Disclaimer
Tulisan ini adalah catatan reflektif dan kontemplatif pribadi, bukan kajian teologis formal. Segala penyebutan konsep keagamaan, baik dari Islam maupun tradisi iman lainnya, disampaikan dengan niat untuk memahami dan menjembatani makna spiritual yang lebih luas, bukan untuk menyeragamkan atau menyamakan keyakinan.
Jam menunjukan pukul satu dini hari.
Sekre saat itu dingin, dipenuhi asap rokok yang mengepul dari kretek-kretek racikan yang dililit di atas kertas papir manis. Meja tua reyot, botol plastik yang beberapanya adalah botol anggur orang tua yang dibungkus plastik hitam, dan banyak aqua gelas berisikan ampas kopi menjelma menjadi asbak, semuanya menjadi saksi bisu obrolan paling liar malam itu.
Kami duduk melingkar seperti biasa, dan saya di sana adalah orang asing karena habis memberi makan lele atas bahan penelitian untuk kelulusan: “Frekuensi dan Waktu Pakan Lele Terhadap Enzim Amilase” yang dalam teorinya, Lele merupakan nocturnal, memaksa saya tersiksa tiap harinya selama dua bulan memberi makan ikan di tengah malam.
Saya sendiri sebenarnya tidak merokok, apalagi minum, tapi di tempat ini adalah tempat yang paling hangat karena jalan menuju kosan telah menjadi jalan yang paling sepi, yang paling malas saya lewati jika saja ngantuk terkadang membuat delusi aneh-aneh, seperti kuntilanak melayang di antara pepohonan…
…ehm, kembali ke soal obrolan.
Obrolan-obrolan saat itu adalah obrolan random, berbagi rasa lelah, gelisah, dalam candaan-candaan saru yang rasanya kelewat batas, tanpa sensor. Kita bisa saja membicarakan korupsi di kampus, ngomongin teori-teori anime one piece, romansa, artis-artis bokep, lalu membicarakan asal mula kata-kata jorok di lain waktu, kemudian mempertanyakan runtuhnya peradaban, dekonstruksi derrida yang kita semua gak paham, bahkan nyasar-nyasar mengenai agama, walau semuanya dalam level yang paling dangkal dan loncat-loncat tidak jelas.
Namun menarik hari itu, tiba-tiba seorang kawan dari Sastra yang ‘tersesat’ di fakultas Biologi tiba-tiba angkat bicara:
“Ngeliat kita ngomong saru mulu, gimana kalau kita sepakat ini jadi ruang bebas bereksperimen berpikir? Gak ada yang boleh tersinggung. Dunia luar sudah terlalu sesak dengan sopan santun palsu, dogma yang melarang berpikir dan political correctness. Kita kehilangan kreativitas karena takut salah, padahal segala yang ada, hasil dari kreativitas.”
Kami mengangguk. Bukan karena setuju sepenuhnya, tapi karena pada dasarnya kita sudah lelah jadi manusia yang harus selalu tampil benar di dunia yang semakin dangkal.
Di ruang sempit dan remang ini, batas-batas runtuh. Segala hal yang kami bicarakan, ras, seks, agama, politik, bisa dibicarakan tanpa maksud menyakiti, hanya ingin paham, hanya ingin menyelami sesuatu yang lebih dalam dari sebatas kulit luar, yang walau jujur, mungkin tidak ada satupun dari kita yang benar-benar mengerti.
Tidak ada saat itu semacam chatGPT yang bisa diajak berdiskusi. Hanya sesama individu tersesat dan kurang kerjaan saja di dini hari, di mana kita saling berbagi hal-hal yang belum tentu benar dan salah.
Kita semua bergantian membicarakan hal-hal yang mungkin dianggap tabu, walau tak benar-benar memahami apa yang kami bicarakan, tapi terasa begitu membebaskan. Lalu, entah dari mana, saya tiba-tiba mengangkat topik tentang seorang tokoh sufi besar yang pernah dihukum mati.
Ia berkata, dengan kebenaran yang hanya mungkin muncul dari pengalaman mistik yang melampaui batas:
“Ana al-Haqq” — Aku adalah Kebenaran, atau Aku adalah Tuhan.
Kata-kata itu jelas dianggap syirik oleh otoritas agama saat itu. Tapi, apakah memang itu maksudnya?
Saya kembali mengulang kalimat itu perlahan. “Tuhan adalah aku.”
Kalimat itu seperti memantul di dinding-dinding kepala kami. Sunyi.
Lalu saya menambahkan: bukan dalam arti egosentris atau merasa ilahi, tapi dalam kesadaran terdalam bahwa kita ini bukan entitas yang terpisah dari Tuhan, melainkan bagian dari keberadaan-Nya yang menyeluruh.
Dalam Al-Qur’an, Surah Qaf ayat 16, disebutkan:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Kalimat ini kerap kita baca, pun beserta interpetasinya yang harafiah, namun jarang kita merenunginya dalam kedalaman penuh, dalam level yang personal. Apa arti Tuhan lebih dekat dari urat leher?
Saya melihatnya sebagai firman bahwa dirinya adalah bukan hanya entitas di langit yang agung dan jauh, tapi juga hadir di dalam kita, di ruang yang paling dekat, jiwa dan kesadaran.
Jika Tuhan sungguh menyelubungi segalanya, seperti disebut dalam Surah Al-Hadid ayat 4:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia berkuasa atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Ia tidak hanya meliputi langit dan bumi, tapi juga pikiran dan emosi kita. Ia adalah asal dan tujuan. Alfa dan Omega.
Dalam tradisi tasawuf, konsep ini dikenal sebagai fana, lenyapnya ego pribadi dalam keberadaan Tuhan. Para sufi tidak ingin menjadi Tuhan dalam arti absolut, tapi ingin mengosongkan dirinya dari ego agar Tuhan bisa “tinggal” di dalamnya. Mereka menjadi saluran sifat-sifat ilahi.
Tak heran jika mereka bisa tampak menjadi seperti orang gila di mata masyarakat, karena logika mereka bukan lagi logika dunia.
Saya melihat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia yang paling berhasil menghidupi sifat-sifat Tuhan. Ia bukan Tuhan, tapi ia hidup seolah Tuhan “hidup” di dalam dirinya, dalam bentuk kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan kebijaksanannya.
Maka Sunnah bukan sekedar pakaian atau ritual, tapi kita hendak mencontoh jalan hidup yang mencerminkan ruh ilahiah.
Ketika kita diseru untuk mengikuti Nabi, itu berarti kita diajak mengikuti sifat-sifat Tuhan yang telah diwujudkan dalam laku kehidupan manusia. Quran, hadis, dan sunnah bukan hanya dokumen normatif, tapi peta spiritual menuju Tuhan.
Nah, ketika membahas ini, saya walau agak takut membahasanya, tapi pada akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dengan konsep Kekristenan, khususnya konsep Trinitas: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Umat Islam tentu secara otomatis akan menolaknya karena konsep tersebut dianggap menyekutukan Tuhan. Tapi jika kita dekati dengan pendekatan fenomenologis, konsep ini justru memperkaya.
Tuhan Bapa adalah sang Pencipta, serupa dengan Allah di dalam Islam. Yesus adalah Firman Tuhan yang menjadi manusia, mirip dengan gagasan Nabi Muhammad sebagai “Quran berjalan.” Dan Roh Kudus adalah energi ilahiah yang menghidupi orang-orang yang beriman, mirip dengan konsep ruh ilahiah dalam tradisi sufi yang menuntun hati manusia ke arah kebaikan (tentu ini adalah interpetasi saya yang kemungkinan besar salah).
Apakah ini bentuk lain dari satu gagasan yang sama? Kemungkinan besar tidak. Tapi yang pasti, esensinya adalah bahwa Tuhan tidak hanya bersemayam di langit, tapi juga hadir di dalam sejarah, dalam tubuh manusia pilihan, dan dalam hati setiap orang yang beriman.
Maka tugas manusia adalah menyelaraskan dirinya dengan sifat-sifat ilahiah, entah melalui jalan Kristus atau sunnah Nabi.
Di sini, pernyataan “Tuhan adalah aku” bukan lagi pengklaiman ego, tapi ekspresi kedekatan dan penyatuan. Tuhan menyelubungi segalanya, termasuk manusia.
Manusia yang hidup di dalam pelukan Tuhan akan selalu mengingatnya, mengamalkan firman-firman-Nya untuk berbuat kasih sayang, menegakkan keadilan, melindungi alam, menjaga martabatnya, dan menghormati sesama.
Inilah, menurut saya, bentuk spiritualitas yang tidak memisahkan lagi langit dan bumi, agama dan kehidupan, Tuhan dan manusia. Ini spiritualitas yang membumi dan membebaskan, bukan lagi yang menakuti-nakuti atau memenjarakan.
Ketika seseorang sadar bahwa dirinya selalu dalam pelukan Tuhan, ia akan berpikir dua kali untuk sebelum menyakiti, merusak atau menindas, sifat-sifat yang jauh dari sifat ilahiah, yang tentu dibenci-Nya.
Di sini, spiritualitas menemukan relevansi sosialnya. Ia tidak hanya menyelamatkan jiwa pribadi, tapi juga memperbaiki dunia. Seperti kata Imam Ali bi Abi Thalib:
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Tapi pengenalan ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab etis.
Untuk tidak terlalu jauh dan dianggap terlalu sesat, mungkin kita bisa meminjam logika diagram Venn. Tuhan adalah lingkaran terbesar, menyelubungi segalanya. Di dalamnya ada manusia, mahluk, alam semesta.
Dalam diri manusia, ada sifat-sifat baik yang merupakan bagian dari sifat Tuhan. Ketika kita mengamalkan keadilan, kasih sayang, kebijakan, maka kita sejatinya sedang mengaktualisasikan sifat Tuhan dalam hidup.
Namun, perlu diingat bahwa kita juga punya ego, nafsu, dan batas. Kita bukan “Yang Maha.” Tapi kita bisa menjadi bayangan-Nya yang baik di dunia.
Itulah tujuan hidup spiritual: bukan menjadi Tuhan, tapi menjadi cermin-Nya.
Namun, tampaknya dalam dunia modern, banyak para pelajar, intelektualis, bahkan masyarakat biasa, yang dalam kehidupan sehari-hari merasa terlepas dari Tuhan. Banyak dari mereka bukan ateis, mereka tetap berkata bahwa Tuhan itu ada, namun benak mereka tidak merasakan kehadiran-Nya.
Dunia terasa terlalu cepat, terlalu materialistik, terlalu dangkal. Orang hidup tanpa pusat. Hampa.
Maka muncul gelombang sinisme, kelelahan eksistensial, dan kehilangan makna, bahkan tanpa mereka sadari namun terefleksi dalam bagaimana mereka bertindak, yang jauh dari sifat-sifat kebajikan.
Spiritualitas menjadi demikian asing walau mesjid selalu penuh di hari Jumat, dan Tuhan menjadi konsep yang terlalu kabur atau terlalu dogmatis.
Di sini menurut saya adalah penting adanya kesadaran bahwa Tuhan menyelubungi segalanya. Bahwa kita tidak pernah sendirian. Bahwa setiap kebaikan kecil adalah bagian dari proyek ilahi yang besar.
Ketika kita bertindak dengan kasih, maka Tuhan sedang hidup dalam tindakan itu.
Itulah sebabnya dalam Islam, nama-nama Tuhan yang indah disebut “asmaul husna” atau artinya: sifat-sifat baik. Tuhan disebut dengan apa yang baik, karena Dia adalah asal-muasal dari segala kebaikan.
Tugas kita bukan sekadar menyebut nama itu, tapi menjadi saluran sifat itu. Seperti disebut dalam hadis qudsi:
“Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”
Tak sadar, azan subuh sudah berkumandang. Teman-teman sudah tertidur lelap. Obrolan malam itu ternyata hanya menjadi monolog panjang ngalor ngidul, loncat sana loncat sini, tanpa satupun pendengar.
Tapi tidak masalah. Kadang, percakapan terbaik memang terjadi dengan diri sendiri, sambil ditemani Tuhan yang diam-diam hadir dalam tiap tarikan napas.
Saya pun berdiri pelan berusaha tidak membangunkan dan berjalan menuju masjid kecil di sudut kampus.
Dalam gelap yang mulai bergeser ke terang, saya rasakan hangat yang aneh. Mungkin karena tubuh yang mulai bergerak. Mungkin karena kopi yang masih menyisa dalam lambung. Tapi saya lebih yakin: itu karena Tuhan sedang menyelimuti saya.
Bukan dalam wujud wahyu atau mimpi, tapi dalam kesadaran tenang bahwa saya ada, dan karena ada, saya berarti.
Tuhan menyelubungi segalanya.
Dan saya sedang belajar berjalan dalam pelukan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar