The Mirror
Kenyataannya aku telah membunuh banyak orang, dari tanganku langsung, keputusanku, ataupun tindakanku yang sesungguhnya tak ada hubungannya sama sekali dengan itu. Menjadi pusat dari sesuatu yang dinamis, terutama sebagai pemimpin yang menciptakan perperangan, bahkan setiap hembusan nafas yang kukeluarkan terdapat nyawa yang hilang karenanya.
“Untuk itu aku tercipta, karena semua kegilaan, ambisi, visi, dan segala kebanggaan yang tercipta. Berapa kalipun kau mengelak dan menyesalinya, dalam hati kau bangga akan hal tersebut bukan?”
Tak bisa mengelak, ya, aku bangga. Mereka sebut diriku sebagai jendral agung dari surga, naga dari timur, dan sebutan lainnya. Memimpin perperangan, membakar moral pasukan, menembus pertahanan seorang jendral tangguh yang dulu mereka sebut sebagai jendral agung, menangkal segala jenis taktik yang dikeluarkan strategis handal yang dulunya mereka sebut sebagai naga dari barat dan sebagainya, aku merasa tidak terkalahkan.
“Kau lupa menyebutkan sebutan populer lainnya, Sang Iblis. Apa kau lupa kebengisan yang telah kau perbuat? Ingat tiang-tiang yang berjejer dengan kepala diantaranya?”
Iblis. Aku tak bangga dengan sebutan itu, dan tindakan saat itu, aku bahkan tidak sadar dengan apa yang kulakukan.
“Tidak sadar? Kau sadar seratus persen saat itu!”
Tahu bahwa aku tidak bisa dikalahkan, mengetahui bahkan penyihir-penyihir bajingan tersebut telah kutaklukan dan bahkan sudah tak ada jendral-jendral lagi dihadapanku, dan cahaya kuberikan pada mereka, bagaimana mungkin mereka masih mengikuti kaisar bodoh tersebut dengan segala jenis politik busuk didalamnya? Bagaimana mungkin orang-orang di bawah kekuasaanku masih mencoba membrontak? Kepala tersebut adalah amarahku atas kebodohan mereka, dan menunjukan bahwa aku adalah raja mereka, dan hidup mereka ada di tangan..
“Tanganmu? Yang benar saja, apa kau pikir dirimu tuhan?”
Kekuasaan ditanganku saat itu, dan jutaan manusia berharap padaku untuk menggerakan mereka, kearah harapan ataupun kematian mereka sendiri. Saat itu aku sendirian, Roxanna meninggalkanku dan tak ada yang menopang beban ini selain diriku sendiri. Saat itu aku menjelma menjadi manusia setengah dewa, tuhan yang masih terikat oleh kematian. Ya, untuk mampu menopang beban itu aku harus menjelma menjadi dewa, siapa lagi yang mampu menjaga kewarasannya selain dewa itu sendiri. Kau tahu apa yang tuhan lakukan? Memegang takdir kita dan bahkan segala konflik merupakan hal yang ia sendiri ciptakan dan biarkan. Kebengisan yang terjadi, segala ketidakadilan, era kekacauan yang kini tercipta dengan perperangan tiada henti dan dia membiarkannya? Orang tidak bersalah dipancung, orang miskin mati kelaparan, orang-orang korup dengan perut gendutnya dan wanita-wanita pelacurnya, dia biarkan bahagia dengan angan-angan neraka yang tidak mampu kita buktikan selagi kita hidup. Apa kau pikir tuhan waras?
“Tidak, kau pun tidak.”
Apakah kau pikir aku pantas disalahkan? Semua tindakan yang kulakukan? Bukankah itu demi visi ataupun tujuan yang baik? Kalian bahkan tidak pernah menyalahkan tuhan?!
“Tentu saja kau salah, kau nyata, dan bagaimana mungkin kita salahkan pada imajinasi fiksional yang memiliki banyak versi yang baru bisa buktikan setelah mati?”
Tapi, bukankah seharusnya kita percaya?
“...”
Ya ,bukan?
Hei bicara padaku!
Jangan tinggalkan aku sendirian, kumohon.
Aku bisa gila!!
Hei..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar