Sabtu, 18 Oktober 2025

Dari Tradisi Menuju Pragmatisme: Patologi Kultural dan Krisis Adaptasi Nahdlatul Ulama Abad ke-21


I. Pendahuluan: Defisit Integritas dan Kritisitas Nahdlatul Ulama


1.1. Latar Belakang dan Pernyataan Masalah

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri sebagai benteng tradisi Islam di Nusantara, memposisikan dirinya sebagai penjaga ideologi Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) yang moderat.1 Identitas kultural NU dicirikan oleh tiga pilar utama: tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang).2 Melalui prinsip ini, NU memainkan peran vital dalam merawat kemajemukan bangsa dan mempromosikan nasionalisme melalui akulturasi budaya, yang dikenal sebagai Islam Nusantara.1

Meskipun memiliki landasan moral yang kuat, beberapa tahun belakangan organisasi ini menghadapi berbagai isu yang mencerminkan pergeseran fokus dari kekuatan kultural-edukatif menjadi kekuatan struktural-politik. Pergeseran ini, yang sering kali diterjemahkan melalui pengejaran sumber daya material dan akses kekuasaan, memicu krisis integritas dan munculnya sikap anti-kritik yang bertentangan dengan semangat reformasi internal yang pernah diusung tokoh-tokoh progresif NU.

1.2. Tinjauan Isu Kontemporer (Sketsa Diagnostik)

Isu-isu yang menjadi sorotan publik dan internal Nahdliyin saat ini meliputi:

  1. Isu Konsesi Tambang: Pemerintah memberikan inisiatif konsesi pengelolaan tambang kepada organisasi keagamaan, termasuk NU.4 Kebijakan ini segera memicu gejolak internal. Puluhan Nahdliyin alumni UGM secara terbuka menolak pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP), mendesak PBNU membatalkan pengajuan IUP, karena dinilai akan "menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis".5 Mereka berpendapat, terlibat dalam ekstraksi batubara akan merusak muruah (martabat moral) NU sebagai institusi yang seharusnya menjaga moralitas.5

  2. Isu Anti-Kritik dan Feodalisme: Terjadi reaksi keras, termasuk ajakan boikot dan protes, dari PBNU dan basis massa terhadap kritik media (Kasus Trans7) yang menayangkan dugaan praktik feodalisme di pesantren.6 Kritik tersebut berfokus pada narasi yang menggambarkan hubungan kiai dan santri melalui praktik seperti santri jongkok atau ngesot (berjalan dengan cara menggeser tubuh sambil duduk/jongkok) di depan kiai, yang dianggap sebagai simbol hierarki sosial kaku atau perendahan martabat, alih-alih adab.6

  3. Isu Korupsi Kader: Keterlibatan kader NU di pusat kekuasaan dalam kasus-kasus korupsi, yang paling menonjol adalah dugaan korupsi kuota haji.7

  4. Pertemuan dengan Petinggi Israel: Lima tokoh muda Nahdliyin bertemu Presiden Israel Isaac Herzog di tengah agresi militer Israel terhadap Palestina. Pertemuan ini dikecam keras, termasuk oleh MUI dan PBNU sendiri, yang kemudian memberhentikan kelima tokoh tersebut dari banom-banom NU karena dinilai "melukai perasaan umat Islam dan Indonesia" dan tidak memiliki empati terhadap Palestina .

Pengejaran sumber daya material dan kekuasaan struktural, seperti yang terlihat dalam kasus tambang, menunjukkan gejala adanya krisis kepercayaan diri pada kekuatan kulturalnya sendiri, atau sebaliknya, terlalu percaya diri bahwa aset moral organisasi mampu menoleransi praktik yang secara etis dipertanyakan. Apabila organisasi ini mengukur kesuksesan dengan metrik korporasi atau politik (aset material, akses kekuasaan), bukan metrik moral dan sosial (pendidikan, pelayanan umat), maka otoritas moral yang selama ini dipegang akan mengalami degradasi.

1.3. Kerangka Analisis Teoritis

Laporan ini menganalisis kondisi kontemporer NU melalui lensa sosiologi agama dan teori adaptabilitas organisasi (Organizational Adaptability). Analisis ini berfokus pada bagaimana ketergantungan pada jalur tradisional (path dependency) yang tidak mengalami evolusi dapat menghasilkan patologi struktural. Secara spesifik, analisis akan membedah kontradiksi internal di mana NU menunjukkan fleksibilitas teologis (misalnya, menerima bid'ah hasanah atau inovasi yang bermanfaat 10) tetapi gagal mengimbangi hal tersebut dengan fleksibilitas sosiologis (ketidakmampuan menerima kritik terhadap struktur sosial internal, khususnya feodalisme pesantren).


II. Sejarah Dwi-Muka: Dari Kebangkitan Kultural hingga Kooptasi Struktural


2.1. Akar Historis NU dan Identitas Kultural

Nahdlatul Ulama didirikan untuk mempertahankan ajaran Aswaja An-Nahdliyah sebagai respons terhadap gerakan modernisme Islam dan konservatisme Wahabi. Sejak awal, identitas NU telah sangat mengakar pada tradisi dan nasionalisme.11 Pendekatan kultural ini memunculkan konsep Islam Nusantara, yaitu perwujudan nilai-nilai Islam yang berakulturasi dengan budaya lokal Indonesia.3 Peran NU dalam merawat kemajemukan bangsa dan mempromosikan toleransi adalah warisan kultural yang tak terbantingan.1

2.2. Dualitas Barisan Ansor Serbaguna (Banser)

Banser, sebagai satuan khusus Gerakan Pemuda (GP) Ansor, memiliki sejarah yang kompleks dan dwi-muka. Didirikan sekitar tahun 1964, Banser awalnya berfungsi sebagai pasukan pengawal untuk keselamatan para kiai dan ulama NU .

  1. Peran Negatif Historis (1965): Nama Banser mencuat secara signifikan selama peristiwa Gerakan 30 September 1965. Banser diyakini berperan aktif dalam penangkapan dan penumpasan para aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) dan onderbouw-nya, terutama di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat . Peran historis ini merupakan dampak dari konflik ideologi dan kepentingan antara golongan kiri dan golongan kanan (termasuk NU), yang diperparah oleh konteks Perang Dingin .

  2. Koreksi Moral Gus Dur: Warisan penting dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah keberaniannya menghadapi sejarah kelam ini. Selaku Ketua PBNU, Gus Dur secara terbuka dan rendah hati pernah meminta maaf kepada keluarga korban 1965 . Tindakan ini merupakan puncak dari naqd al-dakhili (kritik internal) yang berani dan transparan.

  3. Peran Positif Kontemporer: Saat ini, Banser dengan estimasi 3 juta anggota, fokus pada tugas kemanusiaan, sosial kemasyarakatan, dan bela negara . Mereka berperan sebagai relawan SAR dalam bencana dan secara rutin terlibat dalam pengamanan acara-acara agama lain sebagai perwujudan toleransi (tasamuh) dan Ukhuwah Wathaniyah .

2.3. Klimaks Progresif: Warisan Humanisme KH Abdurrahman Wahid

KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, yang menjabat sebagai Ketua PBNU (1984–1999) sebelum menjadi Presiden, adalah simbol idealisme NU modern . Kepemimpinannya menandai era di mana NU menjauh dari politik praktis dan fokus pada politik kultural, humanisme, dan pluralisme. Warisan Gus Dur menetapkan standar toleransi, humanisme, dan kritik terhadap kekuasaan.

Namun, pengkultusan terhadap sosok Gus Dur oleh generasi Nahdliyin modern sering kali tidak diimbangi dengan pengamalan ethos kritis dan humanisnya. PBNU kontemporer, meskipun merayakan sosok Gus Dur, justru mengambil jalan yang bertentangan, yaitu kooptasi politik dan sikap anti-kritik yang keras. Ini menciptakan hipokrisi institusional, di mana idealisme hanya menjadi retorika tanpa implementasi struktural.

Kekuatan Banser, yang merupakan mobilisasi massa luar biasa, kini ditransformasikan dari milisi ideologis menjadi alat yang cenderung melindungi status quo elit. Ketika Banser dikerahkan untuk membela kiai atau pesantren yang dikritik media atas isu feodalisme 6, hal ini menunjukkan bahwa aset kultural yang masif ini kini dimanfaatkan untuk melindungi hierarki sosial dan kekuasaan internal dari kritik sosiologis.

Tabel 1: Perbandingan Identitas NU: Era Gus Dur vs. Era Kontemporer

Aspek

Era Gus Dur (Warisan)

Era Kontemporer (Kritik)

Implikasi Krisis

Fokus Utama

Politik Kultural, Humanisme, Toleransi.1

Politik Struktural, Konsolidasi Finansial, Akses Kekuasaan (Tambang).4

Degradasi martabat moral (muruah).

Sikap terhadap Kekuasaan

Oposisi Kritis, Menjaga Jarak Institusional.

Kooptasi, Menerima inisiatif politik (Konsesi Tambang).4

Kehilangan fungsi kontrol sosial.

Sikap terhadap Kritik

Terbuka, Mendorong Naqd al-Dakhili (Kritik Internal).16

Sensitif, Reaksi Protes Keras (Kasus Media/Pesantren).6

Potensi dogmatisme organisasi.


III. Patologi Kontemporer: Kooptasi Kekuasaan dan Degradasi Muruah Institusional


3.1. Jebakan Material: Analisis Krisis Konsesi Tambang

Keputusan PBNU menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah, yang diklaim sebagai inisiatif pemerintah dan disambut baik 3, telah menempatkan organisasi ini dalam dilema etis yang serius. Nahdliyin progresif menolak tegas kebijakan ini, menekankan bahwa potensi yang harus didayagunakan demi kemandirian ekonomi seharusnya tidak datang dari "bisnis kotor tambang" seperti ekstraksi batubara.5 Mereka memperingatkan bahwa langkah ini akan melemahkan fungsi kontrol sosial NU terhadap pemerintah dan hanya menguntungkan segelintir elit ormas.5

Organisasi dihadapkan pada pertaruhan integritas.17 Mencari kemandirian finansial melalui eksploitasi lingkungan (ekstraksi batubara) merupakan kegagalan etis, karena mengukur kesuksesan organisasi dengan metrik korporasi/politik (aset, kekayaan), bukan metrik moral/sosial (pendidikan, pelayanan umat). Ketika organisasi keagamaan mencari sumber daya materiil melalui cara yang tidak etis, ia menjadi kontraproduktif dan terkooptasi, sehingga kehilangan fungsi moralnya dalam mengkritik kebijakan negara yang merusak sosial dan ekologi.

3.2. Virus Korupsi Elit: Kader di Pusat Kekuasaan

Keterlibatan tokoh-tokoh NU, meskipun sering diklaim sebagai masalah oknum, dalam dugaan kasus korupsi, terutama korupsi kuota haji, menimbulkan kegelisahan mendalam di kalangan internal . PBNU secara resmi telah mendesak KPK untuk mengusut kasus tersebut dengan cepat .

Kasus korupsi yang melibatkan kader organisasi di pusat kekuasaan, seperti kuota haji, adalah simbol dari kooptasi total. Meskipun PBNU berusaha mengklaim ini sebagai masalah personal dan bukan institusional 8, fakta bahwa kasus ini "bikin gerah Kyai Nahdlatul Ulama" menunjukkan bahwa patronage politik—yaitu sistem memasukkan kader ke lingkaran kekuasaan negara untuk mengakses sumber daya—memiliki risiko moral (moral hazard) sistemik. Suara-suara sumbang yang mengikis kepercayaan masyarakat ini menuntut penanganan yang komprehensif, baik secara struktural maupun kultural .

3.3. Ancaman Fiskal Kiai Kaya dan Pragmatisme Pengajian

Kritik tajam dari internal NU, seperti yang diduga disampaikan oleh ulama kharismatik Gus Baha 15, menyoroti adanya pergeseran fokus dari tradisi ngaji (kajian kitab) yang menjadi standar NU, menuju "pengajian umum" yang diselenggarakan oleh kalangan elit atau orang kaya. Fenomena ini dianggap sebagai "lampu merah", karena orang kaya yang membiayai pengajian (bahkan hingga menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah) cenderung ingin mengatur ulama dan kiai, bukan sebaliknya.15

Kondisi ini diperparah dengan keberadaan kiai yang "kedonyan" (cinta dunia) dan senang dimuliakan dengan uang, sehingga menciptakan "musibah" karena kiai yang seharusnya mengatur orang kaya kini diatur oleh mereka.15 Selain itu, kritik media terkait isu feodalisme pesantren juga menyoroti adanya kiai kaya raya yang justru menerima amplop dari santrinya, yang kemudian dibandingkan dengan kepemilikan mobil mewah oleh kiai tersebut, memicu kecurigaan publik .


IV. Dialektika Tradisi dan Stagnasi Kultural: Kajian Feodalisme dan Kultus


4.1. Anatomi Feodalisme Pesantren dan Reaksi Anti-Kritik

Kritik terhadap pesantren, terutama yang disorot oleh media (Kasus Trans7), berfokus pada praktik yang dituduh melanggengkan feodalisme, di mana santri digambarkan harus ngesot atau mengepel rumah kiai, dan kiai menerima amplop dari santri . Komunitas pesantren membela praktik-praktik ini sebagai adab, tawadhu (kerendahan hati), dan bagian dari tarbiyah ruhaniyah (pendidikan jiwa) yang menumbuhkan kemandirian.11 Mereka berpendapat bahwa kiai adalah murabbi (pendidik), bukan "raja kecil".19

Namun, masalah muncul ketika tradisi adab tersebut dipertahankan secara kaku dalam konteks sosiologis yang tidak berevolusi. Apabila kerangka adab tersebut melanggengkan sistem lapis sosial yang hierarkis, ia berisiko menciptakan kiai sebagai ‘raja kecil’ di suatu wilayah, yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan menuntut loyalitas feodal dari santri. Kritik media terhadap feodalisme adalah kritik sosiologis terhadap struktur kekuasaan, bukan kritik teologis terhadap agama itu sendiri. Reaksi keras PBNU/Banser yang menganggap kritik tersebut sebagai "pelecehan" terhadap kiai 6 menunjukkan bahwa batas antara figur suci (agama) dan figur sosial (kekuasaan kiai) telah kabur. Struktur kekuasaan ini kemudian dilindungi oleh mobilisasi massa (Banser), yang didasarkan pada loyalitas emosional dan feodal, bukan argumen rasional.

4.2. Isu Kekerasan Seksual dan Bahaya Underestimation Institusional

Isu kekerasan seksual di lingkungan pesantren yang mencuat belakangan ini juga menjadi sorotan tajam. Kontroversi semakin memanas ketika Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang memiliki latar belakang NU, menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di pondok pesantren "terlalu dibesar-besarkan oleh media" dan jumlahnya hanya sedikit .

Pernyataan ini segera memicu kecaman luas dari koalisi masyarakat sipil, yang menilai Menag mengecilkan isu kekerasan seksual dan melukai rasa keadilan korban serta keluarganya.20 Padahal, laporan lapangan menunjukkan fakta sebaliknya : tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak berubah menjadi "arena teror" dan tempat di mana kepercayaan dikhianati . Meskipun Menag tidak merinci data kasus, terdapat data yang menunjukkan bahwa 36% kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren.22 Pernyataan seperti ini mencerminkan kegagalan institusional dalam mengakui dan menangani krisis moral, yang pada gilirannya melindungi citra lembaga (citra pesantren) daripada melindungi korban (integritas moral).

4.3. Krisis Infrastruktur dan Standar Keamanan

Runtuhnya bangunan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada September 2025 , yang menewaskan puluhan santri 23, menjadi catatan kelam bagi dunia pendidikan keagamaan. Tragedi ini bukan sekadar takdir, melainkan cermin dari kelalaian dalam sistem, di mana infrastruktur pendidikan sering dibangun tanpa standar keamanan yang memadai (kelalaian konstruksi) .

Insiden ini menegaskan pentingnya standar keamanan bangunan (sesuai UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung) yang sayangnya belum optimal penerapannya di pesantren, karena sebagian besar pembangunan berasal dari swadaya . Kemenag dan Basarnas didesak untuk mengevaluasi dan memperkuat standar keamanan dan mitigasi risiko di seluruh pesantren , karena keselamatan santri harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pelengkap .

4.4. Hiper-Kultus dan Pengkultusan Tokoh

Patologi kultural di NU diperparah oleh fenomena pengkultusan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh agama, termasuk Habib dan Kiai, seringkali dibumbui aspek mistis dan penekanan karamah.24 Kultus ini memperkuat ashabiyah (loyalitas kelompok) yang cenderung membabi buta dan melindungi struktur kekuasaan internal. Loyalitas yang didasarkan pada kekaguman mistis atau emosional menghambat kemampuan santri dan Nahdliyin untuk melihat figur agama sebagai manusia yang bisa dikritik, sehingga memperkuat sikap anti-kritik.

4.5. Inovasi yang Terhenti: Fleksibilitas Teologis vs. Kekakuan Sosiologis

NU secara teologis sangat adaptif. Konsep Aswaja An-Nahdliyah memungkinkan penerimaan Bid’ah Hasanah—inovasi atau praktik yang tidak dilakukan Rasulullah namun nyata-nyata meningkatkan martabat kemanusiaan, seperti pengembangan teknologi kesehatan, satelit, atau sistem pertahanan.10 Fleksibilitas ini seharusnya menjadi modal besar untuk adaptasi modern.

Kontradiksi inti terletak pada kenyataan bahwa fleksibilitas dalam dogma (teologi) tidak tercermin dalam fleksibilitas struktur sosial (sosiologi). Struktur kekuasaan pesantren justru menolak inovasi kritis yang menantang hierarki feodal. Stagnasi kultural ini mempertahankan tradisi yang berpotensi memiliki mudharat (kerugian) sosiologis. NU berisiko terjebak dalam dogmatisme sosiologis, di mana struktur sosial internalnya menjadi tabu untuk dikritik, melemahkan kemampuan organisasi untuk melakukan naqd al-dakhili (kritik intern).25

Tabel 2: Analisis Patologi Kultural di Pesantren: Konflik Adab vs. Feodalisme

Praktik Kultural

Interpretasi Tradisional (Adab/Tarbiyah)

Analisis Sosiologis Kritis (Feodalisme)

Risiko Patologi Kultural

Jongkok/Ngesot di depan Kiai

Simbol kerendahan hati, tawadhu.6

Penekanan hierarki kaku, pembudayaan psikologi inferioritas.

Santri tidak dididik untuk kemerdekaan berpikir kritis.

Kiai sebagai Otoritas Absolut

Pemimpin spiritual (murabbi).19

Menjadi ‘raja kecil’, mengontrol sumber daya dan politik.

Penyalahgunaan wewenang, rentan korupsi.

Penolakan Kritik Media

Pembelaan terhadap muruah Kiai yang dilecehkan.6

Mobilisasi massa Banser, bukan argumen rasional, menolak koreksi.

Dogmatisme Sosiologis dan anti-kritik.


V. Bahaya Intelektual: Anti-Kritik dan Dogmatisme Organisasional


5.1. Mekanisme Anti-Kritik Internal

Ketika kritik diarahkan kepada Kiai sebagai figur sosial dan struktural (misalnya, terkait feodalisme atau politik), reaksi protes yang masif sering muncul.6 Reaksi ini dipicu oleh anggapan bahwa kritik terhadap Kiai sama dengan penghinaan terhadap agama atau otoritas spiritual yang mutlak. Penting untuk memisahkan secara tegas antara sifat religi murni—yang merupakan kebenaran abadi dan tidak ternoda oleh ejekan—dan sifat feodal yang menyusup di dalamnya, yang merupakan konstruksi sosial yang rentan dan menuntut perlindungan struktural. Gagal membedakan keduanya menghasilkan pembenaran teologis atas praktik sosiologis yang problematis.

5.2. Kerangka Analisis Teoretis Patologi Organisasi

Fenomena kemunduran NU dapat dibedah melalui tiga lensa ilmu sosial dan teologi:

A. Sosiologi: Oligarki dan Kooptasi Kekuasaan

  • Oligarki Politik: NU, sebagai organisasi massa terbesar, rentan terhadap oligarki politik, di mana kekuasaan dan pengaruh didominasi oleh kelompok kecil di tingkat elit PBNU, sering kali didasarkan pada kekayaan, keluarga, atau jaringan politik. Kekuatan oligarki ini menempatkan kepentingan pribadi lebih utama daripada keadilan dan kesejahteraan umum.

  • Distorsi Demokrasi: Kekuatan oligarki di dalam organisasi keagamaan dapat mendistorsi demokrasi internal, menjadikan prinsip-prinsip kerakyatan hanya sebagai abstraksi semu. Dalam konteks ini, pengejaran konsesi tambang adalah manifestasi dari oligarki yang mengkooptasi institusi, mengubah tujuannya dari pelayanan umat (kemaslahatan) menjadi akumulasi sumber daya material.

B. Psikologi Sosial: Otoritas Karismatik dan Kepatuhan

  • Otoritas Karismatik Weber: Otoritas Kiai di pesantren sebagian besar didasarkan pada otoritas karismatik (karena karisma, bakat khusus, atau keahlian yang diakui) dan otoritas tradisional (berdasarkan nilai-nilai adat dan tradisi turun-temurun), bukan semata-mata otoritas legal-rasional. Kiai memerintahkan rasa hormat dan kepatuhan karena karisma dan kepribadiannya.

  • Risiko Kepatuhan: Kekuatan otoritas karismatik dan tradisional ini, meskipun ideal untuk membentuk karakter, dapat memicu kepatuhan yang berlebihan atau buta (blind loyalty) pada santri dan Nahdliyin. Ketika figur yang memiliki otoritas karismatik tersebut terlibat dalam penyimpangan sosial (misalnya, feodalisme, korupsi, atau underestimation isu kekerasan seksual), pengikut cenderung defensif, menolak kritik media, dan memobilisasi kekuatan (seperti Banser) untuk melindungi citra karismatik kiai, alih-alih melakukan koreksi moral.

C. Teologi Etik: Maqashid Syariah dan Krisis Integritas

  • Maqashid Syariah: Tujuan utama hukum Islam (Maqashid Syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, yang mencakup terpeliharanya akal (hifz al-aql) dan harta (hifz al-mal), serta menegakkan keadilan (al-adalah).

  • Korupsi dan Kerusakan: Dari perspektif Maqashid Syariah, korupsi (termasuk suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang) dipandang sebagai perbuatan keji (risywah, ghulul) dan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena merugikan negara dan mengancam kesejahteraan rakyat, serta menghambat pembangunan. Korupsi kader NU dan pengejaran aset tambang secara etis bertentangan secara fundamental dengan prinsip menjaga harta umat dan menegakkan keadilan yang menjadi prioritas utama Maqashid Syariah. Tindakan ini merusak akal sehat umat (hifz al-aql) yang seharusnya dididik untuk menolak korupsi, sementara korupsi itu sendiri adalah risiko terbesar yang dihadapi ormas ketika memasuki arena politik material.

5.3. Kegagalan Adaptasi dan Resiko Runtuhnya Organisasi

Dalam teori perubahan sosial, suatu organisasi, termasuk organisasi keagamaan, akan kehilangan relevansi dan berisiko jatuh jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, menolak kritik, dan menjadi dogmatis.26 NU yang awalnya lahir untuk memerangi rigiditas dan dogmatisme kini berisiko mengulangi kesalahan yang sama. Ketika adab sosiologis diabsolutkan dan dilindungi dari kritik, NU menolak naqd al-dakhili (kritik intern) 25, mengabaikan rasionalitas demi mempertahankan kekakuan interpretasi yang terkait dengan kekuasaan sosial.

Apabila organisasi agama tidak mampu memberikan jawaban modern terhadap isu-isu keadilan sosial, lingkungan, atau etika politik, ia berisiko mengalami sekularisasi sosiologis, yaitu penurunan peran dan pengaruhnya di segala bidang kehidupan masyarakat.26

5.4. Fenomena Keheningan Intelektual Progresif

Keheningan dari tokoh-tokoh berpengaruh dan progresif, seperti Gus Mus, terhadap kontroversi struktural dan politik saat ini , merupakan indikasi patologi organisasi. Keheningan ini tidak sekadar sikap pribadi, tetapi menyiratkan bahwa mekanisme internal PBNU saat ini tidak memberikan ruang aman bagi perbedaan pendapat dan kritik progresif. Apabila risiko menghadapi struktur kekuasaan internal elit PBNU terlalu tinggi, maka suara-suara kritis yang otentik, yang memiliki otoritas kultural tinggi, tidak akan efektif lagi dalam mengimbangi gerakan struktural pragmatis PBNU. Organisasi ini kehilangan "rem" moral utamanya, dan narasi serta kebijakan di tingkat formal dikuasai sepenuhnya oleh elit pragmatis.

Tabel 3: Diagnosis Krisis Adaptasi Organisasi NU

Aspek Adaptasi

Sikap Ideal NU (Aswaja/Gus Dur)

Sikap Kontemporer (Patologi)

Risiko Dogmatisme

Adaptasi Teologis (Bid’ah)

Fleksibel (Bid’ah Hasanah).10

Terjebak dalam Bid’ah Sayyi’ah sosiologis (feodalisme).

Kekakuan kaku dalam mempertahankan tradisi.

Adaptasi Sosiologis (Struktur)

Humanis, Terbuka, Kritis.

Anti-kritik, Mobilisasi massa (Banser) untuk mempertahankan hierarki.6

Figur agama menjadi otoritas absolut yang tidak dapat diganggu gugat.

Adaptasi Politis/Ekonomi

Menjaga jarak, Oposisi Kritis (Era Gus Dur).

Kooptasi total, Mencari keuntungan material (Tambang).5

Kehilangan relevansi moral dan jatuh dalam stagnasi (Teori Adaptasi 18).


VI. Rekonstruksi dan Purifikasi: Agenda Modernisasi Nahdlatul Ulama


6.1. Visi Purifikasi: Pemurnian Fokus Organisasi

Nahdlatul Ulama harus secara fundamental mengalihkan fokusnya dari arena ekonomi dan kekuasaan (konsesi tambang, proyek pemerintah) kembali kepada khittah kulturalnya. Kekuatan hakiki NU terletak pada otentisitas moralnya, bukan pada aset materiil atau akses kekuasaan struktural.

Purifikasi menuntut PBNU untuk fokus kembali pada aspek inti: nilai-nilai agama, pendidikan, dan sosial kemanusiaan.23 Nilai-nilai luhur agama Islam yang diajarkan, khususnya di pesantren, harus dihayati (afektif) dan diamalkan (psikomotorik) dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dihafal sebagai ilmu pengetahuan (kognitif).12 Sebagai langkah konkret, PBNU harus membatalkan atau meninjau ulang secara etis semua konsesi bisnis yang berpotensi merusak integritas, seperti IUP Tambang.5 Rekomendasi purifikasi ini adalah strategi survival jangka panjang untuk mengembalikan kepercayaan Nahdliyin dan memastikan NU tetap menjadi kekuatan kultural yang independen dan kritis.

6.2. Modernisasi Kultural-Struktural (Reformasi Pesantren)

Modernisasi harus melibatkan penghilangan secara perlahan tradisi yang bersifat negatif, seperti pengkultusan berlebihan, feodalisme, dan hierarki kaku yang mengekang. Pesantren harus direvitalisasi untuk benar-benar mendidik jiwa merdeka (tarbiyah ruhaniyah).21 Reformasi struktural harus memastikan bahwa peran Kiai sebagai murabbi (pendidik) dipisahkan secara jelas dari peran ‘raja kecil’ yang mengontrol politik dan sumber daya. Institusi harus mendorong dialog, kesetaraan, dan kerangka adab yang tidak menindas.19 Selain itu, harus ada komitmen serius untuk meningkatkan kualitas dan keamanan infrastruktur pesantren demi menjamin keselamatan santri dari risiko bencana konstruksi .

6.3. Institusionalisasi Kritik dan Akuntabilitas

Untuk mengatasi dogmatisme sosiologis, PBNU wajib menginstitusionalisasi naqd al-dakhili (kritik intern) sebagai bagian wajib dari organisasi.25 PBNU harus membangun sistem akuntabilitas dan transparansi yang ketat di semua tingkatan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan dana publik atau sumber daya negara. Tindakan ini krusial untuk mencegah korupsi dan menghilangkan moral hazard sistemik yang muncul dari patronage politik. Terkait isu kekerasan seksual, PBNU harus mengambil sikap yang berpihak kepada korban dan mendesak akuntabilitas penuh tanpa upaya mengecilkan masalah di media.

6.4. Keyakinan Jangka Panjang

Organisasi ini harus yakin bahwa selama ia menjalankan prinsip dasarnya yang bernilai baik—terutama dalam pendidikan, toleransi, dan humanisme—ia tidak akan dilibas oleh kekuasaan atau zaman. Kekuatan kultural dan moral NU jauh lebih berharga daripada keuntungan material jangka pendek. Bermain dalam "permainan kotor" politik dan ekonomi berisiko menghilangkan otentisitas moral yang menjadi satu-satunya jaminan keberlangsungan organisasi di tengah perubahan sosial yang dinamis.


Referensi:

  1. Gerakan Sosial Keagamaan IPNU dalam Membangun Sifat Moderat Beragama di Kalangan Remaja - Portal Jurnal Universitas Negeri Jakarta, diakses Oktober 18, 2025, https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jdps/article/download/46347/17466/128623

  2. Penguatan Tradisi Aswaja An-Nahdliyah; Upaya Menangkal Gerakan Islam Transnasional - e-jurnal IAIN Sorong, diakses Oktober 18, 2025, https://e-jurnal.iainsorong.ac.id/index.php/Tasamuh/article/download/593/475/1731

  3. ISLAM NUSANTARA SEBAGAI MANIFESTASI NAHDLATUL ULAMA (NU) DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN, diakses Oktober 18, 2025, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/download/1476/1208/3948

  4. NU Sebut Kontroversi Pendapat Masyarakat Terkait Konsesi Tambang Masih Sehat: Menguji Argumen! - TvOneNews, diakses Oktober 18, 2025, https://www.tvonenews.com/religi/291624-nu-sebut-kontroversi-pendapat-masyarakat-terkait-konsesi-tambang-masih-sehat-menguji-argumen?page=1

  5. Puluhan Warga NU Alumni UGM Tolak Konsesi Tambang untuk Ormas - CNN Indonesia, diakses Oktober 18, 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240610064452-20-1107815/puluhan-warga-nu-alumni-ugm-tolak-konsesi-tambang-untuk-ormas

  6. Kontroversi Tayangan Trans7 Soal Pesantren: Tuduhan ..., diakses Oktober 18, 2025, https://blitarkawentar.jawapos.com/kawentaran/2276703552/kontroversi-tayangan-trans7-soal-pesantren-tuduhan-melecehkan-kiai-hingga-viral-ajakan-boikot

  7. Ketika Kader Muhammadiyah dan NU Terlibat Dugaan Korupsi kuota Haji - Disway, diakses Oktober 18, 2025, https://disway.id/read/899139/ketika-kader-muhammadiyah-dan-nu-terlibat-dugaan-korupsi-kuota-haji

  8. Tokoh NU dan Muhammadiyah Terseret Kasus Korupsi Haji, Gus Nadir: Ini Bukan Masalah Ormas - Wartakotalive.com - http://Tribunnews.com , diakses Oktober 18, 2025, https://wartakota.tribunnews.com/nasional/868052/tokoh-nu-dan-muhammadiyah-terseret-kasus-korupsi-haji-gus-nadir-ini-bukan-masalah-ormas

  9. Kasus Korupsi Kuota Haji Bikin Gerah Kyai Nahdlatul Ulama - http://Tempo.co , diakses Oktober 18, 2025, https://www.tempo.co/hukum/kasus-korupsi-kuota-haji-bikin-gerah-kyai-nahdlatul-ulama-2070382

  10. Bid'ah | Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Website Resmi, diakses Oktober 18, 2025, https://uinjkt.ac.id/index.php/id/bidah

  11. Cak Nur, Nasionalisme dan Toleransi - Suara Nahdliyin, diakses Oktober 18, 2025, https://suaranahdliyin.com/cak-nur-nasionalisme-dan-toleransi-3201

  12. (PDF) INTERNALISASI NILAI-NILAI ASWAJA AN-NAHDLIYAH MELALUI PENDIDIKAN BERBASIS PESANTREN DALAM MEMBENTUK SIKAP MODERAT - ResearchGate, diakses Oktober 18, 2025, https://www.researchgate.net/publication/364622065_INTERNALISASI_NILAI-NILAI_ASWAJA_AN-NAHDLIYAH_MELALUI_PENDIDIKAN_BERBASIS_PESANTREN_DALAM_MEMBENTUK_SIKAP_MODERAT

  13. RESEPSI HADIS KOMUNITAS SUFI: STUDI ATAS PRAKTIK ... - CORE, diakses Oktober 18, 2025, https://core.ac.uk/download/pdf/479353612.pdf

  14. Pengurus PBNU Minta KPK Cepat Usut Korupsi Kuota Haji: Jangan Ngalor-ngidul, diakses Oktober 18, 2025, https://news.detik.com/berita/d-8132069/pengurus-pbnu-minta-kpk-cepat-usut-korupsi-kuota-haji-jangan-ngalor-ngidul

  15. Abdurrahman Wahid - Wikipedia, diakses Oktober 18, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid

  16. Sejarah Pendirian Banser, dari Baris-berbaris hingga Menangkal ..., diakses Oktober 18, 2025, https://nasional.sindonews.com/read/639025/15/sejarah-pendirian-banser-dari-baris-berbaris-hingga-menangkal-kekerasan-atas-nama-agama-1640430743/8

  17. Pertaruhan Integritas NU: Menolak atau Menerima Konsesi Tambang? - Timur Media, diakses Oktober 18, 2025, https://timurmedia.com/pertaruhan-integritas-nu-menolak-atau-menerima-konsesi-tambang/

  18. BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Agama dan Perubahan Sosial - Digilib UIN Sunan Ampel Surabaya, diakses Oktober 18, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/11022/5/bab2.pdf

  19. Artikel 4E | PDF - Scribd, diakses Oktober 18, 2025, https://id.scribd.com/document/886624103/Artikel-4E

  20. peran banser dalam menjaga toleransi umat beragama (studi pada banser kota mojokerto tahun (2000-2019), diakses Oktober 18, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/43767/2/Imroatul%20Mutiah_A02216017.pdf

  21. Dianggap Feodal! Ini Cara Pesantren Mendidik dengan Nilai, Bukan Kuasa | http://kumparan.com , diakses Oktober 18, 2025, https://m.kumparan.com/robert-balya-1738493593102800088/dianggap-feodal-ini-cara-pesantren-mendidik-dengan-nilai-bukan-kuasa-259Eq7wwAIT

  22. PEMAHAMAN HADIS-HADIS BID'AH (STUDI KOMPARASI ANTARA WEBSITE NU ONLINE DAN WEBSITE http://ALMANHAJ.OR.ID ) - UIN Salatiga Repository, diakses Oktober 18, 2025, http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/14985/

  23. PENANAMAN NILAI-NILAI KE-NU-AN DALAM MENGEMBANGKAN ASPEK NILAI AGAMA DAN MORAL PADA ANAK DI RAUDHATUL ATHFAL (RA) MA'ARIF PULUTAN PADA MASA PANDEMI - UIN Salatiga Repository, diakses Oktober 18, 2025, http://e-repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/13734/

  24. Dianggap Politisasi NU, Sejumlah Kiai dan Cucu Pendiri NU Beri Kritik Tajam Pengurus Besar - YouTube, diakses Oktober 18, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=X8wewR77Y0g

  25. Perilaku Keagamaan Komunitas Muslim Di Indonesia (Pemahaman Hadis dalam NU dan Komunitas Salafi Wahabi di Indonesia)1, diakses Oktober 18, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=981892&val=15101&title=Perilaku%20Keagamaan%20Komunitas%20Muslim%20Pemahaman%20Hadis%20dalam%20NU%20dan%20Salafi%20Wahabi%20di%20Indonesia

  26. Modernisasi dan Perubahan Sosial dalam Lintasan Sejarah Islam - University of Darussalam Gontor Journal Online, diakses Oktober 18, 2025, https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/d