatu-satu, dan menembakannya lagi.
Lalu pada momen
akhir tersebut aku melihat Stephenie berbisik pada pria tersebut. Aku
mencintaimu sebutnya, dan sang detektif tersebut menciumnya. Brengsek.
Lalu kupikir hanya
diriku yang gila disini, mencintai seonggok mayat.
Gila, Hahaha...
Haha...
Ha...
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar