Rini kembali datang ke tempat psikiatris itu, masih menggunakan baju sekolahnya, dia sama sekali tidak membuang waktunya untuk pergi ke tempat ini. Kantung matanya membengkak oleh tangis, ia tidak lagi merias wajahnya, dan hatinya sangat dongkol hingga ia ingin meledakannya di hadapan psikiatris ini. Ketika itu mungkin sudah 15 menit Rini menunggu dan dokter itu belum datang-datang juga, sampai akhirnya bunyi gagang pintu terdengar dan keluar wajah wanita itu. Baju jas yang dia gunakan kini berwarna coklat dengan rok pendek hingga lututnya. Masih tetap trendy pikir Rini, bahkan terkesan ingin kencan.
Maaf telat kata psikiatris tersebut, Rini tersenyum bilang tidak apa. Psikiatris tersebut segera duduk, keringat keluar dari dahinya membuat Rini tahu bahwa sang psikiatris mungkin berlari, peduli bahwa pasiennya menunggu. Psikiatris itu sadar bahwa Rini baru saja menangis dan menyuruh Rini bercerita apa yang dialaminya tanpa berbasa-basi, dia sadar waktu pertemuannya sudah terpotong karena telatnya, dan ia punya schedule lain setelah ini.
Rini melihat psikiatris itu, lalu tangan kanannya segera mengambil kaca dari sakunya sampai sang psikiatris menahannya dengan refleks.
“Apa yang ingin dek Rini lakukan?”
“Aku harus tahu, kau bisa jadi tidak bisa kupercaya seperti teman-temanku, bagaimana aku mau bercerita?”
Sang dokter akhirnya paham bahwa Rini ingin melihat pemikiran sang dokter terhadap dirinya. Dia benar-benar tidak paham apa yang kukatakan kemarin, pikir sang psikiatris.
Sang psikiatris menghela nafasnya saat itu, katanya Rini harus percaya seratus persen padanya tanpa mengandalkan kaca itu. Dia boleh mengeceknya setelah pergi dari sini, tapi untuk tidak mengganggu proses analisis agar sang psikiatris mampu memahami dan mampu menjelaskan, Rini harus menceritakan keluh kesahnya kini tanpa terpengaruh faktor lainnya, seperti saja, kaca yang Rini pegang itu.
Rini kembali mengantungi kaca kecil itu di sakunya. Ia menangis dulu, dan sang psikiatris memberinya tisu. Sedikit ia mengintip ke jam, mungkin pasiennya yang satu ini memang akan sedikit lama. Rini akhirnya mampu menahan tangisnya, mengeluarkan isi ingusnya ke tissue itu dan kembali bercerita.
***
Ibu Rini makin menganggap ada yang aneh dengan anak gadisnya ini. Dia tidak berdandan, dan tidak minta untuk didandani. Ia bangun pagi sekali, masak telur sendiri, bikin teh sendiri dan langsung berangkat tanpa dijemput pacarnya. Sang ibu segera menemui anaknya itu di pintu depan, ia ingin katakan sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi pada akhirnya hanya satu kata yang keluar: Gak salim Rin? Rini kusam wajahnya, tapi salim juga lalu pergi.
Dalam hati Rini tetap dongkol terhadap orangtuanya, terutama sang ibu. Dia ingin saja saat itu pergi, tapi Rini berpikir juga jika dia lakukan yang seperti demikian, sang ibu tetap tidak akan mengerti, toh itu dihatinya saja kan? dan malah menimbulkan tulisan baru dijidatnya. Ia putuskan untuk salim, itu juga mungkin karena Rini tetap sayang dengan ibunya.
Telah sampai di sekolah, Rini baru menyadari sepinya sekolah jika datang pagi-pagi sekali. Ia lihat jam, masih 30 menit lagi, dan ia telah menyiapkan kaca kecil dari tempat bedaknya, ia tahu anak-anak yang datang kebanyakan sendiri-sendiri membawa motor, tidak pernah berbarengan, paling-paling jika memang sudah dekat bel sekolah. Disini Rini bisa melihat, menyeleksi satu-satu siapa yang menilainya buruk, siapa yang sebut dirinya kafir, jelek, bodoh, dan lain-lain. Rini ingin buat perhitungan dengan orang-orang yang menilainya seperti itu.
Krek! Masuk seseorang, dan Rini lihat masih 20 menit lagi. Rajin sekali pikirnya. Orang tersebut adalah Nur Jannah yang kerudungnya begitu panjang, lengan panjang, rok panjang, benar-benar muslimah menurut Rini. Dia berkata selamat pagi ke Rini sambil tersenyum, dan senyumnya segera hilang ketika ia duduk di meja, segera membuka bukunya. Rini berpikir kenapa Nur Jannah tidak basa-basi padanya, seperti saja dia bertanya “Tumben kamu berangkat pagi?” dan semacamnya. Dia malah duduk tidak memedulikan sosok Rini, dan Rini sendiri sebenarnya sadar bahwa dia tidak dekat dengannya, mungkin dalam soal menyontek PR dan tidak lain.
Rini lihat kacanya saat itu, dan ketemu satu! Jadi dia! Brengsek! Pikir Rini. Tulisan kafir, bodoh, dan lacur keluar dari wajahnya, dan itu ulah Nur Jahanam di hadapannya! Ya, mulai sekarang Rini akan menyebutnya sebagai Nur Jahanam.
Rini segera berjalan dengan langkah besar, sampai suara Nur Jahanam yang menghinakan itu keluar mendengar langkah itu.
“Mau minjem PR aku lagi Rin?”
Brengsek, brengsek, brengsek! Pikir Rini. Saat itu Rini berpikir bahwa Nur Jahanam pasti menganggap Rini sebagai cewek yang rendahan sekali hingga mendekatinya saja dikira mau mencontek PRnya, walau Rini pikir saat itu dia memang belum mengerjakan PRnya setelah nangis semalaman, ah, bahkan memang biasanya Rini tak pernah mengerjakan PRnya. Apa aku tunda dulu marahnya dan pinjam PR Nur Jahanam ini? Pikir Rini. Tidak!
“Kenapa kamu pikir aku mau minjem PR kamu Nur?”
“Memang mau apa lagi?”
Suaranya terdengar kecut, Rini semakin kesal jadinya. Nur Jahanam juga tidak menyempat diri menengok, berbicara dengan tatapnya yang terus pada buku pelajaran itu, terlihat sombong sekali pikir Rini.
“Kamu sombong yah Nur, bicara gitu sama aku?”
“Kita memang gak pernah deket kok.”
Brengsek, apa anak ini memang tidak seramah ini? Pikir Rini. Rini mengingat-ngingat kembali, anak ini sebenernya ramah dengan sekitarnya, murah senyum, sering bercanda juga, pintar, ciri-ciri gadis favorite di kelas. Hanya dengan Rini saja, mungkin juga geng-geng Rini anak ini bersikap tidak acuh. Kini mereka hanya sendiri, dan Rini benar-benar terkagetkan dengan sikap yang berubah sedrastis ini. Rini tak berpikir aneh-aneh karena anak ini tak pernah mengeluh ketika dimintai PR, ataupun ketika diconteki. Apa dia sedang lagi ada masalah? Pikir Rini. Kini Rini malah simpatik sama teman di depannya ini, dan sedikit lupa soal tulisan di wajahnya. Dia ingin bertanya pada Nur, apa ada masalah dengan kamu?
“Nur—“
“Bisa diem gak sih!”
Akhirnya menengok gadis berkerudung itu. Ia buka tasnya, dan ia banting buku itu di lantai. Rini terkagetkan oleh sifat Nur yang tiba-tiba agresif seperti ini, tepatnya ia murka. Wajah Nur sendiri terlihat memerah, giginya terlihat dan ia rapatkan. Badannya tegak, wajah ia naikan, ia tunjuk bukunya sambil menatap Rini.
“Ambil tuh buku, jangan ganggu aku lagi.”
Suaranya Nur kini ragu, sesungguhnya sikap ini spontanitas dari Nur yang mulai dongkol dengan keberadaan Rini. Dia melihat ke arah Rini, dan mata Rini saat itu sudah melotot, urat nadi keluar dari dahi Rini.
“Brengsek!”
Teriak Rini memenuhi ruangan, dia berjalan ke arah Nur dengan langkah besar sambil menatapnya tajam. Tiba-tiba keluar air mata dari Nur. Rini sesungguhnya terkenal beringas di SMAnya, terutama masalah laki, Rini adalah sosok yang tidak segan membuat perhitungan. Nur Jannah mulai menyesali spontanitasnya.
“Brengsek! Bangsat! Anjing kamu!”
Rini tarik jilbabnya yang panjang itu, dan ia seret wajah itu ke dekatnya. Nur melawan, membuat kaca Rini jatuh. Sekali Rini menengok, kaca itu sudah terbuka memperlihatkan wajah Rini dengan tulisan ‘Kafir’ dan ‘Lacur’ yang membesar di wajahnya, menutupi tulisan-tuisan lainnya. Rini murka melihatnya.
“Kamu pikir diriku ini siapa hah?! Udah sok suci kamu lempar buku kayak gitu?”
“Lepasin!”
“Kamu anggap aku apa? Kafir, Lacur? Memang kamu gak jauh beda, jalang!”
Nur terlihat bingung dengan ucapan Rini, dan ketika Nur mendorong badan Rini, Rini memaksa menarik Jilbab Nur hingga lepas dari kepalanya. Kini rambutnya terurai, dan terlihat rambut keriting Nur, dan Rini yang melihat itu segera menginjak-nginjak kerudung Nur yang berada di lantai sambil tertawa.
“Ini standar suci hah? Karena ini kali kamu anggap aku lacur? Kafir? Tahik kali! Aku tahu kamu sadar pas ngaca kalo gak ada laki yang napsu liat muka kamu, jelek kayak taik, rambut keriting udah kayak jembut, makanya kamu nutupin pake kerudung ini kan? Nur Jahanam!”
Nur murka, dan tubuhnya tanpa sadar terbawa seperti kesurupan, berlari menuju ke hadapan Rini dan segera menjambak rambut Rini. Rini berteriak kesakitan membalas menjambak. Kini mereka saling jambak-jambakan sambil memaki, kaki saling menendang selagi sempat. Saat itu Rini juga Nur Jannah saling mengeluarkan air mata, sakit, kesal, mungkin juga sedih.
“Woi Rini sama Nur Jannah berantem!”
Seseorang teman datang melihat. Pertama yang muncul adalah laki-laki yang biasanya sengaja datang pagi biar bisa ngerjain pr di kelas, mereka jadi lupa akan hal itu dan asik menontoni mereka berantem, kapan lagi ada perkelahian seasik ini pagi-pagi? Lumayan biar gak ngantuk. Kedua teman-teman cewek datang, dan mereka cukup bijak untuk mencoba melerai, tapi perkelahian cukup dahsyat dengan sumpah serapah yang keluar dari mulut Rini membuat mereka ketakutan, dan kagetnya lagi, kata-kata buruk itu keluar juga dari mulut Nur yang terkenal alim. Seseorang segera memanggil guru, tapi mereka begitu lama tidak kembali-kembali. Lalu datang terakhir teman-teman geng Rini, dan mereka yang berhasil menahan pundak Rini.
“Rini udah sih!”
“Dia yang mulai duluan, si Nur Jahanam anjing ini!”
Mereka akhirnya berakhir dipisahkan ke mejanya masing-masing. Nur lelah, dan rambutnya keritingnya kini terlihat acak-acakan, pemandangan yang belum pernah laki-laki lihat sehingga mereka saling membicarakan bahwa ternyata wujud Nur Jannah seperti itu sesungguhnya. Nur Jannah saat itu segera menangis, dan kawan-kawan sekelas mulai kasihan padanya. Sstt, udah jangan nangis Nur, Si Rini itu yang salah, memang kayak gitu orangnya.
“Hei, jaga mulut kalian!”
Rini berteriak ke arah mereka, dan mereka menatap Rini yang masih berusaha ditenangkan, tatap mereka tajam menilai, tapi akhirnya mereka diam juga. Ketika itu Rini sadar kaca bedaknya yang tadi jatuh di bawah lantai, ia berjalan menjauhi teman-temannya menuju kaca itu. Saat itu sudah terbuka tempat bedak tersebut, isinya bertebaran, dan kilau menutupi mata Rini oleh cahaya matahari yang masuk lewat kaca dan ketika ia mulai bisa melihatnya, ketika itu juga ia menangis sambil kesal.
“Brengsek..”
Ia tatap teman gengnya, lalu ia tatap orang-orang yang berada di sekeliling Nur Jannah.
“Brengsek kalian semua.”
Wali kelas masuk, dan yang ia datangi segera adalah Nur Jannah. Ketika itu juga ia tatap Rini, bersiap untuk membentaknya dan menyuruh Rini pergi ke ruang guru.
“Anjing.”
Rini segera berlari keluar dari kelas, tasnya tertinggal di kursinya, ia tidak peduli.
***
Angin semilir hingga kencang menyibak rambut Rini. Ia memeluk kuat kekasihnya yang melaju kencang seketika menemukan jalan di aspal di pelosok jauh dari kota. Suatu saat seorang petani tua penuh dengan keringat dengan paculnya naik dari sawahnya, ia sudah begitu lelah hingga rasa-rasanya kakinya sudah susah untuk dilangkahkan. Tempat ini biasanya sepi, tapi ia dengar suara bising dari kejauhan, dan ketika menyebrang, sosok yang jauhnya terlihat seperti titik tahu-tahu sudah di hadapan sang petani tua. Ia lupa lelahnya dan meloncat jauh, jatuh dan merosot ke sawah yang penuh lumpur. Ia teriak “ASU!” tapi motor itu sudah jauh melesat tidak mendengar.
Rini saat itu menengok kebelakang, orang yang loncat itu sudah jauh dari jarak pandang. Pacarnya memang seperti ini, jika ada orang menyebrang ia malah menggas penuh hingga ia duluan yang melewati jalan itu. Pemotor gila ini mungkin sering sekali menabrak orang, dan dia hanya peduli soal kecepatannya yang tidak terhalangi oleh seorang pejalan kaki, yang pasti bukan siapa-siapa, karena pikirnya pejalan kaki kan tidak punya motor apalagi mobil, berarti dia secara terang-terangan memperlihatkan kemiskinannya, kan begitu? Apa ia pantas membuat motornya melambatkan kekencangannya? Omong dia ke Rini ketika suatu saat Rini mengeluh padanya perihal ini. Rini sedikit tersinggung, ayahnya jalan kaki lalu dengan kereta ke kantor walau dia punya mobil dirumah gara-gara jalanan macet.
Ah, tapi Rini tetap sayang pacarnya, karena hanya pacarnya itu yang memahami dirinya. Lihat, ketika ia curhat di telpon bahwa dia tidak ingin sekolah dan ingin curhat, langsung dijemput dia dan dibawa cabut ke tempat yang jauh dari kota, yang asri dan sepi, betapa romantisnya?
Kini mereka telah sampai di suatu jembatan, diantara sungai dengan batu-batu besar, namun sepi. Disini memang tempat dimana mereka sering mencurahkan hati mereka, saling bermadu-maduan sesama kekasih, dan dunia seakan milik mereka sendiri disini, semoga tidak diciduk warga. Rini duduk di bawah jembatan yang teduh itu selagi sang kekasih menaruh motornya di atas jembatan. Ketika itu ia lihat tanah-tanah yang basah tanda air sungai baru saja naik setelah hujan, kini air itu mengalir lembut di antara bebatuan yang memecah arus, tapi tidak ada satupun capung yang berkunjung seperti bagaimana lokasi pelosok lainnya, di kejauhan terdapat pabrik semen yang asapnya mengepul dan sungai ini diam-diam telah kotor, tapi mana lagi memang sungai yang tidak kotor?
Selagi hanyut dalam pikiran, datanglah sang pacar kembali sambil bawa minuman, dua kaleng green sand sudah tidak dingin. Mereka berdua kini duduk bersampingan, Rini mendekatkan diri selagi pacarnya mengalungkan tangannya di leher Rini. Ketika itu Rini ingin bercerita, tapi tangan sang pacar tiba-tiba liar merayap ke tubuh Rini.
“Ih, aku mau cerita dulu!” Rini berteriak kesal, sang pacar menghentikan tingkah lakunya itu.
Rini mulai bercerita tentang Nur Jannah, sang pacar ngangguk-ngangguk padahal dia tidak paham apa dan siapa yang Rini bicarakan. Rini mecoba menjelaskan segalanya tanpa menyebuti perihal penyakitnya, takut pacarnya ilfil. Rini sadar bahwa dia bahkan belum bisa terbuka pada pacarnya sendiri.
“Yah pantes digituin dong?”
“Tapi temen-temen gak ada yang belain aku, bahkan mereka pikir aku yang salah..”
“Kan ada aku sayang?”
“Ah kamu!”
Rini yang mendengar itu menjadi manja, mencium pipi sang pacar. Melihat lampu hijau tersebut, sang pacar mulai merayap lagi dan kini Rini biarkan.
Diam-diam angin berhembus menilisik leher Rini dan Jepri yang masing-masingnya sudah melorot dan mereka tidak pedulikan. Mereka terbawa dalam nafsu kebinatangan mereka di tempat kotor oleh tanah basah, dan sungai polusi limbah pabrik. Dalam panas kepala itu, ciuman-ciuman itu, sang pacar sudah mulai ingin menyantap Rini bulat-bulat. Ketika itu, tepat saat itu juga, Rini yang bertatap-tatapan dengan mata sang pacar tiba-tiba melihat dirinya, dan terdapat tulisan besar baru tertempel di wajahnya. Kotor tulisan itu, jorok dan menghinakan sekali. Bahkan Rini enggan memikirkannya, tidak etis. Rini tak percaya pacarnya memikirkan itu padanya. Perlahan sosok dihadapannya telah berubah menjadi binatang birahi dan Rini sebagai pelampias birahi tersebut. Ketika itu air mata Rini tak tertahankan, dia menangis sambil mendorong sang pacar, perlahan menjauhinya.
“Kenapa Rin?”
Rini mulai berdiri dan mengancingi bajunya lagi, sang pacar mulai merasa marah tidak dapat penjelasan.
“Woi, kenapa sih kamu Rin!”
“Aku gak nafsu Jep.”
Pacarnya tersinggung karena libidonya lagi naik-naiknya, dia tidak tahan lagi, ingin meledak. Dia segera menarik baju Rini, hampir-hampir bajunya itu robek. Spontan kaki Rini melayang dengan kencang berlandas tepat di skrotum sang pacar. Terbayang dua telur itu pecah, nyeri yang perlahan memuncak, dan seketika mata sang pacar memutih sambil berteriak “UAASUUU!!!!”
Rini panik melihat pacarnya gulang-guling di tanah basah itu, lama-lama jatuh dalam linangan lumpur, ia tidak peduli, nyeri di antara selangkannya benar-benar mengambil kendali dirinya. Rini ambil tasnya, ia segera pergi menjauhi sang pacarnya itu. Di jalan sambil menunggu kendaraan umum ia sadar, tempat ini sepi sekali tidak ada siapapun, tak ada yang namanya kendaraan umum, manusianya saja jarang. Rinipun tahu betapa jauhnya kota dari sini.
Di bawah jembatan sang pacar sudah mulai menenangkan dirinya. Matanya memerah oleh air mata, ingus belepotan di wajahnya. Ia masih tidak bisa rasai selangkannya, libidonya jumplang jatuh. Ia duduk menenangkan dirinya, menenangkan burung dan telurnya, dan tiba-tiba terdapat suara langkah mendekat. Gadis sialan itu kembali dengan wajah seakan ia tidak bersalah, tanpa minta maaf dia bicara pada pacarnya itu.
“Anterin aku pulang Jep..”
***
Diceritakan itu semua pada sang psikiatris yang keasikan mendengar cerita Rini. Ditanya Rini apakah sang pacar benar-benar mengantarkan pulang, dan iya katanya, bahkan dia tidak memukul atau mencoba berdebat mulut. Setelah mengantar ke tempat ini, sang pacar minta putus, dan Rini mengabulkannya. Sang psikiatris menghela nafas lega, memang tak ada bekas kekerasan di wajah Rini walau apa yang ia lakukan kepada pacarnya tersebut.
Kini telah selesai cerita Rini, dan sang psikiatris mulai berpikir bahwa perkembangan dari penyakit Rini tidak baik, bahkan berpotensi destruktif pada kehidupan sosial Rini karena ketidakpahaman Rini perihal penyakitnya yang merupakan alam bawah sadarnya sendiri, dan bagaimana Rini merespon hal tersebut. Melihat Rini dan kepolosannya, sang psikiatris merasakan terdapat alternatif yang baik selain hanya menyembuhkannya, yaitu mengikuti maksud dari alam bawah sadar itu sendiri yang mencoba memberitahu Rini sesuatu hingga ia muncul memberikan bentuk. Walau beresiko, mengembangkan kondisi dan kualitas hidup pasien pikir sang psikiatris akan menghasilkan hasil yang lebih memuaskan.
“Dek Rini, sepertinya dek Rini salah paham dengan apa yang kemarin saya jelaskan.”
“Memang gak paham. Mba ngomongnya ribet gitu.”
“Dek Rini ingin jadi lebih baik setelah ini atau ingin sembuh saja? Setelah semua yang dialamin dek Rini hari ini?”
Rini tidak begitu memahami apa yang psikiatris ini maksud dengan sembuh saja, atau menjadi lebih baik dari sekarang, bukankah sembuh itu lebih baik dari pada sekarang? Jika harus bicara, Rini sesungguhnya hanya ingin sembuh, tapi dari tatap dan suara sang psikiatris, Rini mulai memikirkan apa yang terjadi hari ini secara sungguh-sungguh. Jika saja Rini tidak berulah, mungkin semuanya baik-baik saja. Tapi penyakit ini memaksanya untuk bertindak, memaksanya ingin melabrak orang-orang disekitarnya. Dia sadar, dialah yang mengacaukan segalanya.
“Ingin jadi lebih baik..”
Sang psikiatris menghela nafas, entah mengapa terdapat keraguan dari dirinya melakukan ini. Dia menjelaskan dengan rinci apa yang Rini harus lakukan, dan persyarat-persyaratan yang harus Rini ikuti. Rini mengangguk, ia tinggalkan kaca bedaknya di meja sang psikiatris, berjanji untuk tidak akan menggunakannya lagi sampai ia sembuh.
Ketika Rini pergi, sang psikiatris kembali melihat jamnya. Telah lama ia telat dari schedulenya, bertemu pacarnya di hotel, sang pacar pasti marah besar dan ia seringkali memukul jika marah. Tapi setelah mendengar cerita Rini, entah mengapa ia tidak begitu merasa bersalah, pikiran pria mau bagaimanapun memang seperti itu bukan, dominansi terhadap wanita? Sang psikiatris tadinya ingin memikirkan seribu alasan, tapi akhirnya ia tidak peduli.
Ia ambil kaca itu yang sudah tidak ada bedaknya, dan menaruhnya di tas. Setelah itu ia keluar dari ruangan, melihat dari kejauhan Rini menunggu angkutan umum. Ia segera mengunci pintu dan segera pergi memesan taksi sambil mendatangi Rini untuk mengantarkannya pulang sebagai permintaan maaf telatnya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar