Sabtu, 02 Januari 2016

Cerpen : Gunung Kawi

Gunung Kawi
by Reza Pratama Nugraha

Panas, dan kering. Musim kemarau di bekasi telah menyentuh suhu 39 derajat celcius, mungkin hampir setengahnya dari titik didih, kondisi ini diperburuk oleh sedikitnya pohon di komplek perumahan, seakan-akan kota ini telanjang dihadapan matahari yang gagah perkasa. Dalam kondisi dimana udara terlihat meliuk-liuk di atas aspal panas, ratusan motor dan mobil masih saling memenuhi jalan, dengan asap yang mengepul, klakson yang berbunyi, dan ejekan sumpah serapah yang keluar dari mulut pengendara. Mereka saling berkumpul membentuk barisan yang berantakan, kadang diantaranya memasuki trotoar tempat orang berjalan kaki, berjalan dengan ritme yang sangat lambat.

Saat itu orang-orang mengelus kepalanya dengan sapu tangan, keringat keluar dari ketiak mereka membekas warna kuning. Terutama orang ini, yang berteriak dari pagi memanggil namaku di depan pagar. Pak Tumpal namanya. Dia menggunakan jas hitam, dalaman putih berdasi. Memegang tas di tangan kirinya, helm di tangan kanannya. Dia penagih hutang yang tak kunjung kubayar, dan ini adalah kelima kalinya dia datang kesini. Aku sudah tebal muka dengan tetangga, istriku selalu mengeluh tentang omongan mereka kepada kami, tapi tetap kenyataannya memang bahwa kita tidak bisa membayarnya, mau bagaimana lagi?

“Bapak Rian! Buka pintunya bapak Rian! Kita selesaikan ini baik-baik!!”

Selesaikan baik-baik? Apa kita ingin berantem?

“Pah, papah!”

Anakku saat itu menarik bajuku yang kini tengah mengintip lewat gorden jendela.

“Tadi mas itu ngomong sesuatu loh pah, pas papah lagi di kamar mandi..”

Ketika aku mendengarnya, kuperhatikan bahwa terdapat air mata yang membekas di mata Ria. Sesuatu pasti telah terjadi padanya, pasti karena Pak Tumpal sialan di depan pagar tersebut, walau mungkin ini salahku juga karena Ria yang selalu kusuruh untuk berbicara dengan bapak itu di depan, berbohong bahwa aku sedang pergi bekerja, tapi jelas mengintrogasi anak-anak apalagi membentak memang sudah keterlaluan.

“Kamu nangis karena mas-mas itu? Masnya ngomong apa tadi?”

“Kaget pah, aku diteriakin, terus..terus..”

Aku tersenyum, berjongkok dan mengelus rambutnya yang ikal, walau rasanya ironis diriku melakukan ini, seperti peduli dan akan segera memarahi pria tersebut ketika Ria akan mengatakan alasannya menangis, namun kenyataannya aku takkan melakukan apapun. Aku nyatanya terlalu takut pada pria yang berada di depan itu, yang badannya lebih besar dari pagar kecilku, yang tangannya sudah mengepal keras untuk memukul jika saja aku bersikeras untuk tidak membayarnya.

“Tadi dia ngatain papah, ngen...”

Aku langsung menutup mulut Ria. Bangsat, kata ‘ngentot’ jelas terlalu keras untuk anak kecil, walau dia tidak tahu arti atau bayangan dari kata tersebut, tapi ini keterlaluan!

“Itu.. kata-kata yang gak bagus, kamu jangan ngucapin itu di depan orang yah.”

Saat itu Ria mengangguk, menjauhiku bermain dengan adik-adiknya.

Ketika Ria sudah pergi, tak bisa kutahan lagi. Wajahku segera memerah, ekspresi marah dan gemas tidak bisa kutahan-tahan lagi, kukepal jari ini erat-erat, dan..dan..ah.. kutarik kata-kataku, tetap rasanya aku yang akan kalah. Kubayangkan diriku menarik kerahnya, memarahinya sebelum kepalan tangannya mengenai mukaku, membuatku bonyok di depan anak-anakku. Ya, tentu saja, aku tidak melakukan hal tersebut karena takut Ria dan adik-adiknya menyaksikan hal memalukan tersebut lalu trauma karenanya. Oh Ria, aku melakukan ini semata-mata hanya untuk dirimu.

“...”

Aku akhirnya hanya bisa menghela nafas, mengikhlaskannya, dan pria tersebut masih berteriak keras, sesekali dia mengelap keringatnya, lalu berteriak kembali sampai akhirnya suara teriakan tersebut menghilang.

“...?”

Aku segera mengintip lagi, dan ternyata pria tersebut meloncati pagar! Dia terjatuh, namun kembali berdiri lagi. Kini dia mengetuk pintu depanku, dan usahanya kali ini bisa saja kutuntut ke pengadilan dengan alasan memasuki properti orang lain dengan paksa. Walau demikian tentu saja sih aku takkan melakukannya, apalagi nanti malah diriku yang dituntut balik karena tidak bayar hutang sesuai perjanjian kontrak yang ditandatangani di atas materai.

Saat itu orang-orang mulai berkumpul melihat pertunjukan ini. Aku kembali mengintip dan ternyata si penagih hutang juga sedang berusaha mengintip kaca rumahku, jantungku langsung copot bertatap langsung dengannya! Wajahnya saat itu seketika memerah marah, dan dia semakin menjadi-jadi berteriak.

“Saya tahu anda disana! Keluar sekarang juga bapak Rian!!”

Aku menghela nafas kembali, kulihat anak-anakku ketakutan sambil menutup kuping mereka. Aku akhirnya membuka pintu tersebut dengan perasaan enggan. Saat itu dia tanpa kupersilahkan, segera duduk di kursi panjang di ruang tamu sambil menyeka keringatnya. Ruangan seketika bau amis, mungkin dari ketiaknya. Anak-anak segera berlari sambil menjempit hidungnya, dan kukatakan pada mereka bahwa itu tidak sopan. Ria kusuruh buat minuman.

“Saya sudah kenal bapak loh, udah lima kali saya kesini. Kenapa bapak masih gak mau buka pintu buat saya?!”

Dia mengelus keringatnya kembali. Aku hanya diam menunduk, ingin jawab pergi tapi jelas dia tahu itu semua bohong. Saat itu Ria dengan cepat sudah selesai membuat kopi, dibuatnya dua untukku dan Pak Tumpal ini, lalu atmosfir kelam ini seketika luntur dengan senyum Pak Tumpal yang baru mengucapkan kata ‘itu’ ke anakku, dia mungkin lupa atau keceplosan lalu tidak diambil dalam hati. Dielus-elusnya rambut anakku dan dibalasnya dengan ucapan terima kasih. Aku masih diam juga, dan akhirnya dia memutuskan untuk segera meminum kopi tersebut, dan reaksinya mengatakan bahwa kopi tersebut masih sangat panas untuk diminum. Kini dia meniupkannya sedikit, dan dengan sedikit-sedikit meminumnya. Dia masih menunggu jawabanku.

“Bunganya terlalu besar untuk kali ini, saya pinjam lima juta, terus jadi delapan, sekarang sudah lima belas juta saja.” Aku akhirnya menjawab, takut-takut langsung kubahas saja permasalahan utamanya, kini aku yang bertaburan keringat.

Pak Tumpal ini segera menghela nafas mendengarku bicara. Dia saat itu juga langsung membuka buku catatannya yang lebar, dengan barisan nama-nama juga angka-angka.

“Jika bapak masih gak mau bayar juga, mungkin hutang bapak bisa berlipat sampai..”

Dia menghitung, kertas catatannya ia pakai sebagai coret-coretan, tidak peduli dengan betapa rapihnya dia menyusun daftar hutang orang-orang yang terlihat banyak juga ia coret, dan ia gantikan dengan angka baru, angka yang nol berlebih satu setiap beberapa bulannya.

“Tiga puluh juta.”

“Gila!”

Dia berkata bahwa ini sudah kesepakatan awal yang kuterima, tapi tak kusangka bisa sampai menembus angka tersebut. Aku jelas tidak benar-benar membaca kesepakatan, asal tanda tangan untuk dapat duit segera, tapi bisa jadi juga aku terjebak dalam penipuan, seperti bisa saja ketentuan ini ditulis kecil-kecil hingga terlewat dan tidak terbaca. Tapi kalo ditanya lagi ini salah siapa, jelas ini salahku seratus persen.

“Bapak bisa nyicil, saya bisa ngaturnya.”

“Nyicil? Sebesar itu bunganya, ini mah bisa nyicil seumur hidup, gila!”

Aku berdiri, kugebrak meja, saat ini aku jelas tidak bisa menahan sopan santunku lagi, ini sudah diluar batas nalarku. Sudah berapa banyak yang terjebak penipuan hutang berbunga seperti ini?

“Yah gini aja deh pak.”

Dia mengeluarkan koreknya, memantikan api ke rokok yang kini berada di bibirnya. Saat itu dia menghempaskan asapnya ke wajahku hingga dibuatnya diriku terbatuk-batuk olehnya.

“Terserah bapak, pokoknya hutang ini harus dibayar, dan jika bapak masih nggak mau bayar juga, jangan salahkan saya jika terjadi apa-apa dengan bapak.”

Nadanya keluar mengancam, matanya menatapku tajam. Saat itu kupikir tak perlu pukulan atau cubit segala, hanya lewat tatapnya saja dia seakan sudah mampu menusuk kalbuku, mengancam hingga bulu kudukku dibuatnya berdiri. Saat itu keringatku dibuatnya keluar dengan deras, bajuku basah seperti lari marathon di tengah terik-terik panas ini, jika saja bekasi telanjang oleh bara api matahari, aku juga, oleh mata dan suaranya yang berat mengam, mungkin bau asam dari ketiaknya juga. Mungkin seharusnya kipas kunyalakan saja.

Saat itu suasana diam sesaat, pak Tumpal kembali bersender di kursinya, dan aku hanya bisa menelan ludahku, tiba-tiba kepalaku pusing, aku baru ingat ada kopi di depan meja. Ah, ayo, katakan sesuatu, katakan sesuatu!

“Bapak ngancam?”

Dia tertawa mendengar ucapanku yang dihasilkan dari keberanian yang kukumpulkan. Nadaku yang seharusnya marah menjadi seperti emprit, takluk oleh grogiku, juga makananku sejak pagi yang rasanya ingin kumuntahkan saja sekarang.

“Yah, tau sendiri lah gimana kita debt collector ngejalanin tugas. Mungkin besok boss saya gak ngirim saya lagi kesini, orang lain yang lebih kompeten untuk bisa ngeyakinin bapak untuk dapetin duit.”

Aku kehabisan kata-kata. Setelah di phk dan belum mendapatkan pekerjaan, penghasilanku tidak menentu. Semuanya dihasilkan dari istriku yang bekerja di bidan, namun itupun habis demi pendidikan anak-anak dan juga biaya makan. Berbagai cara kucoba pikirkan, meminjam ke kakak? Mertua? Teman? Aku sudah melakukan itu semua, dan bahkan hutang mereka belum kubayar hingga saat ini.

“Begini, bapak pikir gimana saya bisa cari duit? Saya sendiri hutang loh ke intansi bapak, yah karena gak ada uang! Saya mohon pak, pertama saya tidak berpenghasilan, anak saya juga butuh duit buat sekolah dan bapak tau sendiri sekolah makin mahal sekarang kan? Beras juga? Bensin? Istri saya di bidan penghasilannya gak banyak pula. Ayolah pak, coba pahami keadaan kami.”

Aku menyerah! Aku hanya bisa memberi alasan rasional, meminta belas kasihan.

“Saya bilang terserah bapak, jual televisi kek, jual motor kek, atau bapak sekalian saja jadi pesugihan kek, saya gak peduli.”

Pak Tumpal ini segera mengambil bukunya, menyimpannya dalam tas, dan keluar dari pintu. Akhirnya tidak ada yang diselesaikan kecuali memberiku ancaman, dan saran persuasif untuk membayar hutang. Melihat Pak Tumpal ini pergi, Ria segera menyalami tangannya, dan dielusnya lagi kepala Ria dan diselipi uang 5000, katanya untuk uang jajan. Saat itu Ria segera menatapku bingung, diberinya aku handuk, ditanyanya aku apa ada hujan barusan, atau ada hujan di ruang tamu ini? Kubilang ya, ada badai lewat barusan dan kini masih terus berlangsung di kepalaku, keringatku tak juga turut berhenti walau bapak-bapak itu sudah melewati pagar, hilang bersama asap-asap kendaraan dan udara yang meliuk-liuk.

***

Aku duduk di atas ranjang saat istriku sedang mengganti seragam bidannya ke baju dasternya. Dia tahu bahwa diriku akan berkata masalah tentang hutang lagi, hal yang selalu menjadi sumber perkelahian kita. Semenjak menikah seakan masalah itu terus yang menganggu rumah tangga kami, dan diperparah ketika diriku di-PHK.

Kalau dipikir lagi, hutang kita selalu berkaitan dengan barang-barang yang diinginkan istriku ini, terutama saat aku tidak bisa langsung membayarnya, LCD, AC, Kulkas, dan sebagainya. Mungkin bisa dibilang, miskin-miskin seperti ini kita ingin tetap dianggap setara dengan warga-warga kota walau kita ini tinggal di kampungnya kota, dan aku kadang menyetujuinya, aku merasa aneh jika melihat mitra kerjaku memiliki laptop dan kami tidak, tapi pada kenyataannya tidak ada di antara kami yang butuh, aku bahkan tidak mengerti cara menulis di Ms. Word, ataupun bermain solitaire. Lalu lihat kini, kita terjebak hutang, kredit, semata-mata demi barang yang kita tidak butuhkan sama sekali, apa sesungguhnya kita butuh AC ketika kipas saja ada? LCD ketika tv tabung belum juga rusak? Ini mungkin yang di televisi atau koran disebut sebagai sifat konsumtif, atau entah namanya, hedonist mungkin, dan nyatanya memang produk-produk di televisi itu selalu menjadi candu di antara kita, agar dibilang masyarakat modern, orang kota. Selepas PHK-pun sama saja, tidak ada yang sama sekali berubah, seakan rutinitas, kebutuhan untuk keberlangsungan hidup, dan satu-satunya cara untuk memenuhi persyaratan hidup ini adalah dengan hutang dan mencicilnya lewat gaji kecil istriku.

“Jadi gimana pak?”

Kali ini akhirnya dia yang memulai duluan. Istriku kini duduk di sebelahku. Rambutnya hitam dikuncir, matanya terlihat berkantung, lelah karena bekerja dari subuh hingga magrib, lalu langsung disambut dengan masalah hutang piutang. Rutinitas sih baginya masalah hutang piutang ini bukan pertama kalinya, tapi mungkin terparah. Tapi lihat, memang seperti narkoba persoalan ini, sudah kelihatan efeknya tapi tetep candu, dan aku tidak yakin dia bisa mendengar 30 juta keluar dari mulutku. Kujawab seadanya, sepantasnya, aku tidak ingin membuatnya kena penyakit stroke mendadak gara-gara ini.

“Yah, dia bilang hutangnya bisa berlipat lagi. Kalo kita tetep gak bayar nanti, yah, dia nyerah. Bilang kalo bakalan ada orang lain yang ngurusin kita, lebih tega katanya..”

“Yah kalo dia ngelakuin apa-apa sama bapak, tinggal kita lapor.”

Dia menjawabnya ringan, memang ada beberapa kasus yang masuk televisi soal penyiksaan dari debt collector yang dikirim dari bank, tapi pertanyaan sesungguhnya adalah apa dia mau aku diapa-apakan (kan yang ditelevisi, kalo tidak salah, sampe mati), dan apakah aku juga punya nyali untuk melapornya?

“Gak gitu mah, maksudku kita harus cari duit.”

Aku akhirnya segera menjawab langsung ke intinya, walau jelas intinya tentang keselamatanku sendiri.

“Gimana? Masih ada yang bisa dihutangin? Bapak mau hutang lagi?!”

Ah, mulai lagi, kini aku yang mulai tersinggung. Nadanya terdengar menyebalkan, sangat menjengkelkan, seakan aku yang dia tuduh satu-satunya biang kerok disini.

“Terserah mamah lah, aku udah capek berantem soal ginian.”

Aku akhirnya menyerah berbicara dengannya, membaringkan badanku, dan tiba-tiba istriku berucap nama suatu wilayah.

“Gunung Kawi pak.”

“Apa?”

Aku kembali memberdirikan tubuhku, berusaha mencerna apa yang istriku katakan.

“Gunung Kawi, tadi aku denger ibu-ibu ngomongin itu.”

“Kenapa gunung Kawi? Dimana itu?”

Istriku melotot ternganga, tidak percaya bahwa aku sama sekali tidak tahu menahu soal gunung ini. Dia seakan menyatakan gunung ini sama terkenalnya dengan gunung merapi dan gunung sumeru, dan aku serius menyatakan bahwa aku tidak pernah mendengar sama sekali perihal gunung ini.

“Malang, Wonosari. Aduh bapak kok gak tahu, tempatnya tuh terkenal banget. Kata ibu-ibu, bisnis suami mereka pada sukses habis ke sana, rejeki ngalir. Tahu ibu Somad? Duh, itu ibu jujur banget, katanya anaknya sukses gara-gara dia bawa kesana.”

Pikiranku langsung tertuju pada ucapan bapak penagih hutang tersebut, ‘sugih’, bahwa hasil uangku berasal dari yang gaib-gaib.

“Kamu serius?”

“Serius. Aku telpon saudaraku biar dia beliin tiket sama kamu bisa tinggal bentar disana. Anak-anak sekalian deh kamu bawa pergi, sekalian liburan, daripada kerjaannya cuman nonton tv dirumah.”

Istriku menjawab mantap, dan aku tak bisa melawannya. Dia segera pergi menuju handphone galaxy S5nya di tas, dan aku hanya duduk pasrah di ranjang ini, membaringkan tubuhku kembali, berpikir bahwa siapa tahu benar, pokoknya apapun demi hutang ini terbayar.

***

“Ke Gunung Kawi? Aduh masnya gimana.. Harusnya hari jumat legi, atau enggak tanggal 12 bulan suro. Kurang manjur kalo sekarang.”

Ucap saudara istriku, bang Ucok. Rambutnya dibelah dua, memakai baju kotor baru dari kebun, terlihat udik sekali. Dia sesekali mengeluarkan senyumnya, dan terlihat gigi dua depannya yang dihiasi emas. Disini dia sukses sekali, tanah beratus-ratus hektar miliknya dan dibuatnya kebun buah, teh, dan sebagainya. Dia punya tiga mobil, satu buat dia, satu anaknya, dan satu untuk istrinya.

“Ini mobil, saya dapet pas kejatuhan Daun Dewandaru. Wah bapak pokoknya harus ada di bawah pohon itu, terus kejar tuh daun, jangan sampe kedahuluan orang lain.”

Ucok menunjuki mobilnya, mobil jeep yang kini ia kemudikan. Anak-anak aku titipkan di rumahnya, takut hilang ketika bermain di gunung tersebut, apalagi dengar-dengar tempatnya angker. Aku melanjutkan kembali pembicaraan kita, menanyakan yang tak habis pikir di pikiranku.

“Dikejar? Banyak yang rebutan gitu?”

“Banyak pak, duh, saya malah pernah lihat itu daun jatuh di atas cewek, bisa digrepe-grepe pas ngerebutin daunnya!”

Ucok menunjukan tangannya seakan dia meremas-remas sesuatu.

“Yeh bapak, itu mah cari kesempatan. Terus tuh cewek teriak minta tolong?”

“Yah enggak, dia juga pengen daunnya. Gak ada yang dapet, katanya di jepit di selangkangannya. Tahu gitu, besok-besok katanya mereka ngecek sampe selangkangan, gila!”

Kupastikan momen daun itu jatuh pasti bukan momen yang baik. Orang udik, mistik, dan kerakusan, oh juga nafsu. Pikir-pikir lagi kudengar tempatnya di makam, tokoh agama, dan bagaimana rasanya jika dia masih hidup, melihat orang-orang ini melakukan hal tersebut di tempat peristirahatannya yang terakhir? Bahwa orang-orang yang ingin dia bawa menuju pencerahan, malah makin parah butanya, jatuh ke dalam kegelapan, orang-orang yang seperti aku ini, yang juga tertarik. Ah, kupikir percuma saja kupikirkan ini, orang disebelahku buktinya kan, berarti sudah restu tuhan, restu si pak kiai juga yang sudah meninggal, bahwa semua ini baik-baik saja, halal.

Lepas dari lamunanku, Ucok mulai menceritakan soal dirinya diantara liuk-liuk jalan menuju gunung kawi, tentang bisnis barunya, anaknya yang kini sedang keranjingan koleksi mobil kuno, lalu buah-buahnya sangat rimbun dan laku. Saat tahu diriku mau ke gunung kawi, dia juga ingin berkunjung, biar makin panen kebunnya, yang kupikir terdengar maruk sekali.

“Sudah sampai pak.”

“Oh ini gunung kawi?”

Sudah sampai, dan tidak kutemukan perasaan mempesona sama sekali, ekspresiku datar, jauh dari ekspetasiku tentang gunung slamet yang kukunjungi semasa kuliah, atau gunung merapi semasa liburan keluarga.

Gunung kawi bukanlah gunung yang indah, hanya 2000 meter tingginya. Pohon-pohonnya tidak tinggi maupun beragam, dan sudah banyak pemukiman masyarakat, menghilangkan keasrian hutan di gunung kawi ini. Walau demikian gunung kawi ini di datangi banyak sekali pengunjung, bahkan ketika bukan pada hari utama. Saat sampai, terpampang tulisan ‘Tempat wisata Gunung Kawi’, dengan tempat parkir luas dan mobil-mobil luar biasa bagus, Audi, Merci, BMW, dan sejenisnya. Ucok bilang bahwa Mentri, DPR, Calon Presiden, dan politikus-politikus sering berkunjung kesini, bahkan sampai Suharto sendiri, yang katanya butuh restu eyang jago untuk jadi raja jawa, kalah nyi roro kidul sama eyang jago ini. Katanya lebih baik kita langsung ke makam Eyang Jugo, tempat sumber rejeki kami.

Kita menaiki tangga-tangga yang telah dirawat dengan baik, terdapat tiang lampu yang cantik berjejer di tangga tersebut, dan gerbang yang menunjukan tempat padepokan. Di atas gerbangnya terdapat papan bertuliskan arab, juga terdapat ukiran-ukiran pada batu di antara kedua sisi gerbang, coraknya adalah khas orang-orang tionghoa. Mungkin kalau diperhatikan lagi, memang banyak sekali ornamen tionghoa di gunung kawi ini. Saat aku bertanya perihal ini, kata Ucok memang disini merupakan tempat tinggal warga tionghoa, dan juga tempat wisata utama warga tionghoa karena kebanyakan dari mereka yang percaya dengan keberuntungan. Kalo kita makan, tak jarang bakalan ketemu dengan warung sate babi, dan jajanan tidak halal lainnya.

“Dikit yang islam, tapi sembhayang di depan makam imam. Toh demi kaya, pindah agama beberapa menit juga gak apa menurut mereka..”

Aku tertawa mendengar ucapan Ucok. Berbicara ironi soal kemurtadan demi kaya, tapi tidak sadar bahwa kita ini juga ironi, bahkan menari-nari di atasnya. Aku yang ingin lepas dari hutang, dan dirinya ingin jadi lebih kaya.

Kita melanjutkan berjalan hingga sampai pada di depan rumah padepokan Eyang Sujo. Suasana disini nyaman, dingin tidak seperti di bekasi, dan angin nikmat sesekali melewati leherku. Padepokan Eyang Sujo khas dengan rumah yang kesannya daerah sekali, genteng segitiga bertumpuk, dan dominan dengan kayu. Tangganya putih terang karena bertatapan langsung dengan matahari. Disana terdapat orang yang berdiri menggunakan peci, matanya sipit, langsung menyambut kami.

“Bapak mau selamatan?” Ucapnya.

Aku langsung bertanya pada Ucok, dan dia berkata bahwa mereka adalah warga sini yang membentuk Yayasan Gunung Kawi. Selamatan tersebut katanya adalah ritual agar mendapatkan rezeki. Aku langsung bertanya pada orang tersebut untuk informasi lebih lanjut, karena Ucok bilang sudah agak lupa juga soal ini.

“Maaf pak, numpang nanya, Selametan disini maksudnya yang seperti apa yah?”

“Oh, hatur nuhun pak, nanti bapak siapin barang untuk sesajen, lalu bapak ikutin paket ritual kita, ada yang pukul sepuluh siang, jam tiga sore, dan pukul sembilan malam. Nanti ritualnya dipimpin tukang doa pake sesajen bapak. Kalo bapak mau ikut, silahkan bapak ikut saya ke loket, daftar dulu.”

Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Paket? Loket? Daftar dulu? Bayar berarti? Seakan acara ritual ini seperti sudah dimodernisasi saja. Orang tersebut berkata bahwa terdapat tempat yang menjual barang-barang yang biasanya umum dijadikan selametan, tetapi Ucok berkata bahwa dia sudah menyiapkan barang yang diperlukan, sesuai dengan uang yang kuberikan padanya sehingga diriku tak perlu beli lagi dari warga sekitar yang katanya mahal sekali.

Kita berjalan, mendaftar jam tiga sore, karena kebetulan sudah dekat-dekat jam segitu. Disana aku bisa melihat terdapat orang yang membawa kambing, dan sapi. Aku segera berbisik pada Ucok, karena yang dia sediakan untukku hanyalah sembako, seperti beras dan minyak. Ucok juga membawa ayam saat itu untuk dirinya sendiri.

“Ini gak apa sesajennya ini saja? Memang tuhan atau Eyang Jugo mau nyayur?”

“Yah, kalo mau bagus sih kambing hitam, tapi yang disediain masyarakat harganya semotor, mahal banget. Semakin besar harganya atau semakin langka katanya bakal lebih manjur. Tapi yah..”

Dia menatap bawaanku, tatapnya memperlihatkan rasa kasihan.

“Sembako juga lagi langka sekarang.”

Kepalaku langsung meledak marah, bahkan sampai lepas plastik sembako dari tanganku. Aku segera lupa diri dan mengutuknya jika saja uang yang kukeluarkan demi sembako ini bakal sia-sia.

“Pasti ada efeknya, pasti kok..” Ucapnya lirih, sambil mengambil plastikku, dia saja yang bawa katanya.

Sambil menunggu, Ucok mengajakku ke makam imam-imam disini. Ketika masuk, seorang satpam menyetop kami, menyuruh kami memberikan KTP kami, dan menyerahkan alamat rumah kami. Aku bertanya untuk apa, tapi mereka hanya berkata formalitas keamanan disini. Setelah itu kita dimintai harga masuk, lima belas ribu rupiah, dan belum cukup juga, si satpam meminta uang suka rela juga untuk mengurusi banyak hal, membuat kami keluar kocek sepuluh ribuan lagi.

Masuk ke dalam padepokan, Ucok langsung mengajakku ke antrean yang berujung pada dua guci kuno. Katanya minum air yang berasal dari guci tersebut akan membuat awet muda. Aku meminumnya, dan terasa segar sekali. Aku bertanya-tanya apakah karena air ini memang ajaib sehingga diriku merasakan kesegaran yang meliputi seluruh tubuhku, atau hanya karena memang air ini berasal dari mata air pegunungan. Kata Ucok lebih baik aku percaya versi air sakti saja, lebih manjur jika percaya katanya, mungkin mirip seperti propolis, atau produk-produk MLM lainnya, kalau tidak percaya yah percuma, mungkin karena itu aku lebih senang resep dokter saja, tidak perlu percayapun sudah ada efeknya.

Lalu kita masuk dalam ruang makam. Setelah mengantri lama, kita mengikuti orang-orang kebanyakan, berjalan mengelilingi makam, lalu bertekuk berdoa. Sambil berdoa akan keselamatan, aku juga meminta keinginan untuk mendapat rejeki melimpah. Di dalam terdapat dua makam, dengan kain putih sebagai gorden sedikit menutupi dua makam tersebut. Tertulis Eyang Jugo dan Eyang Sujo di makam mereka masing-masing. Lampu pijar menyinari kedua makam tersebut, sekaligus menciptakan suasana mistis di tempat yang redup ini. Banyak bunga-bunga kemangi, kenanga, dan jenis-jenis bunga sesajen yang diletakan di depan makam. Tali tambang di ikatkan pada atas makam, dan terdapat reliku kayu di bawah makam tersebut.

Aku segera mengucapkan doaku, cepat-cepat karena dibelakang sudah banyak yang mengantri. Saat itu Ucok menyatukan tangannya sambil menunduk, meletakan tangannya di atas kepalanya, lalu mulutnya komat-kamit dengan cepat dalam suara bisik. Kalau tidak salah, memang cara doa inilah yang dilakukan semua pengunjung, cara doa seperti di kelenteng. Aku bingung untuk mengikuti cara doa mana yang benar, namun akhirnya aku hanya menggunakan cara berdoa yang biasa saja.

“Mau ke pohon Dewandaru?” Ucapnya setelah berdoa.

Aku melihat jamku, masih tiga puluh menit lagi.

“Ayolah.”

Kami lalu berjalan menuju pohon dewandaru, tidak jauh dari tempat makam, berada di daerah pasarean tepat di depan padepokan, dan kemudian kami duduk dibawahnya bersama banyak orang yang duduk sambil melihat jam. Angin berhembus kencang karena cuaca yang kini mendung, dan dahan pohon ini meliuk-liuk mengikuti kencangnya angin, namun tak satupun daun yang jatuh. Kutanya bagaimana kalo dipetik saja, tapi Ucok bilang tidak akan ada efeknya. Aku kemudian hanya bisa menikmati semilir angin dan udara sejuk, sejenak hampir lupa soal hutangku, mungkin yang kulakukan mirip-mirip dengan orang disini yang juga berasal dari kota luar dan punya masalahnya masing-masing. Ingin kaya, atau butuh uang untuk kuliahin anak, atau juga buat bisnis yang hampir bangkrut, sudah benar-benar putus asa hingga percaya suatu pohon bisa mengubah hidup mereka.

“Shian-to”

Ucok membangunkanku dalam renungan.

“Apa?”

“Orang tionghoa sebut pohon ini Shian-to, pohon dewa.”

Apa yang kulihat adalah pohon cemere belanda yang di tertanam di antara ubin putih juga dipagari kawat yang dicat putih. Ucok kembali mengingatkan jika ada daun jatuh harus cepat-cepat disembunyikan, lalu bungkus pada uang dan ditaruh di dompet. Katanya dari segala ritual dengan proses yang panjang, pohon dewandaru yang paling berefek pada rejeki kita.

“Biasanya sampe kapan ini nunggu?”

Aku menatap jamku, sudah beberapa menit lagi hingga acara selametan di selanggarakan.

“Yah kalo hoki sekarang, mungkin berhari-hari, mungkin bertahun-tahun.”

Aku langsung menekuk mukaku, jika peruntungannya demikian tentu saja bahwa hal ini buang-buang waktu, atau setidaknya aku menginap, dan tidak mungkin kulakukan karena waktu akhir bayar hutang sudah dekat. Kini aku hanya bisa berharap sembako yang harusnya kusumbangkan pada orang miskin ini mau diterima eyang jugo, yang sesungguhnya sudah kaya dengan kambing dan ayam, dan mungkin butuh minyak untuk menggoreng, atau sayur untuk lalap, entahlah. Jelasnya kini waktu alarmku berbunyi, waktu upacara sudah mau dimulai dan kami langsung berdiri dengan orang-orang lain yang duduk di bawah pohon, berlari menuju tempat upacara.

Sampai disana sudah ramai orang-orang yang menunggu, lalu disuruhnya kami meletakan segala hal sesembahan di lapangan tepatnya di depan tungku yang berhadapan dengan hutan, sedangkan yang membawa hewan sesembahan disuruh bersiap-siap, mereka disuruh berada di baris depan, prioritas pikirku, dan ucok menarikku biar bisa melihat katanya. Sang pendoa lalu datang, berpakaian hitam, lebih mirip dukun daripada priayi, memantikan serbuk-serbuk pada tungku kecil. Sang dukun membaca berdoa, komat-kamit, kupikir bahasa jawa bukan arab. Dia melepaskan sesuatu pada tangannya, membuat percikan api di tungku kecil tersebut. Kambing dan sapi lalu disuruh dilepaskan dari talinya, dan mereka berjalan secara berirama ke hutan.

“Di kembalikan ke alam, bentuk penghormatan ke alam” Ucap ucok berbisik.

Saat itu aku tahu bahwa hutan ini tidak besar juga, bisa-bisa kambing dan sapi ini berkunjung ke rumah warga, atau mungkin sudah ada yang menunggu di dalam hutan.

“Serius ini gak diambilin warga?”

“Enggak lah, kualat tahu, kualat!”

“Terus barang-barang yang bukan hewan ini mau diapain? Dibuang ke hutan? Dibakar? Disumbangin?”

Dia cuman bilang jika aku tidak percaya dan apalagi membuatnya tidak percaya, efek ritual ini akan hilang, dan setelah itu dia enggan berbicara padaku lagi. Saat itu kita disuruh berdoa bersama setelah itu dipimpin oleh dukun tersebut (aku kini hanya ingin menyebutnya dukun), sampai pada akhirnya doa sang dukun berhenti ketika sebuah cahaya flash keluar dari kamera seseorang.

“Hei!”

Tiba-tiba suara orang berteriak, menepuk kamera itu jatuh.

“Tidak boleh memotret!”

“Lah saya bayar kesini! Waduh..”

Pria itu melihat ke tanah, lensa besarnya yang bertuliskan nikon pecah. Aku ingat, harganya mahal sekali, 12 juta mungkin satu kameranya kulihat di situs jual beli. Hobby yang mahal, mungkin dia kesini untuk bisa beli satu lagi.

Tiba-tiba sang dukun bermuka masam. Ia segera berjalan ke arah para pendoa, meminta mereka membukakan jalan.

“Ritualnya gimana pak?” Salah satu asisten bertanya, bisik-bisik, tapi kami dengar.

“Tidak jadi! Salahkan orang tidak sopan tersebut, suasana hati saya jadi suram sekarang. Pendoa harus suci, tidak boleh kotor pikirannya. Besok lagi datangnya, saya ingin meditasi dulu.”

Aku hanya melongo tidak percaya, sama dengan Ucok. Bagaimana bisa seenak jidat si pemimpin doa melakukan hal tersebut! Saat itu orang-orang mengeremuni si pria berkamera, dan aku menarik Ucok yang sepertinya juga emosi pada laki-laki tersebut.

“Dikira harga ayam murah apa! Sialan! Buangsaaatt!!”

“Udah Cok, kita istirahat di depan pohon Dewandaru.”

Aku berusaha menenangkannya, padahal hatiku mungkin lebih muram daripadanya. Aku jauh-jauh dari bekasi ke sini, dan hanya mendapatkan kekecewaan. Uangku juga sudah habis buat sesajen, dan kini pikiranku adalah bagaimana memberi alasan pada istriku yang menunggu kabar kesuksesanku di sini, yang nyatanya nihil sama sekali.

Lalu aku dan ucok duduk dibawah pohon, dan rasa kantuk menyertaiku. Aku lalu tertidur sebentar, setidaknya cukup untuk membuatku fokus di jalan saat menggantikan Ucok mengemudi.

***

“Awakmu arep sugih?”

Seseorang mengucapkan bahasa jawa padaku yang kupikir bertanya jika aku ingin jadi kaya. Dia menggunakan baju hitam, seperti pakaian jaman belanda. Mukanya tidak terlihat selain asap yang keluar dari lehernya. Tongkat besar dipegangnya, berwarna emas berukir naga. Dia berjalan mondar-mandir mengucapkan sesuatu padaku, aku tidak paham, jawa kromo. Aku melihat sekitarku saat itu, diriku seperti berada di dalam padepokan, namun tanpa kedua makam tersebut. Bau manis dupa mengelilingiku saat itu, bercampur dengan bau sesajen bebungaan.

“Aku mehjupo anakmu.”

Dia menunjuk sesuatu padaku sambil mengucapkannya, dia berkata tentang anakku.

Lalu dia menghilang, begitu saja.

***

“Mas Rian!”

Ucok berkata dengan semangat sambil menggoyangkan tubuhku, dia kini terlihat sangat gembira seperti lupa masalah yang baru saja menerpa.

“Daun Dewandaru!”

Dia menunjukan daun padaku, namun langsung menutup mulutnya dan melirik ke kiri dan ke kanan takut jika ada orang yang mendengarnya.

“Ada di kepala mas tadi jatuh. Aduh, beruntung saya tadi lihat, kalo ketahuan orang bisa dicuri.”

Dia mengucapkan hal tersebut sambil menaruhnya ke tanganku, membuatku mengepalkannya.

“Uang mas dibungkus pake ini, taruh di dompet. Insyaallah, rejeki ngalir mas! Rejeki numpuk!”

Aku terdiam sebentar, lalu tiba-tiba senyum keluar dari mulutku, ternyata diam-diam aku percaya juga. Langsung kubungkus daun ini dengan uangku, kutaruh di dompet. Seketika tempat kelam ini jadi warna-warni, langit yang gelap jadi terang, dan rejeki segera datang padaku, walaupun mungkin efeknya tidak langsung, setidaknya berita baik untuk istriku. Ucok menepuk-nepuk pundakku, dia ingin traktir diriku di restoran paling mahal di malang katanya biar rezekinya nular, dan kini aku pikir ini rejeki pertamaku, akhirnya bisa makan selain tongkol dirumah!

Kita segera ke mobil, dan Ucok bilang dia saja yang nyetir. Ditengah jalan, dia bilang katanya menginap saja, seminggu gitu, tapi kubilang tiket yang kubeli sudah berangkat pulang, dan aku menolak tiket ganti. Lalu dia tanya apa aku bermimpi sesuatu tadi, kujawab iya, dan katanya itu berarti sudah restu dari eyang jugo. Aku hanya mengangguk saja, mungkin memang ada hubungannya, aku sudah lupa-lupa sedikit, apa yang tadi kakek itu minta?

***

Aih, benar saja ucapnya, setelah pulang istriku berkata bahwa dia baru saja mendapatkan harta warisan, dari saudara neneknya yang dulu sering ia kunjungi. Warisan tersebut berupa tanah yang telah dibanguni kontrakan, ramai dan uang yang tidak sedikit mengalir dari kontrakan tersebut. Saat itu katanya dia mimpi ketiban duren, dan tahu-tahu sudah dihubungi bahwa namanya tertulis dalam wasiat. Tak elak kucubit pipiku, minta anak-anak cubit juga, tapi sakit, sakit! Aku tidak bermimpi! Daun ini ngaruh, sakti mantraguna!

“Pria bernama Tumpal itu, kubayar langsung dimuka, lebih beberapa juta buat dirinya kasihan sih kesini mulu tiap hari dengan dekilnya itu, teriak siang-siang bolong, nahan malu diliatin orang-orang kayak macam orang gila aja. Dia langsung terima kasih mangut-mangut, cium tanganku di depan para tetangga. Berasa majikan budak saja!”

Setelah itu tiba-tiba temen kuliahku, Reza, mengajakku bisnis ikan sidat, dan aku hanya perlu investasi sedikit, dan langsung usaha ini laku keras, untungnya ratusan juta setiap bulannya karena siapa tahu sidat yang baru kutahu namanya saat itu tiba-tiba jadi makanan favorit seluruh indonesia? Media sosial memang edan, apa saja yang enak bisa kesebar, dan darimana saja pingin segera coba. Uang hasil keuntungan ini langsung kupakai untuk rumah, mobil, dan sebagainya dalam kebiasaan kami sebagai keluarga konsumtif. Tak lama istriku keluar dari bidan, dia langsung membuka bisnis baju dan usahanya juga tak kalah laku.

“Pasti karena gunung kawi bukan? Kubilang apa.”

Dia selalu mengucapkannya padaku, hidungnya kembang kempis saat mengucapkan hal tersebut.

Tapi kebahagiaan kita tidak lama, Ria jatuh sakit saat itu, dan seketika berapapun harta yang kita punya tidak mampu membendungi perasaan sedih kami. Ternyata kekayaan macam makanan mahal, mobil, rumah maha mega, dan sebagainya tidak ada artinya ketika seseorang yang kalian kasihi, ataupun dirimu sendiri sakit. Terutama istriku yang setiap hari menangis melihat kondisi Ria, kondisinya jelas bukan sakit biasa.

Pertama dia memar muncul di tubuhnya, kutanya apa dia jatuh, namun tidak katanya. Kupegang, dan katanya tidak sakit. Akhirnya kami bawa ke dokter, dan kata dokter dirinya kekurangan zat besi, dan saat itu juga Ria jadi tidak mau makan. Indomie kesukaannya, mie ayam, dan mie-mie lainnya dia tolak. Satu-satunya yang ia suka kini adalah daun sawi, tidak mau bayam atau semacamnya, hanya sawi saja, dan kini tubuhnya makin kurus dan kurus, jelas bahwa tidak ada kandungan gizi apa-apa di sawi.

Beberapa bulan kemudian, memar mulai muncul di lehernya, tangan kirinya, kakinya, seluruh badannya. Lalu yang paling mengerikan Ria mulai demam dan sering kejang-kejang, busa keluar dari mulutnya yang kami pikir ayan. Tapi bukan, ya tuhan, itu bukan ayan kubilang. Ria seketika itu berdiri berhenti dari kejangnya, matanya menjuling ke atas, dan dia berbicara bahasa yang lain, bahasa jawa, sesuatu yang tak pernah kami ajari padanya, bahkan ibunya sekalipun yang berasal dari jawa.

“Melu koro mbahmu, ojo nakal!”

Dia tampar dirinya sendiri, berkali-kali, dan saat istriku berusaha menghentikannya, dia merasakan sesuatu yang sangat kuat membuatnya tidak mampu menghentikan apa yang Ria lakukan, dia tetap menampar wajahnya sendiri keras-keras, hingga biru dibuatnya. Istriku hanya bisa berteriak kencang-kencang, hingga tetangga datang, berbisik-bisik di depan pintu bahwa anakku kena ayan.

Di akhir dia akan menghadap padaku, melotot sambil menyeringai, mengucapkan sesuatu yang kami semua mengerti :

“Ku ambil dia, ku ambil!!”

Kami sekeluarga langsung ketakutan, dan seketika Ria jatuh, kupisah dirinya dari peluk ibunya dan kubawa dia menuju kamarnya lalu kuusir warga dari depan pintuku. Istriku saat itu langsung memukulku di dada dalam tangisnya, bertanya apa yang terjadi pada anakku.

“Aku ingat mah..aku lupa cerita ke kamu.”

“Apa?!”

Aku tidak bisa menahan tangisku, aku segera terduduk bersender pada tembok. Aku segera mengeluarkan dompetku, kubuka uang dan daun yang membukusnya.

“Ada kakek-kakek..”

“Papah..”

Ria keluar dari kamarnya, dia minta dibuatin Indomie. Istriku langsung memeluknya, mencium dahinya yang memar. Dia belum selesai mendengar ceritaku, tapi Ria berkata bahwa dia melihat sesuatu, dia bermimpi buruk, dan deskripsinya mirip dengan apa yang ingin kukatakan :

“Ada kakek-kakek, bajunya hitam, dia mukul aku pake tongkat, sakit pak.. sakit..”

Beberapa hari kemudian hal yang sama terjadi pada Ria, dia tak sadarkan diri lagi setelah kejang-kejangnya, dan dokter berkata bahwa dia dalam keadaan koma.

Setelah itu Ria di opname di rumah sakit, sudah sebulan sekarang, setiap hari ibunya akan memandikannya dengan selimut basah di atas kasur, menekuk tangan dan kakinya biar tidak kaku jika saja ia bangun, biar bisa langsung main sama adik-adiknya kata dia kepadaku, dan ia tidak biarkan suster melakukan apa yang dia lakukan. Malam ia pakai untuk baca quran, shalat tahajud, lalu menangis sejadi-jadinya. Aku lama-lama juga ikut melakukan itu, tapi tak rela juga aku bakar daun ini. Ada apa sesungguhnya? Ada apa? Istriku juga tidak menyuruhku membakarnya walau dia sudah dengar ceritaku. Kenapa kita diam saja selama ini?

Menyadari ini, aku tidak tahan lagi, biar malu saja. Aku segera berbicara pada warga desa di warung kopi, kuminta mereka carikan diriku seorang kiai atau paranormal yang bisa mengusir ruh atau sebagainya, kubilang anakku dirasuki sesuatu, biarlah semua warga tahu bahwa kami memang menderita sesuatu karena pesugihan. Lalu akhirnya ditemukanlah aku sama seorang pria dari pasantren, jauh dari bekasi, rela-rela aku kesana dan kujemput untuk menengok anakku. Dia tidak menolak, katanya sudah nunggu lama aku kesini, kupikir dia bercanda saat itu.

Ketika telah sampai, dia segera duduk disebelah Ria tanpa istriku persilahkan. Saat itu dia menutup matanya, dan dibacakannya ayat-ayat quran.

“Bapak pesugihan?”

Kiai yang kutemui ini, Hamid namanya, langsung bertanya padaku sambil mengeluskan jenggotnya yang putih panjang. Dia menggunakan sorban putih, tua, dan matanya yang lembut memperlihatkan kebijaksanaan dalam dirinya. Aku hanya mengangguk, dia langsung tahu apa yang menganggu anakku saat ini. Sakti, hanya itu yang ada dipikiranku, tapi beda dengan dukun, yang dihadapanku ini berbeda sekali.

“Saya iseng pak, tidak serius.”

Aku langsung menunjukan daun yang kini kugunakan sebagai jimat.

“Kejatuhan daun, terus disuruh bungkus ke duit terus ditaruh ke dompet. Saya langsung ketiban rejeki persis seperti rumornya, tapi..tapi..”

Aku menangis tidak bisa melanjutkan kata-kataku, istriku juga sama saja yang kini lemas kakinya, terjatuh dibelakangku. Sang kiai menganggukan kepalanya, menyuruhku menyimpan jimat tersebut kembali.

“Semua itu atas restu Gusti Allah, semuanya itu atas persetujuannya, ujian untuk bapak.. Bapak ngerti saya ngomong apa?”

Aku mengangguk, namun dia seakan belum percaya bahwa aku mengerti ketika lama menatap ke arah mataku.

“Tidak, bapak belum faham. Tempat itu gak ada apa-apanya kecuali mahluk ghaib, yang meninggal sudah ada di akhirat sana, sudah lepas dari dunia. Gusti izinin mahluk ini goda bapak, buat bapak terlena, terus ngambil anak bapak.”

“Ambil anak saya?!”

Bukan aku yang berteriak, tapi istriku.Seketika suara itu diikuti oleh suara jatuh, istriku pingsan dibelakangku. Ketika itu istriku langsung di pegangi oleh suster, dan diberinya minyak kayu putih ke hidung istriku. Sang kiai tidak menunggu lagi, ia lanjutkan omongannya.

“Bapak mungkin gak bisa liat, dia sekarang duduk di leher bapak.”

Aku segera panik memeriksa leherku, namun aku tidak bisa merasakan apa-apa. Satu hal yang kusadari, rasanya leherku dan bahuku terasa pegal akhir-akhir ini.

“Gimana pak? Gimana caranya untuk nyelamatin anak saya?”

“Saya rukiah, terus coba minumin air yang saya udah doain ini. Insyaallah anak bapak nanti siuman, tapi mahluk tersebut masih ngelekat di bapak. Setelah ini bapak harus ajak anak bapak ke tempat ke depan tempat pesugihan tersebut, jangan masuk ke dalam. Bapak tiup daunnya di depan anak bapak, dan insyallah juga mahluknya lepas dari bapak.”

Aku mengangguk menuruti, lalu dia mulai membuka Qur’an dan membacanya. Aku juga ikut berdoa, walau yang kuhafal hanya sekedar An-Nas, ataupun Al-Ikhlas, aku berjanji pada Allah bahwa aku akan bertaubat, shalat lima waktu, berpuasa senin kamis dan tidak ikut dalam hal yang aneh-aneh lagi. Saat itu istriku akhirnya siuman dan melanjutkan tangisnya, dia berkata bahwa ini semua salahnya, menyuruhku mengunjungi tempat terkutuk tersebut, dan aku segera memeluknya, berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, semuaya akan kembali seperti sedia kala.

***

Di dalam mobil sambil memeluk Ria yang masih demam, mata Ucok sembab, mobil jeepnya kini berubah menjadi sedan butut. Katanya anaknya meninggal tak lama diriku berkunjung, kebunnya tak lagi berbuah, bisnisnya bangkrut, istrinya juga sakit-sakitan. Alhamdulilah katanya, kini dia bertaubat, dan tetangga yang peduli membantu keadaan keluarganya, kini mereka punya bisnis kecil-kecilan, tidak sesukses dulu, namun cukup membiayai hidup mereka. Dia dan istrinya hingga kini masih berduka soal anak mereka yang kecelakaan, mereka sangat menyesal sempat menjadi pesugihan, nasib yang persis seperti diriku kini.

“Saya bakar daunnya, saya langsung shalat taubat, gak mau berurusan sama yang kayak gituan lagi. Semoga mas Rian gak senasib sama saya, setiap hari saya mimpi buruk..”

“Mimpi apa mas Ucok?”

“Mimpi anak saya minta Tolong mas Rian, dan duh..”

Ucok saat itu menyeka air matanya yang mulai keluar deras, dan suaranya bergetar tak mampu berkata-kata. Aku menyuruhnya untuk tidak memaksakan diri menceritakan hal tersebut, dan aku bersyukur masih sempat menolong Ria.

Kami kemudian sampai pada halaman depan, tangga menuju padepokan. Anakku memeluk kakiku ketika kutiupkan daun tersebut. Tangannya gemetar, menggenggam kakiku erat-erat.

“Ada apa Ria?”

Dia menunjuk pada tangga yang kini banyak dilangkahi orang. Hari ini hari libur, dan ternyata banyak sekali, ribuan malah yang kini berkunjung ke tempat ini, membuat antrian yang sangat panjang di tangga-tangga.

“Itu gak apa orang-orangnya pah?”

“Orang apa?”

“Itu, yang diinjek-injek itu.”

Kusuruh duduk Ria untuk menjelaskan lebih lanjut, dan kini dia menjelaskan bahwa banyak sekali orang-orang yang bertumpuk membentuk tangga, bertelanjang, berteriak, menangis setiap kali terdapat seseorang menginjak mereka. Aku hanya memandangi Ucok yang kini menangis, berkata bahwa di dalam mimpinya sang anak telah menjadi bagian dari tangga tersebut.

*Gunung Kawi Tamat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar