Bau alkohol yang khas, ruangan yang
serba putih, gorden hijau yang menutupi jendela menyisakan cahaya sore yang
sedikit, disebelahnya terdapat suatu televisi kecil yang membentuk garis naik
turun berbunyi dengan ritme yang stabil. Rini sadar dia telah terbangun di
rumah sakit setelah mimpi lamanya, dan ingatan terakhirnya adalah dirinya yang
terpeleset dari tangga ketika ingin segera menonton sinetron koreanya di tv.
Suster yang masuk terngaga melihat Rini, ia jatuhkan papan tulis yang berisikan
laporan pasien dan berlari menuju ruang dokter. Sang dokter yang berada di meja
kerjanya saat itu melepas nafas lega, perasaan senangnya bahwa tidak ada yang
salah dari operasi yang ia jalani kemarin. Ia segera memberitahukan lewat
telpon kepada orang tua Rini yang sedang bekerja bahwa anaknya telah siuman.
Dokter segera masuk ke kamar dan
memeriksa denyut nadi dan pupil mata Rini, normal katanya. Saat itu Rini
bertanya apa yang terjadi, dan dokter menjelaskan secara singkat bahwa Rini
telah koma 3 hari ini, ia jatuh dan mengalami gegar otak. Menurut pengetahuan
orang tua, Rini katanya sempat bangun kembali, namun segera pingsan kembali.
Sampai dirumah sakit, keterangan tersebut menandakan gegar otak yang berat dan
harus segera dilaksanakan operasi. Setelah operasi untuk menghentikan
pendarahan, kondisi Rini telah baikan namun kesadaran yang tak kunjung pulih
membuat sang dokter khawatir bahwa terdapat efek samping dari operasi atau
benturan, syukur dia tidak melihat hal yang seperti itu.
Saat itu Rini yang menyadari
dirinya jatuh dari tangga dengan panik segera menyuruh suster mengambilkan
kaca. Bagaimana mukanya? Bonyokkah? Ada yang terlukakah kulitnya? Suster dan
dokter yang melihat tingkah Rini langsung tertawa, berkata bahwa dari segala
hal yang dialaminya malah Rini mengkhawatirkan wajahnya. Selagi dokter izin
keluar untuk melihat keadaan pasien lainnya, sang suster segera membawakan Rini
kaca, dia bilang Rini tetap cantik, tanpa cacat.
Tapi ketika kaca itu berhadapan
dengannya, Rini langsung berteriak kencang. Sang dokter yang sudah ingin keluar
segera berbalik menuju Rini. Ada apa katanya? Suster juga panik melihat Rini
tak henti-hentinya berteriak menatap wajahnya. Orang-orang di lorong segera
melihat ramai di kamar itu, orang yang berada di sebelahnya juga, orang tua
Rini yang saat itu berada di lorong segera berlari panik menuju kamar anaknya
yang dikerumuni orang-orang.
Rini melihat wajahnya telah hitam,
hitam seperti sebuah papan tulis. Dan saat itu muncul perlahan kata-kata yang
menempel pada wajahnya, tulisan kapur putih.
Jelek.
Menyusahkan,
Narsis.
Rini melempar kaca itu hingga
pecah.
***
Beberapa hari kemudian setelah Rini
sudah bebas rawat, ia segera diperiksa di ruang CT Scan, menjalani MRI, EEG,
dan berbagai nama pemeriksaan otak lainnya yang Rini juga orang tuanya sendiri
tidak mengerti arti ataupun kepanjangan dari serangkaian pemeriksaan itu, namun
kata dokter tidak ditemukan kejanggalan apapun dalam otaknya, kadar hormonnya
pun diperkirakan normal. Akhirnya sang dokter yang mengurusi Rini menganjurkan
Rini diperiksa oleh seorang psikiatris kenalannya sebagai hipotesisnya mengenai
kondisi paska trauma operasi, dan tentu orang tua Rini tidak setuju. Psikiatris
seringkali dikaitkan dengan penyakit jiwa, dan mereka menolak bahwa anaknya
Rini adalah seorang sakit jiwa. Tapi keputusan ada ditangan Rini, dan Rini
menyetujuinya. Dia tidak peduli apa yang terjadi, dia ingin normal, dan ia
tidak tahan untuk tidak bisa melihat wajahnya sendiri, dan tulisan-tulisan
buruk yang menempel pada wajahnya benar-benar menganggu batinnya, ia tidak
mengerti kenapa tulisan itu bisa muncul.
Rinipun akhirnya datang menemui psikiatris
tersebut pulang sekolah. Ruangannya seperti bayangan Rini di film-film, sebuah
kursi panjang yang mampu dipakai untuk bersender, pencahayaan yang redup tapi
nyaman, bebauan aromaterapi, dan banyak sekali lemari buku dengan isi yang
tidak Rini mengerti, bahasanya jelas bukan bahasa indonesia, bahkan bukan
bahasa inggris.
Lalu muncul psikiatris tersebut,
seorang wanita setengah baya dengan baju jas hitamnya. Rambutnya terurai sebahu
diwarnai coklat. Dia terlihat pintar dengan kacamatanya frame tipisnya, dan
kini sedang mengutak-ngatik file Rini, file dari sang dokter mengenai treatment
dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada Rini. Sang psikiatris yang telah
memahami isi file segera menaruhnya di meja, dan duduk berhadapan dengan Rini. Psikiatris
itu awalnya langsung memperkenalkan diri, Nina katanya, dan setelah mereka
saling berkenalan, Rini memperbolehkan sang psikiatris memanggilnya dengan
awalan ‘Dek’ biar akrab. Mereka saling berbasa-basi, dan beberapa saat kemudian
sang dokter akhirnya memulai pembicaraan sesungguhnya, dia bertanya mengenai
keadaan Rini dan Rini menjawab seadanya.
“Jadi dek Rini tidak mampu melihat
wajah dek Rini sendiri, bahkan sampai di foto-foto? Terlihat tulisan aneh yang
segera menempel di wajah dek Rini, seperti saja, ‘menyusahkan’ seperti itu?”
Rini mengangguk.
“Tak adakah kejadian spesifik
bagaimana tulisan-tulisan itu muncul?”
Rini mulai mengingat, dan ingatan
itu kembali ketika ia pergi ke sekolah setelah kesembuhannya. Ketika itu dia
memutuskan untuk tidak mempedulikan sesuatu yang abnormal ini, dan memutuskan
untuk pergi ke sekolah setelah dikatakan bebas rawat.
***
Rini duduk dihadapan ibunya yang
mencoba meriasnya. Sang ibu sesungguhnya tidak tahu bagaimana biasanya Rini
menghias wajahnya, tapi Rini bersikeras untuk didandani. Ia tidak bisa melihat
wajahnya sendiri di kaca, atau lebihnya lagi ia tidak tahan. Sang ibu memakai
alat-alat yang diberikan, membedakinya, menguncirnya, memberikan apa yang Rini
katakan sebagai eyeshadow pada matanya. Sang ibu ingat ketika kecil ia tidak
pernah seperti anaknya ini yang begitu peduli pada penampilannya. Pada
zamannya, penampilan macam anaknya ini pasti sudah dikatai.. Ah, bagaimana
seorang ibu bisa berpikir demikian pada anaknya? Pikir sang ibu.
Ketika itu Rini segera bertanya
pada sang ibu apakah dirinya sudah cantik? Sudah katanya, tapi sang ibu tidak
yakin apakah gaya meriasnya persis seperti anaknya yang berbeda generasi ini,
dan dia hanya bisa bilang betapa cantik anaknya seperti ibunya dulu. Rini tersenyum
pahit, ia tidak pernah melihat ibunya sebagai sosok cantik. Tak pakai kerudung?
Kata ibu. Tidak usah, tidak ada pelajaran agama, kata Rini.
Rini saat itu segera berangkat
dengan rambu terurainya, dan namanya kebiasaan, menuju ke arah pintu keluar dia
langsung mengecek wajahnya di kaca pajangan yang dekat dengan ruang tamu, dan
ada tulisan baru dijidatnya.
Lonte.
Rini kaget, sejak kapan tulisan itu
ada disana? Rini mengabaikan tulisan itu, dia tidak seharusnya melihat kaca,
dan segera pergi menuju sekolahnya, dijemput pacarnya Lucky dengan motor ninja
hijaunya.
***
Rini masuk dalam kelasnya, dan
kawan-kawan segengnya segera berlari menyambutnya. Sang laki yang mengantar
sampai depan pintu segera mencium pipi Rini sebelum kembali ke kelasnya membuat
Rini malu dihadapan teman-temannya yang mensuit-suit dirinya. Ketika Rini sudah
duduk di meja dan meletakan tasnya, kawan-kawannya itu segera berkumpul
mengerumuninya, bertanya-tanya mengenai apa yang sebenernya terjadi. Jatuh dari
tangga? Kok bisa, sedang mau nonton korea? Operasi? Koma 3 hari? Maaf tidak
menjenguk, sibuk mau UN. Setelah itu pembicaraan kembali ke topik biasa, soal
sinetron korea yang Rini sempat tertinggal 3 episode, toko es krim yang baru
saja dibuka, bicara soal laki, dan harus ditunda pembicaraan ini karena guru
masuk, si walikelas, dan melihat Rini, walikelas segera mengucapkan selamat
bahwa Rini telah kembali.
Rasanya hari berlangsung baik-baik
saja, walikelas berusaha untuk tidak menunjuk Rini kedepan ketika terdapat
kegiatan tunjuk menunjuk, dan seringkali wali kelas menunjuk Rini untuk
pertunjukan bagaimana siswa yang tidak belajar dipermalukan. Sang walikelas
mencoba menahan diri. Rini saat itu sudah mulai lupa tentang kondisinya, sampai
ia tiba-tiba ingin kebelakang. Rini minta izin, dan minta ditemani teman
sebelahnya Iis. Ketika Rini memasuki WC, tak sengaja ia menegok ke kiri dan
spontan ia berteriak. Iis yang berada di luar segera masuk, melihat Rini telah
terjatuh di lantai sambil menunjuk ke kaca.
“Kamu kenapa Rin?”
“Siapa itu Is?
Iis tidak melihat sesuatu, dan Rini
berdiri melihat kaca itu kembali.
Disitu terdapat sosoknya dengan
gores-gores kapur yang menggerogoti wajahnya, tulisan itu begitu mengerikan,
suatu kapur yang seakan ditekan keras hingga tergores kasar di papan hitam
wajahnya itu. Jelek, Lacur, Goblok, Telmi, Ceroboh, Kafir, dan lain-lain.
Tulisan itu bukan saja menggerogoti wajahnya, tapi hingga leher ke dada seakan
tidak cukup wajah itu menjadi tempat cemooh. Iis bilang bahwa Rini pasti
kelelahan karena operasi di kepalanya, dan ketika itu Rini melihat langsung
telah muncul tulisan baru di dadanya itu, Sinting.
***
Rini menjelaskan pada psikiatris
itu mengenai keadaannya saat itu, bagaimana tulisan itu mendadak memenuhi
seluruh badannya ketika memasuki kelas. Psikiatris itu bertanya, bisa hilangkah
tulisan itu? Ya, dan tidak. Rini telah 3 hari ini pergi ke sekolah, dan tulisan
itu setelah tidur akan menghilang beberapa, tapi akan terisi lagi memenuhi
badannya ketika memasuki kelas, dan kadang beberapa tulisan seperti goblok, dan
narsis terlihat selalu melekat pada dahinya.
“Aku ingin kau besok kembali
kesini, tapi dek Rini, kamu ingin tahu pendapatku mengenai keadaanmu itu?”
Rini mengangguk. Sang psikiatris
segera menyilangkan kakinya, membuat dirinya nyaman sebelum menjelaskan kepada
Rini, mencoba menjelaskan seringan mungkin hingga orang yang dihadapannya ini
mampu memahami isi penjelasannya. Singkatnya, ia bilang bahwa tulisan itu
adalah pikiran orang terhadapnya, walau tidak demikian tepat, sesungguhnya
semua itu adalah hasil dari interpetasi alam bawah sadar Rini sendiri terhadap
presepsi orang kepada dirinya. Rini berkata bahwa dia masih belum paham, tapi
ia paham sedikit soal kalimat pertamanya,dan sang psikiatris menganggap bahwa
Rini punya kecerdasan dibawah rata-rata.
***
Rini tidak memahami definisi dari
interpetasi alam bawah sadar, bahkan dia tidak tahu arti dari kata
‘interpetasi’, apalagi ‘alam bawah sadar’, bukankah itu yang sering diucapkan
para pelaku hipnotis di televisi? Tapi ia jelas tahu bahwa apa yang tertulis di
tubuhnya adalah tanggapan orang padanya, dan menyadari itu, seakan penuh
kemarahan dalam hatinya. Siapa? Siapa yang berkata demikian? Kenapa kalian
mengumpat dibelakangku? Pikir Rini.
Rini akhirnya memutuskan untuk
mengetahui siapa yang berpikiran buruk padanya, seorang kawan tidak mungkin
melakukan ini padanya. Kalau tidak salah dari novel teenlit yang dibacanya,
bukannya sebuah persahabatan seharusnya merupakan tanpa syarat, jujur, terbuka,
dan pastinya, tidak akan berpikir yang tidak-tidak pada temannya. Terutama Rini
sendiri tidak pernah berpikiran buruk mengenai temannya seperti Iis, dan ketika
ia berpikir seperti itu sesuatu mengganjal hatinya. Benarkah begitu? Ya, pasti
begitu!
Rini kembali ke meja makan. Sang
ayah dan sang ibu sudah berada disana, mereka makan dengan tenang-tenang saja. Sang
ayah bercerita mengenai susah kerjanya, sang ibu diam memperhatikan TV, Rini
fokus pada hapenya, sang ayah terdiam. Sang Ibu menanyakan kondisi Rini, dan
Rini bilang biasa saja dengan wajah datar menatap layar hapenya. Sang ibu tahu
bahwa Rini berbohong, tapi akhirnya memutuskan untuk diam saja. Makan malam
yang hambar ini memang terus berlansung setiap malamnya, tak ada satupun yang
saling peduli satu sama lain, sampai tiba-tiba handphone Rini baterenya habis
hingga terlihat refleksi wajahnya dari bening layarnya itu.
Anak
tidak tahu diuntung.
Durhaka.
Pembohong.
Rini menengok pada orang tuanya,
dan ia lihat wajah orang tuanya terlihat biasa, tenang-tenang saja memasukan
makanan ke dalam mulutnya dan Rini terlihat begitu kesal hingga ia dobrak meja
itu, membuat sang ayah memuncratkan makanannya ke sang istri karena kaget.
“Hei! Ada apa Rini?” Sang ayah
berteriak sambil mengelap makanan yang tercecer diwajah istrinya yang kini
merasa kehilangan nafsu makannya, sedikit ingin muntah.
“Bapak atau Ibu, kalau kesal bilang
saja ke Rini!”
Mereka kebingungan, sang suami menengok
ke istrinya, sang istri menggeleng-geleng tidak mengerti. Mungkin lagi ‘mens’
pikir ayah, dan sang ibu pikir memang anaknya ini sedang ada masalah. Rini yang
tahu ayah ibunya membisu akan kemarahannya segera mangkir dari meja dan masuk
ke kamarnya. Sang ayah segera mengikutinya dan mengetuk kencang, ada apa?
Kenapa kamu marah dengan kami? Hei!
Rini hanya terdiam menangis.
Bahkan orangtuanya sendiri menilai
dia yang buruk-buruk, anak mereka sendiri, anak satu-satunya. Lalu apa kasih
sayang yang murni dari orang tua terhadap anak itu hanya bohong belaka? Rini
ingat saat itu, habis ibu meriasnya terdapat tulisan ‘lonte’ dijidatnya, Rini
segera membekap wajahnya dengan bantal sambil berteriak kesal.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar