Rabu, 06 April 2016
Tetes Air Mata Dari Atas Langit
Angin berhembus kencang saat itu seketika pesta diadakan, dimana orang-orang menggunakan baju berhias bulu-bulu cendrawasih dari pulau barat, beberapa sosok mengenakan kostum ogoh-ogoh, dan beberapanya lagi adalah seorang pria yang menyerupai dirinya sebagai wanita. Alunan lagu, gebuk gamelan, rindik, dan ceng-ceng berlomba dengan suara angin juga hujan yang akan segera menghampiri. Demikian kencangnya angin tidak boleh menganggu gugat pesta ini, karena yang diatas akan tersinggung jika mereka tidak bersuka cita atas penyembahan yang akan dilakukan esok hari.
Pesta ini tidak pernah membuat orang-orangnya senang, sungguh pesta yang janggal dengan senyum yang dibuat-buat, keluar dari bibir namun tidak sampai di hati. Tawa lepas yang biasa keluar dari pesta masyarakat juga tidak keluar, arak-arak juga tidak diteguk karena takut jujur bahwa kutuk dalam hati tahu-tahu saja lepas dari benak. Tepuk tangan dan tawa lepas itu hanya muncul dari anak-anak yang menyaksikan adegan heroik, suatu kisah yang memperlihatkan dewa yang menyelamatkan gadis dari siluman jahat, lalu diikuti gadis juga dewa yang saling jatuh cinta, dan keberkahan yang melimpahi desa. Perasaan gegap gempita dari anak-anak itu tak lain merupakan kepolosan, dan semakin dewasa kupikir tawa itu akan hilang, berubah menjadi kemurkaan, kutukan, dan ketertindasan atas kehambaan suatu mahluk terhadap yang maha kuasa.
“Oh, anakku!”
Tiba-tiba dari meja tamu terhormati terlepas isak tangis, dan semuanya menengok panik dengan senyum yang tiba-tiba terlupakan. Saat diperhatikan baik-baik ternyata orang tua gadis yang menjadi sesembahan saat itu melepas tangisnya, dan tak disangka bahwa dia sudah meneguk salah satu arak yang terasingkan itu. Wajahnya memerah, dan tangisnya semakin lepas hingga terdengar seperti teriakan penuh penderitaan. Salah satu anak lelakinya segera memegangi sang ibu untuk menariknya kedalam, tapi teriaknya tak kunjung berhenti.
“Masih umur enam belas, tapi kebebasannya harus direngut! Dia belum lagi puas bermanja-manja dengan ibunya, bermain bersama teman, dia juga pasti belum tentu tahu apa itu cinta. Apakah dewa—”
“Diam ibu! Diam!”
Anak lelakinya langsung menutupi mulut ibunya, dan secara panik membawanya kedalam.
Semua yang menengok dengan senyum yang hilang seketika kembali tersenyum lagi. Mereka berdoa dalam hati bahwa dewa tidak marah ataupun murka.
Selagi itu angin semakin kencang, dan hati semakin murung dibuatnya. Akupun saat itu muak di tempat para penonton yang murungnya bukan main mendengar teriakan isak tangis sang ibu yang makin lama menjauh dari pesta ini, dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi menemuinya, si gadis sesembahan itu.
Keluar dari tempat itu, diriku segera berbelok dan menyeroboti semak-semak, masuk dalam pepohonan, menjauhi obor hingga lama-lama gelap karena tertutupnya rembulan oleh awan mendung, dan hanya satu cahaya saat itu, rumah pengasingan untuk gadis sesembahan, tak lain dan tak bukan adalah sahabatku, dan cintaku diam-diam.
Kudekati gubuk yang sudah dibersihkan itu, kuketuk, dan kupanggil namanya lembut.
“Liana? Masih bangun?”
Liana namanya. Teman masa kecil, dari bayi hingga kini. Sebentar lagi ia akan menjadi kekasih para dewa, tepatnya esok ketika gerhana tiba. Aku bayangkan dia menangis karena tidak bisa lagi bertemu ibunya, ayahnya, membantu ibu membuat kain, bermain bersama teman, atau mungkin, yah mungkin saja, tidak ketemu aku.
“Gus? Kamu itu gus?”
Suara Liana ternyata tak seperti yang kupikirkan. Tidak serak kudengar dari suaranya, tidak seperti ibunya yang meraung-raung di rumahnya.
“Bisa dibuka pintunya?”
“Gak bisa Gus, tetua yang memegang kunci. Tidak boleh satupun orang kecuali ibuku sendiri yang boleh menemuiku, kamu tahu sendiri bukan?”
Kubayangi Liana dibalik pintu itu, wajahnya yang bulat itu, rambutnya yang ia biasa urai panjang melewati bahu kanannya, ketika ia menyanyikan lagu suka cita alam di pantai, dan mengaggumi ukiran-ukiran patung para dewa. Kini ia telah dihias, dan esok lagi ia akan dimandikan kembang tujuh rupa. Dibawanya ia ke pantai para dewa, lalu ditinggalkan dan hilang sekejap dari pandangan mata, tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada manusia yang dipuja dewa itu, kemana dia pergi.
“Tak sedih kamu Liana?”
“Menjadi kekasih dewa adalah kehormatan seumur hidup Gus, mau ngeluh apa aku jika sudah takdir langit?”
“Tidak takut kamu? Ingat kamu soal—”
“Ssst, Gus, kamu jangan takuti diriku. Aku akan baik-baik saja.”
Lalu ingatanku kembali ke 5 tahun yang lalu, ketika tiba-tiba burung cendrawasih jatuh ke desa dan seketika berubah menjadi seorang wanita berumur 40an, dengan gaun sobek memperlihatkan tubuhnya yang babak belur, wajah yang terkoyak, dan tulang yang patah-patah keluar dari kulit. Dalam sesaknya nafas dari paru-parunya yang telah terkenai sabetan keris, ia teriakan dalam lirih hingga kami yang menontoninya mendengar dengan jelas ucap akhir dari udara yang tersisa di kerongkongannya : “Tolong aku, tolong aku bapak, ibu.. neraka, neraka di tempat para dewa-dewa itu.. tolong..”
Tak ada satupun saat itu yang segera menolong, wanita itu telah katakan bahwa dia berasal dari tempat para dewa, dan dewalah yang membuatnya demikian, kita yang manusia ini bisa dibuat celaka. Pada saat-saat terakhir itu, sang wanita menutup matanya seketika tangannya menjulang ke atas langit, seakan ia telah raih kebebasan dari kematian yang kemudian menjemputnya. Semua orang diusir oleh tetua setelah itu, dan kita ketahui bahwa sosok wanita itu adalah gadis sesembahan 33 tahun yang lalu ketika gerhana muncul terakhir kali.
“Kita ini masih kecil Liana, tapi dengar ucapanmu itu, terdengar dewasa sekali.”
“Kita tak bisa selamanya jadi anak kecil Gus, terutama aku ini yang ingin segera diperistri dewa, kamu juga harus segera dewasa karena kewajibanmu sebagai seorang pria. Tak bisa larut dalam sedih karena meninggalkan orangtua, meninggalkan—”
“Tapi aku khawatir Liana! Bundamu juga, sekampung ini juga.. Semua cinta suaramu yang memuji alam, pada senyum dan tawamu yang mententramkan hati, dan lagi, umurmu sama denganku, 16 tahun, belum juga merasakan hasil keringat dari bekerja, belum berpuas diri untuk bermanja-manja dengan ibunda tercinta, belum terpuas hati pada kekaguman terhadap ayahanda.. Jika saja aku dalam keadaan sepertimu Liana, masih diberi waktu di dunia ini, maka akan kuhabiskan waktu yang tersisa di dunia ini sebagai anak kecil, bukan terlena dalam suatu keterpaksaan yang disebut sebagai kewajiban..”
Liana tidak membalas, aku juga sudah kehabisan kata-kata, dan apa juga tujuanku kesini pada gadis yang sudah kehilangan harapnya ini. Apa yang sesungguhnya kuinginkan?
Tanpa sadar air mataku mengalir, mungkin karena cinta walau aku tidak tahu definisinya kecuali perasaan yang menggebu-gebu dan menyakitkan ini, mungkin juga karena alasan empati ketika seorang sahabatnya kehilangan hak atas segalanya terhadap mahluk yang tak pernah kita jumpai wujudnya dan dunianya itu, hanya karena tulisan tinta dalam lembar-lembar daun yang digulung bertuliskan banyak kembang desa yang diambil acak oleh tetua, karena suatu yang acak itu! Lalu mereka sebut bahwa tak ada suatu kebetulan di dunia ini, sang dewa telah memilih gadisnya, dan seakan-akan beruntunglah gadis itu, walau tak ada puji syukur keluar, bahkan dari mulut tetua sendiri.
Seketika itu aku terduduk lemas menyender pada pintu yang dingin itu, memeluki kakiku, merasakan semuak-muaknya rasa hati ini, dan tak bisa kukatakan apa-apa dalam bibirku ini, bahkan kata makianpun.
Ketika itu dalam diam yang lama kurasakan pintu bergetar, kurasakan keberadaan Liana dibalik pintu itu, mungkin juga bersender.
“Cinta kamu Gus sama aku?”
Jantungku langsung berdetak kencang seketika mendengarnya, benak juga terasa semakin perih.
“Jika rasa perih ini, rasa sakit ini, rasa tak rela ini yang disebut cinta, maka iya Liana, Aku mungkin memang jatuh hati denganmu.”
“Aku juga Gus, dipikiranku kini hanya kamu dan ternyata kamu yang datang kesini. Pernah aku mendengar bunda mengisahkan kisahnya perihal pertemuannya dengan ayahanda dan kisah dimana mereka dimabuk asmara, dan tak lain, aku mengingat wajahmu setelah itu. Ketika itu aku senang mendengar kau sekasta denganku, senang bahwa hubungan ayah kita begitu dekat, senang bahwa kau selalu mengajakku bermain, pujian-pujianmu akan suaraku, dan..dan..”
Akhirnya kudengar pecah tangisnya Liana. Dia berulang kali mengambil nafas sebelum tangisnya pecah lagi. Beberapa saat kemudian akhirnya tangis itu bisa ditahannya, dan ia berusaha berbicara lagi. Aku mendengarkan, mendekatkan telingaku ke pintu tersebut.
“Tapi aku lebih sering mendengar kisah para Dewa Gus, tentang kebaikan-kebaikannya pada tanah ini, dan aku selalu memujinya, setiap waktu, dimana saja. Lalu kudengar tentang seorang dewa yang menginginkanku di khayangan, dan seharusnya aku merasa senang telah mendapatkan kemulian dalam tujuan hidup, kemuliaan yang jarang ditemukan seorang wanita, tapi aku malah ingat kamu Gus. Oh Bagus, telah kau racuni apa kemurnianku, kecintaanku pada dewa?”
“Liana aku..”
Tiba-tiba terdengar suara ketuk, dan kurasai getar ketuk itu berada tepat dihadapan wajahku.
“Kau rasakan itu Gus? Dekatkan bibirmu disitu.”
Kudekatkan bibirku itu, dan tak kumengerti maksudnya.
“Sentuh bibirmu pada pintu Gus.”
Kusentuhkan bibirku pada pintu yang dingin itu. Lama tak keluar suara dari Liana, dan akhirnya pecah keheningan itu dengan suara Liana yang terdengar membisik dalam malu :
“Disitu barusan tertempel bibirku, beberapa saat dalam hening itu.”
Mendengar itu kepalaku langsung panas, tapi juga semakin sesak hati ini. Apakah itu momen terakhirku pada Liana, momen terakhir kenangan terhadap Liana, momen terakhir bukti akan kisah cinta kita yang dimulai malam ini dan berakhir juga pada malam yang sama?
“Disitu kutinggalkan perasaan ini, harapan muda ini, semua padamu.”
“Liana telah kau buat aku ingat, dan semakin sakit benak ini..”
Seketika itu kurasakan sesak dalam hatiku, dan kuketahui bahwa dari kejauhan obor-obor menemani Ibu Liana yang ingin berkunjung ke tempat Liana, mungkin ingin berjumpa untuk terakhir kalinya dan tetua izini.
“Aku harus pergi Liana.”
“Selamat tinggal Bagus, selamat tinggal..”
Kemudian aku berlari menuju rimbun pohon yang gelap itu. Ketidakrelaan ini, sesak di dada, dan air mata yang tak kunjung berhenti ini membuatku berpikir, berpikir keras akan ketidakadilan seseorang demi khalayak desa, demi kisah-kisah yang tak pernah kita saksikan. Aku mengutuk, dan dalam kutukan itu keluar sifat membara dalam hati, murka tepatnya, pembrontakan akan ketertindasan nasib!
***
Pagi setelah hujan dipenuhi dengan suasana kabut, terasa bau basah tanah, embun yang menetes pada ujung rerumputan, dan matahari yang mencoba menembus suasana kabut. Liana telah berada di panggul yang dibopong orang banyak, tersembunyi dalam kotak kayu yang diukir sedemikian cantik, dihiasi bunga-bunga, dan diiringi nyanyi-nyanyian syukur. Seluruh warga desa menamaninya sampai gerbang depan desa sambil mengucap doa, beberapanya memegangi dupa, dan kemudian dalam gerak, asap dupa itu membentuk jejak seperti tali yang diurai dan tak kunjung jatuh ke bumi. Ketika itu telah lewatlah gerbang, dan semuanya mengucapkan selamat tinggal pada gadis di dalam ruang sempit kotak kayu itu.
Aku ada disana hingga melewati gerbang menemani ayahku setelah semalaman berdebat dengannya, kukatakan demi ucap selamat tinggal juga ingin melihat mukjizat dewa secara langsung yang sering diceritakan ayah. Iapun menerima, dan menyuruhku menyimak baik-baik apa yang dilakukan dalam ucapara ini.
Dipertengahan jalan, kuperhatikan saat itu kabut-kabut seketika menghilang seperti dibelah, segala jenis mahluk hidup dari yang di atas langit seperti burung layang hingga yang menginjak tanah seperti ayam saling berbunyian, kulihat sapi dan kambing ternak juga, mungkin para semut di kaki juga. Pepohonan bergerak walau tanpa angin, membuat daun-daun lepas menghujani kami, dan kulihat sungai menjadi kering dengan ikan-ikan yang saling berlompatan di dasarnya, mungkin dilakukan dewa untuk memudahkan kita lewat. Jadi inikah mukjizat para dewa?
Panggul itu kita bawa hingga ke di pantai yang bersentuh dengan ombak, menghadap pada lautan. Selagi itu telah terlihat tanda-tanda gerhana tiba, dan tetua mengadakan nyanyian syukur sambil menyiapkan sesajen, dupa, dan menebar kembang di antara panggul itu selagi kita berlarian menuju batu besar karena tidak diperbolehkannya manusia biasa melihat dewa kecuali sosok brahmana.
Disitu aku melihat kesempatan, dengan segala kepengecutan itu mereka takkan melihatku. Hati ini semakin yakin dan merasa bisa, dan rasa takut semakin sirna terhadap dewa yang kuasanya hingga membelah kabut juga mengeringkan sungai, aku pasti bisa membawa lari Liana! Kubayangkan setelah itu orang-orang akan menganggap Liana telah hilang oleh dewa, dan aku sudah jauh berada di seberang pulau dengan perahu nelayan yang kucuri di dekat pantai dewa.
“Ayahanda, aku izin kebelakang, bolehkah?”
“Tak bisa kau tahan? Bukankah kau ingin berada disini sambil mengenang kepergian sahabatmu?”
“Tak tahan ayahanda, lagipula telah kutemani Liana sampai tempat ini. Itu bentuk penghormatanku ayah.”
“Baik, tapi jauh-jauh nak, jangan kotori pantai dewa ini.”
Seketika itu aku pergi, memutar diam-diam, dan mengintip tetua yang masih berada disana. Seketika matahari mulai tertutupi sesuatu, tetua lari menuju tempat orang-orang bersembunyi dan saat itu juga aku segera menuju ke panggul itu, kuangkat kakiku agar tidak terseret pasir, dan sesampainya disana segera kubuka kotak tersebut. Kulihat wajah Liana yang memerah matanya, yang luntur segala yang menghiasi wajahnya karena tangisnya itu, yang bibirnya seketika memperlihatkan kaget karena aku yang kini ada dihadapannya.
“Bagus apa yang kamu—“
“Ssstt..”
Aku segera menariknya keluar, dan ternyata Liana tidak rela keluar dari kotak tersebut. Langit belum juga menutup, masih ada momen untuk melarikan Liana.
“Tidak gus.. tidak bisa..”
“Aku tahu dari tangismu itu, kau tidak rela bukan? Ayo!”
“Sudah kau lihat kekuatan dewa bukan? Apa yang ia bisa lakukan pada alam? Bayangkan Gus, apa yang bisa ia lakukan pada desa kita? Kita juga tidak bersembunyi dari dewa!”
Kulihat orang-orang mulai keluar dari batu besar itu, ternyata mereka mendengar kami, dan terutama ayah, dia berteriak dalam wajahnya yang luar biasa murka.
“BAGUS!!”
Aku tidak peduli, dan semakin erat tanganku memegangnya.
“Dengar ini Liana, telah kujelajahi kota lain bersama ayah, telah kujelajahi pulau lain. Tak ada satupun yang menyembah pada dewa, tak ada! Tapi mereka tak kurang kaya, mereka berjuang dengan keringatnya sendiri dan mereka dapat kekayaan itu. Kita juga tak lain Liana, dewa tak berbuat sesuatupun, kecuali dalam kisah-kisah yang kau puja itu. Dengar aku Liana, jika dia memang punya kekuatan di pulau ini, dia tidak punya sesuatupun diluarnya. Kita bisa pergi ke sana, keluar sana.”
Kupandangi erat-erat mata itu, dan akhirnya ia rela! Aku dan Liana berlari, dan Liana angkat gaunnya hingga kakinya berlari bebas di pasir itu. Di belakang para pria itu menyerah, kami sudah begitu jauh dari pantai hingga bertemu tanah yang sesungguhnya, dan jauh hingga gerhana menutupi langit, dalam gelap itu aku tengok wajah Liana, dan samar-samar kulihat dirinya tersenyum, dan betapa leganya hati ini, betapa leganya..
“Mungkinkah ini gus? Mungkinkah ini yang kuinginkan hingga aku tidak bisa berhenti tersenyum?”
Seketika ucapan itu keluar, wajah Liana berubah seketika menjadi takut.
“Ada apa Liana?”
“Wajahmu gus, ah..”
Aku berhenti, dan mencari genangan air hujan tadi malam. Seketika cahaya muncul lagi, dan kulihat wajah itu. Wajah itu sudah berubah menjadi sosok yang kuingat mati dalam benakku. Ogoh-ogoh, dengan giginya yang panjang, dan seketika jari-jariku keluar kuku yang panjang juga tajam. Rambutku memutih, memanjang hingga dadaku. Badanku seketika membesar, dan seketika Liana terlihat kecil, dan dunia berubah menjadi pasir putih itu lagi. Kita, entah bagaimana, telah kembali ke pantai dewa itu lagi.
Liana memelukku walau telah berubah diriku menjadi mahluk mengerikan. Saat itu dihadapanku muncul sosok yang sama besar denganku, bercahaya terang hingga menyilaukan mata. Orang-orang, juga ayah ketika itu telah bersujud di pantai itu.
“Apa yang kau, mahluk jahat, lakukan terhadap permaisuriku?”
Dia bertanya padaku sambil menunjukan pedangnya yang bercahaya terang seperti seakan-akan ia telah menggenggam matahari.
“Dewa..— ah?!”
Suaraku?! Telah berubah ia menjadi serak, berat, dan keras. Aku seketika masuk dalam sandiwara pesta itu, menjadi tokoh ogoh-ogoh yang siap untuk dibunuh dan dibakar. Tapi berbeda kali ini tokoh wanita itu memeluk kakiku. Tahu tokoh permaisurinya tidak segera berlari pada pahlawannya, sosok bercahaya itu memainkan pedangnya, menebasnya ke laut hingga terbelah dibuatnya.
“Tak takut kamu? Enyah kamu dari sini. Permaisuri, sini, jangan takut.”
“Liana..”
“Kalian semua yang bersembah sujud, lihat baik-baik apa yang akan kulakukan pada siluman ini, lihatlah!”
Kulihat Liana, dia tak juga pergi dari kakiku. Aku segera mendorongnya dengan tangan untuk menjauhi diriku, tapi ia tetap berusaha mendekatiku, walau tadi ia tahu bahwa tebas dewa tersebut mampu memusnahkan kami berdua sekaligus.
Saat itu kutatap mahluk penuh cahaya itu, yang kini menyombongkan diri di hadapan orang-orang, dia ulang kisahnya kembali hingga orang-orang itu kembali mengingatnya bahwa dia adalah pahlawan yang seharusnya secara tulus ditemani tepuk tangan dan gegap gempita, dinyanyikan bukan hanya pada saat gerhana, diingat selalu dalam semua tindak dan doa. Kini sosoknya telah makin rendah dan rendah seketika permaisuri terdahulunya sempat melarikan diri dari tempatnya. Ia takut bahwa semua kemewahan sesosok dewa di atas bumi ini hilang, dimana ia dicintai betinanya, dipuja yang tua, ditepuk tangani yang kecil, maka dibuatnya aku menjadi sosok buruk rupa, Ogoh-ogoh, yang merupakan imaji manusia tentang mahluk jahat, sekaligus menjadi hukumanku sebagai mahluk pembrontak. Setidaknya itu pikirku kini.
Saat itu kuberanikan diri, karena tak lain kisah ini terjadi dengan pembantaian diriku sebagai sosok jahat, perlawananku satu-satunya adalah kata-kata yang keluar dari bibir ini, dan tidak lain.
“Oh dewa, semuanya telah tahu bahwa dinding khayangan itu menyembunyikan neraka di dalamnya. Kisah itu telah tersebar dari mulut permaisurimu sendiri yang telah kau siksa dan bunuh itu, dan saat itu hingga kini telah jatuhlah derajatmu, telah hilang kemuliaan kisahmu, kecuali ketakutan oh dewa, dan dari ketakutan akan muncul perlawanan. Dan aku perlawanan pertamamu, akan kulindungi Liana, takkan kuberikan dia padamu!”
“Berhenti berbicara tentang kebohonganmu!”
“Liana, ingin kau tinggal di khayangan sana?”
Liana menggeleng-geleng, dia tetap memelukku. Aku tahu tadi malam dia telah memantapkan hatinya untuk bersedia dikorbankan, untuk hidup yang lebih celaka dari mati. Tapi kini akhirnya ia mampu menerima bahwa dirinya lebih baik dari itu, telah ia percayai ucapanku, bahwa manusia bisa hidup kaya dengan usahanya sendiri tanpa pengaruh dewa-dewa. Telah ia tinggali kekagumannya pada dewa demi cinta, demi perasaan jujur yang sudah ada sejak lahir manusia. Telah ia tinggalkan tujuan mulia dalam pengabdian, demi hidup bebas, sebagaimana seharusnya manusia hidup.
“Kurang ajar!”
Ketika pedang itu dihempas, aku segera memeluk Liana, memunggungi pedang itu hingga dibuatnya punggung terkoyak-koyak. Tak bisa ia belah punggung ini seperti laut itu, dan terbukti lagi bahwa itu omongannya sekali lagi hanya bohong belaka. Seketika rasa sakit itu semakin menjadi, namun tatapanku, dari mata yang membesar ini kepada mata kecil Liana membuatku kuat. Terus dan terus, walau dari mulutku telah keluar darah.
“Lawan aku siluman!”
Tidak, tidak aku lawan api dengan api. Takkan kuhidupkan dongeng sialanmu. Kisah itu akan berubah dimana ogoh-ogoh yang buruk rupa ini melindungi suatu gadis belia dari tangan dingin penguasa yang angkuh juga sombong, yang dengan paksa dan juga ancam mengambil gadis-gadis desa untuk diperistri dan disiksa. Saat itu Liana dalam tangisnya menyebutkan namaku sambil mengusap wajahku yang kasar ini.
“Bagus, oh.. bagus..”
Dari kejauhan ayah juga berteriak, memohon ampun dewa terhadap anaknnya. Telah ia kenali aku sebagai anaknya walau dalam wujud ogoh-ogoh ini. Tapi tak kunjung dewa berhenti menebas punggung ini, yang besar ini, sampai akhirnya aku roboh, ditelan oleh gelap sementara, sampai cahaya memasukinya lagi, dan kulihat Liana sudah membelakangiku, berada di hadapanku dengan lengan yang ia buka lebar, menahan sang dewa untuk mengakhiriku saat itu juga.
“Jangan kau sakiti lagi oh Dewa. Tak lain perilaku sahabatku ini adalah jauh dari mahluk jahat, ia lindungi hamba karena kasih sayangnya, sikap yang kau puji dari manusia itu. Kamipun masih muda, masih tidak bisa membedakan kewajiban diri sebagai seorang hamba. Maafkan kekhilafan kami dewa, maafkan..”
Dalam kedip itu kulihat cahaya dewa itu mendekati Liana, ia pengangi tangannya dan ia ciumi tangan tersebut.
“Kumaafkan dia demi kau permaisuriku, dan —“
Dewa itu menatapku yang sudah babak belur, kaku di tanah dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan gejolak amarah dalam hatinya.
“Aku berjanji di khayangan sana, takkan pernah kusakiti dirimu.”
“Maka hamba rela ikut denganmu oh mahadewa.”
Setelah ucapnya, seketika berubah saat itu sosok Liana menjadi seekor burung cendrawasih dengan ekornya yang panjang juga indah. Sosok bercahaya itu juga, sama indah, besar, dan gagah. Dari pandangku yang semakin gelap, kuketahui bahwa tanganku telah berubah menjadi kecil lagi, menjadi sosokku yang semula. Punggungku terasa sakit dan perih, tapi tak lebih sakit yang kurasai di dada ini, pecah tangisku dalam ketidakberdayaan ini, dalam perlawanan yang sia-sia terhadap takdir.
Ketika itu juga terdengar bisik, bisik itu begitu halus memasuki kepalaku seketika kedua burung tersebut mulai terbang menjauhi pantai ini.
“Ingatlah aku, Gus, ingatlah. Bagaimanapun nasibku di dunia dewa, ingatanmu tentang aku akan membuatku ada di tanah bumi ini, ada bersamamu. Selamat tinggal Gus.. selamat tinggal cintaku..”
Dan seketika tetes air hujan turun, ia adalah air mata yang turun dari langit, ia adalah ratapan dari ketidakberdayaan manusia terhadap kuasa yang diatas. Lalu tak lama, burung itu telah menghilang ditelan langit, dan air mata itupun berhenti bersamanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar