LITTLE GIRL
By Reza Pratama Nugraha
Pada hari itu keringatku keluar deras, lenganku sakit, rambutku kumal, dan badanku kotor. Mereka tidak peduli bahwa diriku hanyalah seorang gadis kecil karena terdapat darah bar-bar mengalir dalam nadiku, karena warna kulitku tidak kuning seperti mereka, karena warna mataku berbeda dengan mereka. Saat itu jari telunjuk mengarah ke kepalaku, mendorong kepalaku begitu keras, membuatku jatuh, dan hinaan keluar dari mulut pria tersebut. Hinaan demi hinaan atas kesalahan yang kuperbuat, dan aku tidak tahu lagi, karena mereka hanya mencari kesalahanku, kesalahan yang mungkin tidak pernah kulakukan.
“Roti ini terlalu lama, aku bisa merasakan gosong!”
Roti yang kutunggu di depan tungku panas untuk memastikan bahwa aku tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama memanggangnya, sangat panas hinga terasa kulitku menghitam, keringatku habis, dan membuat rambutku lebih kering dari anak-perempuan seumuranku. Lalu roti yang susah-susah kubuat tersebut mereka buang, menyuruhku membuat adonan lagi, kali ini tiga kali lipatnya dari jumlah sesungguhnya.
“Nasi ini, sudah kubilang airnya harus cukup!”
Aku pula yang membuat bekal makan siang untuk mereka semua, dan kini mereka melepehnya. Kadang mereka bilang airnya kurang, kadang mereka bilang airnya berlebihan sehingga nasinya terlalu lunak. Setelah itu kadang salah satu dari mereka tetap melanjutkan makan, namun kadang tidak, bahkan karenanya kini darah mengalir dari kepalaku. Seseorang melemparkan piringnya, dan aku tidak cukup cekatan untuk menghindari lemparan tersebut.
Aku pulang dengan sedikit uang, memegang dahiku dengan sebuah kain yang menutupi darah yang tak kunjung berhenti.
Anehnya aku tersenyum saat sudah berada di depan pintu.
“Kakak!”
Lushan berlari dengan senyumnya. Dia akan menceritakanku buku yang baru ia baca, buku milik ayah. Aku selalu mengejeknya untuk bertingkah seperti laki-laki, belajar bermain pedang, gulat atau sebagainya. Tapi sesungguhnya aku hanya menggodanya dalam canda, ekspresi sebalnya adalah satu-satunya yang membuat tawaku pecah, dan pada akhirnya aku akan mendengarkan apa yang baru saja ia pelajari.
Ketika itu Ayah berbaring, demamnya tak kunjung usai, namun dia juga tersenyum menatapku, cara ucapnya untuk berterima kasih. Demam misterius ayah membuatnya lumpuh, bahkan untuk menggerakan mulut secara leluasa pun tidak mampu, karenanya dia sering mengekspresikan segala sesuatu dengan gerak matanya, melalui kedipan, atau tatapan panjangnya. Aku dan Lushan mampu melihat ekspresi marah, semangat dan sedih ayah, karenanya dia selalu menyebut mata sebagai jendela jiwa.
Penyakit semakin membuatnya lemah, harapannya semakin pupus ketika bibir tersebut tidak bisa berucap lebih dari satu kalimat, terbata-bata, kadang satu kalimat pun tak sampai. Tapi walau dalam keadaannya itu, mata lembutnya masih menyertai dirinya. Rasa kehangatan di rumah ini adalah satu-satunya yang dapat kusyukuri, dan aku ingin selalu menjaganya walau betapa beratnya rintangan yang kini kuhadapi.
Aku mulai mengingatnya lagi, saat penyakit baru menyerangnya, aku bisa melihat kepanikan di matanya, sesuatu yang tak pernah kulihat dari diri ayah. Aku mulai menggantikan pekerjaannya sebagai pembuat roti, yang dimana ia selalu ajarkan padaku. Ketika kondisinya semakin parah, dia berbicara padaku empat mata, memberikanku berbagai petuah untuk selalu bersyukur, menyuruhku untuk selalu bertahan dalam kondisi seputus-asa apapun.
“Jagalah Lushan adikmu , sampai dia cukup kuat untuk membantumu, menjagamu.” Ucapnya di akhir.
Esoknya, seluruh tubuhnya kaku, dan dia tak mampu lagi berucap lebih banyak. Aku bekerja, dan Lushan kusuruh untuk menyuapinya makan, membersihkan badannya, dan membacakannya buku.
“Ba..l..thiq..”
Tatapannya berubah ketika melihat dahiku yang masih kutekan dengan kain. Walau darah kini sudah mulai berhenti mengalir, namun noda merah darah masih membekas dalam kain tersebut. Dia seakan ingin marah, namun mulutnya tak mampu berucap banyak, hanya matanya yang memperlihatkan hal tersebut. Lalu dalam keadaan tidak bisa melakukan apa-apa atas anak gadisnya yang mereka lakukan semena-mena, dia menangis.
“Tidak apa-apa ayah, aku hanya terjatuh..”
Aku memeluknya, mencoba menenangkannya. Saat itu badannya melekat keringat, Lushan pasti lupa untuk memandikan ayah karena terlalu asik membaca. Aku akan memarahinya nanti, tapi aku harus membuat makan dulu.
Tapi saat itu juga suara pintu berbunyi, ketukan yang jarang kita terima setelah ayah terkena penyakit ini.
Lushan membuka pintu tersebut, dan terlihat wajah asing yang tak pernah kulihat. Seorang wanita dengan gaun sutra dengan motif naga di sekujur gaunnya, tanda bahwa dirinya merupakan seorang penyihir kerajaan. Dia menangis melihat keadaan kita sambil menutup mulutnya.
Mulut ayah bergerak saat itu secara perlahan, suaranya serak, dan terlihat bahwa dia banyak mengeluarkan tenaga untuk mengucapkan sesuatu pada orang asing tersebut. Tatapannya sayup, berkaca-kaca, penuh dengan kerinduan.
“Akhirnya.. kau.. pulang.. juga, Ashide.”
***
“...”
Aku terbangun, dan air mata mengalir dari pipiku.
Setiap hari aku selalu mencoba mengingat momen-momen bersama ayah, bahkan sampai terbawa mimpi. Walau sudah 3 tahun menjelang kematiannya, aku masih mengingat mukanya, ekspresinya, matanya, dan baunya ketika aku merasakan peluk hangatnya, seakan aku masih menemuinya setiap hari. Kini adalah tanggal yang sama setelah kematiannya, dan tahun lalu diriku, ibu, dan Lushan akan berkunjung ke makamnya pada tanggal ini.
Tapi kini kita berada jauh sekali, kita berada di Akademi sihir, tanah Shizang yang berada di ujung utara daratan china, jauh sekali dari tanah kelahiranku yang berada di ujung selatan. Semoga doaku di tempat ini tersampaikan ke ayah.
“Aku bermimpi tentang Ayah, Lushan.”
Lushan masih tak sadarkan diri, namun kini keadaannya telah baikan. Dia sudah bernafas layaknya orang normal, mendengkur seperti dirinya yang dulu. Luka bakarnya sudah hampir sembuh, banyak luka jahitan di badannya, aku melihatnya seperti tambalan karena warna-warna yang berbeda dari kulit Lushan yang asli. Bibi menyebutnya sebagai cangkok kulit karena luka pada kulit Lushan yang mulai membusuk.
“Aku ingat ketika kau masih kutu buku, berlari tersenyum ingin menceritakanku tentang apa yang kau pelajari, matematika, filosofi, dan buku-buku ayah yang isinya berat, bahkan aku sendiri tidak mengerti apa yang kau ucapkan..”
Aku kini terus berada di samping Lushan. Walau ibu kini sudah tidak ada disini, entah mengapa berada disamping Lushan membuatku merasa nyaman. Ucapan ayah selalu berputar di kepalaku, mengingatkanku terus dan terus untuk menjaga adikku.
Kini dalam renungku, aku mencoba mengingat ibu kembali, ketika dia pulang dan mencoba merawat ayah di hari-hari akhirnya. Saat itu Ibu selalu ingin mencoba membawa ayah ke tabib kerajaan, dan Ayah akan menolaknya, berkata bahwa dirinya sudah terlalu lemah, bahkan sudah merasakan ajalnya. Dia meninggal dengan senyum tenangnya saat ibu berjanji akan merawat kita berdua.
Aku berusaha beradaptasi dengan bagaimana Ibu merawat kita dengan aturan-aturannya, rasa kasih sayangnya yang berbeda dengan ayah, dan kebiasaan-kebiasaan ibu yang terlihat baru di kehidupan kami, namun tidak dengan Lushan. Dia marah bahwa orang asing ini menggantikan ayah, dan mengaku-ngaku bahwa dirinya merupakan ibu dari kami berdua, menolak bahwa kita adalah hasil kandung penuh kasih sayangnya selama 9 bulan, bahwa kita keluar dari rahimnya, bahwa terdapat darahnya yang mengalir dalam diri kita, bahwa matanya yang hijau terang menyerupai ibu, bahwa warna kulitnya yang coklat langsat merupakan warna kulit yang ibu turunkan. Lushan terpaku atas fakta bahwa sang ibu meninggalkan dirinya ketika masih sangat kecil, dan bahwa ayah yang merawatnya lah yang hingga kini merupakan satu-satunya orang tua yang ia miliki.
“Lushan, kau tahu? Ibu selalu menyayangimu. Dia selalu menginginkan maafmu, untuk mengakui dirinya sebagai ibumu, yang melahirkanmu, yang pernah menyusuimu.”
Ibu selalu mencoba menjelaskan perihal ini, bahwa terdapat peraturan ketat di lembaga penyihir kekaisaran yang memaksanya harus pergi meninggalkan kita, dan Lushan akan menutup telinganya. Ibu akan mencoba menjelaskan bahwa dia selalu memikirkan anak-anaknya, sampai-sampai tangisnya keluar berkata bahwa pada akhirnya dia mampu menjadi orang penting, ketua kementrian penyihir di kekaisaran, dengan berbagai pengorbanan yang ia lakukan demi bisa bertemu dengan kita, dan Lushan akan menutup telinganya. Ibu bahkan berkata bahwa ia telah melakukan perjanjian dengan kaisar, bahwa setelah perperangan selesai maka ibu akan melepas jabatannya, dan fokus memberi kasih sayangnya yang seharusnya ia lakukan semenjak kita kecil, dan Lushan akan tetap menutup telinganya, menutup matanya, dan pergi kekamar, menguncinya.
Ibu akan menangis saat itu, dia selalu ingin mendapatkan permintaan maaf dari Lushan, pengakuan bahwa dia adalah ibunya, dan Lushan bisa menerima kasih sayangnya yang merupakan naluri seorang ibu, yang telah ia tahan bertahun-tahun demi sebuah pengabdian.
Lalu semua ini terjadi, segala kejanggalan dalam hidup kita. Lushan berubah secara drastis, menjadi seorang yang tak pernah kita bayangkan.
“Aku tahu bahwa ibu tak pernah sekalipun sengaja untuk menyakitimu, tidak pernah, walau kau berubah menjadi sosok Lushan yang berbeda, kau tetaplah anaknya..”
Ibu pasca kejadian itu selalu tanpa sadar mengucapkan: “Aku akan membunuhnya.. ya, aku akan membunuhnya..”, ketika dirinya duduk termenung di sebelah Lushan dalam tatapan kosongnya. Suatu saat ketika diriku tertidur, ibu akan berjalan dalam mimpinya membawa sebilah pisau, berjalan sempoyongan menuju ruangan Lushan. Aku menyadarinya, mengikuti ibu dan mengetahui bahwa dia sudah berada di atas tubuh Lushan, hendak menghunuskan pisau tersebut ke badan Lushan. Ketika diriku berhasil menahan tangan ibu, aku dapat melihat dirinya yang penuh dengan rasa bersalah, dirinya yang tidak tahu menahu tentang apa yang dia lakukan.
“Balthiq, apa yang telah kulakukan.. Mengapa aku membawa pisau ini! Oh Lushan.. bagaimana keadaannya?! Oh tuhan apa yang telah kulakukan..”
Lalu aku menceritakan padanya bahwa Lushan baik-baik saja, dan dia akan menghantamkan kepalanya ke tembok, menangis dan berteriak. Rasa ironi menusuk hatiku dan juga hati ibu, ketika dirinya berusaha mendapatkan pengakuan Lushan, berusaha memberi kasih sayangnya, berusaha menjadi ibu yang baik, dan kenyataannya adalah kini ia tidak dapat lagi menatap mata Lushan, dan bahkan tanpa sadar berusaha untuk menyakitinya. Akhirnya sesuai saran Bibi Nisha mengenai ini, Ibu kembali ke kerajaan untuk menjalankan tugasnya walau dalam keadaan mental yang tidak stabil, setidaknya ini adalah hal yang terbaik bagi dirinya.
“Ibu berusaha untuk selalu berada di sampingmu walau dalam keadaan trauma, walau tanpa sadar ia ingin menyakitimu. Dia selalu mengkhawatirkanmu Lushan, dia... Lushan?”
Tiba-tiba sesuatu mengenggam tanganku. Lushan, dia terbangun, dan menatapku. Mulutnya bergerak sedikit, dan dia berusaha mengucapkan sesuatu.
“Bal..thiq..”
Lushan telah sadar! Dia akhirnya sadar, syukurlah tuhan.. Aku segera berteriak, meminta tolong pada tabib-tabib kerajaan, dan tabib kerajaan segera berlari menuju ruangan bibi, memberitahukan kabar gembira ini.
***
“Keadaannya sudah membaik, kupikir beberapa hari lagi dia sudah bisa berkomunikasi.”
Salah satu tabib berkata padaku. Saat itu bibi segera datang dan melihat keadaan Lushan. Dia bernafas lega, karena Lushan sudah tiga bulan tidak sadarkan diri, dan hanya mengendalkan cairan infus dari kelapa untuk menjaga dirinya dari kekurangan cairan. Pipinya kini begitu kurus, cekung tulang pipi Lushan terlihat, tangannya seperti kulit yang melekat pada tulang. Dia tidak mampu menggerakan tangannya secara keseluruhan, seperti lupa katanya kepadaku. Suaranya terbata-bata, serak seakan telah lama air tidak melewati tenggorokannya. Saat itu matanya melongok ke kiri dan ke kanan, seakan dia sedang mencari sesuatu.
“Ibu.. ibu dimana?”
Aku kaget saat pertanyaan awal Lushan adalah mengenai ibu.
“Ibu.. ah.. Dia kembali ke kerajaan karena urusan penting. Dia berjanji akan kembali ketika urusannya sudah selesai Lushan.”
Lushan terlihat sedih mendengar ucapanku mengenai ibu, dan saat itu membuatku berpikir, apakah dia benar-benar Lushan yang kutemui dulu? Matanya kini terlihat lembut, tidak lagi mata mengerikan dan kosong seperti terakhir kali aku menatapnya. Intonasi yang ia keluarkan tidak lagi keras dan kasar. Tentunya aku tahu bahwa keadaannya belum membaik, tapi entah mengapa seperti terdapat perubahan drastis pada dirinya. Apakah ia ingat ketika diriku masuk dalam kesadarannya, ucapan-ucapanku padanya? Kata ibu tidak mungkin, tapi aku berharap dia mengingatnya.
“Maaf Lushan, tapi kau harus istrahat kembali.”
“Tidak bibi..tidak..ah..”
Bibi tiba-tiba menyuntikan sesuatu pada Lushan, dan aku dapat melihat bahwa Lushan ingin mengucapkan sesuatu yang penting, namun efek bius tersebut terlalu cepat hingga Lushan kehilangan kesadarannya. Aku langsung bertanya pada bibi mengapa ia melakukannya, dan bibi berkata bahwa Lushan sudah pada tahap terakhir dalam kesembuhannya, dan menarikku keluar saat itu. Para tabib mengelilingi Lushan, dan aku semakin gencar menanyakan apa yang akan mereka lakukan.
“Bibi, Lushan sudah mau sembuh bukan? Mengapa mereka menyiapkan pisau itu lagi!”
“Tidak apa-apa Balthiq, mereka hanya melakukan pemeriksaan. Sekarang kau ikut bibi, aku ingin berbicara denganmu.
***
“Belajar disini? Bibi, umurku masih 16 tahun..”
Bibi tiba-tiba mengajukan penawaran padaku tentang menjadi penyihir. Dulu aku menginginkannya bisa menjadi sosok ibu yang kukagumi, tapi kini setelah mengetahui fakta yang ada, diriku semakin ragu.
“Mungkin terlalu cepat, tapi kupikir dirimu sudah siap. Aku melihatmu membantuku, dan kakak sungguh sudah melatihmu dengan baik. Bahkan kau sudah berada di kelas yang cukup tinggi Balthiq.”
Keringatku keluar, mungkin aku harus jujur padanya, bahwa aku belum siap akan semua ini.
“Bibi.. aku tahu mengenai kartu tersebut, bagaimana aku mendapatkan kekuatan ini.”
“Lalu?”
Bibi tersenyum menatapku, dan aku tak pernah terbiasa dengan senyum dan tatapannya. Dia seakan sudah menembus batinku, mengetahui seluk-beluk keraguanku.
“Bibi, aku tahu bahwa kartu tersebut..kartu tersebut..”
Aku ragu mengucapkannya, entah mengapa susah sekali menerima kenyataan, bahwa aku telah mengambil banyak nyawa seseorang setiap kartu tersebut kubalik, lebih-lebih bahwa aku sama sekali tidak tahu perihal ini sebelum Lushan membeberkan semuanya.
“Balthiq dengarkan aku.”
Bibi memegang pundakku, dia menatapku dalam-dalam.
“Ibumu telah berkata bahwa tidak ada jalan kembali bukan?”
Aku mengingat itu. Ketika mataku berbinar-binar mengatakan aku ingin menjadi sosok istimewa seperti ibu, agar bisa melindungi Lushan dan omong kosong lainnya, berkali-kali hingga ibu memberikan pernyataan yang kusetujui, bahwa aku tidak akan berbalik bagaimanapun keadaannya.
“Kau harus sadar Batlhiq, sudah berapa nyawa yang kau ambil. Nyawa tersebut telah kau telah ambil dari seseorang, yang berarti, kau telah mencuri banyak kehidupan seseorang, mencuri harapan seseorang, mencuri cita-cita seseorang, dan mencuri masa depan seseorang juga. Berapa kartu yang telah kau balikkan, sudah berapa lama kau membalikan kartu-kartu tersebut?”
Cengkraman bibi semakin kuat, tatapannya tajam menatapku, dan suaranya semakin mengerikan. Bibirku penuh keraguan mengucapkannya, air mata tanpa sadar bergelinang dari mataku, dan juga aku menyadari bahwa gemetar telah menguasai kakiku.
“Aku lupa bibi.. Tapi.. sudah banyak kartu yang kubalikkan..”
“Ya, ingat baik-baik kenyataan tersebut Balthiq.
Bibi tersenyum, dia tidak lagi mencengkram pundakku seakan membiarkanku bernafas sejenak.
“Jadi kau setuju denganku?”
Dia tahu bahwa aku tidak akan berkata tidak padanya. Bibi tersenyum oleh situasi ini. Senyum bibi memang mengerikan, tapi kali ini dia benar-benar memojokkanku, membuatnya senyumnya lebih mengerikan lagi.
***
Saat itu juga bibi menyuruhku ke asrama para penyihir, dia sudah menyuruh pelayan menggantikan bajuku seperti para penyihir disini, pakaian tradisional dengan lambang naga, sebuah kain tebal terikat erat pada perutku untuk menjaga pakaian ini tidak terlepas, saking eratnya membuatku sesak.
Pelayan yang berada di hadapanku hanyalah gadis kecil, matanya sipit datar, kulitnya putih pucat, dan dia menggunakan tudung yang menutupi rambutnya. Dia kemudian merapihkan baju di lemari ruang tamu, mengikat dan menaruhnya di pundak. Karena kasihan, aku menawarkan bantuan untuk membawa bawaanku yang berisi buku-buku Lushan, dan dia berterima kasih karenanya. Saat itu aku sedikit menyesal, karena buku ini ternyata berat sekali. Seharusnya aku meminta membawa baju saja, tapi kini rasanya sudah tidak enak untuk berkata demikian.
Kita berjalan beberapa langkah melewati ruangan besar yang aneh, dimana sebuah gerbang besar tidak bertembok berada di tengah-tengah ruangan tersebut. Di antara gerbang tersebut digarisi tinta putih yang menandakan batas pendatang dengan murid yang belajar di akademi ini. Terdapat tulisan bangsa kuno yang besar di gerbang tersebut, terpampang pada papan yang besar tergantung di atas gerbang.
Pelayan melewati gerbang tersebut, dan aku usil melewati tinta putih. Kita kemudian berbelok melewati tangga berputar, membawa kita ke lantai dua yang dipenuhi oleh lorong dengan lantai berkayu, dinding merah dengan ukiran burung Zhu Que, singa bersayap Pi Yao, dan Nian, yang mungkin untuk mengusir roh jahat dari asrama ini, aku pernah mendengarnya dalam salah satu kisah Lushan.
Banyak pintu pada lorong ini ditandai dengan tulisan satu, dua, tiga, dan seterusnya. Pelayan tersebut membuka pintu dengan tulisan tiga, dan ketika masuk, aku menyadari bahwa asrama merupakan tempat dimana bantal padat dengan kasur tipis dan selimut di lantai yang merupakan khas dari suku bar-bar, tanpa batasan tembok, tanda bahwa kita para pelajar akan tidur bersama dalam satu ruangan ini.
Ketika itu jujur saja perasaan senang menyertaiku, terutama betapa senangnya bahwa aku akan bertemu teman-teman baru sesama ras. Apakah nanti disini, sebelum tidur kami akan saling bertukar cerita? Saling merapihkan rambut sebelum berangkat? Aku tidak bisa membayangkannya, karena satu-satunya temanku dulu hanyalah Lushan. Orang tua selalu menyuruh anak mereka untuk menjauhi kami, suku bar-bar, yang katanya mampu mengundang setan-setan yang akan menculik mereka.
Dalam renungku tiba-tiba pelayan menepuk pundakku, menyadarkanku.
“Nona, kasur anda di sebelah sana.”
Pelayan tersebut menunjuk di ujung ruangan.
“Sebaiknya nona segera pergi ke kelas.”
Aku berjalan mengikuti pelayan tersebut setelah menaruh bawaanku di atas kasurku.
“...”
Aku berjalan mengikutinya melewati lorong baru yang kini penuh dengan tiang berukirkan naga. Lantai-lantainya merupakan kayu panjang yang tersusun rapih dan mengkilap. Jendela-jendela memperlihatkan hutan yang mengelilingi akademi ini, dan kadang aku bisa melihat beberapa kancil yang berjalan disana. Lorong ini dipenuhi oleh pintu-pintu geser dengan ruas-ruas kertas yang menutupinya, dan kadang aku bisa mendengar suara alat musik, suara orang yang menjelaskan tentang sopan santun, dan mereka yang keluar berpakaian dan berjalan anggun bagai putri istana.
“Maaf apakah disini tidak hanya belajar sihir?”
“Disini juga diajarkan berperilaku karena mereka yang lulus akan ditempatkan di kerajaan, sikap tidak santun tidak diperkenankan.”
Lalu kita keluar, dan sampai pada taman tengah akademi yang lebih mirip deskripsi ibu mengenai pekarangan istana kaisar. Disini semua jalan telah disusun oleh keramik giok secara rapih, namun hanya sampai pada taman-taman yang ditumbuhi pohon, bunga, juga kolam yang besar sekali. Kita melewati kolam tersebut, di atas jembatan merah yang berisikan lampion-lampion yang saling terhubung lewat paviliun megah. Kolam ini dipenuhi dengan burung berkaki panjang, dan berwana merah muda. Bunga-bunga yang memenuhi tempat ini sungguh beragam dan berwarna-warni, aku tidak hafal nama-nama bunga, namun cantik sekali, terutama yang bernama mawar, nama yang disebutkan pelayan ketika dia sadar bahwa aku terus menatap bunga tersebut, dia menambahakan bahwa bunga tersebut memiliki duri yang tajam sehingga lebih baik aku menjauhinya. Kami kemudian melewati rimbunan bambu disana, dan cahaya yang melewati dedaunannya membuat taman ini menjadi hijau. Saat itu tanpa sadar kami telah berada di depan bangunan yang lain, istana kedua, lebih besar dari bangunan sebelumnya.
Ketika masuk, tempat ini dipenuhi oleh lorong raksasa dengan pintu-pintu raksasa. Berbeda dengan bangunan yang sebelumnya, sepenuhnya ruangan ini menggunakan batu-batu marmer sebagai temboknya dengan ukiran-ukiran wujud dewa. Lantainya menggunakan kaca dengan air yang mengalir dibawahnya, jernih sekali hingga diriku dapat melihat ikan yang berenang di antaranya.
“Seperti berbeda dunia.”
Tanpa sadar aku mengucapkannya. Tempat ini berbeda sekali dengan budaya tiongkok seperti bangunan sebelumnya. Ukiran-ukiran dewanya pun bukan gambaran dewa yang sering digambarkan, mereka adalah sosok-sosok aneh, api, petir, naga, gagak, dan sebagainya.
“Bangunan ini berbeda nona, bangunan ini aslinya merupakan istana yang ditinggalkan, dan tidak mengalami kerusakan apapun. Dipercaya milik bangsa kuno yang dahulu tinggal di China. Sedangkan bangunan yang sebelumnya dibangun pada masa kekuasaan Wu Zhang yang pertama kali berdedikasi membentuk akademi sihir. Bangunan ini memiliki sumber pengetahuan sihir yang besar sehingga Wu Zhang memutuskan untuk memberikan semua hak ke liga penyihir.”
Aku mengangguk mendengarkan penjelasan sang pelayan. Sepertinya dia ingin menjelaskan lebih lanjut, akan tetapi dia langsung menutup mulutnya, berkata maaf bahwa dia seakan mengguruiku, dan aku malah sesungguhnya berterima kasih bahwa dia menjelaskan ini padaku.
Pelayan kemudian membawaku ke salah satu ruangan, melewati pintu raksasa tersebut kedalam suatu kelas dengan panggung besar dimana terdapat seseorang wanita tua sedang menejelaskan sesuatu, dan banyak meja-meja panjang dimana orang-orang duduk mendengarkan, menulis sesuatu di lembaran yang mereka pegang.
“Maaf nona, sampai disini saya bisa mengantarkan anda.”
“Terima kasih.”
Aku menggenggam tangannya, menggoyangkanya. Kupikir ini cara sopan untuk berterima kasih, namun sang pelayan langsung menarik tangannya. Dia meminta maaf telah menyentuh tanganku, sesuatu yang tidak kupahami, membuatku bertanya apakah diriku telah berbuat tidak sopan? Namun kenapa dia yang minta maaf? Ketika diriku ingin menanyakan namanya, ia segera pergi dengan cepatnya.
Saat itu aku bingung apa yang harus kulakukan, dan orang tua di depan yang kupikir merupakan seorang guru segera melambaikan tangannya padaku.
“Oh, anak baru kah? Silahkan kedepan bersama saya.”
Aku segera mengangguk, berjalan cepat dan semuanya mentertawakan cara berjalanku. Aku bisa mendengar salah satu dari mereka berkata bahwa aku terlihat kampungan karena rambutku yang kumal, kering, keriting, kulitku yang gosong, atau diriku yang lebih muda dari mereka, namun nampak terlalu tua karena kulitku yang terlihat tidak mulus. Seketika hal tersebut membuat mukaku memerah malu. Ibu selalu menyuruhku merawat badan dan wajahku, dia tahu bahwa karena pekerjaanku dahulu yang membuat penampilan fisikku menjadi seperti ini, namun tak kudengar sarannya dan kini aku benar-benar menyesal.
“Siapa namamu?”
Dia bertanya padaku. Wanita tua ini memakai lensa tebal sehingga matanya terlihat lebih besar. Rambutnya telah putih, dan ia ikat sedemikian rupa. Tatapan dan ucapannya yang lembut, membuat perasaanku sedikit tenang.
“Kang.. “
Aku teringat nama Ayah, tapi baru ingat bahwa kini diriku telah berganti nama.
“Maksudku An Balthiq.”
Guru tersebut terlihat kaget, dan menepuk pundakku tidak percaya.
“Balthiq? Ah, Klan Ashide. Tak kusangka terdapat klan Ashide belajar di kelasku. Sungguh suatu kebanggaan tersendiri. Namaku Lu Xian, ingat baik-baik yah.”
Semuanya ramai ketika guru bernama Lu Xian tersebut mengatakan tentang Klan Ashide, aku langsung melihat tatapan yang berbeda dari mereka, membuat bulu kudukku berdiri tanpa sadar.
“Sungguh? Klan Ashide? Gadis kampungan tersebut?”
“Bukankah dia terlalu muda?”
“Cih, klan Ashide? Dia pasti akan diistimewakan”
Aku sedikit menangkap apa yang mereka katakan, ucapan mereka yang diucapkan dengan nada yang jengkel. Dalam hati aku bertanya ada apa dengan Klan Ashide? Lalu aku mengingat bahwa bibi merupakan ketua dari akademi ini dan ibu juga merupakan ketua dari kementrian sihir di kekasiaran, membuat diriku terkesan istimewa karena merupakan Klan yang sama dengan mereka. Dadaku sesak karena sedikit harapanku yang telah hancur. Aku menyangka bahwa dengan berkumpul bersama sesama suku bar-bar akan membuat diriku nyaman, namun kini diriku menyadari bahwa disini aku akan tetap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
“Silahkan duduk nona Balthiq, kupikir di ujung sana masih banyak tempat kosong”
Aku menunduk berjalan menuju meja kosong yang ditunjuk oleh guru,, gadis-gadis yang sebelumnya duduk dekat dengan meja tersebut tiba-tiba menjauhiku. Dadaku semakin sesak, namun aku berusaha berucap berkali-kali dalam hati bahwa aku sudah terbiasa dengan hal ini, perasaan ketika orang-orang menghindari diriku karena status sebagai suku bar-bar, dan aku juga akan terbiasa karena kini mereka menjauhiku karena statusku sebagai klan Ashide, bahkan jika saja mereka memperlakukanku kasar, semuanya sama saja.
Namun tak kusangka, ketika semua menjauh, seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku.
“Balthiq?”
Gadis dengan rambut pendek bergelombang, matanya biru bersinar, dan tanda permata hitam yang tertutupi oleh gaun penyihirnya. Umurnya mungkin seumuranku, dia terlihat sangat muda. Dia tersenyum padaku, menyediakan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
“Kenalkan, Namaku Xiao Lin. Selamat datang di akademi sihir Balthiq.”
“ya..”
Aku bingung harus mengucapkan apa, sudah lama aku tidak bertatap mata dan berbicara langsung dengan seorang gadis seumuranku. Aku menundukan mukaku, namun tahu bahwa hal tersebut tidak sopan. Saat aku menatap matanya, aku kaget karena dia telah menatapku lama, dan aku tahu bahwa kini pipiku telah memerah malu.
“Semoga kita bisa berteman baik.” Ucapnya lembut.
Tanpa sadar aku tersenyum, harapan mengisi kalbuku saat itu menyadari tidak semua orang sama, masih ada orang baik yang tidak memandang status. Aku menggenggam tangannya, menjabatnya. Berucap dengan penuh semangat, dengan senyum lebar yang tak bisa kutahan-tahan lagi, seperti gadis kecil yang baru pertama kali bertemu teman sepermainannya, tidak, nyatanya dia memang adalah teman gadis pertamaku.
“Ya semoga kita bisa menjadi teman baik, Xiao Lin!”
*Little Girl END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar