Jumat, 30 Oktober 2015

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 5

Chapter 5 : Mimpi

Aku menciumnya, bau rerumputan yang basah oleh embun. Matahari yang cerah menyinari embun tersebut hingga dia membias dan mengkilap ke arah mataku. Rumput-rumput itu bergerak ke arah kiri, sembari mengikuti angin yang berhembus nyaman ke arahku. Ketika itu aku bersender di antara pohon peneduh, kalau tidak salah mereka menyebutnya Yaksha, diambil dari nama mahluk lagenda raksasa yang mampu menutupi matahari, ukuran pohon yang besar dengan rerumbunan daun yang lebat membuat pohon ini terasa begitu teduh, tidak aneh jika mereka menamainya demikian.
Aku segera berdiri ketika terdapat sesuatu yang mengibaskan sayapnya di atas langit. Malaikat bisu. Dia tersenyum, berputar-putar, mengibaskan sayapnya yang telah baikan lalu membiarkan angin membawanya, melesat di antara bunga-bunga tulip, lalu ia mengambilkannya satu, dan terbang ke arahku dengan matanya yang berbinar-binar. Di dekatku kemudian dia turun dan melangkah perlahan, sayapnya masuk di antara punggungnya, kemudian dia menaikan gaun putihnya yang begitu terang oleh sinar matahari yang menyinarinya, berlari ke arahku sambil mengarahkan tangannya yang membawa bunga.
“Buatku?”
Dia menangguk, dan aku mengambilnya, dan kucoba untuk menghirup bau bunga tulip tersebut. Wangi, aromanya manis dan segar, dan lalu hastratku seakan menginginkan lebih, aku ingin berada di antara bunga-bunga tersebut. Aku lalu berdiri memegang pundak Malaikat bisu, senyumku mungkin sampai pada pinggir pipiku, hatiku terasa meluap-meluap, senang sekali.
Aku kemudian berlari, dan malaikat bisu akhirnya tahu apa maksudku. Aku ingin kita berlomba untuk siapa yang paling cepat ke arah taman bunga tersebut.
Malaikat bisu mengangkat lagi gaunnya, mencoba berlari di antara rumput-rumput yang basah, namun dia tersandung dan saat itu aku segera menghentikan lariku dan tertawa terbahak-bahak. Malaikat bisu lalu mencoba berdiri, membersihkan wajahnya yang kini kotor dengan tanah, dan bajunya yang basah oleh embun rumput. Dia melihatku tertawa, lalu dia marah, dan sayapnya keluar dari punggungnya.
“Jangan curang!”
Walau aku sudah berteriak padanya, malaikat bisu tetap mengibaskan sayapnya dan terbang. Aku yang sudah dekat dengan taman bunga lalu mencoba berlari lebih kencang, namun saat itu Malaikat bisu sudah berada di atasku. Aku langsung menutup mataku, menaikan dadaku, mencoba bernafas kencang-kencang selagi kakiku bergerak dengan cepatnya di antara rumput-rumput ini.
Aku tidak ingin kalah, aku ingin lari sekencang-kencangnya, selelah-lelahnya, karena pada akhirnya aku bisa berlari sebebas ini, aku harus menikmati masa-masa ini!
“Eh..”
Tiba-tiba rasanya aku tidak lagi menginjak tanah, kakiku berputar tidak jelas di antara langit-langit dan sesuatu memegang ke dua lenganku. Ketika kubuka mataku, aku sudah melayang dan kakiku menyentuh di antara bunga-bunga. Malaikat bisu mengangkatku, dan badanku entah kenapa terasa ringan sekali.
Angin sangat kencang berhembus di wajahku, lalu Malaikat bisu mengibaskan sayapnya dan kita naik ke atas, tinggi, dan tinggi sekali hingga rasanya aku bisa melihat bahwa daratan menjadi bundar, sebundar bola sepak. Ketika itu juga bulu kudukku berdiri, dadaku rasanya ingin copot, ternyata aku takut ketinggian.
“Malaikat bisu, bisakah kita turun?”
Aku menengok ke atas, dan malaikat bisu menganggukan kepalanya. Saat itu dia mengeluarkan ekspresi yang tak pernah kulihat. Dia tersenyum, tapi tatapannya usil sekali, dan aku tahu dia merencanakan sesuatu. Apa dia masih kesal dengan tadi? 
“Oh tidak.”
Tiba-tiba malaikat bisu menghentikan kibasan sayapnya dan kita terjatuh. Aku berteriak, air mataku keluar, dan tetesan air mata tersebut tidak lebih cepat sehingga aku melihatnya seperti butiran-butirannya yang utuh tertinggal olehku. Malaikat bisu yang berada di atasku langsung memelukku, lalu dia melebarkan sayapnya, dan kita menunggangi angin dengan cepat, melesat, seperti bagaimana burung elang ingin mencengkram mangsanya, cepat sekali.
Walau demikian, aku benar-benar membuka mataku. Aku benar-benar ingin melihat bagaimana rasanya burung terbang, menembus tetes-tetes air awan, melihat mahluk-mahluk yang kini berubah bagai semut, kecil tidak terlihat. Melihat bagaimana hutan membentuk suatu komunitas tumbuhan yang beragam, dan aku tidak akan benar-benar tahu jika diriku sekarang tidak berada di atasnya. Lalu sampai pada taman bunga tadi, sayap malaikat bisu tiba-tiba terbuka lebar menahan angin, membuat gerakannya melambat dan kita mendarat di atas taman bunga. 
“Oh malaikat bisu, terbang benar-benar asyik.. enak sekali pasti rasanya menjadi burung, atau menjadi malaikat..”
Aku segera berbaring di antara bunga, melihat ke langit yang biru dengan awan-awannya. Ketika itu malaikat bisu menatapku, dan dia membentuk bayang-bayang, menutupi sinar matahari ke arah wajahku dengan wajahnya yang khawatir, dari tatapannya terlihat bahwa dirinya melihat sesuatu pada wajahku.
Aku menangis.
Air mata keluar dan kini mengalir di pipiku. 
Aku begitu menikmati ini semua, kebebasanku, kesenangan yang sangat tidak ingin kulupakan ini. Tapi.. aku tahu sejak awal bahwa ini semua adalah mimpi.
“Aku ingin sekali selamanya berada disini.. Bersama ibu.. dan mungkin ayah juga.”
Aku kemudian duduk, mencoba menyeka air mataku.
“Aku tidak ingin lupa tentang semua ini oh Malaikat bisu, mimpi akan kebebasan ini.. Aku tidak ingin bangun lagi dan lupa oleh tempat ini, dan hanya ingat bahwa selama hidupku, aku hanya tinggal di tempat gelap yang ibu bilang sebagai rumah, dimana aku hanya bisa bergerak dari kamar hingga perapian. Aku ingin keluar, berjalan di atas tanah, menari di atas rerumputan, lalu kita terbang bersama-sama. Karena itu aku tidak ingin lupa, oh Malaikat bisu..”
Malaikat bisu memelukku, dan rasanya hatiku menjadi pecah oleh gundahku, tangisku rasanya ingin meledak.
Saat itu tiba-tiba aku mencium bau harum, bau makanan, dan terasa nikmat sekali bau tersebut. Aku tidak pernah mencium bau senikmat ini. Saat aku mencoba melihat dari balik pelukan Malaikat bisu, aku tidak melihat terdapat makanan atau apapun yang sejenis dengan itu. Tapi sepertinya aku mendengar sesuatu, suara api, percikan dari wajan, dan suara nyanyian. Suara itu adalah suara ibu.
“Racke! Bangun, ayo kita makan!”

Selasa, 27 Oktober 2015

Metropolis (1927) Short Review



"There can be no understanding between the hand and the brain unless the heart acts as mediator."

Bercerita tentang kota futuristik dimana terbagi antara kelas pekerja dan para perencana kota. Cerita berpusat pada seorang anak dari pemimpin kota ini yang jatuh cinta pada nabi dari masyarakat kelas pekerja yang memprediksi datangnya seorang messiah yang menjadi mediator antar perbedaan kelas masyarakat di kisah ini. Metropolis oleh Fritz Lang gw akui sebagai mahakarya klasik, pesan powerful dan relevan hingga sekarang tentang persatuan antar kelas masyarakat, ide futuristik landscape yang luar biasa pada tahunnya dengan konsep struktur sosial modern kapitalisme ala marxisme (yang nantinya mengarah pada revolusi masyarakat proletar atas kaum modalis/borjuis), cinematografi dengan detail luar biasa (harus diakui, film ini film termahal pada zamannya), dan banyak sekali simbolis yang diberikan pembuat yang punya deep meaning yang gw pikir ngebuat film ini bener-bener seni berkelas.

Well sayang, betapa powerful film ini pada zamannya juga bisa salah diinterpetasikan oleh Hitler (ya, ini film favorite nomor wahidnya hitler), dan di adaptasi dalam bentuk yang berbeda pada masanya yaitu Triumph des Willens, pararel dengan metropolis dengan pesan propaganda bahwa jerman bisa keluar dari penindasan internasional dengan pahlawan mereka, Hitler itu. Gak sangka dalam wawancaranya, Fritz Lang yang kabur ke amerika (karena ibunya jewish) ngomong bahwa film ini dia anggap sebagai karir terlemahnya atas kekecewaannya bahwa visi hitler terpengaruh oleh filmnya.

Performa akting Brigitte Helm, salah satu perubahan ekpresi dan gesture paling drastis yang pernah gw lihat.
Btw, ngomongin artis jadul, disini Brigitte Helm performanya meranin Maria sebagai nabi yang kalem, dan juga sekaligus The Machine Man yang semacam alter ego, bener-bener keren. Tranformasi ekspresi tingkah laku, gesture, dan tatapan mata bener-bener  top notch banget. Akting kelas atas seperti ini mungkin karena memang gak ada suaranya sehingga maksa mereka untuk ngeluarin segala performanya lewat kemampuan ekspresinya, dan yah, gw salut banget.

Gw rekomendasi banget untuk yang ingin lihat betapa bagusnya film klasik (hitam-putih tanpa suara), dan bagaimana pesannya yang powerful bisa ngedeliver bgt lewat pengalaman cinematic.

Score : 10/10 (masterpiece), next nonton Citizen Kane

Btw gw rekomendasi banget untuk nonton versi rescore sama The New Pollutants, menurut gw lebih dapet daripada aslinya yang udah lumayan kemakan waktu : https://www.youtube.com/watch?v=Q0NzALRJifI

Senin, 26 Oktober 2015

Short Review Novel : Dunia Sophie



Judul : Dunia Sophie
Penulis: Jostein Gaarder 

Terbit: Februari 2015 (Cetakan XV, Edisi Gold)
Tebal: 800 halaman

Penerbit: Penerbit Mizan


"Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya." - Goethe.

Filsafat.. Terdapat pandangan miring mengenai filsafat di kalangan masyarakat indonesia, yaitu : Tidak ada nilai praktik, kebanyakan orang filsafat sinting (entah ini darimana), bertentangan dengan agama, dan kadang.. tidak bertuhan. Tentu pandangan miring tersebut tidak berbekal ilmu itu sendiri, bahkan jika saja disuruh mendefinisikan filsafat, kebanyakan tidak mampu.

Jadi apa nyambungnya gw ngebicarain ini dengan novel Dunia Sophie ini? Karena Dunia sophie adalah textbook sejarah filsafat yang menarik dan menurut gw wajib untuk pembaca kasual (seperti gw) untuk memahami esensi filsafat itu sendiri lewat pendekatan pemikiran para filsuf.

Tapi tunggu, textbook? Ini novel loh?

Dunia Sophie adalah novel yang dengan bangga mencantumkan 'Novel Filsafat' pada kovernya, tapi untuk novel sendiri gw bisa bilang Dunia Sophie ini bukan novel yang baik, kecuali hanya merupakan medium penyampaian konteks filsafat itu sendiri. So, bagaimana penulis menyampaikan konten 'filsafat' tersebut? Dunia Sophie bercerita tentang Sophie yang secara misterius mendapatkan surat ulang tahun dari Albert knag yang merupakan seorang kolonel PBB kepada anaknya Hilde, dan juga secara misterius juga menemukan seorang guru filsafat yang bersama dengan Sophie memecahkan misteri dibalik surat dari Albert knag tersebut. Disini filsafat disampaikan oleh Alberto Knox sebagai guru filsafat, tapi apa tujuannya dia ngelakuin itu? Apa dengan demikian identitas pria misterius itu akan diketahui? Tidak tentunya, dan gw benar-benar yakin bahwa tujuannya hanya semata karena penulis ingin menumpahkan pelajaran filsafat dan menggunakan genre misteri sebagai pendorong pembaca untuk terus meneruskan tanpa harus merasa bosan.

Tapi apakah efektif? Tidak juga. Filsafat ditumpahkan dalam surat Alberto Knox, dan itu.. sangat panjang, panjang sekali malah, bisa 3-4 halaman sendiri, dan satu paragraf bisa tebal sekali. Gw sendiri butuh sehari penuh untuk istirahat, dan novel dengan 798 halaman ini gw habiskan lebih dari 3 bulan, lama karena merenung isi kontennya (dan yap, filsafat begitu menarik untuk direnungkan!). Tapi dalam novel gw kira ada yang namanya flow, dan proses lagging menurut gw contoh bahwa Dunia Sophie ini bukan novel yang baik, sama sekali bukan. Tapi ingat bagaimana gw menikmati konten yang penulis berikan (bukan ceritanya maaf), maka dari itu Dunia Sophie gw sebut sebagai text book yang menarik. Pertama buku ini mengajukan pertanyaan, pemikiran kita dirangkai oleh sophie yang polos dan membuat kita membuat pertanyaan baru sendiri, dan setelah muncul jawaban, kita akan merasa sedikit ataupun benar-benar terjawab oleh pernyataan atau pemikiran filsafat yang sedang dibahas. Hal ini benar-benar membuat konten ini lebih mudah terserap ke pikiran karena imersi yang tercipta, yaitu dengan menimbulkan pertanyaan terlebih dahulu tanpa membeberkan secara langsung kontennya yang akhirnya menjadi bahan renungan yang menarik, yang gw pikir, sebaiknya banyak buku pelajaran yang memakai metode ini.

Disini loe bakal belajar tentang filsafat paling dasar, filsuf alam, Democritus, Socrates, dkk hingga filsafat modern macam Marx, Nietzsche, dan bahkan sampai pemikiran Freud dan Darwin. Dari jaman yunani kuno, renaisans, barok, romantisme, hingga jaman ini. Sejarah filsafat jujur aja menurut gw worth it banget untuk dipelajari, dan bahkan gw bisa sebut wajib, buku ini bisa bener-bener ngubah pemikiran, dan ngebuka prespektif loe untuk menyikapi sesuatu.

Tapi kembali ke cerita, bagaimana dengan cerita yang gw sebut gagal sebagai novel ini? Apakah buruk? Enggak juga (banyak enggak juganya yah). Cerita ini menarik sesungguhnya, bahkan gaya post-modern novel macam break trough the fourth wall, twist dan banyak hal lainnya yang gak bakal loe sangka. Karakter Sophie menarik banget, rasa ingin tahu 15 tahun yang polos menurut gw bener-bener charming dari pandangan gw. Jujur aja, gw sebenernya lumayan enjoy ngikutin dan bahkan yang bikin gw tertarik untuk baca lagi setelah sempat hengkang berkali-kali karena proses berpikir (dan sibuk) adalah ceritanya. Siapa Hilde, absurditas apa yang sebenarnya terjadi, siapa knag, dan sebagainya terungkap satu demi satu oleh Sophie, dan bahkan apa yang terjadi benar-benar mempengaruhi dunia Sophie. Konsep ceritanya sungguh menarik, tapi yah begitu, karena hanya berguna seabgai support atau penyangga, ceritanya tidak berkembang sesuai dengan ekspetasi dari konsep itu sendiri. Bahkan di ending, gw cukup kecewa dengan keputusan penulis untuk mengakhirinya tanpa klimaks sedikitpun, seperti pelajaran filsafat selesai, selesai juga ceritanya.

Yah secara overall, gw rekomendasi banget untuk baca ini terutama karena jujur aja di negara ini lagi dalam keadaan kacau balau dan bahkan menurut gw dalam keadaan bom waktu, dalam hal ini Dunia Sophie banyak memperlihatkan ironi yang membuat gw sadar bahwa negara ini sangat miskin dalam daya pikir, prespektif, dan menurut gw, filsafat pada diri mereka. Beberapa buku yang menyadari gw salah satunya Madilog, dan buku ini, lalu sepertinya gw bakal banyak mendalami filsafat yang gw rasa dengan buku ini rasanya baru terasa berbalik dari gua yang plato deskripsikan, dan dalam hal itu, buku ini adalah panduan yang cocok untuk mengawali filsafat.

Verdict score : 9/10 (must read!),
(btw yang nanya translatenya gimana, bagus bgt kok terjemahannya :D)

Short Review Movie : Beast of no Nation (2015)

Beast of no Nation 
Directed by Cary Joji Fukunaga
Starring Abraham Attah, and Idris Elba. 



Gw selalu mikir mengapa gak pernah ada film perang yang berani mengambil sudut pandang seorang anak-anak yang terjebak dalam perperangan? Mereka sering sekali dijadikan korban, dan dijadikan prajurit walau umur mereka yang sedemikian kecil. Memang beberapa film ngangkat topik ini, macam Blood Diamond, tapi selalu gw sayangkan adalah mereka hanya menyentuh topik tanpa benar-benar menggunakan mata mereka dan hati mereka, para korban perang tersebut. Suatu saat keresahan ini ngebuat gw berusaha nulis kerangka cerita dari inspirasi ads perang, suatu normalitas, perubahan dalam sekejap, terjebak dan metamorfosis karakter menjadi binatang perang, dan yah, gw sendiri gak bisa, topik ini nyatanya terlalu berat dan harus dibawa serius. Pikiran gw saat itu : It's going to be a powerful anti-war story, but then, it's need a boldness and genius mind to take this material.

Suatu saat lagi liat grup film, muncul nama Cary Joji Fukunaga, sutradara True Detective Season 1. Netflix, salah satu channel favorite gw. Lalu foto anak kecil dikalungi peluru, dengan judul yang sangat menarik : Beast of No Nation. Setelah liat trailernya, gak seperti film lain yang gw masih nyoba nyari review sana-sini untuk mutusin download, gw tahu film ini bakal bagus, materi yang solid, dan dipegang sutradara yang jenius, mana mungkin film ini bakal jelek?

Ketika film dimulai, semua yang gw harapin ada disini, normalitas, kejenakaan, suatu tragedi yang mendadak mengubah hidup seorang anak berubah 180 derajat, perubahan dramatis hidup anak tersebut, dan banyak moment-moment ironis yang menyayat hati. Gw suka banget salah satu scene ketika pallet warna sekitar berubah, suara pengang ditelinga sang anak dan kita hanya mendengar suara peluru, the numbness, kebrutalan demi kebrutalan dan scene bener-bener ngebuat kita sadar betapa mati rasanya si anak yang udah kehilangan moralitasnya, dan scene pengakhir yang efektif, gw gak bakal spoilerin disini.


Salah satu scene yang memperlihatkan perubahan pallet, membawa atmosfir numbness pada protagonist sekaligus keindahan cinematografi pada kebrutalan yang ditampilkan film ini.

Setelah semua itu, ironi demi ironi dikeluarkan tentang betapa hopelessnya perperangan ini, betapa tidak berartinya perjuangan mereka para pembrontak. Gw inget ketika suatu monolog menyedihkan berputar mengenai pesimisme, bahkan keputus-asaan bahwa dia percaya bahwa untuk bisa kabur dari perang ini hanyalah kematian. Ironi bahwa pikiran tersebut muncul dari anak yang kita amati selama 2 jam lebih ini bener-bener menyayat hati gw, dan bagaimana cinematografi dari film ini bisa nangkep momen-momen memilukan itu dengan ciamik, bener-bener buat gw salut.

Ketika film selesai, penulis sekaligus sutradara, Cary Fukunaga memberi sentuhan harapan setelah memperlihatkan kita kengerian yang jarang sekali tertangkap dalam pengalaman cinematik selama ini. Gw speechless, movie ini menurut gw powerful banget, tempo pacingnya bener-bener bikin film ini gak kehilangan momentum, dan gw gak bisa komentar apa-apa soal cinematografi Cary Fukunaga, it's perfect. Beberapa kritikus bilang film ini bener-bener ngeliatin kekejian sampai melebihi pada level empati pada seorang anak kecil, dan gw bisa bilang itu salah besar. Film ini benar dengan melihat kekejian tersebut (dan mungkin kenyataannya bisa lebih keji dari ini), dan seakan film ini mencoba bertanya pada kita : Bahwa di kenyataan hal ini benar-benar terjadi dan kita bisa saja berada pada keadaan seperti itu. Merupakan suatu keberuntungan bahwa kita lahir di negara yang pada momen ini tidak berada dalam situasi sebrutal film ini ketika kita tidak benar-benar disuruh memilih mau dilahirkan dimana, dalam kondisi apa, dan sebagainya, kesadaran yang seperti ini yang melatih empati kita.

Oh, sampai lupa, Beast of No Nation juga didukung performance yang kuat banget. Idris Elba disini benar-bener apik dan mungkin salah satu performance terbaiknya, dan Abraham Attah juga menghayati banget perannya sebagai Agu protagonist kita ini, dan gw gak nyangka bahwa anak sekecil ini dan merupakan film pertamanya bisa deliver banget ekspresi tragedi, mati rasa, tegang dan rasa takut ke penonton, poko'e berbakat, bener-bener salut.

Jadi yah bisa gw simpulkan, it's one of the best anti-war movie with beautiful cinematographic and great performance, dan loe harus nonton ini, segera, dan sekarang juga.

Score : 10/10 (Masterpiece)

Naqoyqatsi chapter 14

LITTLE MONSTER
by Reza Pratama Nugraha



Terdapat saat dimana kepalaku sangat pening hingga rasanya waktu terasa berhenti. Saat itu rasanya pemandangan disekitarku yang terasa tidak relevan menjadi lebih jelas, sangat jelas. Bau darah yang keluar dari hidungku, lantai yang penuh keringat menjadikan langkahku licin, keringat yang berterbangan membentuk butiran-butiran air, semua orang yang bersorakan, Guo Rong yang kini telah aman berada di samping Li Ling, senyum Man Yi yang menyeramkan dengan tahi lalat kecil di dagunya yang tak pernah kuperhatikan selama ini, dan sedikit darah yang keluar dari kepalan tangan birunya yang kini mengarah ke wajahku.

Dia bahkan tidak mengeluarkan sihirnya, dan apalagi yang lebih hina dari ini?

Sihirku, petir, api, dan sebagainya yang sirna begitu saja di hadapannya sebagai tanda kepemulaanku.

Lalu dia yang menolak memakai sihirnya yang berarti menolak membunuhku lebih cepat, dan bertubi-tubi memberikan pukulannya ke seluruh badanku hingga membuat tangannya biru, dan dengan kepalannya yang sudah terasa mati rasa, badanku juga, begitu pula dengan harapanku.

“Kau melihat kemana Balthiq!”

Waktu mulai berjalan lagi, dan persis pada saat itu kepalannya mengenai pipiku, begitu keras hingga rasanya tulang pipiku remuk. Kini aku yakin bahwa mukaku tidak lagi berbentuk. Hidungku yang ia pukul berkali-kali hingga bengkok, kelopak mataku yang membengkak hingga susah sekali untuk melihat, dan gigiku yang rontok berkali-kali dipukulnya.

Diriku setelahnya terpental ke arah penonton yang segera menangkapku, dan melemparku ke arah Man Yi untuk mendapatkan sekali lagi kepalan tangannya yang mengenai dadaku, hingga rasanya tulang rusukku berbunyi.

“Kau kini sangat ingin membunuhku bukan?”

Pertanyaan yang sama ia ucapkan sekali lagi, dan dia selalu marah melihat mataku, seakan seluruh pertanyaannya sudah kujawab : bahwa aku benar-benar berbeda dengannya.

“..hah..hah..”

Nafasku sesak, sesak sekali, rasanya udara hanya sampai pada tenggorakanku hingga aku harus menghela nafas dari mulutku.

“Aku akan membuatmu mengerti Balthiq..”

Lalu pukulannya melayang lagi ke perutku, hingga membuatku bertekuk lutut. Isi perutku, entah apa lagi yang berada di dalamnya, sekali lagi kukeluarkan.

“Aku akan mengubah matamu yang hina itu, kemunafikan busukmu itu.”

Lalu dia menendangku, membuatku terseret jauh di antara lantai yang licin.

Aku yang kini terlentang mencoba membalikan badanku, mencoba berdiri, namun darah memenuhi hidungku hingga aku terpaksa menekuk mukaku ke lantai, dan darah mengalir denga deras. Beberapa saat aku bisa melihat diriku di antara genangan darah tersebut, sosok asing, buruk rupa, aku bahkan tidak mengenalnya lagi.

“Balthiq..”

Suara familiar tersebut,  Li Ling. Aku ternyata terseret ke arahnya yang kini tengah mendekap Guo Rong, mencoba mengobati punggungnya. Ketika diriku mencoba melihat ke arahnya, dia langsung memalingkan wajahnya. Dia menjauhiku bahkan hingga melepaskan Guo Rong.

“Li Ling..”

Ketika itu dia menutup mulutnya, dan seakan aku bisa merasakannya, bahwa dia tidak tahan melihatku, apa aku seburuk rupa itu? Apa dia takut bahwa aku akan menyeretnya dalam keadaan menyedihkan ini? Rasa pedih muncul dalam hatiku yang seketika membuat sensasi mengejutkan muncul. Mati rasa itu telah hilang, kepalaku terasa lebih jelas, dan Man Yi yang kini berjalan perlahan ke arahku membuat air mataku keluar.

Hatiku meledak, aku takut, oh tuhan, aku takut! Li Ling... Li Ling!!

Tanpa sadar rasa takutku muncul, sesuatu yang rasanya hilang selama ini. Tanganku segera mencoba menyeret tubuhku mendekati Li Ling dan mencoba menggapainya. Aku tidak tahu lagi, aku merasa tidak bisa lagi menerima pukulannya.

Ya, Aku butuh bantuan, aku butuh bantuanmu Li Ling..

“Li Ling tolong..”

Li Ling menggelengkan kepalanya, dan kini ia menatapku, dan aku bisa melihat matanya yang merah, dan air matanya yang mengalir deras.

“Maafkan aku Balthiq.. maafkan aku..”

“Li Ling!! HUAAA!!”

Man Yi menarik rambutku, menyeretku ke tengah-tengah. Kini senyumnya muncul melihatku, dia tertawa terbahak-bahak hingga menekuk mukanya ke atas sambil menutupnya dengan tangannya yang telah berlumuran darah. Dia melihatku lagi, dan aku bisa melihat terdapat air matanya yang keluar.

“Ada apa? Kau kecewa bahwa sahabat barumu tidak ada niatan sama sekali untuk menolongmu? Dan kini kau sudah waras kembali.”

Jantungku berdetak kencang, dia melepaskan jambakannya, dan aku berusaha menyeret tubuhku kebelakang menjauhinya.

“Kau harus lihat matamu itu Balthiq, oh tuhan, akhirnya aku bisa membuatmu hidup. Tapi bukan ini yang kuharapkan, dan oh Balthiqku sayang..”

Dia mematerialisasi tombak pada tangannya, memutar-mutarkannya, dan kini mengarahkannya padaku.

“Aku sungguh kecewa denganmu Balthiq..”

“Ahh...ahh..”

Lalu bilah tajam tombak itu memasuki perutku, secara perlahan, dan darah keluar secara deras.

Aku memegang tombak tersebut, mencoba menariknya keluar, dan Man Yi akan lebih keras lagi menusuknya.

“Bisa kau rasakan itu Balthiq? Beberapa menit lagi, dunia akan terasa berputar ketika darah mulai turun dari kepalamu, kau akan bernafas lebih kencang dari biasanya, lalu perlahan, kau akan kehilangan badanmu secara perlahan-lahan, tanganmu, kakimu. Kau akan terbawa dalam masa lalumu, lalu..”

Tanpa sadar bibir Man Yi bergerak begitu lama, dan sekali lagi waktu berjalan lambat. Suaranya perlahan menghilang dari mulutnya, dan pandanganku buyar tenggelam dalam imajinasiku.

“...”

Seketika aku mengingat ibu, ayah, Lushan, Guo Rong, Li Ling..

Lalu aku mengingat betapa putus asanya diriku kini.

Lalu aku merasa panah pernah menembus kepalaku, dan aku tahu, bahwa aku hidup lebih lama daripada waktu yang seharusnya.

Saat itu benakku berteriak, Ada apa?  Perasaan apa ini?

Ya, seharusnya aku telah mati. Aku benar-benar mengingatnya, bagaimana rasanya ketika panah itu menusuk kepala lewat mataku, dan seketika aku terombang-ambing dalam lautan luas, lalu tenggelam menyatu, damai, tenang, kehilangan segalanya.

Tapi...

Aku tidak merasa menjadi diriku. Aku bukan lagi Balthiq saat itu, dan aku takut, benar-benar takut.

Lalu aku sadar kembali, melihat bibir Man Yi bergerak secara perlahan.

“Guo Rong temanmu itu, aku berjanji bahwa selanjutnya dia akan mengalami hal yang sama denganmu, aku akan mengubahnya, kemunafikan dan kenaifannya. Kau dengar itu Balthiq!?”

Tiba-tiba kepalaku panas, dan diikuti gemertak gigiku yang tersisa. Seketika matanya melihat ke Guo Rong, ku pegang erat tombaknya yang terbuat dari besi kokoh, dan tanpa sadar aku mengucapkannya.

“Jalang!”

“Hah?”

“Aku akan membunuhmu!”

Lalu Man Yi terpental ketika sihir petirku mengalir lewat tombaknya ketika ia lengah.

Aku segera mengeluarkan sihir keduaku, kabut tebal, membuatku terpisah dari Man Yi. Aku sama sekali tidak sadar bahwa aku masih punya kekuatan untuk melakukan ini.

“Ahh...Ahh!!!”

Aku mencabut tombak tersebut dari perutku yang kusadari, Man Yi tidak tepat menusukannya pada bagian vital tubuhku, membuatku masih bisa berjalan walau darah mengalir deras setelah tombak tersebut kulepaskan. Aku berjalan memegangi perutku, berharap dengan demikian darah tersebut bisa kutahan, walau rasanya sangat perih, perih sekali.

“BALTHIQ!!!”

Suara marah Man Yi keluar, dia berteriak sangat kencang hingga bulu kudukku berdiri.

“Kau.. Hahaha.. Ya, mata itu, akhirnya kau sadar bukan?”

Aku berjalan terseret-seret dan menyadari darah telah mengalir deras dari perutku. Saat itu perihal mudah untuk Man Yi berlari mengejarku, dan dia tidak melakukannya.

“Kau akhirnya..”

Akhirnya? Tanpa sadar aku menengok ke arah suara tersebut.

“Kau telah menjadi kita!”

Seketika teriakan Man Yi tersebut, panah melewati kepalaku, dan meleset. Dia bisa mendengar suara langkahku dan menebak keberadaanku. Aku terlalu takut pada fakta bahwa panah tersebut hampir mengenai kepalaku, dan gagal paham tentang apa yang dibicarakan Man Yi.

“Dan kau tahu betapa mudahnya aku membunuhmu? Oh Balthiq, harusnya panah itu secara tepat mengenai kepalamu.”

Dia sengaja untuk tidak mengenainya? Aku segera bergerak menjauh, dan kembali panah-panah melewatiku. Tipis, melewati helai rambutku, diantara kakiku, dia benar-benar membuatnya tidak mengenaiku, menunjukan bahwa nyawaku benar-benar di tangannya.

Apa alasannya? Aku bisa mati kapan saja saat ini. Mengapa dia tidak ingin membunuhku segera? Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya, dan tetap berjalan menjauhinya, entah apa yang kini kuusahakan.

“...”

Pandanganku rasanya mulai berputar, sesekali aku muntah, dan berjalan lagi sempoyongan, jatuh, dan berdiri lagi.

Kini diriku berada diantara teriakan Man Yi yang berjalan mengikuti jejak darahku, dan teriakan orang-orang yang merasa kecewa karena tidak bisa menyaksikan ini. Kebisingan ini benar-benar membuatku  lelah hingga membuatku menutup telinga sambil berjalan.

Lalu rasanya kakiku mulai mati rasa hingga aku jatuh kelantai, dan kini mencoba menyeret badanku di antara pilar-pilar besar. Terduduk, dan masih mencoba menutup luka dengan tanganku walau kurasa memang percuma, semua gerakan dan usaha untuk melarikan diri membuat lukaku semakin deras. Mantra penyembuhpun tidak sama sekali membantu karena usaha terakhirku tadi benar-benar menghabiskan seluruh kekuatan ruhku.

“Kau tahu, rasa sakit sesungguhnya sangatlah baik untukmu, bukti bahwa tubuhmu berteriak untuk tetap hidup, memaksamu takut, berlari, berlari dariku. Oh Balthiq, mengapa aku begitu menikmati ini?”

Ucapan itu.. apa aku pernah mendengarnya?

Kalau tidak salah mimpi itu.., lalu Guo Rong saat itu membangunkanku. Apa aku selamat pada saat itu? Mimpiku harusnya berakhir saat ini juga.

Seseorang melihatku, berteriak sambil menunjuk tempat keberadaanku. Tanpa darah, nyatanya seluruh tempat ini akan memberitahu Man Yi dimana aku berada.

“Ahh, Balthiq.. disitu kau rupanya..”

Dia menemukanku. Lalu tepat pada saat itu rasanya kelopak mataku tidak bisa membuka lagi, walau aku benar-benar beusaha.

Lalu seseorang menggoyangkan badanku.

Semoga semua ini hanya mimpi, Guo Rong berada di sampingku, dan aku sedang berada di kelas tertidur.

***

“Bangun Balthiq..”

Ketika mataku terbuka, bukanlah pemandangan kelas yang kudapatkan dengan guru yang memegangi pinggangnya dengan muka kesal, melainkan tempat yang gelap, basah dengan genangan air, lembab, dan suatu sosok punggung terang yang berada di hadapanku, dengan sayapnya yang besar, dan ekornya yang panjang. Suara yang membangunkan itu jika kudeskripsikan adalah suara yang berat, dan bukanlah suara seorang manusia. Ucapannya tersebut diikuti suara nafas yang berhembus kencang.

Apakah aku telah mati?

“Ini bukan neraka, dan kau belum mati.”

Sosok punggung tersebut membalikan badannya. Sosok pria telanjang tanpa paras wajah, rata seperti dinding yang kosong. Kini dia mendekatiku, dan langkahnya besar di antara genangan air membuat gelombang besar setiap kali ia seret kaki tersebut di antaranya.

“Kau pasti berpikir, siapa sosok yang berhadapan denganmu kini?”

“Monster..”

Tanpa sadar mulutku terbuka, aku bahkan tidak benar-benar memikirkannya.

“Kau mengucapkannya tanpa sadar bukan?”

Aku menganggukan kepalaku lalu menunduk ketakutan. Ketika itu juga aku sadar bahwa seluruh badanku kini hitam, benar-benar hitam hingga aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang kulihat, apa hitam memang seperti ini?. Namun hal yang kini kusadari, aku tidak terluka saat ini.

Dan saat itu, sosok tersebut berbicara lagi padaku.

“Kau latah karena sensor represi kesadaranmu kini begitu lemah, mungkin karena apa yang wanita itu lakukan padamu.”

Sensor? Represi?

“Tapi tentu itu sama artinya dengan apa yang benar-benar kau pikirkan saat melihatku, dan ya, monster, kau benar Balthiq.”

Dia mengibaskan sayapnya, dan rasanya angin yang luar biasa mencoba menghempasku, namun sesuatu di kakiku menahan badanku untuk terhempas dari tempat ini.

“Naga merah yang agung, monster agung dari kreativitas manusia. Aku benar-benar menyukainya hingga memakai sosok ini untuk menemuimu, monster kecilku.”

Monster kecilku?  Apa yang dia maksud? Mengapa cara bicaranya aneh sekali?

“Kau dewa bukan? ”

Sekali lagi ucapan itu keluar tanpa kusadari. Aku benar-benar tidak memikirkannya, apa ini ucapan ini benar-benar dariku? Tapi tentu aku akan berpikir seperti demikian, dari cara bicara yang ekstrinstik, dunia buatan dan pengetahuan seperti berada dalam masa yang berbeda karena mereka yang tidak terkekang pada batasan waktu, jelas adalah ciri-ciri dewa yang akademi sering bicarakan.

“Ya, dan sepertinya tidak. Aku bertemu dengan adikmu yang dengan beraninya menyebut kita sebagai sekedar elemen yang bisa berbicara.”

“Lushan?”

Dia mengenal Lushan? Urusan apa Lushan berbicara dengan para dewa. Semakin lama aku merasa absurd, dan lupa dengan masalahku sebelumnya, bahwa aku sedang sekarat sekarang.

“Aku dewa yang menjaga daya tarik antar materi, menjaga keseimbangan ruang waktu. Lebih mudahnya, aku yang membuat batu jatuh ke tanah, dan manusia di masa depan menyebutku gravitasi.”

“Kau yang membuat orang terjatuh.”

“Ya, tapi lebihnya lagi, aku yang membuat air pasang, membuat bumi mengitari matahari, dan menjaga seluruh alam semesta berputar.”

“Tapi matahari yang mengitari bumi.”

Semua ucapan yang spontan kukeluarkan tanpa terpikirkan sama sekali, dan tahu apa aku dengan apa yang dewa ini ucapkan? Aku bahkan tidak tertarik sama sekali.

“Geosentris! Kebenaran memang selalu berubah seiring berjalannya sejarah bukan?”

Aku benar-benar harus mengakhiri perbincangan ini. Saat kita berbicara, apa yang tengah Man Yi lakukan? Jika dewa mengajakku kesini, maka satu-satunya tujuan itu adalah dia ingin membantuku. Tapi pertanyaan baru muncul, mengapa? Mengapa pada momen ini dia mengajakku kesini? Mengapa dia ingin membantuku? Apakah karena aku seorang Ashide? Apa ini ada urusannya dengan Lushan?

“Apa kau sadar bahwa kau baru saja mengucapkannya?”

“Apa?”

“Pikiranmu.”

Dan aku sadar bahwa mulutku benar-benar terbuka lebar, dengan lidah yang bergerak setiap kali pikiranku keluar, bahkan saat ini juga.

“Jika kau dewa tolonglah aku!”

Aku benar-benar tidak bisa menahannya, segalanya keluar dari mulutku.

“Aku ingin membunuhnya, membunuh wanita jalang tersebut!”

Ucapan itu, apa ini benar-benar apa yang kupikirkan, kata-kata kasar itu? Tidak, pasti ada suatu kehendak yang mengambilnya!

“Aku ingin benar-benar menghancurkan wajahnya, merontokan giginya, menunjukan wajahnya ke genangan darahnya sendiri. Aku ingin melakukan apa yang ia lakukan padaku.. tidak, lebih buruk!”

Hentikan..

“Aku ingin membunuhnya pelan-pelan hingga ia tahu bahwa arwahnya telah sampai pada tenggorokannya.”

Hentikan.. hentikan..

“Lalu kugorok kepalanya! Kugantungkan kepalanya agar semua melihat bahwa mereka tidak akan bermain-main denganku! Bahwa aku, Ashide, berada di atas mereka, puncak rantai yang mereka bicarakan itu. Oh dewa tolonglah aku!”

“Ah.. aku ingin, ingin sekali membunuh orang-orang yang menyoraki, binatang-binatang itu.”

“Lalu.. Li Ling..”

Hentikan semua ini!!

“Ya, aku akan menolongmu mewujudkan itu semua. Kontrak kita telah dibuat sekarang.”

Tidak, aku tidak mengucapkannya, aku.. aku tidak ingin membunuh Li Ling.

Dewa ini pasti telah bermain dengan pikiranku!

“Tidak Balthiq, itu semua apa yang benar-benar kau inginkan. Id mu, benar-benar dari lubuk hatimu.”

Tidak, tidak mungkin..

“Tapi aku ingin kau memahami apa yang benar-benar kau katakan.”

Dewa tersebut menyentuhkan jarinya ke kepalaku, dan membuatku jatuh ke dalam genangan air. Tiba-tiba rasanya aku tenggelam di antaranya, dalam sekali, dan gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.


***

“Sebagai pengawal kisah, aku akan berkata bahwa kalian memiliki sifat naluriah, ego, dan moral. Rantai moral mengekang dua hal tersebut. Kedipkan matamu Balthiq.”

Aku mengedipkan mataku, dan tiba-tiba diriku telah berada di tempat lain. Sebuah ruangan, dengan lantai yang merupakan papan kayu, kasur, dan pintu geser dengan celah-celah yang ditutupi kertas. Sosok bayangan muncul dibalik pintu tersebut, sosok kecil dan besar, dan kini memasuki ruangan ini.

“Anak sialan, berapa kali kuucapkan untuk tidak bermain diluar!”

Seoorang pria memarahi anak gadisnya. Aku bisa melihat bekas tamparan pada pipi gadis tersebut.

“Kenapa? Kenapa saat anak-anak lainnya boleh keluar aku tidak boleh?!”

Gadis ini memakai baju anggota kekaisaran, aku tahu itu dari motif gaun sutra itu yang sering ibu kenakan. Rambutnya terikat, dan tahi lalat di dagunya, aku seperti mengenalnya.. Man Yi?

“Kenapa? Bukankah aku sudah mengucapkan berkali-kali padamu? Karena kau adalah seorang suku bar-bar!”

Ayahnya berbadan besar, kekar. Dia seorang china karena matanya yang sipit. Suaranya berat dan keras sekali sampai membuat bulu kudukku berdiri. Telapak tangannya sangat besar, dan aku tak bisa menyangka bagaimana dia menampar gadis sekecil ini?

“Lalu ada apa dengan itu?”

“Keras kepala!”

Dia menampar anaknya begitu keras, menghempasnya hingga kepalanya terbentur meja. Aku segera berlari menuju anak tersebut mencoba memegangnya, namun sosokku menembus badannya, dan kini aku menyadari bahwa diriku tidak benar-benar berada disini.

“...”

Anak tersebut menatap ayahnya. Hidungya mengalir darah, dan juga kepalanya yang terbentur sisi tajam meja tersebut.

Tatapannya marah, dan sang ayah seperti terhina oleh tatapan tersebut.

“Kau.. kau.. kurang ajar..”

Dia mendekati anaknya, dan anak tersebut mencoba menjauhi ayahnya namun ketika dia merangkak, sang ayah menarik rambutnya.

“Ahhh!!”

“Aku akan mengajarimu anak sialan!”

Tanpa sadar diriku bergerak, marah, mencoba memegang pundak pria tersebut dan tahu bahwa semua ini hanya sia-sia saja. Apakah aku hanya bisa melihat? Rasanya ini benar-benar salah. Aku akhirnya hanya bisa menutup mulutku, mencoba menahan tangisku mendengar teriakan sang anak yang kesakitan. Saat itu dia menarik dan menyeretnya begitu keras. Beberapa rambutnya lepas bersama kulit yang berada di kepalanya.

“Ayah! Ayah!! Maafkan aku.. tolong..”

Aku mengikuti mereka keluar dari ruangan, dan menyadari bahwa tempat ini memang adalah komplek kerajaan. Di kejauhan aku bisa melihat seorang wanita yang menangisi anak tersebut, dan terlihat bahwa dia adalah ibunya, seorang suku bar-bar. Matanya ketakutan, kakinya penuh gemetar dan terlihat tidak bisa melakukan apa-apa walau anak gadis kecil yang tengah diseret ini adalah anaknya sendiri. Mungkin dia takut dengan suaminya, tapi adakah alasan seorang ibu untuk tidak melindungi anaknya? Apa ia pikir anak ini pantas mendapati hal ini.

Aku marah, rasanya ingin berteriak tapi tidak memiliki mulut, mereka semua tidak bisa mendengarkanku.Saat itu sang ayah menyeretnya hingga menuju ke arah gubuk yang gelap tanpa jendela, dan panas sekali karena matahari tepat mengenai gubuk tersebut.

“Ayah aku takut... Ayah!”

“Ini tempat untukmu sementara ini, bersama dengan kotoran dan kencingmu. Aku tidak akan memberimu makan dan minum di tengah terik panas ini! dan oh, jika saja ada pelayan atau ibumu yang berani melakukan itu, aku akan memberikan mereka yang terburuk. HEI KALIAN SEMUA DENGAR ITU!”

Anak gadis ini memegangi kaki ayahnya meminta ampun, dan sang ayah menendanginya, membuatnya semakin masuk ke dalam kegelapan ini. Ketika itu sang ayah menutup pintunya, dan celah-celah cahaya semakin lama menutup.

“...”

Gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.

“...!”

Tiba-tiba terdapat suatu sorot cahaya mengarah pada anak gadis ini yang kini terlihat duduk menekuk lututnya, tentu ini perbuatan dewa.

Dia menangis dengan lamanya, menggedor pintu gubuk, mencakarkan kukunya sambil berteriak meminta tolong, dan akhirnya berhenti setelah beberapa jam kelelahan.

“...bunuh..”

Dia mulai bergumam sesuatu, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena dia berbicara sambil berbisik. Aku mendekatkan telingaku, dan tiba-tiba dia menaikan wajahnya ke arahku, membuatku benar-benar kaget hingga terjatuh.

“Aku akan membunuhnya!”

Matanya melotot, dan aku bisa melihat sesuatu muncul dari dahinya.

Tanduk.

Kecil, tapi jelas bahwa itu tanduk yang muncul pada dahinya.

“Aku akan membunuhnya, bunuh, bunuh..”

Matanya yang melotot membutku ngeri sendiri, dengan rambutnya yang berantakan, darah yang mulai mengering dari dahinya, dia terus bergumam hal yang sama terus menerus, dan tidak terasa tanduk itu semakin jelas terlihat dari dahinya membentuk ujung yang tajam.

“Kita kebagian selanjutnya, kedipkan matamu Balthiq.”

Dan aku mengedipkan mataku.

***

Dalam kedipan dunia sudah berubah lagi, kini aku duduk di meja makan bersama keluarga tadi. Ruangan ini redup, dengan pencahayaan seadanya dan atmosfir yang terasa aneh sekali. Si gadis kecil kini duduk di ujung, sang ayah yang tersenyum sambil menggulung-gulungkan jenggot panjangnya dengan jemarinya, sang ibu yang matanya sembab melihat anaknya dengan wajah khawatir, dan lelaki gendut tua yang terlihat tersenyum genit duduk di ujung lainnya. Si gadis menunduk dengan keringatnya yang keluar deras, dan aku tahu bahwa dia merasa canggung.

“Jaga sikapmu, jangan menunduk seperti itu!”

“Ayah..”

Dia menegakan mukanya, dan aku bisa melihat bahwa gadis ini tidak menyukai pria yang berada di hadapannya.

“Aku tidak ingin..”

Sang ayah berdiri mendobrak mejanya, dan pria tua gendut itu ikut terbangun dari kursinya.

“Tidak apa, aku tahu apa yang dia ragukan. Tapi aku berjanji, dia akan terbiasa.”

“Ya, semoga saja seperti itu, anak tidak tahu diuntung.”

Aku bingung sama sekali, sebenarnya apa yang terjadi disini? Saat itu gadis tersebut menangis, dan sang ayah sepertinya sangat berusaha untuk menahan amarahnya. Pria gendut itu mendekati sang ayah, berbicara dengan jelas hingga terdengar olehku yang jauh dari mereka.

“Aku tidak ingin kau merusaknya, kau dengar itu.”

“Baik..”

Sang ayah yang kekar itu menunduk ketakutan pada pria tua gendut tersebut, dan lalu pria tersebut mengampiri gadis kecil tersebut yang sekali lagi menekuk mukanya ke lantai. Dia mengambil dagunya, membuat gadis tersebut menatap matanya langsung.

“Tersenyumlah Man Yi, karena saat kita tinggal bersama, aku tidak ingin istriku bersedih seperti ini.. aku akan.. memaksamu tersenyum, kau mengerti?”

Man Yi? Benarkah dia Man Yi?! Lalu istri, apakah tidak sinting seorang ayah menikahkan gadis kecil seperti ini pada pria tua yang rasanya sudah hidup setengah abad ini? Tapi selama pikiran ini berlangsung, aku juga mulai berpikir apa yang dewa inginkan dengan melihatkanku masa lalu Man Yi.

Tanpa sadar, aku melihat tanduk di dahi Man Yi terlihat lagi, kini lebih panjang dari sebelumnya, dan bahkan terus memanjang. Ketika pria tersebut meninggalkan Man Yi, aku bisa mendengarnya, suara hati Man Yi yang mengutuk lelaki tersebut, ayahnya, ibunya.

“Sialan, sialan, sialan, sialan..”

Terus dan terus hingga kedua orang tua meninggalkan tempat makan tersebut, Man Yi terus terduduk menekuk mukanya dengan tatapan mengerikannya ke arah lantai yang kosong.

“...!”

Lalu saat aku mengedip, tiba-tiba aku sudah berada di tempat lain lagi, kamar, dengan Man Yi yang menggunakan gaun putih pernikahan, dan pria gendut tersebut yang kini bertelanjang dada mendekap Man Yi.

Tatapan Man Yi kosong ketika pria tersebut membuka gaunnya, meraba tubuhnya yang masih kecil, mencoba meremas dadanya erat yang sesungguhnya belum ranum, menciumi lehernya, dan.. aku tidak mau tahu lagi apa yang terjadi setelah ini. Aku langsung menutup mataku, tidak tahan melihat pemandangan menjijikan ini, dan dari celah jariku aku bisa melihat tanduk hitam kusam yang sangat besar keluar dari dahi Man Yi.

“Ah..ahh.. agh!”

Tiba-tiba pria itu terlihat terkejut dalam desahannya, dan setelah itu dia tidak lagi mendesah.

“Aghhh!! AGHHH!!!”

Dia berteriak, dan segera saat aku membuka mataku, terdapat puluhan pedang menancap pada punggungnya.

Mata Man Yi terbuka lebar, melototi pria tersebut yang berteriak panik sampai satu tangan Man Yi menutup mulutnya, dan satu tangannya yang lain mengenggam sebuah pisau dan segera menancapkannya ke bagian samping kepala.

Pria tersebut diam, matanya bergerak tidak teratur, darah keluar dari hidungnya, mulutnya terbuka lebar mencoba menghela nafas dan ketika Man Yi melepas pisau tersebut, sang pria seketika jatuh menimpa Man Yi.

“Tidak..tidak..”

Tatapan Man Yi kembali normal, dan dia terlihat benar-benar ketakutan.

 “Kyaaaa!!”

Lalu dia berteriak kencang-kencang, dan akhirnya para penjaga masuk melihat tuannya yang kini berlumuran darah. Saat itu pedang-pedang tersebut menghilang, begitu pula pisau di tangan Man Yi. Mereka para penjaga kebingungan, dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan Man Yi yang kini berlumuran darah dan kesusahan untuk berjalan setelah keperawanannya diambil oleh pria tua tersebut. Kebingungan, akhirnya mereka segera menyimpulkan bahwa terdapat pembunuh bayaran ahli yang menyelinap masuk, terutama karena pria tua tersebut terlibat dalam intrik politik kerajaan.

“...”

Mata Man Yi masih terlihat shock, dan badannya penuh dengan gemetar. Saat itu tanpa sadar tanduk dari kepala Man Yi sudah menghilang entah kemana.

Kemudian aku mulai berpikir tentang tanduk tersebut, apakah sebenarnya kulihat? Apakah ini ada hubungannya dengan itu semua?

Lalu ketika orang tua Man Yi datang, sang ibu langsung memeluk sang anak yang ketakutan, meminta maaf karena menikahkan paksa dirinya. Tapi tidak dengan sang ayah yang terlihat ketakutan melihat wajah Man Yi. Dia menunjuk pada anaknya, dan berteriak.

“Kau! Pasti kau bukan! Anak terkutuk!”

Lalu dibalik pelukan ibunya, Man Yi menatap ayahnya, dan seketika aku maupun sang ayah merasakan gemetar pada bulu kuduk kami.

Man Yi tersenyum saat itu.


***


Sang dewa membawaku ke banyak peristiwa yang dialami Man Yi, bagaimana dia membunuh ayahnya yang hampir melukainya kembali, bahkan ibunya, bagaimana dia lolos dari itu semua dengan kepintarannya melewati pengadilan, bagaimana dia masuk dalam akademi sihir dan melakukan duel pertamanya, lalu banyak lagi pertarungan, pembunuhan yang membuatnya menjadi petarung tingkat tinggi di akademi. Man Yi benar-benar berubah menjadi sosok yang mengerikan, berdarah dingin, bahkan aku tidak bisa melihat lagi ketakutan saat dia melakukan pembunuhan keduanya.

Lalu pada kedipan terakhir, aku kembali dalam dunia sang dewa yang gelap, dan dia sudah menungguku di kursi.

“Apa kau masih ingin membunuhnya?”

“Tidak..”

Tiba-tiba saja tidak lagi terlintas lagi pikiranku untuk melakukan hal keji pada Man Yi. Aku kini paham bahwa sosoknya kini dibentuk oleh tragedi demi tragedi, lahir pada lingkungan yang memiliki hastrat untuk menyiksa dan membunuhnya. Man Yi lolos dengan penuh perjuangan, yang membuat mentalnya terluka, dan menjadikannya sosok seperti sekarang.

“Kini kau tahu kenapa dia ingin membunuh pria di tempat itu?”

“Dia membenci pria karena apa yang mereka lakukan padanya..”

“Ya, ada dua cara untuk menghadapi keresahan oleh rasa trauma masa lalu, menerimanya, atau menghancurkannya. Dia mengambil langkah destruktif dalam hal itu, dan kau tahu bahwa lelaki tidak diperbolehkan berada di akademi? Dia menggunakan itu untuk pembenaran tentang apa yang dilakukannya, bahwa itu tidak berlawanan dengan moralitas yang ada di akademi kini kau diami.”

“...”

“Monster didalam dirinya tumbuh dan terus tumbuh besar dalam alam bawah sadarnya, dan ketika dia telah sampai batas kewarasannya, sosok tersebut mengambil alih tubuhnya, dan menjadi kesadaran dominan dalam gadis tersebut.”

Saat ini aku tetap tidak ingin membenarkan hal ini. Kebenciannya terhadap lelaki , pembenaran, dan sebagainya kupikir jelas adalah hal yang salah. Tapi tetap, perasaan ini berbeda dengan keadaan ketika pertama kali aku bertemu dengannya, aku tidak lagi bisa membencinya.

“Aku sedikit melihat memorimu, dan apa kau menyadari sesuatu ketika dia menyeretmu masuk ke dalam kelompoknya, ketika kau merasa diusili? Lalu juga ketika dia mengajakmu sekali lagi ketika mereka ingin mengeksekusi pria tersebut?”

Aku menggelengkan kepalaku, saat itu kupikir tidak ada maksud khusus tentang apa yang dilakukan Man Yi kepadaku.

“Dia melihat sesuatu darimu Balthiq, refleksi sosok dirinya. Dia ingin menjadikanmu kawan, membentukmu menjadi dirinya, dan dia sangat kecewa ketika kau menyerangnya, tanda bahwa kau menolak.”

“Refleksi?”

“Bahkan dalam pertarungan itu dia masih berusaha untuk membentukmu, dan dia berhasil Balthiqku sayang, lalu karenanya kini aku memanggilmu.”

Rasa merinding muncul dari bulu kudukku ketika dewa tersebut menyebut ‘Balthiqku sayang’. Nadanya berubah menjadi terdengar menggodaku dan dia mendekatiku.

“Aku ingin menyadarkanmu bahwa Man Yi telah merusak ikatan moral yang mendekap naluriahmu, dan kini aku memperlihatkanmu bentuk baru, empati, kekuatan yang lebih kuat dari ikatan moral yang muncul dari perasaan. Ironi adalah karena empati muncul dari perasaan setara, wujud monster yang sama, bahwa kau merasakan hal yang sama persis dengan dirinya. Kau tidak benar-benar sadar karena semua itu tersembunyi dalam alam bawah sadarmu.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Monster juga telah tumbuh besar dalam alam bawah sadarmu Balthiq, dan monster tersebut sangat cantik dan agung.”

Tiba-tiba sang dewa menggerakan tangannya, dan muncul kotak-kotak bersinar yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang dialami Man Yi, lalu dia menggerakan tangannya lagi dan wajah Man Yi berubah menjadi diriku.

“Apa maksudmu..”

Lalu dia menggerakan tangannya lagi, dan lingkungan Man Yi berubah menjadi lingkungan yang persis dengan lingkunganku. Aku melihat diriku bekerja di tempat roti dan mereka melempar piring hingga kepalaku hingga berdarah. Saat anak-anak melemparkan batu padaku yang baru pulang.  Ketika rambutku ditarik dan dipukuli habis-habisan oleh Man Yi.  Lalu.. satu kotak terasa asing bagikum dan aku tidak tahu apa yang kulihat.

“Kau ingat represi yang kuucapkan, ketika kau benar-benar menekan ingatanmu dalam-dalam ke alam bawah sadar.”

Mereka para pekerja di tempat roti itu menyeretku, membuka bajuku, lalu..

“Tidak! Kejadian ini tidak pernah terjadi padaku!! TIDAK, TIDAK, TIDAK!!”

“Kau menyangkalnya Balthiq, dan kini kau terus berusaha mensugesti dirimu sendiri dengan teriakan itu, histeria.”

Tanpa sadar tanduk muncul dari kepalaku, dan aku mencoba menahannya keluar, tapi tanduk tersebut tidak berhenti tumbuh. Saat itu suara dari kotak itu keluar, suara desahan, dan suara itu muncul dari mana-mana, atas, bawah, bahkan di kepalaku sendiri, bahkan dimulutku sendiri!

Aku segera menutup mataku, menutup kupingku, tapi seakan terdapat mulut dalam telapak tanganku. Suara itu keluar dari mana-mana.

“Karena itu Balthiq, aku akan memutuskan rantai yang mengekangmu.”

Tiba-tiba aku merasakan tangan dewa yang memegang pundakku, dan aku segera mencoba melepaskannya kemudian berlari.

“Oh Balthiq, seperti bagaimana kau ingin berteriak sekencang mungkin tapi tuhan tidak memberimu mulut, bagaimana kau bisa lari dari duniaku?”

Tiba-tiba kakiku terlekat di bawah genangan air, dan membawaku berhadapan dengan dewa tersebut yang terlihat sangat mengerikan. Sayapnya terbuka lebar, api keluar dari kepalanya, dan setiap hembusan nafasnya mengeluarkan asap. Ketika itu dibaliknya terdapat satu kotak yang memperlihatkanku satu lagi kejadian yang tidak kuingat, saat aku membunuh banyak orang dan sebuah panah tertancap di mataku.

Aku jelas-jelas mati di kotak tersebut.

“Tahan nafasmu Balthiq.”

Dia memegang kepalaku, dan menceburkannya ke genangan air. Saat itu noda hitam keluar dari wajahku seperti tinta yang masuk ke dalam air. Lalu dewa menarik kepalaku keluar.

“Kau telah terlahir kembali.”

Lalu sebuah kaca besar muncul dihadapanku, noda di wajahku menghilang, memperlihatkan wajahku dari kegelapan yang mengelilingi tubuhku. Saat itu aku bisa melihat bahwa terdapat panah menancap pada mataku, dan tanduk hitam pekat panjang yang sudah berhenti tumbuh. Wajahku terlihat jelas dari noda hitam yang mengelilingi badanku, dan dari punggungku keluar sepasang sayap, sayap yang besar berwarna hitam pekat.

"..."

Tanpa sadar aku tersenyum, senyum yang mirip sekali dikeluarkan oleh Man Yi ketika menatap ayahnya.

“Oh, monster kecilku.”