Darah menetes di atas kepalaku. Banyak orang tergantung di langit-langit dengan mata yang terbuka menatapku yang berjalan dibawah mereka.
‘Mereka’ adalah orang-orang yang mati karena harapan yang kutebar. Aku tidak berbicara tentang harapan palsu, dan aku tahu apa yang telah kulakukan.
Untuk tidak terjadi pertumpahan darah merupakan hal yang naif, dan harapan itu hanya bisa terwujud dengan mereka yang tunduk pada metodeku untuk memperbaiki nasib mereka, yaitu mati dalam keadaan berdiri di medan perang yang ‘katanya’ dihormati oleh tuhan daripada mati dalam keadaan berlutut karena kelaparan dan penindasan dari orang-orang yang bersantai-santai melahap hasil jeri payah mereka.
“Suamiku..”
“Lushan!!”
Sahabatku dan Istriku ada diantara mereka, meneriakiku dengan suara mereka yang merintih. Aku tidak mampu menatap mereka, dan kucoba untuk menahan tangisku. Mereka juga merupakan orang-orang yang kukasihi yang mati demi impian yang akhirnya merengut nyawa mereka.
“Yang mulia An Lushan.”
Ketika itu tiba-tiba muncul seseorang dengan baju zirahnya menghadap padaku, dia tidak tergantung maupun berlumuran darah. Baju zirahnya compang-camping penuh dengan sayatan pedang dan panah yang menusuk punggungnya, matanya bergelantungan keluar dari tempat yang seharusnya, dan walau dengan kondisi demikian, paras muka tidak menunjukan rasa sakit sama sekali.
“Siapa engkau wahai pemuda?”
“Hamba adalah prajuritmu yang mulia. Baru saja kau kirim hamba kemedan perang, dan tiba-tiba saja hamba berada disini. Dimana kita yang mulia? Kenapa banyak sekali orang-orang yang tergantung diatas kita? Siapa mereka?”
“Musuh..dan tempat ini adalah neraka.”
Mukanya ceria. Betapa senangnya dia bahwa musuh yang selama ini ia selalu kutuk tersiksa di neraka. Aku takut jika saja kukatakan bahwa mereka adalah prajuritku dan orang-orang yang kukasihi akan membuat harapannya hancur.
“Yang mulia, tuhan benar-benar berpihak pada kita.”
“Ya prajuritku..”
Aku tahu benar bahwa tuhan tidak pernah ada di tanah ini karena tuhan adalah produk dari harapan. Tapi, dengan sedikit kebohongan, tuhan muncul di antara mereka yang tertipu. Suatu saat nanti mereka akan bahagia dengan harapan-harapan itu, segala berkah dari tuhan yang sesungguhnya merupakan hasil dari kematian jutaan orang yang rela bertumpahan darahnya demi kesenangan generasi selanjutnya.
Maka dari itu aku tahu bahwa diriku tak boleh gagal..
Hanya satu momen terakhir ini dimana pada akhirnya dinasti Tang akan hancur, dan aku akan menjadi raja..
Bukan..
Masyarakatlah yang akan menang.
Ketika itu aku berjalan dengan tegar, langkahku tidak akan melambat karenanya walau bergelinang darah, biar rintihan tangis mereka menteror hidupku.
Biar aku menanggung segala beban ini demi terus menggapai impian-impian tersebut.
***
“Ayahanda, bolehkah hamba masuk?”
Seseorang membangunkanku dari mimpi. Suara itu adalah An Qingxu, satu-satunya anakku yang katanya akan mengujungiku setelah pengembaraannya dalam mencari ilmu.
“Masuklah nak.”
“Baik ayah, maaf menganggu tidurmu..”
Ketika An Qingxu masuk kedalam kemah, aku tidak merasakan adanya penjaga didepan. Mungkin mereka sedang istirahat? Bisa-bisanya disaat perang seperti ini. Tapi sudahlah, anakku kini bersamaku, dan aku percaya bahwa dia bisa melindungi ayahnya yang tua dan rentan ini.
“Sini nak, sudah lama tidak bertemu kau sudah terlihat dewasa."
Kemudian aku memeluk anakku, satu-satunya orang yang kini sangat berharga bagiku karena dialah satu-satunya peninggalan istriku Roxana.
Entah mengapa aku bisa mencium baunya dari An Qingxu, membuatku terkenang akan kenangan-kenangan bersama istriku. Melepaskan An Qingxu dalam pengembaraan merupakan hal yang sangat susah, namun aku yang memegang teguh kebebasan dan membiarkan anakku untuk belajar tentang kebenaran di dunia ini. Setidaknya mungkin dia bisa berubah pikiran dan ikut bersamaku memimpin negeri ini.
“Boleh aku masuk?”
“Li Zhu’er? Masuk, masuk.. Kalian benar-benar gagah sekarang!”
Anak sahabatku, Li Zhu’er, yang kusuruh untuk menemani anakku untuk mengembara. Dia sudah bersumpah untuk menjaga anakku, dan aku begitu percaya pada anak ini. Li Zhu’er kini juga sudah menjadi seseorang yang gagah. Ingin sekali aku mendengar kedua kisah anak ini, apa yang sudah mereka lalui hingga mereka memiliki aura yang sungguh berbeda dari sebelum mereka mengembara.
“Ayo kita ngobrol dulu, mau minum teh? Tunggu...”
Tiba-tiba ketika diriku membalikkan badan, aku merasakan sesuatu menghunusku dari belakang.
“Aghh..”
“Maafkan diriku ayahanda.”
An Qingxu.. bisa-bisanya dia menusukku. Apa-apaan ini!
Aku terjatuh kelantai dan darah keluar dengan deras dari belakang punggungku. An Qingxu saat itu mengarahkan pedangnya padaku.
“Beritahu kami dimana kau letakan pecahan artifak sihir tersebut”
Ketika An Qingxu mengintrogasiku yang tergeletak dilantai, Li Zhu’er memberantakkan kamarku, mencari artifak sihir yang An Qingxu maksud.
Ah, pasti anak sialan itu yang mendoktrin anakku hingga dia bisa melakukan hal ini. Aku tahu dia sering berkumpul dengan beberapa kelompok politik di Dinasti Tang, tapi tak kupikir dia akan menghkianati diriku seperti ini dan melanggar sumpahnya.
“LiZhu’er, aku sungguh menghormati ayahmu! Kini lihat dirimu?! Sudah kau khianati diriku, dan bagaimana pula kau pengaruhi anakku hingga dia tega menusuk darah dagingnya sendiri?!!”
LiZhu’er tidak memedulikan teriakanku dan terus mencari-cari artifak sihir tersebut.
“Kau salah ayah, ini merupakan keputusanku sendiri. Perperangan sudah membuatmu gila, paranoid! Kau bunuh jendral-jendralmu, selirmu, dan bahkan istri-istrimu setelah ibu meninggal. Mungkin kau juga yang membunuh ibuku. Apakah kau tidak sadar berapa banyak orang yang sudah mati demi menggapai impianmu? Jutaan!”
“Kau tidak tahu nak, hanya satu langkah lagi hingga aku bisa menguasai dinasti tang.. Jutaan nyawa yang mati karena impianku, dan nyawa orang-orang yang kusayangi tidak akan sia-sia! Jika kau lepaskan diriku hari ini, aku berjanji nak..”
“Tidak ayah!!”
An Qingxu kini tetap mengarahkan pedangnya padaku. Aku bisa melihat kebencian di mukanya sekaligus kesedihan. Matanya mengalirkan air mata, dan tangannya bergetar. Aku melihat keraguan dimatanya, dan semakin kuyakin bahwa tindakannya ini bukanlah hasil dari keputusannya sendiri.
“An Qingxu, inikah artifak sihir tersebut?”
Li Zhu’er memperlihatkan artifak sihir bangsa kuno, dan An Qingxu menganggukinya.
“Ayah, aku juga merupakan penggemar impianmu, ideologimu, idealitasmu.. Tapi dengan kau seenaknya menginjakan kakimu di atas darah masyarakat, dan kekejianmu terhadap orang-orang yang kau lawan.. Aku tidak bisa melihat ‘kebebasan’ yang kau maksud. Tidak pernah ada kata-kata suci itu pernah terwujud dengan caramu yang busuk ini.”
“Naif!!”
Emosiku memuncak ketika dia berkata bahwa apa yang kulakukan adalah hal yang ‘busuk’. Anak dengan kenaifan sepertinya lah yang membuatku kehilangan banyak hal termasuk orang-orang yang kusayangi. Kini sekali lagi kenaifan ini akan merengut sesuatu dariku, dan lucunya dia memakai wujud anakku kali ini.
“Mati kalian semua!!”
Aku memakai seluruh sisa energi hidupku untuk membentuk pedang dan membantuku untuk memberdirikan tubuhku. Anakku tidak akan menyangka bahwa aku bisa memakai sihir, dan aku langsung segera menyerangnya. Tubuhku begitu lemah karena kehabisan darah menyebabkan serangan yang kuberikan terlalu lambat, dan anakku segera menangkisnya.
“Kaulah yang membunuh ibumu wahai kau yang begitu naif untuk berkata bahwa perperangan ini merupakan hal yang sia-sia. Jika saja sikap itu tidak pernah ada.. dalam diriku!!”
“Ayah!!”
Anakku dengan seluruh kekuatannya berhasil mendorongku kebelakang, dan Li Zhu’er segera mengunci tanganku. Saat itu karena sisa energiku semuanya sudah terpakai, aku tak bisa lagi melawan kunciannya.
“Hah, An Lushan bisa menggunakan sihir? Hei Qingxu kenapa kita tidak membongkar rahasianya dalam menggunakan sihir? Kupikir laki-laki tidak akan bisa menggunakan sihir.. Ini pasti rahasia dari klan Ashide.”
Sekarang dia mencoba mengambil keuntungan dari kemampuan sihirku dan hal itu membuatku semakin yakin bahwa anak inilah biang keladinya.
“Dia takkan mengucapkannya Li zhu’er.. Lagipula waktu kita tidak banyak.”
An Qingxu membuang pedangnya, dan dia ambil pisau yang dia simpan dalam kain. Pisau itu adalah milik salah satu jendral tangan kananku Yang Guzhong, dan seseorang tentara menyeret mayatnya memasuki kemahku. Mereka berdua sedang membangun sebuah panggung konspirasi untuk mengkambing hitamkan dirinya.
“Satu langkah lagi anakku..!!”
“Tidak ayah.”
“Agghhh!!!”
Dia menusukku, lagi, dan lagi. Kemudian Li Zhu’er melepaskan kunciannya, membuatku terjatuh terluntai kelantai yang terasa begitu dingin. Ketika itu pandanganku begitu buyar, dan tak ada energi lagi untuk menggerakan mulutku. Saat itu aku bisa mendengar sedikit pembicaraan mereka.
“Apa? Shi Shiming kabur?!”
Sepertinya salah satu sahabatku mengetahui adanya pembrontakan dari dalam, semoga dia bisa membalaskan dendamku..
Saat itu kusadari dari gemuruh kaki tentara yang berlarian keluar, anakku masih berada di hadapanku berpikir tentang apa yang mau dikatakannya pada ayahnya yang sudah sekarat ini.
“Ayah, aku akan mewujudkan mimpimu. Aku berjanji akan hal itu, tapi bukan dengan caramu.”
Kemudian semuanya mulai buyar.
...
Setidaknya mereka tidak mengambil artifak yang sesungguhnya karena artifak tersebut selalu ada bersamaku dalam bentuk kalung yang An Qingxu pikir pasti merupakan kenangan ibunya padaku.
Saat itu kalung tersebut begitu hangat didadaku, dan entah mengapa aku merasakan kehangatan di dadaku seakan diriku bertemu dengan Roxana kembali.
***
“Lushan bangun!”
“Agghh!!”
“Lushan? Kau mimpi buruk?”
Tiba-tiba aku berada di kasur dengan keringat yang keluar begitu deras dari kepalaku. Aku segera menengok kearah suara yang memanggilku dan di sebelahku terdapat Roxanna..
Entah mengapa air mataku keluar, dan rasa nostalgia begitu menghantuiku. Aku langsung memeluknya, dan kurasakan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidupku.
“Kamu kenapa Lushan?”
“Aku bermimpi panjang, dan aku kehilangan banyak hal termasuk dirimu. Di mimpi itu juga, aku gagal mengejar impianku, dan anak kita lah yang membuatku gagal dalam impianku. Dia menusukku dari belakang.. hingga kini rasa perih tersebut membuatku begitu sedih.”
“Itu hanya mimpi Lushan.”
Roxanna mengelus kepalaku dan rasa nyaman ini sudah lama tidak pernah kurasakan. Kemudian tiba-tiba rasa hangat itu menghilang..
...
“Roxanna?”
Tiba-tiba aku berada di ruang eksekusi. Disana aku melihat diriku yang lain berada di antara barisan tentara yang melihat Roxanna berada di tempat pemancungan.
Disini aku merasakan sakit yang begitu ngilu didadaku.
Aku begitu ingat momen ini, dimana aku dalam invasi merebut kota Luoyang, aku berhadapan dengan seorang jendral bernama Feng Changqing di daerah bernama Fanyang yang merupakan jalur untuk menguasai Luoyang.
Ketika itu kami hampir berhasil menaklukan Fanyang dan melakukan negosiasi dengan pasukan Feng untuk menyerah agar tidak ada lagi pertumpahan darah yang tidak berarti dari konklusi yang sudah jelas ini. Dalam keadaan itu untuk membuatnya percaya, aku memberikan pasukannya persediaan makanan dan minuman karena mereka yag sudah begitu lama terkurung dalam benteng dengan persediaan yang sangat terbatas.
Namun air susu dibalas dengan air tuba, dia menangkap istriku dengan bantuan sihir di saat negosiasi, dan membawanya ketempat pemancungan. Kini dia memintaku untuk memberikan artifak yang diberikan istriku padaku. Dalam perebutan artifak ini, bahkan aku sama sekali tidak mengerti tentang apa yang mereka perebutkan.
“Lushan!! Kalung yang kau pakai tersebut merupakan artifak dari dinasti tang yang diwariskan secara turun temurun di kekaisaran. Jika kau berikan itu padaku, nyawa istrimu akan selamat.”
“Lushan! Jangan kau berikan artifak tersebut!!”
Ketika itu aku berada dalam tiga pilihan, menyelamatkan istriku dengan memberikannya artifak, menyuruh pasukan pemanah elite untuk membunuhnya, atau mencoba bernegosiasi dengannya.
Saat itu aku sudah begitu mantap untuk memberikan artifak yang kupikir hanya simbolik keluarga kerajaan, namun melihat Roxanna yang dengan jelas melarangnya serta jendral dari dinasti tang terlihat sangat bernfasu hingga dia mampu mengkhianati prajuritnya yang kepalaran membuatku berpikir dua kali. Aku tahu bahwa fragmen ini begitu berbahaya jika kuserahkan padanya.
Ketika itu pilihan pertama kutolak, dan karena aku masih berpikir untuk menolak adanya pertumpahan darah lagi yang kutakutkan akan menurunkan moral pasukan dinasti tang yang beralih menjadi pasukanku, aku mencoba memakai pilihan ketiga.
“Feng ayolah, aku bahkan sudah berjanji padamu untuk mengembalikan gelarmu dan menjadikanmu jendralku. Kau punya kemampuan dan aku tahu itu! Bahkan mereka dinasti tang tak tahu kemampuanmu sesungguhnya.”
“Kau kira aku akan percaya padamu Lushan? Persetan dengan janjimu! Aku serius Lushan, jika saja aku tahu bahwa kau memang tidak akan memberikan fragmen tersebut dan aku memang akan mati pada momen ini, aku takkan ragu lagi untuk memenggal kepala istrimu.”
Feng semakin memantapkan pedangnya pada tali yang membatasi antara silet pemenggal dengan leher istriku. Keringatku bercucuran, dan kenaifanku membuatku berjudi pada momen itu.
“Lihat pasukanmu ini Feng, aku bahkan memberi mereka minum dan makan yang begitu penting pada perperangan yang begitu menghabiskan persediaan kami. Itu tanda bahwa kami percaya pada kalian.”
“Jendral hentikan tindakanmu! Kita tahu bahwa dinasti tang kini sudah begitu hancur dari dalam.. dan Lushan merupakan orang yang bisa dipercaya!”
Feng begitu kaget ketika tentaranya sendiri menyuruhnya untuk berhenti melakukan tindakan bodoh ini. Tapi tiba-tiba matanya kembali tajam, dan pedangnya mengarah pada salah satu pasukan pemanah yang baru saja datang.
“Heh! Kau kira bisa menipu diriku Lushan!! Kau mau bunuh diriku dengan pasukan pemanah itu? Sepertinya.. aku memang tidak akan hidup bukan?!”
“Bodoh!! Hei kalian pasukan pemanah mundur!!”
Pasukan pemanah saat itu begitu bingung dengan intruksiku karena saat itu mereka bukan dalam komandoku namun salah satu jendralku Bian yang mengkontrol mereka. Bian tidak terlihat dimana-mana, dan kemarahanku memuncak pada kecerobohannya.
“Lushan..aku begitu mencintaimu.. namun aku takut bahwa aku takkan bisa melihat kau menggapai impianmu.. mimpi kita berdua.”
Roxanna berucap seakan tidak ada harapan bagi kepalanya untuk tetap bersatu dengan badannya. Dia sudah tidak terlihat ketakutan, matanya mantap untuk menerima takdirnya.
“Roxanna!!”
“Sepertinya kau juga tidak memiliki harapan untuk selamat juga? Heh, tak kusangka akan mati bersama istrimu Lushan.”
Roxanna ketika itu tersenyum padaku. Feng sudah kehabisan harapannya. Aku langsung secara cepat mengaba-ngabakan pada pemanah elit yang sebenarnya sudah membidik lama Feng untuk segera melepaskan panahnya.
Kejadian begitu cepat, namun dalam pandanganku segalanya berjalan begitu lambat. Ketika panah itu mengenai feng, tangannya yang tetap bergerak memutuskan beberapa simpul tali yang secara perlahan terputus karena beban yang diberikan silet pemenggal tersebut. Tangis dari roxanna yang menetes, dan mulutnya yang bergerak mengucapkan sesuatu.
“Roxana...”
Darah keluar dari leher Roxanna dengan deras, dan kepalanya jatuh dari panggung pemenggalan, Feng terjatuh oleh panah yang langsung menembus jantungnya, dan aku hanya bisa berdiri kaku menatap momen ini bersama tentaraku.
“Tidak...Oh tidak Roxana.. Oh tuhan tidak, jangan kau ambil dia tuhan..!!”
Aku langsung berlari menuju kepala Roxanna dan memeluknya. Berteriak dan menangis, aku baru saja kehilangan salah satu harapan hidupku, kehangatan yang tak pernah lagi kuraih dalam kehidupanku yang begitu gelap kini.
“Ada apa ini? Hei Lushan.. Oh..”
Saat itu jendral Bian datang diantara tentara pemanahnya. Aku menatapnya dengan tatapan murka, dan melihat diriku memeluk kepala istriku yang sudah tak berbadan, dia tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan yang tidak dapat kumaafkan.
Hari itu, dua orang mati dalam panggung pemenggalan di tanah Fanyang.
...
Kembali melihat momen itu, aku hanya bisa meringis sedih memanggil nama Roxanna dan terduduk lemas. Aku berusaha untuk tegar atas peristiwa tersebut, namun melihatnya langsung kini membuatku jatuh kedalam jurang depresi.
Kenaifanku untuk bisa menyelamatkan keduanya membuatku berjudi dan kehilangan sesuatu hal yang sangat berharga, yang bahkan melebihi nyawaku sendiri dan negara ini.
***
“Hei Lushan, sudah cukup mimpinya!”
Tanpa sadar aku sudah berada di dunia yang kosong dan putih.
Di hadapanku terdapat mahluk dengan pakaian yang aneh dengan muka yang tidak bisa kujelaskan. Begitu aneh jika kukatakan manusia, begitu aneh untuk dikatakan hewan. Melihat tampangya, aku takkan menyebut dia sebagai manusia, namun lebih sebagai mahluk jadi-jadian karena ke-abstrakannya.
Aku segera membersihkan tangisku dan berdiri menghadapinya.
“Siapa kau? Dimana ini?”
“Untuk siapa, aku bukan sesuatu yang kau akan kenali. Untuk dimana, ini bukanlah tempat yang akan kau jelajahi untuk kedua kalinya. Kedua pertanyaan itu tidak ada gunanya Lushan”
Suaranya begitu aneh, seperti rangkaian suara yang begitu kacau mencoba untuk menirukan suara manusia. Penjelasannya seakan dia tidak ingin sama sekali berbasa-basi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Oke Lushan, apakah kau pikir segala hal yang telah kau lakukan, dan bagaimana orang-orang yang kau sayangi mati tersebut merupakan hal yang benar-benar berguna untuk dunia ini?”
Tahu bahwa dia takkan berbasa-basi untuk mendengar pertanyaanku tentang pemelurusan logika yang kini terus berjalan di otakku, aku mencoba untuk menjawab pertanyaannya dengan jelas.
“Tentu. Aku tidak tahu apakah anakku akan gagal dalam memimpin pembrontakanku. Tapi aku yakin bahwa setidaknya aku telah menanamkan benih yang akan menjelaskan bagaimana sistem monarki dinasti merupakan sistem yang rusak. Bagaimana kasta-kasta yang terbentuk didalamnya juga merupakan suatu budaya yang begitu konyol dan telah hidup ribuan tahun mencoba membentuk logika yg membutakan masyarakat.”
Tiba-tiba aku merasa luapan harapan dalam hatiku. Ya, aku yakin bahwa diriku sudah menanam benih tersebut.
“Suatu saat nanti akan muncul negara yang berdiri atas nama rakyat, dan negara tersebut akan mengayomi masyarakatnya, bukan masyarakat yang mengayomi raja dan keluarganya. Ketika itu kebebasan yang sesungguhnya dalam segala hal akan membuat dunia ini lebih indah, kehidupan yang kuimpikan.. dimana kebebasan dalam beropini, dalam mendapatkan kebahagiaan, dan hidup.. Kita bukan lagi sapi ataupun hewan ternak lainnya yang hidup dalam kurungan untuk diperah, disiksa, dan mati atas kemauan mereka, tapi hidup dengan sepenuh hati kita..”
“Cukup Lushan”
Mahluk tersebut memotong pembicaraanku. Aku tahu bahwa omonganku takkan selesai dalam waktu dekat dan hanya akan membuang waktunya.
“Apakah kau mau tahu cerita sesungguhnya dari usahamu? Agak sedikit membosankan dan sedikit ironis. Kisah yang tidak begitu menarik untuk diceritakan..”
Seakan dia tahu mengenai masa depan. Tapi melihat dunia ini dan dirinya sendiri, aku tahu bahwa segala hal magis ini merupakan realita yang harus kuterima.
“Ceritakan”
“Baiklah.. Anakmu akan memimpin kerajaanmu, namun karena kenaifannya dia terbunuh oleh salah satu sahabatmu Shi Shiming yang dikiranya bisa diajak bernegosiasi. Lalu Shi Shiming melanjutkan gelarnya yang direbutnya dari anakmu, namun dengan tujuan yang sungguh berbeda denganmu, dia tergila-gila dengan kekuasaannya dan kemampuan fragmen sihir itu sehingga dia menguasai Luo Yang dalam waktu semalam, membuat Kaisar dinasti tang melarikan diri ke gunung Qin. Lucunya dia terbunuh oleh anaknya yang juga menginginkan kekuatan dari fragmen sihir tersebut, dan disini dimulailah kerajaanmu berakhir Lushan. Shi Chayoi tidak tahu bagaimana cara menggunakan fragmen sihir tersebut dan malah menghancurkan fragmen tersebut. Dia kehilangan kekuatan politik dan kepercayaan jendral-jendralnya, saat itu kaisar yang bersembunyi keluar dan mampu mendapatkan kejayaannya kembali."
Dia menjelaskan dengan begitu cepat, dan dengan suara yang kuyakini sangat membosankan baginya. Beberapa hal yang dia ceritakan membuatku sedih akan nasib kerajaanku, dan bagaimana mereka menggunakan fragmen sihir secara semena-mena yang bahkan diriku sendiri tidak pernah gunakan.
Tapi apa mereka benar-benar menggunakan fragmen sihirku? Kupikir fragmen tersebut berada di leherku dan takkan ada yang mencurigainya, mungkin mereka mengeceknya kembali.
“Jadi mereka mengetahui letak fragmen sihir tersebut?”
Mahluk tersebut diam tidak melanjutkan omongannya maupun menjawab pertanyaanku. Dia seakan menungguku untuk menjawab pertanyaan itu sendiri.
“Heh, sudah jelas.. Qingxu pasti menyadarinya ketika fragmen yang dipegangnya tidak bekerja”
Berhenti mendengarkan omonganku, dia kembali melanjutkan omongannya.
“Lushan, kau tidak dipandang sebagai penyelamat. Pikiran-pikiranmu dan ideologi-ideologimu terbakar habis bersama kerajaan yang kau buat. Dinasti Tang membantai seluruh masyarakat yang mendukungmu, membakar buku-buku serta ajaranmu, dan kemudian memberikanmu citra buruk pada seluruh masyarakat hingga kedunia. Di masa depan sejarah pembrontakanmu akan tertulis, tapi tujuanmu tidak, dan kau adalah antagonist dari sejarah yang kau buat ini.
Jadi aku benar-benar gagal..
“Ceritamu yang kini kau buat begitu membosankan, dan sudah banyak yang pakai. Aku benci melihat antagonist yang memerankan protagonist dan sebaliknya. Walau aku bukan tuhan seperti yang kalian impikan, tapi aku diberikan kuasa untuk memberikan dunia ini cerita dengan versi yang lebih baik”
Kini dia mengucapkan hal yang aneh. Mengoceh tidak jelas seperti mengkritik sebuah kisah nyata bagai kisah fiksi.
“Aku akan memberikanmu satu kesempatan Lushan! Berikan aku kisah yang lebih baik dari ini!!”
“Hei, jangan bercanda!”
Aku memegang badannya, dan tiba-tiba tanganku menghilang seperti terhisap didalamnya. Aku mundur mengetahui tanganku menghilang, dan kini tanganku seperti bongkahan batu, tidak ada daging maupun darah didalamnya.
“Lushan, aku bukanlah dzat yang sama dengan kalian. Lebih baik kau segera terbangun dari mimpi ini, dan.. selamat bersenang-senang”
Tiba-tiba muncul cahaya dari badannya yang begitu silau hingga aku secara spontan menutup mataku. Ruangan ini bergemuruh, dan tiba-tiba saja lantai dibawahku runtuh.
Aku terjatuh dalam ruangan kosong tanpa ujung, dan cahaya diatasku menerangi jalanku diantara kekosongan ini. Aku merasakan aneh pada badanku, dan aku bisa melihat bahwa tanganku mengecil dan cahaya diatasku redup kemudian mati.
***
Prologue end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar