Saya jujur menggilai genre fantasi. Jika saja Indonesia memiliki massa genre fantasi yang bagus, cita-cita saya barangkali jadi novelis bergenre fantasi. Pertama kali saya mencintai genre ini dari videogame, terutama Final Fantasy Tactic (yang merupakan sub-seri Final Fantasy).
Mendalami fantasi kisah-kisah kebanyakan selalu menceritakan seorang yang terpilih ataupun istimewa. Pahlawan (Hero), Bangsawan, Petarung tangguh, Anak yang terkutuk, Dragonborn, Esper, dan lain sebagainya, yang tak lain mengisayaratkan bahwa genre fantasi mengharuskan tokoh utamanya menjadi sosok spesial di dalamnya. Parahnya lagi, fantasi juga menjadi sarana self-insert yang cukup parah, tokoh-tokoh semacam Mary Sue menghantui cerita fantasi kini karena genre fantasi sendiri dianggap sebagai cerita yang ideal sebagai medium eskapis.
Saya kemudian jadi berpikir kembali apa yang membuat saya tergila-gila dengan dunia fantasi? Manusia-manusia yang menggunakan pedang dan baju zirah, melawan naga dan mahluk fantasi sejenisnya, dalam dunia yang indah nan kreatif. Tapi, dewasa ini, terutama pengalaman saya mendalami sejarah, pengamatan sehari-hari dan tentunya, bermain game mengingatkan saya bahwa ada kisah-kisah yang asing dalam genre fantasi: Cerita orang biasa.
The Unsung Hero menceritakan tokoh pahlawan tanpa jasa. Dia tidak diingat, tidak dinyanyikan, dan lenyap di makan jaman. Demikian, kontribusi dan ketulusan mereka dalam melakukan sesuatu tidak perlu dipertanyakan, mereka adalah sebenar-benarnya pahlawan. Di sini pahlawan yang saya maksud bisa apa saja, penjaga gerbang, kurir, penjaga bar, dan lain sebagainya. Kehidupan dan pekerjaan mereka, sebiasa-biasanya, adalah menghidupi dunia fantasi dengan segala ancaman di dalamnya, tak lain ancaman yang sama dialami para manusia luar biasa yang sering kita baca di dunia fantasi.
Saya ingat memainkan cerita seorang yang terpilih, sang messiah. Ia berjalan, menyusuri dunia fantasi untuk mengalahkan tokoh jahat, sang raja kegelapan (begitu klise-nya). Suatu saat saya mengunjungi suatu tempat pemukiman terakhir, tempat beristirahat dan membeli barang-barang kelas atas sebelum bertemu sang boss. Di situ saya sadar, bagaimana sang penjaga bar, seorang biasa, mampu mengumpulkan barang-barang kelas atas dan bertahan selagi saya, sang messiah, terlunta-lunta menghadapi mob random encounter yang luar biasa menyusahkan?
Barang-barang itu tidak akan ada tanpa adanya para pemburu, tak ada yang mengantarkan kecuali ada bantuan pedagang ataupun kurir, dan tak akan ada tanpa diramu terlebih dahulu dari seorang alchemist ataupun sang pemilik bar itu sendiri. Pemukiman itu barangkali juga tidak ada jika sang penjaga bar tidak cukup kuat, tidak memiliki koneksi, dan segala persyaratannya untuk bertahan di tempat itu. Demikian, mereka ada, untuk membantu sang messiah mengemban tugasnya dan tentu juga untuk kebaikan para petualang dan mahluk lainnya.
Cerita-cerita seperti menarik seseorang ke dalam realita, saya harap begitu. Seorang berpakian oranye yang menyapu taman dan orang yang menyeret gerombak sampah, apa bisa dikatakan pahlawan kita tak pernah tahu, tapi jelas tanpa mereka taman kotor dan sampah tidak ada yang mengambil. Begitu juga tentu pekerjaan seperti Guru, TKI, Mbok nasi rames, dan lain-lainnya. Mereka menghidupi dunia mereka, perbuatan mereka dalam berkontribusi pada keadaan yang lebih baik sama baiknya mungkin dengan pahlawan.
Tapi mereka tak dibanggakan, tak dinyanyikan, dan bahkan beberapanya dihina. Mereka yang saya idolakan, pahlawan-pahlawan semacam itu, sebagaimana tokoh yang saya hormati juga yang seumur hidupnya berjuang demi bangsanya ditembak oleh bangsa yang dibelanya, seumur hidupnya dikutuk oleh sebagian bangsanya, tokoh tragis di kisah-kisah tragedi kebanyakan. Tapi mereka-mereka ini adalah yang menjejakan kakinya, membekas langkah kaki dalam dunia yang dibuatnya, dunia yang lebih baik dari kegelapan tanpa harap miliknya dulu.
Saya berharap, dengan kemampuan saya yang terbatas dan apa adanya mampu menciptakan konsep-konsep potensial untuk mengusung tema The Unsung Hero ini.
Rabu, 27 Februari 2019
Minggu, 17 Februari 2019
Tulisan Asal: Ballad Narayama dan Kegelisahan Saya
Ada kisah lama di jepang berjudul The Ballad of Narayama[1]mengisahkan
tentang tradisi ubasute, yaitu di
mana seorang anak mentelantarkan orang tuanya ke gunung ketika mereka mulai
menjadi beban dalam hidup. Kisah atau tradisi ini barangkali tidak asing, di
mana orangtua yang dianggap merepotkan atau memiliki banyak kebutuhan, keluarga
mereka memutuskan untuk menempati mereka di panti jompo.
Dalam Islam, hal ini sangat-sangatlah tidak pantas.
Gambaran yang paling umum adalah bagaimana kita sebagai anak, masa bayi dulu
dalam keadaan yang benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa sangat tergantung
oleh kasih sayang orang tua. Bukan begitu saja, bahkan kebanyakan sampai
menginjak umur akil baligh yaitu 17 dan lebih, orang tua tetap saja terus
dengan segenap hati memiliki perasaan untuk merawat dan memedulikan kita (setidaknya di Indonesia).
Kembali di kisah The
Ballad of Narayama, sang ibu bukan hanya menyelesaikan persoalan hidup
untuk bekal anaknya, tapi juga di gendongan anaknya yang membawanya ke gunung,
memetik ranting-ranting di pohon yang ia lewati, menyebarkan serpihan sebagai
jejak agar anaknya mampu pulang dengan selamat. Begitu gambaran kisah ini
terhadap kasih sayang Ibu, dan bagaimana seorang anak harus sadar betapa
dalamnya ikatan hubungan ibu dan anak.
Saya hari-hari ini menghadapi dua minggu melihat Ibu
sakit parah. Awal gejala yang ibu perlihatkan adalah flu, dan kebetulan saya
juga ketularan, jadi saya begitu yakin ibu mengalami sakit yang sama. Demikian, Ibu tetap bekerja setiap harinya, sedangkan saya
masih berleha-leha di rumah pasca lulus kuliah, memutuskan untuk
mengulur-ngulur persiapan untuk beasiswa yang belum tentu saya dapatkan.
Penyakit saya membaik, mungkin karena lepas dari stress, istirahat yang cukup,
dan makanan yang bergizi. Beda dengan Ibu, tiga hal yang tadi saya sebut tidak
ia lakukan, terutama stressnya untuk mempersiapkan acara Imlek di sekolahnya, belum dengan segala eksperimen obat yang dilakukannya tanpa konsultasi ke dokter beneran.
Penyakitnya memburuk, demam sering terjadi, tidak bisa
makan, batuk yang terkadang diikuti oleh muntah, dan ia tidak bisa tidur oleh
gejala batuk yang dialaminya. Terkadang malam hari saya mendengar Ibu terduduk
menekuk (itu satu-satunya cara agar ia tidak batuk), dan menangis bertanya pada
tuhan kenapa dia tidak sembuh-sembuh, itu tepatnya dua minggu pasca penyakit.
Ibu juga memang bukan contoh yang bagus bagi orang yang sakit, antibiotik yang
ia pesan sendiri saya kritik untuk konsul ke dokter beneran, bukan hanya lewat
pengalaman (yang bisa jadi malah antibiotik sakit gigi) ataupun resep dari dokter yang bahkan tidak bertemu langsung
dengannya.
Klimaks penyakit ibu terjadi saat selesai acara
sekolahnya, Ibu dibawa bapak ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu (karena BPJS hanya
diterima lewat layanan UGD katanya). Dokter kata Ibu melihat ada infeksi dari
pemeriksaan darah, demikian masalah Ibu katanya ada di lambung, obat diberikan
namun hanya untuk dosis tiga hari. Ibu membaik saat itu, suhu panasnya turun
walau belum bisa tidur. Namun, beberapa hari kemudian Ibu kembali demam parah,
dan kembali di bawa ke UGD. Kali ini Ibu diberi selang oksigen, dan lagi-lagi
diberi obat yang sama. Ibu tak kunjung membaik.
Akhirnya Ibu kami paksa bertemu kakaknya yang seorang
dokter (entah mengapa, Ibu selalu ogah-ogahan konsul ke kakaknya, padahal
kakaknya spesialis THT). Bahkan, teman bapak yang seorang dokter juga datang
menjenguk memeriksa Ibu, yang demikian Ibu skeptis terhadap obat yang
diberikannya, “Lagi-lagi antibiotik.” atau "Dia kan bukan ahli THT atau paru-paru." Katanya. Obat yang diberikan teman bapak
tidak diminum, dan kami kesulitan mendapat obat dari resep kakaknya Ibu (yang
kemudian ia bantu carikan, namun 3 hari rasanya lama sekali). Di jeda obat yang
nihil, Ibu dibawa ke tukang urut refleksi oleh kakaknya yang lain. Tukang urut
ini rasanya sesat, dan lagi, menyesatkan kami (terutama saya) bahwa penyakit
Ibu ada urusannya dengan lambung yang kupikir agak bias karena tidak berlandas uji lab dan kontrol pasca UGD kemarin, dan bahkan Ibu ditakuti-takuti
sang tukang urut bahwa antibiotik (dan segala obat yang lain) untuk dihentikan
pemakaiannya dan fokus pada pengobatan alternatifnya.
Demikian benar salahnya, Ibu tetap tak bisa tidur walau
obat antasid untuk maag sudah diberikan. Memang penyakit ibu mirip-mirip gejala
GERD (penyakit asam lambung), tapi setelah obat maag tidak berfungsi, saya
rasai ada kejanggalan. Obatpun di dapatkan dari kakak sang ibu, dan ibu
melanjutkan pemakaian obat yang berlangsung beberapa hari sampai antibiotik
habis. Di sini Ibu sudah mengalami peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya,
dia sudah bisa makan lahap, dan bahkan tidur. Saya menyarankan ibu kontrol ke
kakaknya persoalan antibiotik habis (yang dia tidak lakukan), sorenya ibu lagi-lagi
demam parah diikuti muntah-muntah, ini terakhir kami membawa ibu ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu. Tidak
percaya dengan rumah sakit sebelumnya, kita memutuskan untuk pergi ke RS Harum di
mana rumah sakit kakaknya ibu berada.
Di situ hasil rontgen menunjukan bahwa Ibu mengalami
infeksi berat dengan tanda radang di antara kedua paru-parunya (dan lucu, tidak ada apa-apa di lambungnya). Ibu
diperbolehkan pulang sebenarnya dengan obat paracetamol, obat pereda batuk dan
antibiotik plus rujukan ke dokter paru-paru pada hari senin (kami bawa dia hari sabtu lalu), tapi Ibu
berkali-kali menyatakan dirinya ingin dirawat inap karena berharap hal itu
mampu membuatnya baikan dan dokter juga kakak ibu yang mendengar itu akhirnya
merekomendasikan Ibu dirawat inap.
Di sini saya kembali ke fokus narasi saya, bahwa merawat orang
sakit itu sungguh melelahkan dan penuh dengan tekanan. Setiap hari mendengar
keluh kesah, marah, dan mood yang tidak enak. Setiap malam mendengar suara
batuk, muntah, dan tangis. Ada suatu malam saya memijati ibu saya, mengajaknya
bicara berpikir betapa membosankan dia mencoba tidur dengan posisi yang tidak
mengenakan itu (duduk sambil menekuk kepalanya kedepan yang diselipi bantal).
Dan terakhir, Ibu minta dirawat inap. Bapak awalnya meminta saya menemani ke
rumah sakit, dan betapa kagetnya saya dengan diri sendiri dan mungkin juga bapak bahwa saya yang
dari tadi menyuruh ibu ke rumah sakit juga salah satu yang merawatnya
(mengingat rahmat sedang sakit, kakak tidak pernah di rumah) memperlihatkan keengganan untuk menemani sang
Ibu.
Apa yang ada di kepala saya adalah timbunan rasa tidak
enak yang rasanya sudah tertimbun terlalu tinggi, saya menyalahkan perasaan tidak fit saya (yang benar saja, besoknya saya lagi-lagi terkena pilek). Lagi setelah saya
ikut, klimaks dari perasaan tidak enak saya muncul: Ibu memutuskan untuk rawat
inap. Di kepala saya, keputusan ibu terkesan dilebih-lebihkan, toh ibu akan
mendapati obat yang sama, hanya bedanya lewat infus saja, dia akan tetap kesulitan
tidur bahkan tidak akan bisa beraktivitas apa-apa untuk menghabisi kebosanan
yang bisa dilakukan dirumah, selebihnya adalah repot bagi keluarganya yang
menjenguk, membawa baju dan menemaninya di rumah sakit yang steril dari
definisi hidup, itu belum diikuti demand sang ibu untuk membawakan makanan atau sejenisnya yang barangkali mampu membawa kenikmatan dalam ruang steril itu (bisa saja dia menolaknya karena ternyata tidak seenak yang dipikirkannya, ibu saya begitu orangnya). Tidak ada yang
menurut saya menyehatkan dari ruang kamar rumah sakit, ruang-ruang yang penuh orang sakit, minim kehidupan, dan tentu saya bisa-bisa
sangat salah, toh ini prespektif yang sangat sempit bagi orang yang bukan pada
profesinya mengenai perawatan rumah sakit yang serba direct.
Saya menarik kembali kejadian ketika ibu patah tulang
setahun yang lalu dan menginap di rumah sakit menemaninya, betapa repot, bosan
dan melelahkannya. Rumah sakit dengan bau khasnya dan tentu, penuh dengan orang
sakit, adalah ruang kamar kecil di mana tempat tidur yang ideal adalah kursi
dan karpet di bawah lantai, lorong sempit, wc yang buruk juga sibuk. Jika saya
mengeluh juga, betapa durhakanya saya sebagai seorang anak. Saya merasa Guilty pleasure juga ketika pulang dari
rumah sakit, dan betapa leganya merasakan empuknya kasur kamar. Saya yang suka
bermanja pada sang Ibu, ternyata memiliki perasaan sayang yang setipis itu ketika ibu sedang susah,
pikir saya dulu dan akhirnya, sekarang.
Bapak ketika ibu sudah berada di kamar sakit kemudian
bertanya sekalian meminta, apa saya berniat menginap pada hari pertama, karena
Bapak butuh dokumen BPJS yang dia urusi agar ibu tidak membayar. Saya bilang ke
Bapak dalam perasaan ogah, mengatakan Iya, dia mampu membaca ekspresi saya yang ogah dan saya
benar-benar bukan orang yang mampu menyembunyikan ekspresi wajah sendiri. Bapak
memutuskan untuk tinggal sampai suster mengabarkan kita boleh tidak menemani
ibu, yang penting pagi sudah datang untuk kontrol dengan dokter. Saya dan bapak
pulang. Besok paginya, bapak berangkat sendirian ke rumah sakit membawa pakaian
dan lainnya.
Betapa bersalahnya saya pagi itu, merasa mengkhianati Ibu
dan ekspetasi Bapak. Hari yang sama, saya lagi-lagi memegang perasaan yang
sama, jauh-jauh dari yang namanya menginap menemani Ibu di Rumah Sakit. Rachmat ingin
tinggal dan saya mencoba untuk tidak tinggal, ruang sesempit itu hanya
memungkinkan satu orang untuk tinggal saya bilang. Bapak memutuskan untuk
tinggal dan saya juga Rachmat kembali ke rumah.
Pulang saya berpikir kenapa perasaan saya begitu tidak
tenang, dan saya kemudian mengingat The
Ballad of Narayama. Jika Ibu dan Bapak sudah tua, mereka sakit ataupun
sekedar tua yang sudah pikun, ngompol, sifatnya mulai kekanak-kanakan yang
kerjaannya mengeluh dan mengeluh, apa perasaan yang seperti ini akan muncul?
Apa saya akan seperti anak dalam kisah lama itu, anak yang tidak tahu namanya
berbakti, anak durhaka, dan lupa akan kebaikan ibu dan bapak yang dahulu
merawat kita yang tak lain, adalah yang mengompol,
kekanak-kanakan, dan mengeluh (dengan teriakan tangis pada waktu malam, ketika
mereka sedang terlelap-lelapnya) ?
Saya benar-benar merasa bersalah hari ini, dan semoga
saya bisa merefleksi diri lewat tulisan ini.
Sabtu, 02 Februari 2019
Naas: Sebuah Cerita Pendek
Afrizal bangun pukul setengah lima subuh. Segera ia membangunkan keluarganya,
sang ibu segera terbangun mengambil wudhu, adik-adik Afrizal yang masih kecil
masih terlihat ogah-ogahan, beberapa memeluk guling lebih erat, beberapa
membalik badan menolak. Tapi Afrizal tetap bersikeras, makin keras ia goyangkan
sambil menegur "Bangun-bangun!" maka akhirnya terbangun mereka dengan
enggan untuk bertemu tuhan mereka.
Afrizal
kemudian memimpin shalat, beberapa kesal karena Afrizal selalu melantunkan ayat
panjang, biasanya adiknya Syahrul segera melolongkan menguapnya hingga
terdengar telinga Afrizal, tapi ia tidak peduli.
Dahulu
perilaku begini bisa membikin Syahrul dijepret Bapak dengan sabuk, tapi
kegiatan shalat subuh ini sudah digantikan Afrizal setelah Bapak wafat, dan
Afrizal tak pernah setega itu pada adiknya.
Setelah
shalat adik-adik Afrizal kembali tidur kecuali Ani yang sudah SMA. Dia
menyiapkan buku dan menyetrika pakaian, dari pakaian seragamnya sampai seragam cleaning service Afrizal dan
adik-adiknya. Ibu saat itu menyiapkan sarapan, memasak nasi dan menyuguhkan
teh. Afrizal segera mandi, bersiap diri karena pukul 6 dia sudah harus di
sekolah untuk melakukan pekerjaannya.
Air
terasa dingin membasahi tubuh Afrizal pada pagi hari itu, diselingi angin yang menyelinap
masuk dari atap kamar mandi yang tak beratap. Afrizal hanya mengguyur seadanya,
sabunan dan sampoan dibarengi, guyur lagi dua kali dengan sungguh-sungguh
membilas seefisien mungkin bersih mengingat betapa repotnya mengambil air dari
sumur. Afrizal setelah berhandukan segera menggunakan celana dan kaus
skutangnya.
Keluar
dari kamar mandi sudah ada Ani di sebelah tempat setrika, dia terlihat tidak
ingin segera masuk menggantikan kakaknya.
"Mas,"
Ucap Ani sambil memberikan seragam pada Afrizal, wajahnya tapi berpaling tidak
menatap langsung pada kakaknya, "Boleh Ani minta sesuatu Mas?"
Afrizal
mengambil baju seragamnya yang sudah disetrika Ani sekalian merespon ucapan
Ani, "Mau minta apa Ni?"
Afrizal
tahu Ani ingin meminta duit, dan wajah Ani seakan enggan menanyakannya, tidak
enak.
Afrizal
tahu bahwa Ani selama ini memang selalu merasa enggan dalam perihal uang.
Setelah bapak tiada, Afrizal sebagai kakak tertua meninggalkan sekolahnya untuk
bekerja menghidupi keluarga. Pekerjaan Afrizal merupakan pekerjaan serabutan,
kadang ia menjadi kuli, menjadi tukang bersih got, benerin genteng. Kini ia
mendapati pekerjaan tetap menjadi cleaning
service yang gajinya lumayan, itupun tidak mengurangi kelelahannya
karena setelah bekerja Afrizal kemudian membantu Ibu yang kini memiliki usaha
laundry dari modal yang dikumpulkan Afrizal dan tabungan Bapak.
Melihat
kakaknya yang tak pernah mengeluh, ia tak pernah tega menggunakan uang jajannya
untuk makan. Jika temannya mengajak ia main, ia menolak. Ani tahu kondisi keluarganya,
maka ia belajar pintar-pintar agar tidak membebani kakaknya. Namun kali ini Ani
sedih, bahwa dia terpaksa harus meminta uang pada kakaknya.
"Mas,
ini... Ani ada acara perpisahan."
"Ah
iya, kamu habis UN yah Ni, butuh berapa perpisahan?"
Afrizal
tersenyum bertanya sambil mengeluarkan dompetnya, padahal dalam hatinya dia
bersiap diri mendengar digit angka uang yang akan diucapkan Ani.
"Tiga
ratus..." Ani tiba-tiba saja memalingkan wajahnya, "Gak usah deh
mas."
Ani
tentu ingin sekali ke acara perpisahan untuk meninggalkan kenang-kenangan
bersama sahabat-sahabatnya, tapi apakah acara perpisahan itu wajib sekali untuk
diikuti? Lagipula tiga ratus itu uang yang besar sekali, pikir Ani, itu juga
sudah dikurangi uang tabungan Ani. Memang perpisahan kali ini istimewa, karena
sekolahnya berencana untuk pergi ke Jogja, tur ke universitas-universitas dan
tempat wisata. Tapi kemewahan itu bukan untuk Ani, pikirnya.
"Nih."
Demikian
Ani sudah berkata begitu, uang tiga ratus ribu tergeletak di tempat setrikaan.
Afrizal sudah memasukan lagi dompetnya di kantung celananya.
"Mas,
Ani..."
"Udah,
gak papa. Mas masih banyak simpenan duit kok."
Ani
memeluk kakaknya.
"Terima
kasih mas!"
Ani
tersenyum, dan Afrizal merasa lega. Ani adiknya yang ia banggakan, juara kelas,
selalu merenung setelah ditinggal bapak. Baru kali ini Afrizal mampu membuatnya
senang.
Demikian,
Afrizal harus berpikir pekerjaan paruh waktu apa yang harus ia lakukan setelah
bekerja sebagai Cleaning Service untuk
mengganti uang tiga ratus tersebut.
***
Pukul
10, Afrizal kini sedang membersihkan kamar mandi di sekolah tempat ia bekerja.
Afrizal baru bekerja beberapa bulan, dan ia merasa terkagum-kagum dengan
sekolah ini, terutama kamar mandinya, lebih besar dari rumah yang ia hidupi
bersama lima anggota keluarganya.
Ia jadi
ingat kamar mandi yang begitu bau pesing di sekolah dasarnya dulu, begitu kotor
dan tidak nyaman. Afrizal lebih enak pulang saja jika kebelet buang air besar
dibanding harus berada di wc sekolah tersebut, sedangkan di sini, barangkali
Afrizal bisa berlama-lama berak sambil ngudud. Tapi, Afrizal juga kebingungan
sendiri. Kloset yang kini ia bersihkan merupakan kloset duduk, tidak ada bak
air, hanya tersedia tissue dan tempat sampah. Di kloset duduk tersebut sendiri
banyak tombol-tombol misterius juga, yang Afrizal takut kalau ia tekan nanti
bisa rusak.
Demikian
untunglah Afrizal tidak terlalu pusing mengenai itu, mereka para cleaning service memang tidak
diperkenankan menggunakan WC siswa, apalagi WC guru. Mereka punya WC-nya
sendiri, yaitu di tempat parkir di luar sekolah, kloset jongkok lengkap dengan
bak airnya yang memang pas buat mereka.
Dan kalo
dipikir-pikir, jika buang air besar sambil duduk, Afrizal pikir takkan bisa
kotoran itu bisa keluar, toh susah ngedennya.
Sedang
bengong mengelapi kaca sambil menyemprotkan cairan pembersih, keluar seorang
bocah. Wajahnya pucat, jalannya pun aneh, langkahnya besar-besar sekali.
Terlihat ia kesakitan. Mereka bertatap mata sekilas, dan Afrizal melanjutkan
mengelap kaca kembali.
Tak lama
Afrizal sudah lupa dengan pertemuannya dengan anak kecil tersebut.
***
Pukul 8
malam, Afrizal tengah bekerja membantu temannya berjualan nasi kucing.
Tiba-tiba
handphonenya berdering, ditelpon dari nomor kepegawaian sekolah.
Dia
disuruh untuk segera masuk pukul 6 pagi, walau besok adalah hari minggu.
Afrizal
merasakan sesuatu yang janggal dari nada bicara staff kepegawaian tersebut,
namun setelah telpon tertutup, Afrizal segera menghapus segala perasaan janggal
tersebut dan fokus melayani pelanggan.
Afrizal
kemudian kembali bekerja sampai pukul 11 malam.
Ketika
pulang, Ibu Afrizal menunggu di depan rumah sambil terkantuk-kantuk matanya.
Melihat Afrizal mengucapkan "Assalamualaikum," Ibu tersenyum, dengan
penuh syukur menjawab salam Afrizal, "Waalaikumsalam.". Segera ibu
membawa segelas teh hangat selagi Afrizal mengganti baju.
Kemudian
mereka nonton tv berdua, ibu bercerita mengenai apa yang dia alami hari ini.
"Ani
peringkat sepuluh besar UN di seluruh provinsi kata gurunya."
Afrizal
sudah dengar semua itu kemarin, tapi ia selalu mendengarkan ucapan bangga dari
ibunya.
"Ani
tuh bisa milih universitas apa aja, dan tahu gak mas dia bilang apa ke
Ibu?" Kemudian Ibu berucap, kali ini suaranya kehilangan semangatnya,
"Dia bilang dia pingin langsung kerja aja."
"Wah,
sayang."
"Nah
betul kan? Katanya uang gedung mahal, dan lain-lain."
"Nah
terus ibu bilang apa ke Ani?"
"Yah,
Ibu bilang kita urus beasiswa, kan ada sekarang apa itu namanya? Bidik misi?
Kita juga bisa minta keringanan. Pokoknya kata gurunya semuanya bisa
diurus."
"Iya,
betul tuh." Afrizal sebenarnya tak paham benar apa yang ibunya katakan,
tapi ia mengangguk-ngangguk saja.
"Tapi
Ani bilang juga, nanti ada biaya kos, belum biaya makan, belum buat beli buku,
laptop."
"Kebanyakan
mikir tuh anak..."
"Iya
kan?"
"Terus
ibu bilang apa?"
"Yah,
ibu bilang bener juga."
"Looohh..."
Afrizal menepuk kepalanya, "Ibu bilang ke Ani, masnya bakal urus semua
kebutuhan hidup Ani. Yang penting Ani kuliah dulu, di mana aja. Bilang, cuman
itu cara kita bisa keluar hidup miskin. Gak apa masnya banting tulang, capek,
yang penting Ani bisa sukses. Nah, sekarang di mana Ani?"
"Lagi
nginep di rumah temennya."
"Yasudah,
besok aku bilang sendiri ke anaknya."
Ibu
melihat ke arah Afrizal yang kembali fokus menonton TV. Ibu bersykur sekali
punya anak rajin dan penuh rasa tanggung jawab. Berkali-kali Ibu merasa
bersalah bahwa dirinya yang hanya lulusan SD tidak mampu melanjutkan sekolah
anaknya. Ibu ingat setelah kematian bapaknya, Afrizal berkata, "Gak apa
bu, Afrizal yang kerja.", Ibu menangis mengatakan tidak boleh begitu,
harapan orang tua adalah melihat anaknya mampu hingga ke pendidikan tinggi, "Afrizal
kerja sampai Ani lulus, nanti Afrizal lanjut sekolah lagi, janji bu, gimana
kalau gitu?"
Tentu
Afrizal hanya berkata begitu untuk meyakinkan sang Ibu, dan karenanya hingga
kini mereka masih mampu bertahan dari segala kesusahan yang mereka hadapi.
Sekali
lagi dalam pikir Ibu, bahwa Ibu sungguh bersyukur memiliki anak seperti
Afrizal.
***
Keesokan
harinya, terdengar kabar dari telpon bahwa Afrizal ditangkap pihak kepolisian.
Ibu
pingsan.
***
Afrizal
berdiri di antara cleaning service yang
kemarin mendapati tugas mengurus kamar mandi.
Seorang
ibu dengan wajah gusar bersama pihak kepolisian menyuruh sang anak menunjuk.
"Saya
tahu! Salah satu dari kalian memperkosa anak saya!"
Sang
bocah kelihatan kebingungan. Seorang polwan membisik anak tersebut, dia disuruh
memilih, tapi lagi, ia enggan. Salah satu guru dengan ilmu pseudo-psikologinya
berkata, "Sang anak pasti trauma sehingga ingatannya buyar, ah, barangkali
diancam."
Sang ibu
kemudian menarik anaknya, "Cepat nak, pak polisi nunggu siapa yang
ngelakuin ini ke kamu."
Sang
anak tertekan.
Kemarin
dia mengeluh ke ibunya, pada bagian anusnya ia merasakan sakit, keluar darah.
Tak seperti yang ia sangka, ibunya terlihat begitu kaget, dan segera
memeluknya, "Siapa yang melakukan ini nak? Siapa?" Dia menangis saat
itu. Sang anak kebingungan, tak memahami maksud ibunya, sampai tiba-tiba dia
dipaksa bangun pada pagi harinya, dan kini bertemu bapak polisi dan staff
cleaning service di hadapannya, yang ia tak kenal, kecuali... Wajah yang
familiar ketika ia keluar dari kamar mandi kemarin.
Jika
ditanya, siapa yang ia ingat dalam ingatannya yang samar-samar, hanya pria itu.
Telunjuknya
terangkat.
Afrizal
dipilihnya.
Afrizal
takjub tak mampu berkata apa-apa, seketika polisi segera memborgolnya, dan
pandang-pandang jijik terhadapnya.
Diamnya
hilang ketika tampar mengenai pipinya.
"Mati
kamu! Bajingan!"
Sang ibu
berteriak dengan matanya yang ngeri.
Afrizal
tentu tak terima, "Ini fitnah!" ucapnya, tapi tak ada yang
menanggapi, kawan-kawan cleaning servicenya pun hanya menunduk.
Sang
anak segera di bawa pergi, Afrizal mengingat pada pagi hari itu ketika dia
sedang mengelap kaca. Seorang anak yang berjalan dengan rintihan rasa sakit.
Ingatannya kembali, dan ingatan tersebut adalah ingatan yang percuma.
Dia
hanya bisa merintih seketika polisi menaklukan badannya yang melawan, "Ini
fitnah, Astagfirullah, demi Allah, ini fitnah..."
***
Pukulan
mengenai bibir kemudian pelipis Afrizal, pecah, darah mengocor deras.
Pukulan
mengenai perut Afrizal, muntah seluruh isi sarapannya.
Pukulan
mengenai mata Afrizal, bonyok dibuatnya.
"Ngaku
lu Anjing!"
Kasus
para pemerkosa sulit untuk dibuktikan, terutama dari kasus ini. Pertama, tidak
ada saksi kecuali korban. Kedua, tidak ada sperma yang ditinggalkan korban.
Ketiga, hasil visum saja tidak cukup. Korban bisa saja berbohong, tapi polisi
cukup tahu, anak kecil tidak mungkin berbohong.
Polisi
yang berada di ruang intograsi ini semuanya memiliki anak, bagi mereka tiada
ampun bagi para penyodomi anak.
Ditenggelamkan
Afrizal.
Dipotong
kuku-kuku itu hingga keujung-ujungnya.
Disetrum
Afrizal.
Sudah 12
jam.
Pandangan
Afrizal mulai buyar. Perutnya kembung oleh air. Perutnya belum terisi apa-apa,
pun yang sudah terisi terbuang dalam muntah.
Ia belum
juga mengaku, namun kini ia begitu ragu untuk mempertahankannya. Melihat kini
ruhnya sudah begitu tidak lekat dengan raga, ia merasa begitu sayang jika ia
mati pada saat ini.
Pikiran
Afrizal lebih-lebih memikirkan nasib keluarganya setelah rasa sakit mulai mati
rasa: Koko, Adi, dan Syahrul masih SD, terutama Syahrul yang sebentar lagi akan
menginjak bangku SMP. Dia butuh baju, buku, dan uang gedung. Ani pastilah
takkan tega untuk melanjutkan kuliah, ia pasti akan bekerja, entah membantu
ibu, menjadi TKI atau menjadi istri seseorang untuk meringankan beban ibu. Dan
Ibu, duh, ibuku sayang, kalau sampai aku ditangkap bagaimana nasib bisnis ibu?
Ah, ah, jika aku mati, siapa yang mampu menjaga mereka? Tapi juga jika aku
mengaku, aku akan dipenjara, dan sama saja hasilnya.
Apa ini
yang dikatakan apes? Naas? Apa ini yang disebut bagai buah simalakama?
Polisi
sudah selesai istirahat.
Wajah
mereka masih garang.
Salah
satu dari mereka membawa kertas dan pulpen.
"Kalo
lu ngaku, gw janji proses pengadilan lu lancar, dan cuman dipenjara yah, paling
lima tahun lah."
Afrizal
terdiam dengan badannya yang masih basah, dan darah yang menetes dari bibirnya
yang pecah. Matanya terpicu oleh suara binatang yang berada di balik sang
polisi.
"Kalo
lu gak ngaku, yah lu mati anjing. Terus lu kira kalo lu mati terus lu gak bakal
dikira sebagai pelaku? Nggak njing. Lu bakal tetep jadi penyodomi anak
kecil."
Afrizal
memegang pulpen dihadapannya.
"Nah
gitu dong dari tadi, kalo gitu kan lu gak bakal bonyok tadi."
Pulpen
itu menulis, terseok-seok tulisannya.
"Sekarang
lu mau makan apa? Nasi goreng? Nanti gw pesenin."
Tersenyum
polisi itu, sedangkan Afrizal menangis. Air matanya mengenai tinta yang menjadi
pudar, dan ia terus menulis.
Sang
polisi keluar berteriak, "Oy, minta materai 6000 dong! Nih pelaku pengen
ngaku."
Dalam
alam pikir Afrizal hanya ada rasa takut melihat apa yang dibawa polisi yang ada
di hadapannya. Tikus, ember, dan lilin. Dia tidak mau lagi disiksa. Ia juga
tidak mau mati.
Ia hanya
ingin selamat.
Dan
beberapa menit kemudian, Afrizal resmi menjadi tersangka.
***
Ruang
putih berbau alkohol, tirai hijau, dan seorang dokter dengan maskernya melihat
ke arah anus sang anak yang kini tengah menungging. Sang dokter melihat Abrasi
dan nanah, dan dia memahami benar apa yang terjadi pada anak ini.
Dia
kemudian menyuruh sang anak mengenakan pakaiannya lagi, dan segera bertemu
dengan sang ibu di sebelah ruangan, dia tengah berbicara di telponnya sambil
berteriak-teriak.
"Sudah
mengaku dia? Ya, ya, kau pikir dihukum berapa orang itu? 15 tahun? Terus
bagaimana sekolah ganti rugi ke saya? Ya, ya..."
Sang ibu
mengangguk-ngangguk, dan sang dokter menunggu sampai sang ibu selesai menelpon
anaknya.
"Anak
ibu mengalami Proktitis."
"Maaf
ibu dokter, apa itu Proktitis?"
"Infeksi
oleh protozoa, biasanya karena kurang bersih membersihkannya setelah buang air
besar. Apa anak ibu terbiasa menggunakan tissue? Biasanya karena tidak bersih
melapnya Untuk saat ini coba gunakan air bu untuk setiap harinya..."
"Sebentar,
semua ini bukan karena trauma atau cedera fisik?"
"Trauma?
Maksud ibu? Ah, ya, saya resepkan salep Flagyl yah bu. Oh, dan ibu butuh surat
visum untuk apa?"
"Dok..."
Sang ibu
melihat ke arah anaknya yang kebingungan, lalu dia melihat ke dokter itu lagi.
"Apa
mungkin mengubah hasil visum?"
***
Televisi
menayangkan tentang kasus sodomi di sekolah internasional. Diberitakan begitu
sensasional, begitu biadab, begitu memalukan.
Sang
anak disensor mukanya, dan sang ibu menceritakan detil mengerikan yang
dilakukan sang pelaku. Begitu membuat buluk kuduk merinding ketika penonton
mendengarnya, diikuti suara-suara latar yang tak kalah ngeri. Kemudian foto
Afrizal diperlihatkan, orang-orang yang melihatnya segera merasakan perasaan
jijik terhadapnya. Afrizal dikatakan sudah mengaku, namun ia baru akan diadili
sebulan lagi.
Di
kediaman Afrizal, suasana begitu panas. Bau tidak sedap di pekarangan rumah
Afrizal oleh lemparan telur busuk, sayur-sayuran, dan air got. Mereka murka,
tapi karena tak mampu mengeroyok Afrizal secara langsung, maka keluarga Afrizal
adalah pelampiasannya. Ibu masih mengurung diri juga kelima anggota keluarga
Afrizal.
"Ani
pokoknya gak mau ikut perpisahan."
Ani
melempar uang 300 ribu yang tercecer di lantai, dan Ibu segera mengambilnya
satu-satu yang kemudian terkagetkan oleh dobrakan suara pintu kamar Ani yang
menutup.
Ibu setelah
selesai mengumpulkan uang yang Ani lempar, dengan matanya yang masih basah
mencoba mengetuk pintu kamar Ani.
"Gak
akan ada yang tahu Ni, memang mereka kenal masmu?"
"Mereka
pasti tahu, entah bagaimana, mereka pasti nanti akan tahu!"
"Kan
ibu sudah bilang nak, mas mu gak akan melaku—"
Lalu Ani
yang sudah bosan mendengar ucap ibunya segera berteriak dengan begitu murka,
"Pokoknya aku benci Mas Afrizal! Mas hancurin semuanya!"
"Ani!"
Ibu
berteriak. Dia ingin berkata lanjut tapi sudah habis kata-katanya, dia tidak
memiliki bukti, diapun sudah begitu yakin mendengar anaknya melakukan pengakuan
secara langsung ke polisi.
Ketika
televisi menyiarkan kabar bahwa Afrizal adalah pelaku hati Ibu dan Ani hancur
berantakan. Tapi Ibu mengabaikan segala perasaannya yang terombang-ambing
setelah berita itu. Ia adalah Ibu Afrizal, dan ia tahu benar siapa Afrizal.
Hanyalah rasa, sebagai seorang Ibu yang sehari-hari merawat, membimbing,
menyayangi anaknya, tahu benar bahwa dia tidak mungkin melakukan hal amoral
seperti itu. Hanya itu, pikir ibu, hal yang membuatnya yakin bahwa Afrizal
tidak bersalah.
Dan
tangis ibu pecah kembali mengingat Afrizal kini sendirian, anaknya pastilah
merasa begitu hancur melihat tidak ada satupun orang yang membelanya. Dia
sendirian, pikirnya. Bagaimanapun, ketika anakku memutuskan untuk mengakui
sesuatu yang bukan kesalahannya, pasti ada sesuatu yang menimpa dirinya. Maka,
siapa lagi jika bukan yang paling dekat, bahkan sampai darah, ibunya sendiri
yang akan membelanya!
"Anakku
bukan pelakunya! Ini semua fitnah!"
Ibu
segera memakai pakaian terbaiknya, dia ingin ke penjara sekarang juga untuk
menemui anaknya.
Sedangkan
Ani masih berada dalam sudut kamarnya, menangis. Di sosial media yang ia buka
dari telepon genggamnya sudah penuh dengan kata makian terhadapnya. Ia kemudian
keluar dari aplikasi sosial medianya, masuk pada halaman muka yang berisikan
logo universitas negeri terbaik di Indonesia yang ingin dia masuki.
Dalam
hati dia bergumam, sekarang semuanya tidak mungkin.
Semuanya
tidak mungkin lagi, gumamnya ulang.
***
Ibu
memaksa untuk melihat anaknya, tapi tidak dibolehkan.
Sebenarnya
alasan mengapa Afrizal tidak boleh bertemu dengan ibunya karena keadaan Afrizal
yang bonyok. Begitu juga alasan mengapa pengadilan diundur, dan barangkali jika
sebulan ini kondisi Afrizal belum baik, akan diundur lebih lama lagi. Ia tentu
harus tampil baik jadi tidak ada tanggapan bahwa pengakuannya merupakan hasil
penyiksaan.
Sang Ibu
kemudian keluar dari lapas, dan ia tak sengaja bertemu dengan ibu korban yang
ada di televisi.
Sang ibu
segera melabrak ibu-ibu tersebut.
"Kau!"
Sang Ibu
korban segera menjauh, polisi mengetahui itu segera berlari mencoba mencegah.
"Kau
fitnah anakku!"
"Apa?!
Ah, jadi kau orang tua si pemerkosa anak kecil, pemerkosa anakku!"
Namun
pandangan sang ibu teralih pada sang anak kecil yang berada di samping ibunya.
"Nak,
tolong, tolong kau bilang ke semuanya bahwa kamu berbohong. Kau berbohong. Kau
tidak apa-apa kan? Anakku tidak mungkin bersalah. Tolong, tolong kami, aku
takkan menyalahkanmu, tolong nak."
Sang ibu
memohon, dia cium kaki anak itu, namun disepaknya kepala sang ibu oleh sepatu
hak tinggi sang ibu korban.
"Jangan
kau sentuh anakku, dasar pelacur!"
Polisi
melerai, menarik Ibu Afrizal jauh-jauh dari Ibu korban.
Sang ibu
Korban merasa kesal, dia menggurutu tak jelas. Namun kejadian tadi begitu
membekas di kepala sang anak.
Anak
tersebut kini merasa begitu gusar.
Dan dia
melirik ke arah ibunya, yang kini membawa surat visum untuk segera diserahkan ke
polisi. Surat itu kini telah berubah menjadi bukti terjadinya praktik sodomi
yang menyebabkan luka pada anus korban.
Menyadari
sang anak melihat ke arahnya, sang ibu tersenyum sebelum kembali meluruskan
pandangannya.
Sang
anak kemudian mencoba menghalau keraguannya, dan kembali memainkan permainan di
telepon genggamnya.
***
Afrizal
meringkuk di jeruji, memegang perutnya penuh kesakitan, kepalanya berdarah.
Polisi penjaga tidak melerai, terkesan membiarkan.
Satu
tendangan lagi ke arah perutnya, kembali ia memuntahkan makanannya.
Pria
besar dengan tato di tangannya merasa begitu kesal, urat nadinya keluar dari
kepalanya.
"Beruntung
kali polisi bawa kau ke sini, biar aku beri kau pelajaran, setan! Aku barangkali
penjahat, tapi aku punya anak, tahu penyodomi anak kecil macam kau ini harus
dibikin babak belur!! Mati sekalian!!!"
Afrizal
menyeret badannya. Entah apa yang ia coba lakukan, menggunakan kuku-kukunya
yang memerah meraih celah ubin, semata-mata menjauhkannya dari pria yang
mencoba mengeksekusinya, ia tahu itu adalah usaha yang percuma.
Telah ia
harap bahwa tuhan memberikannya kesempatan untuk keluar dari rasa sakit, keluar
dari ancam kematian, keluar dari penjara dalam waktu yang masih mampu
ditolerir. Tapi, rasa sakit itu masih ada, kematian itu masih dekat, dan
nyatanya 15 tahun adalah keputusan yang pasti akan menyambarnya, sebut
pengacara lembaga bantuan hukum yang enggan untuk membelanya.
Pria
besar itu, melihat Afrizal masih berusaha kabur, menarik bajunya dan
menyeretnya ke arah tembok. Ia lihat wajah Afrizal, matanya kosong, dan pria
itu tidak melihat ada penyesalan, takut, sakit, dan lainnya. Tapi hanya kosong,
mata yang sudah kehilangan harap dan rasa.
Maka
kaki pria besar itu segera menyepak kepala Afrizal yang sudah lunglai, seakan
dalam usaha untuk membuatnya sadar, agar rasa sesal, rasa sakit, rasa takut
muncul. Tapi pria besar itu tidak melihat apa-apa, seakan pria itu sudah mati.
Disitu
polisi yang merasa kekerasan ini sudah cukup diluar batas segera masuk,
memisahkan pria besar dari Afrizal yang terkapar kaku di lantai berisi darah
yang mengalir dari mulut Afrizal.
Tak lama
ia merasai noda merah dalam pandangannya.
Tak lama
ia sadar bahwa dirinya tidak mampu menegakkan badannya.
Tak lama
ia merasa sesak.
Tak lama
ia merasa mati rasa terhadap sakit yang barusan ia rasakan di sekujur tubuhnya.
Tak lama
ia mengingat memori seluruh hidupnya selama ini dalam perasaan penuh nostalgia,
sampai pada titik kulminasi ingatannya: Ia keluar dari rahim ibu, menangis
ketika pertama kali menghirup napas, bau khas dikenalkannya ia di dunia, suara
bapak mengadzani Afrizal pada kuping kanan, kecup lembut Ibu yang telah
berusaha mengeluarkannya.
Dan
sebelum itu, jauh sebelum itu, semuanya gelap.
...
Tak lama
polisi menemukan Afrizal sudah tidak bernyawa di jeruji besinya. Ia meninggal
dikarenakan terdapatnya hantaman keras di kepalanya yang meninggalkan gegar
otak berat.
Tak lama
berita sampai di telinga kepolisian, dan pihak yang mengurusi kasus ini
mengatakan Afrizal mati akibat pemukulan oleh kawan jerujinya (tentu
menyembunyikan fakta bahwa mereka baru saja menyiksanya seharian).
Tak lama
berita sampai di media massa. Sang pelaku sodomi mati setelah melakukan
pengakuan.
Tak lama
berita sampai pada sang Ibu yang tahu bahwa dia tidak mampu menolong anaknya,
dan Ani yang penuh dengan perasaan campur aduk, dan memutuskan bahwa dia selama
ini merasa penuh dengan kesedihan.
Tak lama
rumah dipenuhi oleh tangisan terhadap nasib Afrizal, sedangkan seluruh
masyarakat Indonesia melakukan selebrasi atas kematian naas sang penyodomi anak
kecil yang cabul nan biadab agar segera menemui neraka jahanam.
***
Mayat
Afrizal sampai, dan tidak ada yang ingin memandikan, tidak ada yang ingin
menyalatkan.
Sampai
di tempat penguburan, masyarakat menolak mayat Afrizal dimakamkan di tempat
mereka. Konflik warga ditenangkan oleh kepala desa. Afrizal tetap dimakamkan,
di ujung pojok, jauh dari kuburan yang lain. Nisan yang ditancap pun harus
lebih pendek dari kuburan yang lain.
Ibu
merasa begitu pilu oleh semua ini, dan Ani juga adik-adiknya hanya terdiam
menerimanya. Mereka semua tahu bahwa kakaknya merupakan seorang tersangka, dan
di kesehariannya mereka sudah mendapatkan cacian dan pengasingan. Mereka sudah
tidak mampu lagi bersimpati pada sang kakak, terlupakan segala memori indah
yang membekas.
Hanya
sang Ibu yang menangisi nasib anaknya, seorang anaknya yang sempurna bagi
dirinya, yang dijatuhi berbagai musibah, sebuah nasib yang naas. Betapa tak
beruntungnya kau nak, pikir ibu. Semoga Tuhan berikan surga untukmu, walau
dunia mengharapkan neraka bagimu. Tuhan tahu yang terbaik, sedangkan manusia
tidak. Ibu terus meyakinkan dirinya, terus begitu.
***
Dan
suatu hari semuanya sudah lupa.
Keluarga
Afrizal kini telah pindah jauh dari tempat asalnya.
Ani
telah menjadi TKI di Arab sana. Syahrul dan adik-adiknya bersekolah dari
penghasilan Ani. Ibu masih melanjutkan usaha laundrynya yang cukup untuk makan
sehari-hari.
Mereka
sudah melewati berbagai rintangan dalam hidup, dan kini dengan ikhlas menjalani
hidup mereka.
Lalu di
ruang tamu yang kosong di kediaman keluarga Afrizal yang baru, TV masih
menyala, tidak ada yang menonton.
Terlihat
wajah sang anak, sang korban, kini telah dewasa untuk berpikir rasional. Dia
menangis, dia meminta maaf, jika tidak dia akan merasa tersiksa seumur
hidupnya. Seorang dokter juga meminta maaf, dia mengakui visum palsunya, lalai
karena ia tidak mengetahui duduk perkaranya. Karenanya, izinnya telah dicabut.
Tapi Afrizal
telah lama mati. Pengakuan mereka tidak berarti, ataupun mendapati tanggapan
yang sensasional sebagaimana seorang anak yang disodomi beberapa tahun lalu.
Dan
telah lama keluarga Afrizal merelakan kepergian pemimpin keluarga sementara
mereka.
Berita
mengenai kebenaran itu tidak mendapati perhatian kuping keluarga tersebut oleh
kesibukan mereka untuk bertahan hidup sehari-hari.
Dan
channel berganti tayangan, suatu sinetron murahan.
Berita
itu tidak pernah diberitakan lagi, dalam televisi ataupun koran. Hanya seperti
kisah yang lalu, kicau kebenaran tersebut lenyap oleh berita-berita yang lebih
nampak dan keras suaranya, begitu juga lontar nama Afrizal sang penyodomi.
Hanya
dari doa yasin yang dibacakan ibu setiap malam jumat, nama Afrizal kembali
disebut dan muncul dalam hatinya, dalam lembut Afrizal berkata bahwa ia terus
memperhatikan keluarganya dan tuhan kini telah merawatnya dengan begitu baik di
akhirat sana.
Langganan:
Postingan (Atom)