Rabu, 18 Mei 2016

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 10

Chapter 10 : A Monster Beneath The Snow
Aku berjalan menyeret diri diantara salju yang tebal. Sepi tempat ini, suara-suara yang tadi saling membicarakan kami sudah masuk dalam rumahnya masing-masing, menjaga diri mereka dari dingin menusuk di pagi hari. Aku yang baru tadi keluar terhempas keras oleh hembus kencang angin dingin. Tebal selimut yang kukalungi dan membungkusku tidak mampu menahan dingin yang sangat ini, juga tinggi sepatu boot yang seharusnya membuat kakiku terhindar dari kontak salju tetap saja kemasukan salju melihat tebalnya salju yang tingginya hampir sepinggangku. Salju juga turun menggunungi tudung kepalaku, membuat tudung ini perlahan-lahan berat, dan menekuk kepalaku akan menjatuhkan banyak salju yang sudah berkumpul. Sungguh aku benar-benar tidak terlindungi dari musim salju yang ganas ini.
Tapi aku terus berjalan, aku tidak peduli, persetan.
"Kau tahu malaikat bisu?"
Malaikat bisu tangannya kugandeng, hangat sekali tangannya. Sekali ku menengok, ia tidak terlihat kedinginan dan biasa saja. Putih kulitnya serta pakaiannya, seperti salju yang mengelilinginya, bersinar oleh matahari yang keluar lewat celah-celah awan mendung. Aku sebelumnya khawatir dengan Malaikat Bisu, tapi aku tahu dia bukan sosok biasa.
"Aku begitu kesusahan sekarang, tersiksa lebih tepatnya oleh dingin ini."
Aku mulai mengingat ibu, yang keluar pagi-pagi sekali, dan pulang malam. Selalu ia terlihat lelah, masih sempat membuatkan sup dan mengajariku. Betapa ia merasakan dingin yang tak kenal ampun ini hingga ibu beradaptasi dengannya?
"Ibu tak lebih sama, dengan jaket tipisnya ia berjalan setiap hari untuk bekerja. Tadi ia jatuh, dan diseret ditengah dingin tak berhati ini..."
Malaikat bisu mengangguk-ngangguk, senyumnya masih lekat pada wajahnya. Aku tidak tahu ia paham atau tidak apa yang kubicarakan, aku terus bicara saja, mengeluhkan isi hati yang tak mampu kutampung lagi. Berbicara dengan malaikat bisu, walau tidak menjawab, tapi tidak sama dengan berbicara dengan tembok. Ia mendengarkan, mau ia paham atau tidak.
"Dosakah aku Malaikat Bisu? Rasa-rasanya begitu dosa ketika diriku duduk di perapian ketika ibu bekerja keras menghidupiku di tengah dingin yang menyiksa tulang dan daging ini, mengeluh soal lapar, mengeluh kayu bakar habis, mengeluh ingin keluar, menangis dan ngambek saat dimarahi.."
Dadaku sesak, air mata keluar dari mataku yang seketika kering oleh dingin. Langkahku mulai terhenti, salju yang menutupi tudungku membuatnya berat sehingga aku berusaha membersihkannya, dan saat itu juga aku sadar terdapat angin kencang yang membuat ranting pohon di atasku menjatuhkan kumpulan saljunya ke atas kepalaku, kemudian aku terjatuh, terbenam di antara salju.
Aku benar-benar kedinginan, hingga rasanya kepalaku begitu pusing, kakiku begitu susah digerakan, aku tak bisa merasakan tanganku, kecuali yang kanan memegang malaikat bisu. Malaikat bisu segera menggali salju itu, menarikku keluar. Ketika itu aku sadar bahwa darah mengalir dari hidungku, tetes merahnya begitu kontras dengan putih salju. Aku terduduk, dan malaikat bisu memelukku. Hangat, hangat sekali malaikat bisu. Aku kemudian mengingat ibu, memelukku tadi malam sambil menangis, hangat sekali ibu.
"Betapa ibu begitu terbebani, betapa sayang dia padaku― eh?"
Malaikat bisu menggenggam tanganku. Ia kepalkan, lalu ia taruhkan ke dada. Kepala malaikat bisu menekuk, lalu bibirnya bergerak. Tiba-tiba muncul suara aneh dikepalaku: Berdoalah! Aku sadar malaikat bisu sedang berdoa, dan juga dia menyuruhku berdoa bersamanya. Apa hanya bayanganku bahwa malaikat bisu baru saja berbicara padaku? Tapi benarlah malaikat bisu, dalam segala putus asa, hanya berdoa yang mampu kita lakukan. Lihat rumahku masih terlihat dekat, dia belum tertelan ujung ufuk seperti sebagaimana aku melihat ibu berjalan tadi dari balik jendela, jelas masih jauh tempat ibu, dan aku kini malah terbenam dalam salju, tak bisa bergerak maupun berkutik oleh dingin. Jika aku sakit dan celaka, siapa yang rugi kecuali ibu, dan aku tak mau lagi membebaninya, aku ingin membantunya.
Maka aku mengikuti malaikat bisu. Aku memejamkan mataku, berdoa, sesuatu yang lama tidak kulakukan.
Dalam doa, aku jadi mengingat suatu hari ibu melempar kitab suci, dia mengamuk di kamarnya. Tidak pernah lagi ibu ajari aku kitab suci tersebut, isinya hanya kebohongan belaka katanya, harapan palsu, tidak ada pernah ada surga di bumi atau setelah mati katanya, hidup hanya siksaan katanya, padahal ibu bilang sejak kecil dulu ia dibuat hafal buku tebal tersebut. Ibu sehari itu menggila, dan aku hampir mulai memahami kegilaan ibu sampai aku bertemu dengan malaikat bisu. Mengetahui ibu tidak akan percaya, aku tidak pernah menceritakan malaikat bisu padanya.
"Tuhan tolonglah aku tuhan..."
Aku sudah lupa bagaimana cara berdoa, apa meminta saja sudah benar?
"Aku ingin bantu ibuku tuhan, dia begitu sendiri, sendirian diantara orang-orang yang terlihat tidak menyukainya. Aku sayang ibuku tuhan.. aku.. sudah berdosa pada ibu tuhan.."
Tiba-tiba aku merasakan keanehan, hangat, aku merasakan hangat. Bukan saja dari tangan malaikat bisu, tapi sekujur tubuhku. Tubuhku terasa begitu segar, darah berhenti menetes dari hidungku. Kubuka mataku, dan terdapat suatu cahaya yang mengililingi kami, dan sesuatu itu melindungi kami dari angin dingin dan menciptakan rasa hangat di tubuh. Ibu, keajaiban ibu, mukjizat itu nyata ibu!
"Mukjizat tuhankah ini!?"
Malaikat bisu mengangguk, ia angkat tunjuknya kelangit, dan setelah itu ia kepalkan tangannya yang ia taruhkan di dadanya sambil menekuk wajahnya. Entah mengapa aku paham, malaikat bisu seperti berkata: "Tuhan baru saja mengabulkan doa kita." Aku segera berdoa lagi, terimakasih tuhan! Terima kasih! Betapa baiknya dia ketika hambanya ini tidak pernah ibadah sekalipun, bahkan ibunya mengutuknya. Entah, tuhan bekerja secara misterius, sebagaimana dia kirimkan malaikat bisu padaku. Selain itu, aku berdoa juga untuk kesalamatan ibu, apakah tuhan akan mengabulkannya juga?
Ketika itu aku mulai mencoba berdiri, tapi tidak bisa. Kukeluarkan kakiku dari sepatu boot, dan kusadar kakiku telah membiru, mati rasa, seakan tidak ada darah mengalir. Salah satu cahaya yang mengelilingi kita tiba-tiba turun mendekati kakiku yang terlihat menyedihkan itu, dan warna biru itu perlahan kembali ke warna semulanya secara perlahan. Aku mulai merasakannya, hangat, jari-jari yang bisa kugerakan. Melihat ini, rasanya tadi aku seperti hampir kehilangan kakiku sendiri.
Sambil menunggu kedua kakiku kembali semula, aku melihat sekitarku. Diantara hangat, dan rasa nyaman ini aku mulai melihat suatu keindahan yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya, suatu imaji yang hanya muncul lewat buku, cerita ibu, dan lirik sembunyi-sembunyi dari jendela. Aku sadar pemandangan desa sudah tampak jelas dari tempat ini, jalanan yang teraspal, berbeda dengan depan rumah yang masih berupa tanah dan rumput. Pohon-pohon maple berjejer disini, rapi memenuhi jalan yang kini hanya berubah ranting kosong tanpa dedaunan, dia pasti indah dan teduh pada waktu musim semi nanti. Di tengah desa ini terdapat patung gagah nelayan, aku lupa, tokoh yang pernah diceritakan ibu sebagai pendiri desa nelayan ini, lalu gedung-gedung juga rumah yang tentu berbeda dengan rumah kita, ia disusun oleh batu bukan kayu, dengan asap yang keluar dari atapnya, dan di antara rumah-rumah terdapat bendera kerajaan yang tergantung dengan tali-tali yang bersambungan. Di kejauhan, aku bisa melihat laut dengan banyak kapal, dan tidak terlihat kegiatan para nelayan pagi ini, dan dari daratan yang tak jauh, sedikit terpisah oleh laut, terdapat juga tembok besar yang dikelilingi awan, tembok pembatas antara dunia manusia dan beastman. Aku baru sadar betapa dekatnya tembok tersebut dari desa ini, alasan mengapa ayah memilih tempat ini kata ibu, ia begitu terpesona oleh tembok tersebut.
Lucunya diantara kekagumanku di desa ini, ibu tak pernah terlihat senang menjelaskan detil desa ini. Dunia, kata ibu, tidak ada yang istimewa, dia bahkan cenderung buruk. Kelabu sekali dunia di mata ibu, sebagaimana dia tidak memandang ulir kayu oak menarik di rumah, ia juga tidak memandang desa ini sebagai sesuatu kecuali desa yang berisikan orang-orang udik. Kota katanya juga tak jauh berbeda dengan kemuakannya melihat kesenjangan dunia orang kaya dan miskin, tapi hal itu lebih baik dari desa ini. Ibu bercerita bahwa anak-anak yang sudah dewasa akan meninggalkan desa untuk pergi ke kota, demi kehidupan dan pendidikan yang layak, ditinggalah orang udik yang sudah nyaman seperti kutu di balik rambut kepala dan ibu katanya merasa begitu keliru memahami isi pikiran suaminya untuk tinggal disini.
Apakah pandangan seorang dewasa pasti selalu seperti itu? Apakah suatu saat kita akan bosan dengan dunia kita sendiri, sehingga kita memandang dunia ini sebagai sesuatu yang menyedihkan seperti ibu? Atau saja, jika aku tidak dikurung selama ini, apakah desa ini akan kehilangan kecantikannya ketika setiap hari aku hidup bersamanya? Kupikir tidak, sebagaimana aku melihat rumahku sendiri, desa ini tetap cantik. Tapi sebagaimana hari ini aku begitu sedih dan khawatir, aku kehilangan kemampuanku melihat kecantikan isi rumah, mungkin hal yang sama terjadi pada ibu, atau juga orang dewasa lainnya.
"Tak kusangka Aslan begitu bodoh."
Aku kaget, tiba-tiba dibelakangku muncul dua orang berjalan. Mereka tegap dan gagah, sosok nelayan di desa ini. Salah satunya memegang botol minuman dan berjalan agak sempoyongan, dan yang satu terlihat begitu marah. Mereka berjalan di dekatku, namun kemudian melewatiku begitu saja.
"Sekarang penyihir itu tidak akan selamat lagi selagi Aslan mengejar kapalnya, tepatlah istilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga, masalah kecil menjadi neraka bagi penyihir tersebut,"
"Jika saja tetua desa tidak sok moralis, jika saja Aslan membuang jauh-jauh harga dirinya"
Sosok yang memegang botol minuman itu melempar botolnya ke arah pohon hingga pecah botol tersebut. Aku kaget dan berteriak sedikit sebelum aku menutup mulutku, dan sekali lagi mereka tidak sadar keberadaanku. Aku mulai mencoba memahami, siapa Aslan, siapa yang dia maksud sebagai penyihir? Kakiku saat itu sudah mulai ingin sembuh.
"Anakku sakit, dan jika tidak ditindak cepat, dia akan seperti anak-anak lainnya! Berapa lama anak penyihir itu mati kelaparan? Cukupkah anakku bertahan hidup sampai anak terkutuk itu mati? Dan aku tanya lagi, jika saja anak terkutuk itu mati, namun anakku tidak baikan, bukankah penyihir itu yang berarti membawa petaka bagi desa ini?! Harusnya kita bunuh saja dua-duanya."
Tiba-tiba aku merasakan merinding, kata 'bunuh' begitu mengerikan di telingaku. Padahal aku sering melihatnya di buku-buku, tapi tidak percaya kata mengerikan tersebut begitu mudah keluar dari mulut, betapa mudahnya juga niat itu muncul. Dunia mengerikan ibu mulai muncul kembali dalam benakku, ketakutan yang dari tadi kupendam itu keluar perlahan-lahan.
"Kau tahu? Sudah cukup minum-minum, kita pergi ke tempat penyihir itu. Katanya mereka melempari penyihir itu dengan batu, kau ingin melampiaskannya kan?"
Entah mengapa aku semakin yakin, mereka berkata soal ibu. Aku berusaha menyangkal pikiran tersebut, betapa mengerikannya. Ibu tidak apakah engkau, ah, aku begitu khawatir, ibu..ibu..
Mereka berjalan menjauh membekaskan bekas di antara salju tebal. Aku sudah bisa berdiri, lalu aku berlari mengikuti mereka. Detil kota ini mulai hilang kembali, aku tidak tahu, tidak memperhatikan lagi, aku berbelok kemana, rumah apa yang baru kulewati, patung, dan lainnya. Aku hanya melihat salju dengan putihnya, bekas-bekas langkah, dan tebal salju yang mereka tabraki. Tanpa sadar aku berlari, selimut lepas dari kalungnya dan jatuh di antara salju tidak kupedulikan. Pikiranku hanya ada ibu, ibu, dan ibu. Kubayangi batu mengenai kepalanya, benjol yang muncul seperti aku jatuh dulu, atau darah segar yang dari kepala ibu.
Tak bisa kubayangkan selain teriakan keras dalam hatiku untuk menyangkalnya, mengutuknya.
Jika demikian, jahat memang mereka ibu. Jahat manusia itu. Jahat mereka melakukan itu pada ibu, dan niat buruk mereka pada kita. Aku semakin memahami sesuatu dari ibu yang sempat kusebut sebagai kegilaan, rasa marah ibu, rasa depresi ibu, rasa pesimis ibu. Jahat dunia ini terhadap ibu, dan bagi ibu dia yang waras, dan dunia yang gila. Semakin kubayangkan semakin aku menyutujui pandangan ibu.
Dan terakhir sampailah aku pada suatu gedung yang besar, pintu yang juga sama besar dengan orang-orang yang begitu ramai, dengan teriakan amarah, kadang tangisan. Kulihat dua pria itu memasuki pintu besar itu yang kini terbuka sedikit, dibiarkan angin dingin masuk melihat sesak dan panas yang terlihat di dalam.
Aku merasa tidak siap, jantungku berdebar kencang, kepalaku rasanya ingin meledak. Bantu ibu, bantu ibu, aku harus membantu ibu. Jalan Racke, ayo! Mengapa aku begitu susah, malaikat bisu, mengapa aku seperti ini! Aku menatap malaikat bisu dalam sedihku, dan kulihat senyum malaikat bisu juga menghilang, terlihat ia juga sama sedihnya denganku. Tangannya juga menggenggam erat-erat tanganku, dan aku sadar, aku tidak sendirian disini.
Aku kemudian berjalan melewati pintu itu, berdesak pada orang yang tak memperhatikan diriku, seakan aku tidak ada disini. Mereka begitu tinggi, hingga diriku tidak mampu melihat siapa yang mereka tonton di kejauhan. Teriakan mereka begitu kencang, hingga suara di depan terdengar begitu kecil dan senyap. Tapi saat itu tiba-tiba sepi, terlihat seorang pendeta menenangkan suasana, aku masih mencoba melihat di antara celah, dan tiba-tiba terdengar suara yang begitu keras dan lantang, suara ibu!
Ibu berdiri disana, rambutnya berantakan, matanya memerah, bajunya sobek dan menyedihkan. Tapi suaranya masih keras hingga suara orang yang mencemohnya kalah dengan suara ibu. Ibu dengan jelas menjelaskan ayat-ayat kitab, dia masih belum kehilangan hafalannya. Suara terakhirnya bergemuruh di isi aula ini, "Terkutuklah kalian, terkutuklah dalam api neraka yang kekal!" tapi orang-orang malah makin mencemohnya, pendeta itu terlihat terhina, salahkah ibu mengucapkannya? Ibu saat itu terduduk lemas, orang tua disebelahnya terlihat begitu marah, wajahnya begitu memerah, urat nadi di antara kepalanya keluar.
"Mati perempuan itu."
Seseorang berucap itu disebelahku, dan tiba-tiba banyak para penonton yang naik ke panggung, menarik rambut ibu hingga ia terseret, membuat ibu berteriak kesakitan. Kerumunan massa dibelakangku segera tertarik ke depan, aku terbawa, mereka ingin berbuat buruk pada ibu! Lalu kulihat orang tua marah itu memukul perut ibu, hingga ibu muntah karenanya.
Aku marah, sangat marah!
Ia pukul wajah ibu!
Semua orang menendanginya!
"Ibu!!"
Aku berteriak begitu kencang. Perhatian mereka segera hilang dari ibu dan kini mengarah padaku. Aku sadar cahaya-cahaya yang mengelilingiku sudah menghilang, ibu terlihat kaget melihatku saat itu hingga ia mencoba berdiri lagi dengan kakinya dengan kesusahan, tangannya mengarah padaku seakan mencoba meraihku dari kejauhan, saat itu juga Ibu dengan lotot matanya berteriak:
"Lari Racke!! LARI!!"
Semua orang datang ke arahku. Mata mereka begitu mengerikan, sangat mengerikan. Wanita dan laki-laki sama saja, terdapat horror yang tak mampu kujelaskan, kebencian yang sangat memancar dari diri mereka, dengan tangan yang terbuka seakan ingin menghancurkanku, meremukku. Kulihat, malaikat bisu sudah jauh dariku, kita terpisah ketika massa bergerak tadi, dia mencoba meraihku, tapi hempit massa yang mendekatiku dengan amarah menghalanginya.
Aku sadar kini aku benar-benar sendiri, dan kakiku seperti membeku tidak mampu bergerak. Kulihat pintu sudah ditutupi bayangan dengan mata-mata yang bersinar.
Salah satu cengkram mencoba menarik bajuku, kuhindari, sampai tangan lainnya di sisi yang berlainan juga hampir mencengkramku.
Aku segera menutup mata, berjongkok, memegangi kepalaku.
Betapa mengerikannya manusia itu ibu, betapa mengerikannya!
Aku mulai berteriak, entah, kepada ibu, kepada tuhan. Apakah mukjizat datang dua kali? Siapa yang bisa menolong kita ibu? Siapa?
"Hentikan!!"
Tiba-tiba suatu tangan memenggangi lenganku. Kubuka mataku, dan tidak ada satupun orang yang mendekatiku. Aku sadar dihadapanku kini terdapat seorang besar dengan pedang di tangannya melindungiku, suaranya begitu keras dan lantang memenuhi ruangan ini, bergema begitu kencang.
"Apa kalian ingin menjadi pembunuh anak-anak?!"
Banyak yang datang lagi, orang-orang nelayan dengan pedang juga di tangan mereka. Malaikat bisu saat itu berlari ke arahku, memelukku. Masyarakat yang marah juga mengeluarkan senjata mereka, pisau, dan lainnya, tapi mereka tidak melawan.
"Siapa yang berani menyentuh anak ini, lewati mayatku dan anak buahku."
Tetua berjalan menuruni tangga dan masyarakat membentuk jalan untuk tetua itu, dia terlihat begitu marah pada sosok di hadapanku.
"Aslan, semua masalah bisa saja selesai hari ini. Kau orang asing tidak akan mengerti ini."
"Persetan dengan orang asing, yang kulihat disini adalah aniaya yang lebih parah daripada apa yang ibu itu lakukan pada nenek tersebut. Aku tahu ada yang aneh dengan desa ini."
"Di pengadilan itu dia menghina kami Aslan, dan itu ganjaran― "
Belum selesai bicara Aslan sudah menyelak pembicaraan, dia tunjuk kepadaku dengan suara yang terdengar sangat marah.
"Lalu kau biarkan anak ini melihat ibunya di aniaya, dan kau biarkan anak ini hampir dibunuh masyarakatmu sendiri? Apa salah anak ini wahai Tetua?! Kupikir manusia disini masih memiliki moral..."
Tetua terlihat membuang mukanya, setelah diinterupsi oleh sosok bernama Aslan, dia langsung mengusir masyarakat yang ramai minta diizinkan mengakhiri ini semua, dan mereka kemudian entah mengapa menurut begitu saja, keluar memandangiku sambil mengutuk. Pendeta tadi juga melewatiku dan berdoa dihadapanku sebelum pergi keluar. Sosok Aslan masih berdebat dengan tetua dan beberapa nelayan, dan kulihat sudah sepi di depan. Ibu dikelilingi nelayan yang sepertinya merupakan anak buah sosok pelindungku. Aku segera berlari menuju tempat ibu saat itu.
"Ibu..."
Darah mengalir dari kepalanya, biru-biru wajahnya. Ibu tidak sadarkan diri, aku berusaha berbicara padanya, tapi ibu tak kunjung juga bangun. Kulihat nafasnya begitu lemah, keluar tangis dari matanya. Kulihat ibu dalam tak sadarkan dirinya menginggau: "Pukul aku, aniaya aku, tapi lepaskan anakku, lepaskan. Oh sayangku..."
"Ibu aku disini ibu, ibu..."
Kupeluk ibu, tapi ibu tak kunjung bangun.
Lalu sesuatu memegangi pundakku.
Sosok yang bernama Aslan itu terlihat masam wajahnya, ia tersenyum tidak enak padakku.
"Racke, maafkan aku."
Aku hanya terdiam, masih memeluk ibu.
"Ibumu... dia akan dirawat di rumah sakit untuk beberapa lama..."
Aku tahu dia berbohong, ibu takkan dirawat di rumah sakit atau semacamnya, desa ini kutahu tidak memiliki fasilitas seperti itu. Yang jelas aku tahu bahwa diriku takkan bisa bertemu ibu dalam waktu dekat, malam ini kita takkan bisa makan sup ikan seperti janji ibu tadi pagi.
Pria ini tentu tak bermaksud buruk berbohong seperti itu, aku jelas masih kecil. Sosok bernama Aslan ini berbeda dengan manusia yang memukuli ibu, suaranya lembut ketika berbicara denganku, lalu ia bisa berubah menjadi keras dengan murkanya melihat ketidakadilan kepada ibu dan aku. Dia orang baik, sesuatu yang ibu jarang ceritakan, sesuatu yang biasanya hanya muncul di dongeng yang hanya sedikit dimiliki ibu dalam koleksi bukunya. Tapi manusia yang banyak itu, mereka yang mengerikan tadi, mereka adalah sosok nyata yang sering ibu ceritakan.
"Aslan, mengapa mereka melakukan ini pada Ibu?"
"Kau tahu namaku? Ah, karena..."
Aslan tak kunjung menjawab seakan ia sedang mencari-cari jawaban terhadap anak kecil yang baru mengenal dunia dewasa ini. Tiba-tiba aku berucap, menjawab pertanyaanku sendiri.
"Kebencian, hingga mereka melakukan aniaya pada ibu, hingga mereka melakukan ketidakadilan pada ibu. Ibu selalu mengatakannya, buku-buku yang kubaca begitu jelas memperlihatkannya, mereka yang mampu melakukan sesuatu yang mengerikan seperti ini hanyalah monster, merekalah monsternya!"
Aku tatap mata pria itu, dan terlihat ia tidak mampu menolak ucapan anak kecil ini. Dari apa yang kubaca dan kupahami, semua orang takut terhadap diri monster hingga ia menjadi sosok jahat dalam suatu bacaan, suatu sosok buas misterius yang manusia tak mampu memahaminya. Mereka begitu percaya sosok itu membahayakan mereka, begitu percaya celaka muncul karena sosok tersebut, sehingga mereka dengan tangan dinginnya membunuh apa yang mereka sebut monster itu dengan harap kedamaian mereka akan tetap terjaga.
Melihat apa yang mereka lakukan pada ibu, yang mereka niat lakukan padaku, sosok monster yang manusia takutkan itu sesungguhnya adalah diri mereka sendiri, bersemayam dalam hati setiap manusia yang telah membuang moralnya, mereka yang telah mati rasa, yang dibutakan matanya karena kebencian dan ketakutan. Aku berhadapan dan menatap langsung sosok monster tersebut, seluruh sosok di desa ini, dan aku semakin paham dunia ibu, aku paham ironi yang bersemayam di hati juga pikiran ibu.
"Aku paham, ibu, betapa mengerikannya dunia diluar pintu itu."
Dan ibu tak kunjung juga bangun...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar