Saya setiap hari sering menulis dalam jurnal tentang pikiran-pikiran saya, walau rata-rata random (dan bodoh). Karena saya jadi jarang menulis di blog karena keterbatasan dalam mendapatkan ide cerita, mungkin saya akan spam beberapa pikiran yang tertuang di jurnal, saya ringkas dalam bentuk kutipan.
"Para pembunuh diri, dan para monster-monster itu, mereka bukanlah lahir, tapi diciptakan oleh lingkungan sosial yang telah kita bangun. Tidak fair menghakimi mereka bertatapan dengan ironi seperti ini. Kusebut mereka (orang-orang yang menghakimi itu) adalah dungu, dan kita mungkin secara esensi adalah pembunuh yang sesungguhnya, yang diciptakan dari ketidaktahuan dan kedunguan-kedunguan tersebut." - Setelah peristiwa sosial bullying terhadap pelaku Voyeurism di lingkungan kampus.
"Bunuh diri adalah simbolis teriakan tentang adanya kesalahan terhadap lingkungan sosial."
"Jangan pernah menerima permintaan maaf dari seseorang yang tak menjelaskan letak permasalahannya, letak kesalahan dirinya. Maaf itu harus berupa penyesalan terhadap kesalahan yang telah diperbuat, lain dari itu maafnya hanya berupa politik, bukan dari hati."
"Permintaan maaf itu datangnya dari dua arah, pihak bersalah jelas salah, tapi barangtentu si penuduh telah sama membuat sakit hati pada pihak bersalah. Pada esensinya, hati itu yang perlu damai, dan letak permasalahan pada pinggirnya."
"Seseorang yang sudah 3 tahun kita kenal kadang lebih asing dari seseorang yang sebulan kita kenal. Dalam hal ini kupikir, jika yang namanya hubungan batin memang sudah benar-benar cocok, bahkan sebulanpun sudah bisa jadi saudara."
"Tulisan kupikir, jika ia tidak berpesan, jika ia tidak berwawasan, jika ia tidak relevan terhadap lingkungan pembacanya, ia tak lebih dari sebuah kertas lengket bercorat-coret tinta yang nilainya kecil diatas onggokan sampah."
"Sejauh apapun tema yang kau angkat, dari fantasi, peri, para raksasa, hewan, kembali lagi ia harus relevan terhadap realita dan spesifiknya lagi, para pembaca, yaitu manusia itu sendiri."
"Enaknya membaca buku bagus: Dibaca dua kali, tiga kali, hingga seratus kalipun masih bisa kau temukan hal baru (pesan, filosofi, pengetahuan, dan lainnya). Begitu, sayang jika kuhabiskan waktuku untuk baca buku yang tidak bagus, kadangkali lebih populer dan bestseller dari buku-buku yang ada di toko bekas."- Setelah membeli dan menghabiskan tetralogi pulau buru pramoedya.
"Hidayah gampang dicari, jika kau pintar-pintar berpikir. Bahkan terpeleset pisangpun bisa disebut hidayah."
"Bukan keanekaragaman letak permasalahannya, tapi kedunguan manusia-manusianya."
"Ironi para maling: Yang dimaling (motor, handphone, helm) akan menangis beberapa hari karena dimarahi, tapi mereka masih makan lancar, besok dibelikan lagi barang yang mereka beli, mereka masih bisa sekolah. Maling tidak demikian, mereka adalah korban dari buruknya lingkungan yang kita biarkan tercipta, dalam keras dan susahnya pekerjaan untuk di dapatkan, betapa mereka tidak mampu atau diberi kesempatan untuk menyentuh pendidikan. Mereka jual barang curian itu murah (namanya juga barang curian), dan lalu beberapa hari mereka sudah kelaparan lagi. Walau seringkali lolos, hanya butuh sekali kesempatan mereka melakukan kekeliruan untuk bonyok, dipenjara bahkan mati. Dirumah sang bayi sedang menangis, anaknya menunggu sang ayah yang menjanjikan bayar sekolah, sang istri masih menunggu di ruang tamu tak sadar dirinya akan segera menjanda." - Setelah melihat maling motor yang dihakimi massa kemudian mati setelah dikroyok sembari terkena lemparan batu bata dan palu kontruksi saat menjelang shalat jumat.
"Realita yang sesungguhnya belum tentu sama dengan presepsi realita yang kita rasakan. Di dunia dimana aliran informasi begitu deras (internet, tv, koran), semakin tidak jelas realita mana yang sesungguhnya, dan kini sosial media telah menjadi apa yang disebut sebagai hyperreality, dan wujud (avatar) yang kini tengah kita lihat adalah kenyataan yang lebih nyata dari apa yang kita lihat dunia di luar itu." - Berbicara mengenai kajian postmodernism bersama kawan.
"Aku baru-baru ini mencoba trend istagram, dan setelah memahaminya, segera keluar dalam suatu kesedihan dan kemualan. Betapa manusia berusaha menjadi relevan dalam komunitas sosialnya, memperlihatkan potret-potret untuk menggambarkan hidupnya dengan suatu kepersetanan dengan privasi, untuk berteriak bahwa dirinya hidup, bahwa dirinya bahagia, dalam senyum-senyum, lingkungan indah yang tertutupi badan-badan narsisme, dalam caption pesan moral yang tak memiliki relevansi foto demi sensasi ekstasi like berbentuk hati. Itu pikiran awalku, lalu kupikir-pikir lagi, mungkin aku saja yang tak punya hidup dan terpengaruhi rasa-rasa iri dan defensif, ahh... ironi."
"Di masa kuliah, perkawanan lebih erat kaitannya dengan politik, masa depan kita ditaruh di dalamnya. Segala waktu dan perhatian adalah investasi, dan segera-gera tahulah kita mengenai orang yang harus dipedulikan lebih, yaitu orang yang menganggap kita relevan dalam hidupnya atas perhatian tersebut. Tinggalkan jauh-jauh (atau mungkin stay dalam hubungan kasual) orang yang menganggap kita tidak ada setelah tidak ada bisnis (kuliah, dan lainnya) atau masalahnya sudah kelar. Lihat nanti, pasti akan berbuah. Sedangkan yang tidak, berarti kita telah salah berinvestasi, seperti kena scam saja."
"Setelah membaca buku pram kita telah masuk dalam mindset realisme sosial. Disini kita melihat masyarakat bukan sekedar estetika, bukan romantika, bukan sekedar mimpi yang ideal, tapi juga melihat persoalan rakyat sebagai fakta lapangan dan persoalan yang berkait antara sejarah, antara penderitaan dan memeriksa belenggu-belenggu penderitaan, kita paham bagaimana pikiran Pram bekerja dengan sikap adil mulai dalam pikiran apalagi perbuatan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar