Percaya gak sih lu kalo si pemberi, juga kadang adalah
salah satu pengeksploitasi rasa empati itu sendiri. Lah, tapi kan lucu yah
bahwa pemberi yang harusnya korban dari permainan rasa empati malah juga salah satu bentuk lain dalam ekpsloitasi. Dan yah, ini tulisan ngasal, jadi gw
bilang bisa jadi. Gw sebut sih ini namanya Personal
Gratification, yaitu lu mencoba ngasih bantuan ke
orang agar diri lu merasa lebih baik, agar merasa moral lu di atas mereka, dan bisa
jadi merasa diri lu mampu mempertahankan imej yang ada di kepala lu tentang diri lu sendiri. Dan ini bisa jadi adalah sesuatu yang memang ada di luar kepala, permainan alam bawah sadar.
Kata kakak gw yang merupakan mahasiswa psikologi, hampir semua orang, mau dia filantropis, melakukan tindakan-tindakan sosial secara gratis dan lainnya, tidak pernah dirasai rasa tulus. Semua memiliki ekspetasi, dan kemudian adalah cara
untuk mendapatkan kenikmatan dalam memenuhi ekpetasi tersebut. Ekspetasi bisa
seperti rasa terima kasih, atau perasaan sudah memberikan kontribusi, atau merasa
sudah menolong seseorang, atau bahkan mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Tapi apakah hal itu pantas kita jelek-jelekan, yah enggak juga. Dalam takaran
yang tepat, terdapat banyak hal positif dari hal ini, yaitu dalam
kesehatan pikiran seseorang sebagai mahluk sosial juga terhadap komunitas.
Demikian, kritik gw juga berada poin-poin tadi. Hal ini
gw sadari ketika terdapat bantuan yang tidak diterima dengan baik oleh korban
banjir yang mengakibatkan makanan malah jadi dibuang [1]. Media dan para pemberi bantuan menyalahkan
para korban yang seakan tidak tahu diuntung. Loh, kata gw saat itu, kalo kita
teliti lagi ternyata memang mereka sudah overabundance
dengan bantuan makanan. Toh, di sana tukang nasi padang barangkali memberi
bantuan dan pada saat yang sama hyga tukang warteg juga kasih bantuan, dan lain
sebagainya, itu kan korban macam di tempat makan presmanan, bisa pilih sendiri mau makan lauk apa. Nah, bantuan itu juga bukan diberikan pada waktu yang tepat, tapi
pasca kebanjiran itu sudah berlangsung beberapa hari, yang berarti kabar sudah
tersebar dan bantuan telah banyak sampai di segala pelosok. Manajemen bencana juga survei sosial harusnya dilakukan, mencari di sektor mana butuh bantuan
makanan dan di sektor mana juga butuh pakaian bersih, dan lain sebagainya, jika asal membantu begitu yah bersiap-siaplah kecewa.
Nah, lain dari persoalan teknis, melihat pemberi bantuan marah kan gw jadi
bertanya-tanya, mereka tuh ngasih bantuan tulus atau enggak sih? Harus banget
bantuannya diterima? Harus banget diterimakasihin? Bukankah tulus adalah
memberi tanpa pamrih? Secara tidak langsung mereka sedang melakukan eksploitasi
pada rasa empati mereka sendiri untuk mendapatkan kenikmatan dari
ekspetasi-ekspetasi mereka yang tidak sehat itu, sehingga mereka bukan hanya
kecewa (yang saya rasa wajar), tapi bahkan sampai murka.
Hal ini juga terjadi di sosial media, di mana hyper-realism [2] terjadi
di mana-mana, ketika presepsi seseorang yang super lebay dianggap sebagai
kenyataan mutlak karena keterbatasan informasi yang kita peroleh: Sebuah foto
dan caption. Gw lihat seorang kakek renta tertidur, dia jualan ketoprak
malem-malem. Isi captionnya, “Kasihan kakek ini, dia sudah dagang sampai malam,
tapi dagangannya tidak laku. Akhirnya saya makan, dan enak sekali. Dia cerita,
dia jualan seperti ini karena istrinya sedang sakit dan anaknya...”. Keesokan
harinya bisnis sang kakek rame, tentu ada tiga tipe orang yang sangat bersyukur: Sang kakek, si pembikin caption, dan
orang yang termakan oleh narasi tersebut.
Tapi apakah presepsi sang pemberi caption benar? Belum
tentu. Bisa jadi bisnisnya memang lagi sepi saat itu, dan ramai pada waktu yang
lain, toh kita tidak tahu sudah berapa lama sang kakek berjualan di situ? Kalo
sudah lama, pastilah ada pembelinya, apalagi kalo enak. Demikian, para
pengeksploitasi kemudian bermunculan di mana-mana, seorang kakek jual kemoceng,
seorang gadis baju SMA berjualan di depan ATM sambil belajar, dan lain
sebagainya. Sebagai seorang yang sempat berwirausaha gw jadi kepikiran, apakah
ada dampak buruk dari tren ini? Misal gw jualan barang yang gw ciptain dengan
sepenuh hati, lalu dibeli, dan tahu bahwa semua itu karena rasa kasihan?
Perasaan gw jujur bakal campur aduk.
Mereka beli walau mereka tahu mereka enggak butuh, dan
memberi duit dalam suatu rasa yang sama dengan memberi pada seorang pengemis. Dan mereka sedang tidak
meminta-minta! Tidak semua orang, walau dia ada dari kalangan bawah dalam struktur masyarakat, sedang mengharap
pertolongan dengan tangan meminta-minta. Itu adalah imej paling ngeri dalam
masa milenial ini, di mana panggung media yang memperlihatkan bahwa masyarakat
kelas bawah benar-benar begitu menyedihkan sehingga menjadikan mereka sebagai
penyalur segala jenis penat kalian sebagai mahluk sosial seperti tampak pada
mic pelunas hutang dan acara sejenisnya [3],
sedangkan, kalian bisa jadi tidak menolong atau bahkan memperparah sesuatu yang
tidak tampak.
Tapi tentu, itu prespektif gw sendiri, prespektif sempit
saya yang demikian tidak semua setuju, toh mendapat uang saja sudah rasanya
harus disyukuri, dalam rasa iba ataupun kalau memang butuh. Apakah dalam persoalan perut seorang akan menimbang-nimbang niatan pembelinya? Tentu tidak, tapi saya pikir budaya
baru ini bukanlah budaya yang sehat, terutama dalam substansi-substansi manusia
yang sedang berusaha memberi jasa, namun derajatnya disamakan dengan orang yang
sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan, barangkali ada orang yang memang
butuh pertolongan.
Gw jadi inget salah satu teks naskah Arifin C Noer yang
berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”[4], di
sini ada konflik di mana seorang Pemuda (yang ternyata penipu) gak bawa uang
untuk bayar si Mbok yang kemudian diintimidasi oleh sekitarnya. Si Mbak yang
lewat merasa kasihan oleh si Mbok juga sang Pemuda, dia pikir masalah bisa
selesai jika dia ngasih duit dalam rasa kasihan itu, tapi si Kurus sang kompas
moral dalam lakon ini berkata :
“Saya
juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta
tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa
yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan..... tetapi ia juga bersama kemuliaan
yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa
saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah,
tetapi bukan itu soalnya.”
Gw bisa jadi memakai dialog ini di luar konteksnya,
bahkan memenggal beberapa kata. Tapi dari apa yang gw tangkep bahwa mereka semua sedang
melakukan kemuliaan termasuk si Mbok yang menjual makanan. Dia sedang tidak minta
dikasihani, tapi minta makanannya di bayar oleh orang yang lapar tadi. Jika si
Mbak membayar dalam rasa iba, maka otomatis kemuliaan yang tengah dilakukan
penyedia jasa secara substantif hilang, begitu pula kemuliaan si Mbak yang ingin memberi pertolongan.
Akhir kata, demikian memang empati merupakan suatu sifat
yang sudah purbakala namun jelas efektif dalam survivalbilitas individual di dalam
komunitas, esensi dari mahluk sosial. Demikian sifat purbakala ini dimanfaatkan
secara berlebih-lebihan, diekplotasi macam sumber minyak yang lama kelamaan surut,
macam seks yang dikomersilkan, yang mulia tak lagi mulia. Barangkali ini
penyakit yang terjadi pada masyarakat kapitalis yang teralienisasi dan haus
akan kepuasan sebagai mahluk sosial.
Banyak kini yang mencoba menolong untuk memuaskan batinnya sendiri dalam pikir seakan-akan
tengah menolong orang lain, padahal bisa jadi dia sama sekali tidak menolong, bahkan merugikan dirinya sendiri, dan diri orang lain.
Gw bikin ini karena keresahan gw ngeliat bapak menjadikan teman-teman kelas
bawahnya sebagai saluran empatinya sehingga dia mampu merasa mulia telah
menolong orang. Tak tahu dia bahwa temannya itu sudah ditolong banyak orang,
menjadi tempat orang-orang seperti bapak saya, menyalurkan segala bantuan
karena imejnya yang sudah dia bikin (bapak sempat marah ketika diberitahu soal
ini oleh ibu, untung saya disebelah ibu yang bisa memediasi argumen keduanya).
[1] https://nasional.kontan.co.id/news/miris-pengungsi-banjir-tolak-nasi-bungkus
[2] https://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/5580f242e022bd6c310e7751/kita-dan-hiperealitas
[3] https://www.youtube.com/watch?v=VBw13yM_cRQ
[4] http://naskahdramapbsi.blogspot.com/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar