Ada kisah lama di jepang berjudul The Ballad of Narayama[1]mengisahkan
tentang tradisi ubasute, yaitu di
mana seorang anak mentelantarkan orang tuanya ke gunung ketika mereka mulai
menjadi beban dalam hidup. Kisah atau tradisi ini barangkali tidak asing, di
mana orangtua yang dianggap merepotkan atau memiliki banyak kebutuhan, keluarga
mereka memutuskan untuk menempati mereka di panti jompo.
Dalam Islam, hal ini sangat-sangatlah tidak pantas.
Gambaran yang paling umum adalah bagaimana kita sebagai anak, masa bayi dulu
dalam keadaan yang benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa sangat tergantung
oleh kasih sayang orang tua. Bukan begitu saja, bahkan kebanyakan sampai
menginjak umur akil baligh yaitu 17 dan lebih, orang tua tetap saja terus
dengan segenap hati memiliki perasaan untuk merawat dan memedulikan kita (setidaknya di Indonesia).
Kembali di kisah The
Ballad of Narayama, sang ibu bukan hanya menyelesaikan persoalan hidup
untuk bekal anaknya, tapi juga di gendongan anaknya yang membawanya ke gunung,
memetik ranting-ranting di pohon yang ia lewati, menyebarkan serpihan sebagai
jejak agar anaknya mampu pulang dengan selamat. Begitu gambaran kisah ini
terhadap kasih sayang Ibu, dan bagaimana seorang anak harus sadar betapa
dalamnya ikatan hubungan ibu dan anak.
Saya hari-hari ini menghadapi dua minggu melihat Ibu
sakit parah. Awal gejala yang ibu perlihatkan adalah flu, dan kebetulan saya
juga ketularan, jadi saya begitu yakin ibu mengalami sakit yang sama. Demikian, Ibu tetap bekerja setiap harinya, sedangkan saya
masih berleha-leha di rumah pasca lulus kuliah, memutuskan untuk
mengulur-ngulur persiapan untuk beasiswa yang belum tentu saya dapatkan.
Penyakit saya membaik, mungkin karena lepas dari stress, istirahat yang cukup,
dan makanan yang bergizi. Beda dengan Ibu, tiga hal yang tadi saya sebut tidak
ia lakukan, terutama stressnya untuk mempersiapkan acara Imlek di sekolahnya, belum dengan segala eksperimen obat yang dilakukannya tanpa konsultasi ke dokter beneran.
Penyakitnya memburuk, demam sering terjadi, tidak bisa
makan, batuk yang terkadang diikuti oleh muntah, dan ia tidak bisa tidur oleh
gejala batuk yang dialaminya. Terkadang malam hari saya mendengar Ibu terduduk
menekuk (itu satu-satunya cara agar ia tidak batuk), dan menangis bertanya pada
tuhan kenapa dia tidak sembuh-sembuh, itu tepatnya dua minggu pasca penyakit.
Ibu juga memang bukan contoh yang bagus bagi orang yang sakit, antibiotik yang
ia pesan sendiri saya kritik untuk konsul ke dokter beneran, bukan hanya lewat
pengalaman (yang bisa jadi malah antibiotik sakit gigi) ataupun resep dari dokter yang bahkan tidak bertemu langsung
dengannya.
Klimaks penyakit ibu terjadi saat selesai acara
sekolahnya, Ibu dibawa bapak ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu (karena BPJS hanya
diterima lewat layanan UGD katanya). Dokter kata Ibu melihat ada infeksi dari
pemeriksaan darah, demikian masalah Ibu katanya ada di lambung, obat diberikan
namun hanya untuk dosis tiga hari. Ibu membaik saat itu, suhu panasnya turun
walau belum bisa tidur. Namun, beberapa hari kemudian Ibu kembali demam parah,
dan kembali di bawa ke UGD. Kali ini Ibu diberi selang oksigen, dan lagi-lagi
diberi obat yang sama. Ibu tak kunjung membaik.
Akhirnya Ibu kami paksa bertemu kakaknya yang seorang
dokter (entah mengapa, Ibu selalu ogah-ogahan konsul ke kakaknya, padahal
kakaknya spesialis THT). Bahkan, teman bapak yang seorang dokter juga datang
menjenguk memeriksa Ibu, yang demikian Ibu skeptis terhadap obat yang
diberikannya, “Lagi-lagi antibiotik.” atau "Dia kan bukan ahli THT atau paru-paru." Katanya. Obat yang diberikan teman bapak
tidak diminum, dan kami kesulitan mendapat obat dari resep kakaknya Ibu (yang
kemudian ia bantu carikan, namun 3 hari rasanya lama sekali). Di jeda obat yang
nihil, Ibu dibawa ke tukang urut refleksi oleh kakaknya yang lain. Tukang urut
ini rasanya sesat, dan lagi, menyesatkan kami (terutama saya) bahwa penyakit
Ibu ada urusannya dengan lambung yang kupikir agak bias karena tidak berlandas uji lab dan kontrol pasca UGD kemarin, dan bahkan Ibu ditakuti-takuti
sang tukang urut bahwa antibiotik (dan segala obat yang lain) untuk dihentikan
pemakaiannya dan fokus pada pengobatan alternatifnya.
Demikian benar salahnya, Ibu tetap tak bisa tidur walau
obat antasid untuk maag sudah diberikan. Memang penyakit ibu mirip-mirip gejala
GERD (penyakit asam lambung), tapi setelah obat maag tidak berfungsi, saya
rasai ada kejanggalan. Obatpun di dapatkan dari kakak sang ibu, dan ibu
melanjutkan pemakaian obat yang berlangsung beberapa hari sampai antibiotik
habis. Di sini Ibu sudah mengalami peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya,
dia sudah bisa makan lahap, dan bahkan tidur. Saya menyarankan ibu kontrol ke
kakaknya persoalan antibiotik habis (yang dia tidak lakukan), sorenya ibu lagi-lagi
demam parah diikuti muntah-muntah, ini terakhir kami membawa ibu ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu. Tidak
percaya dengan rumah sakit sebelumnya, kita memutuskan untuk pergi ke RS Harum di
mana rumah sakit kakaknya ibu berada.
Di situ hasil rontgen menunjukan bahwa Ibu mengalami
infeksi berat dengan tanda radang di antara kedua paru-parunya (dan lucu, tidak ada apa-apa di lambungnya). Ibu
diperbolehkan pulang sebenarnya dengan obat paracetamol, obat pereda batuk dan
antibiotik plus rujukan ke dokter paru-paru pada hari senin (kami bawa dia hari sabtu lalu), tapi Ibu
berkali-kali menyatakan dirinya ingin dirawat inap karena berharap hal itu
mampu membuatnya baikan dan dokter juga kakak ibu yang mendengar itu akhirnya
merekomendasikan Ibu dirawat inap.
Di sini saya kembali ke fokus narasi saya, bahwa merawat orang
sakit itu sungguh melelahkan dan penuh dengan tekanan. Setiap hari mendengar
keluh kesah, marah, dan mood yang tidak enak. Setiap malam mendengar suara
batuk, muntah, dan tangis. Ada suatu malam saya memijati ibu saya, mengajaknya
bicara berpikir betapa membosankan dia mencoba tidur dengan posisi yang tidak
mengenakan itu (duduk sambil menekuk kepalanya kedepan yang diselipi bantal).
Dan terakhir, Ibu minta dirawat inap. Bapak awalnya meminta saya menemani ke
rumah sakit, dan betapa kagetnya saya dengan diri sendiri dan mungkin juga bapak bahwa saya yang
dari tadi menyuruh ibu ke rumah sakit juga salah satu yang merawatnya
(mengingat rahmat sedang sakit, kakak tidak pernah di rumah) memperlihatkan keengganan untuk menemani sang
Ibu.
Apa yang ada di kepala saya adalah timbunan rasa tidak
enak yang rasanya sudah tertimbun terlalu tinggi, saya menyalahkan perasaan tidak fit saya (yang benar saja, besoknya saya lagi-lagi terkena pilek). Lagi setelah saya
ikut, klimaks dari perasaan tidak enak saya muncul: Ibu memutuskan untuk rawat
inap. Di kepala saya, keputusan ibu terkesan dilebih-lebihkan, toh ibu akan
mendapati obat yang sama, hanya bedanya lewat infus saja, dia akan tetap kesulitan
tidur bahkan tidak akan bisa beraktivitas apa-apa untuk menghabisi kebosanan
yang bisa dilakukan dirumah, selebihnya adalah repot bagi keluarganya yang
menjenguk, membawa baju dan menemaninya di rumah sakit yang steril dari
definisi hidup, itu belum diikuti demand sang ibu untuk membawakan makanan atau sejenisnya yang barangkali mampu membawa kenikmatan dalam ruang steril itu (bisa saja dia menolaknya karena ternyata tidak seenak yang dipikirkannya, ibu saya begitu orangnya). Tidak ada yang
menurut saya menyehatkan dari ruang kamar rumah sakit, ruang-ruang yang penuh orang sakit, minim kehidupan, dan tentu saya bisa-bisa
sangat salah, toh ini prespektif yang sangat sempit bagi orang yang bukan pada
profesinya mengenai perawatan rumah sakit yang serba direct.
Saya menarik kembali kejadian ketika ibu patah tulang
setahun yang lalu dan menginap di rumah sakit menemaninya, betapa repot, bosan
dan melelahkannya. Rumah sakit dengan bau khasnya dan tentu, penuh dengan orang
sakit, adalah ruang kamar kecil di mana tempat tidur yang ideal adalah kursi
dan karpet di bawah lantai, lorong sempit, wc yang buruk juga sibuk. Jika saya
mengeluh juga, betapa durhakanya saya sebagai seorang anak. Saya merasa Guilty pleasure juga ketika pulang dari
rumah sakit, dan betapa leganya merasakan empuknya kasur kamar. Saya yang suka
bermanja pada sang Ibu, ternyata memiliki perasaan sayang yang setipis itu ketika ibu sedang susah,
pikir saya dulu dan akhirnya, sekarang.
Bapak ketika ibu sudah berada di kamar sakit kemudian
bertanya sekalian meminta, apa saya berniat menginap pada hari pertama, karena
Bapak butuh dokumen BPJS yang dia urusi agar ibu tidak membayar. Saya bilang ke
Bapak dalam perasaan ogah, mengatakan Iya, dia mampu membaca ekspresi saya yang ogah dan saya
benar-benar bukan orang yang mampu menyembunyikan ekspresi wajah sendiri. Bapak
memutuskan untuk tinggal sampai suster mengabarkan kita boleh tidak menemani
ibu, yang penting pagi sudah datang untuk kontrol dengan dokter. Saya dan bapak
pulang. Besok paginya, bapak berangkat sendirian ke rumah sakit membawa pakaian
dan lainnya.
Betapa bersalahnya saya pagi itu, merasa mengkhianati Ibu
dan ekspetasi Bapak. Hari yang sama, saya lagi-lagi memegang perasaan yang
sama, jauh-jauh dari yang namanya menginap menemani Ibu di Rumah Sakit. Rachmat ingin
tinggal dan saya mencoba untuk tidak tinggal, ruang sesempit itu hanya
memungkinkan satu orang untuk tinggal saya bilang. Bapak memutuskan untuk
tinggal dan saya juga Rachmat kembali ke rumah.
Pulang saya berpikir kenapa perasaan saya begitu tidak
tenang, dan saya kemudian mengingat The
Ballad of Narayama. Jika Ibu dan Bapak sudah tua, mereka sakit ataupun
sekedar tua yang sudah pikun, ngompol, sifatnya mulai kekanak-kanakan yang
kerjaannya mengeluh dan mengeluh, apa perasaan yang seperti ini akan muncul?
Apa saya akan seperti anak dalam kisah lama itu, anak yang tidak tahu namanya
berbakti, anak durhaka, dan lupa akan kebaikan ibu dan bapak yang dahulu
merawat kita yang tak lain, adalah yang mengompol,
kekanak-kanakan, dan mengeluh (dengan teriakan tangis pada waktu malam, ketika
mereka sedang terlelap-lelapnya) ?
Saya benar-benar merasa bersalah hari ini, dan semoga
saya bisa merefleksi diri lewat tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar