Selasa, 03 Mei 2016

Vandalisme di Wajah Rini (Bagian 3)

“Buu Kerudung!”
“Eh mau pake kerudung hari ini?”
“Iya cepet!”
Sang ibu yang kemarin khawatir dengan keadaan Rini kini bahagia anaknya mulai bicara lagi, bahkan minta kerudung, sesuatu yang telah ia tinggalkan lama kecuali hari jumat ketika ada pelajaran agama di kelasnya. Sang ibu segera mengambil di lemarinya yang sudah tertumpuk pakaian lainnya, telah lama kerudung itu tidak tersentuh, dan terlihat sang anak sedang duduk di kasurnya dengan pakaian sekolah yang sudah rapih, roknya panjang, dan bajunya yang tidak lagi ketat.
“Dandanin Bu.”
Sang ibu menghela nafas lega, anaknya sudah normal lagi.
“Gak usah menor, bedakin sama kuncirin aja.”
Oke, dia aneh. Pikir sang ibu.
***
Rini mendengarkan apa yang diucapkan sang psikiatris, menjadi gadis baik-baik untuk mengubah dan menghapus tulisan yang ada di wajahnya. Walau demikian entah mengapa ia resah, ini bukan dirinya. Tapi normal kata sang psikiatris, bahkan hampir semua orang sebenarnya seperti itu untuk bisa berbaur dengan komunitasnya. Mendengar kata ‘Normal’, Rini yang tak pernah berpikir apa yang orang pikirkan terhadap dirinya hanya bisa mengangguk-ngangguk, dia yang tidak normal ternyata, dan bukan menjadi diri sendiri di hadapan teman-teman ternyata yang merupakan normal.
Di kendaraan umum Rini terus-terusan berpikir, bagaimana ia meminta maaf nanti pada Nur Jannah, ia tak pernah seumur-umur meminta maaf ketika merasa tidak bersalah, wajar dong dia marah karena perlakuan Nur Jannah yang kurang ajar, walau memang ejekan Rini kelewat parah, setidaknya Nur Jannah harus meminta maaf juga. Ia berpikir sambil memeluk tas gendong barunya, karena tasnya kemarin ketinggalan di kelas dan tidak ada satupun temannya yang mengantarkan ke rumahnya.
Telah sampai ia di gerbang sekolah, anak-anak begitu ramai masuk, memakirkan motornya, saling menyapa sesamanya, berlari ke kelas untuk menjiplak PR temannya, dimana Rini juga seharusnya seperti golongan-golongan siswa yang seperti itu, tapi kini dia tidak terlalu bersemangat, bahkan cenderung tidak peduli. Pikirannya penuh perihal konsenkuensi perihal hal yang ia lakukan kemarin, apa yang teman-teman pikirkan padanya, apa yang Jepri pikirkan padanya, apa yang guru pikirkan padanya. Tak ada habis-habisnya, Rini hanya bisa menekuk mukanya, melewatkan detil-detil pagi ini untuk segera masuk ke kelasnya.
Suasana canggung itupun benar-benar nyata. Ruangan kelas terasa kelabu seketika Rini masuk, tidak ada gembira teriak tawa yang biasanya ada ketika Rini muncul, tidak ada yang menarik Rini untuk mengobrol perihal drama korea Descendants of the sun yang baru update kemarin, padahal tadi malem Rini kegirangan karena si ganteng Yoo Si-jin gak jadi mati. Semua terdiam kaku dengan tatap mereka yang dingin. Terlihat disitu tas Rini yang tergeletak di kursinya, tidak ada satupun yang memindahkan. Rini kemudian menekuk mukanya, masuk dan duduk di mejanya dimana Iis sudah duduk disana.
“Pagi Rin..”
“Pagi Is..”
“Tumben pake kerudung Rin?”
“Iya, lagi pengen aja haha..”
Suasana begitu canggung diantara keduanya, basa-basi itu tidak berlanjut. Rini dan Iis sebenarnya tidak sedekat yang dikira, mereka hanya status teman yang akrab karena tanpa sengaja duduk bersebelahan ketika guru mengacak tempat duduk, mungkin habis ujian tengah semester sang guru akan mengacak tempat duduk lagi, status pertemanan mereka akan menjadi asing kembali. Ia kemudian menengok ke arah Nur Jannah, memantapkan tekadnya untuk minta maaf, tapi mejanya kosong, kecuali tas dengan gantungan kunci Man Jadda Wa Jadanya.
“Is, dimana Nur Jannah.”
Iis melihat Rini kaget. Apa Rini ingin membuat perhitungan lagi? Pikir Iis. Tapi Iis lihat wajah Rini yang terlihat sedih, Iis akhirnya berusaha mengingat-ngingat dimana Nur Jannah tadi.
“Keluar Rin, kupikir dipanggil guru.”
Dipanggil guru? Ada hubungannya-kah denganku? Pikir Rini. Benar saja saat itu, pintu kelas terbuka, seorang guru yang sudah berumur nenek-nenek masuk, namun bel sekolah saat itu belum juga berbunyi. Semua murid saat itu merasa kenal, tapi asing, siapa nenek-nenek ini? Guru tua tersebut lalu melihat ke kiri dan ke kanan, menyipitkan matanya di antara kacamata frame tebal silindernya. Dia menyerah, tidak ditemukan anak yang dicarinya, lalu ia berteriak :
“Siapa disini yang namanya Rini!”
Rini berdiri, teman-teman heboh. Kalau tidak salah si nenek itu wakil kepala sekolah bukan? Mereka saling berbisik, mulai ingat ketika mendengar teriakannya, teriakan khas ketika dia meneriaki murid yang terlambat saat upacara bendera. Hati Rini berdetak kencang, teman-teman geng Rini segera berkumpul mengelilingi Rini dengan wajah simpati mereka. Tidak apa Rin, omong mereka, kamu enggak salah kok. Tapi Rini begitu benci sikap mereka itu yang barusan dingin pada Rini dan kini sok simpatis, bahkan Rini belum cerita ke mereka kronologis masalahnya dengan Nur Jannah, bagaimana bisa mereka bilang Rini tidak bersalah? Tapi Rini hanya tersenyum mengangguk. Dia tidak boleh memperlihatkan sikap jijiknya tersebut. Dia berjalan menghampiri wakil kepala sekolah itu yang menyuruhnya ke ruang BK, dan semua ini terkait masalah Nur Jannah. Rini entah mengapa sudah tidak kaget.
***
“Lah, si Nur Jannah yang dulu—“
“Jangan ngelawan kamu!”
Wakil kepala sekolah membentak. Rini segera menekuk wajahnya. Air mata keluar dari mata Rini, dia bukan hanya merasa sedih menyesal, tapi juga tidak merasa adil disini. Tuduhan demi tuduhan hanya mengarah padanya, bahkan dari pengakuan teman-teman sendiri yang didatangkan jadi saksi mata, dan mereka hanya melihat separuh adegan. Setiap pembelaan Rini dibantah oleh tidak mungkinnya Nur Jannah melakukan tindakan yang dijelaskan Rini, murid-murid juga pasti tidak percaya Nur Jannah yang baik, alim, dan berprestasi bisa melakukan tindakan kelewat menyebalkan seperti apa yang Rini jelaskan.
Kemudian Rini mendengar rengekan dari kejauhan, di ruang yang terpisah seorang guru BK sedang berusaha menenangkan Nur Jannah yang mengaku ketakutan untuk ke sekolah, trauma bertemu dengan Rini, takut dibully dia dan gengnya. Rini sekali lagi memang terkenal membuat perhitungan dan perhitungan tersebut kadang dibantu oleh geng-gengnya, tapi itu juga jika satu gengnya setuju dengan apa yang Rini lakukan. Kini dia bahkan tidak mendapat simpati sama sekali.
“Saya beri kamu pilihan, kamu saya skors seminggu, dimana saya tahu kamu gak bakal naik kelas ngeliat kamu udah sering bolos, atau kamu sekarang minta maaf sama Nur Jannah, janji kamu gak bakal ngebully dan ganggu dia lagi.”
Rini ingin membalas bahwa apa yang ia lakukan tidak ada kaitannya dengan bully-membully, tapi nenek tua bangsat ini sudah begitu budek telinganya, dan buta matanya untuk menanggapi Rini bicara. Sang wakil berdiri, keluar dari mejanya berjalan ke arah Rini, tangannya dengan cepat mencubit lengan Rini.
“Aw, sakit bu!”
Cubitannya begitu kecil, keras, dan perih. Ia menarik Rini sambil mencubit, menyeretnya masuk ke dalam ruangan dimana Nur Jannah berada.
Disitu Rini dan Nur Jannah saling bertatap mata. Nur Jannah duduk di kursi berhadapan dengan guru BK. Matanya begitu merah, ingusnya keluar, dan banyak tisu berserakan. Rini tak jauh beda, hanya dia tidak diberi tisu, dia hapus ingusnya itu dengan helai kerudung usangnya. Nur Jannah saat itu mukanya masam, Rini ingin juga seperti itu, tapi wakil kepala sekolah mengamati segala gerak-geriknya, Rini hanya bisa menekuk mukanya.
“Nur Jannah, Rini tadi udah cerita dan katanya dia nyesel dan janji gak bakal sakitin Nur Jannah lagi, iya kan Rini?”
Rini kemudian didorong punggungnya, hingga lutut antara Rini dan Nur Jannah saling berdekatan. Rini disuruh meminta maaf langsung padanya. Ketika dia berusaha mengumpulkan kata-kata, tiba-tiba ia melihat suatu senyum kecil dari Nur Jannah. Hati Rini hancur berantakan. Makin susah kata itu keluar, hanya kata-kata! Lihat itu nenek tua bangsat! Lihat senyum itu! Dia jahat, aku tidak sudi minta maaf! Pikir Rini membrontak, dan lamanya Rini mengeluarkan permintaan maaf membuat wakil kepala sekolah muak.
“Rini!”
Baru pertama kali dia dihadapkan kegelisahan separah ini, ketika ia harus mengakui kesalahannya sendirian, ketika lawannya adalah manusia yang dianggap begitu suci. Rini mengutuk dalam hati, Nur Jahanam anjing, taik, babi, dan segala kebun binatang lainnya. Tapi lain dengan hatinya yang mengutuk, Rini memegang tangan Nur Jannah. Tak rela kata-kata keluar hingga air mata membanjiri mata Rini. Ucapnya perlahan, terbata-bata, suara itu seakan tidak rela keluar dari tenggorokan Rini, tapi ia harus keluar demi kebaikan Rini, demi kesembuhan Rini.
“Maafin aku Nur, aku bener-bener salah kemarin. Aku janji gak bakal sakitin kamu, khilaf kemarin aku, kamu mau maafin aku Nur?”
Nur Jannah tidak membalas langsung, dia perlahan melepas tangan Rini yang menggandengnya. Ia tengok wakil kepala sekolah dan guru BK yang menatapnya, memberi isyarat pada Nur Jannah untuk memaafkan Rini yang ada di hadapannya.
“Iya aku maafin.”
Begitu? Permintaan maaf satu arah? Dia merasa gak bersalah sama sekali? Si Nur Jahanam ini! Amarah Rini memuncak-muncak, tangan yang terlepas dari gandeng itu mengepal, urat nadi di kepalanya keluar. Jika saja bukan dihadapan wakil kepala sekolah, jika saja bukan di hadapan BK, jika saja bukan karena Rini ingin sembuh, bukan jambak yang akan Rini berikan padanya, tapi tempeleng yang keras, untuk membangunkan cewek sialan ini bangun dari delusinya.
Tapi Rini menatap realita, hanya ini yang bisa dilakukannya.
Saat itu wakil kepala sekolah tersenyum, guru BK juga, mereka berdua puas bahwa masalah ini selesai dengan mudahnya. Wakil kepala sekolah lalu menepuk pundak Nur Jannah.
“Mulia sekali kamu Nur Jannah. Memberi maaf pada seseorang walau memang susah adalah tindakan dari hati yang mulia.”
Rini segera keluar dari ruangan tersebut tanpa pamit, muak, dan ingin muntah. Dia tak pernah merasa semuak ini seumur hidupnya.
***
Hati Iis gundah, tak bisa masuk pelajaran yang diajarkan sang guru yang tak bosan menulis di depan papan tulis, tak bisa tulisan-tulisan di buku paket tebal mahal biologinya masuk dalam pikirannya untuk paham kata-kata asing macam Glikolisis, Jalur EMP, Krebs, dan omong kosong lainnya melihat wajah Rini yang tertempel di meja, dengan air matanya yang mengalir hingga becek membasahi buku tulis Iis. Tangis Rini memang tidak meraung-raung, tapi terlihat begitu menderita.
“Psst, Rin kamu gak papa?”
Berbisik Iis di telinga Rini, dan Rini segera mengangkat wajahnya dari meja. Ia lihat Iis yang terlihat khawatir padanya, ah, dia satu-satunya orang yang bisa kucurhati pikir Rini. Tapi saat itu juga Rini ingat tulisan ‘Sinting’ yang tertampang di dada Rini dulu dan tak lain itu semua dari tanggapan Iis terhadap Rini. Rini yang mengingat ingatan pahit tiba-tiba menangis semakin kencang. Sang guru yang sebenarnya dari tadi sadar bahwa Rini menangis akhirnya muak juga ketika suara keluar dari mulut Rini. Iis menyadari ini, dia tahu guru biologi ini sering melempari kapur ke muridnya yang ketahuan ngobrol.
“Ssstt Rin! Rin!”
“Huaaaaa!!”
Lalu kapur terlempar tepat ke jidat Rini.
***
Waktu istirahat tiba, kelas begitu kosong, semua anak pergi ke kantin kecuali Rini dan Iis. Air mata Rini sudah kering, tapi sedihnya masih membuat dia tidak bisa menegakan wajahnya sehingga pipinya masih tertempel di meja, mungkin jika dilepas membekaslah wajah itu oleh ulir-ulir mejanya yang berlubang karena rayap. Sedangkan saat itu Iis hanya diam, melihat handphonenya yang tidak ada notifikasi, dalam hatinya Iis ingin berbicara dengan Rini tapi bingung untuk memulai pembicaraan dari mana, dan malah Rini yang bicara duluan.
“Gak pergi ke kantin kamu Is?”
Rini bertanya sambil wajahnya yang tetap berada di meja. Bicaranya seperti anak yang baru nangis, terbata-bata, sambil menghisap ingus. Iis akhirnya menghela nafasnya, memutuskan untuk bicara terus terang.
“Aku khawatir sama kamu Rin.”
Rini kaget, wajahnya memerah, ada orang yang khawatir padanya.
“Kamu kalo mau curhat, bilang aja ke aku. Aku dengerin sampe kamu puas, tapi kamu jangan sedih kayak gini lagi yah?”
Rini terharu. Dia lupakan tulisan ‘sinting’ yang muncul padanya. Dia segera membangunkan wajahnya, dan benar, banyak pola aneh yang tertempel di pipi Rini yang merah, membuat Iis pingin ketawa, tapi ditahannya. Segera saat itu Rini memegang tangan Iis yang kecil itu, dia rasakan teman asing disebelahnya ternyata sosok malaikat digelapnya masa-masa cobaan hidup yang Rini rasai kini.
“Beneran kamu mau dengerin aku curhat?”
“Tentang Nur Jannah kan? Katanya kamu punya cerita versi kamu sendiri Rin.”
“Iya, iya, kupikir gak ada yang mau dengerin aku!”
Iis sebenernya pikir versi populer memang masuk akal sekali, dimana Rini marah karena Nur Jannah menolak memberi PR, tapi Iis ingin menjadi pendengar yang baik. Ia ingin teman disebelahnya ini baikan.
“Yaudah coba kamu cerita.”
Lalu Rini menceritakan segalanya, soal dia ingin berbicara dengan Nur Jannah, ketika Nur Jannah membanting bukunya ke tanah dan membentak Rini, segalanya, kecuali fakta bahwa Rini bisa melihat kata-kata di wajahnya. Iis mengangguk-ngangguk, walau tak bisa membayangkan Nur Jannah melakukan itu, tapi Rini yang Iis kenal selama ini memang bukan tipe cewek pembohong, lebih tepatnya kelewat jujur dan blak-blakan. Mungkin sifat kasar dan frontalnya perwujudan dari sikap polosnya itu.
“Mungkin Nur Jannah lagi ada masalah hari itu.”
“Tapi tetep, siapa yang gak marah digituin?! Semuanya juga, seakan-akan suci Nur Jannah itu, semuanya nyalahin aku. Bahkan orang guru-guru?! Brengsek semuanya!”
Rini sudah merasa lega, benar-benar lega dia bisa bercerita keluh kesahnya, dan lebih tepatnya didengarkan. Iis juga terlihat mempercayai ceritanya, Rini sangat senang dengan hal tersebut. Tapi hanya satu lagi keluh kesahnya, penyakitnya itu, tapi apa Rini bisa bercerita perihal sakit jiwanya ke Iis? Rini menahan niatnya, mencoba untuk tidak secara langsung menceritakannya.
“Is aku sebenernya selama ini lagi galau, mungkin kalo aku gak galau, gak bakal aku berantem sama Nur Jannah..”
Kaget Iis mendengar Rini galau. Rini yang berantem ketika pacarnya selingkuh, dia marah, tapi galau? Rini yang ujiannya sering berlompat-lompat dari angka 1 sampai 5, dia memang kesal, tapi galau? Mungkin karena Rini tidak pernah curhat ke Iis dan baru ini saja, tapi Rini selama ini memang tidak pernah kelihatan galau seperti gadis-gadis di kelas lainnya. Kini mendengar Rini seperti ini membuat Iis berpikir bahwa Rini ini seperti gadis normal kebanyakan.
“Galau apa Rin?”
“Kamu tahu.. emm.. kalo orang nilai kamu gitu? Yang enggak-enggak, padahal kita gak deket, atau mungkin salah paham.”
“Sosial labeling? Stigma sosial?”
Rini baru dengar istilah seperti itu, kalo dipikir-pikir kata ‘label’ memang paling pas dengan masalahnya. Untuk yang ‘Stigma’, Rini tidak paham, baru dengar saja ia sudah lupa.
“Iya itu. Aku galau soal labeling itu Is, aku merasa semua orang labeling aku jelek Is, dan semakin kupikirin, semakin sedih aku jadinya.”
Iis menghela nafasnya. Ia jadi kepikiran dulu pernah kepikiran hal yang sama dengan Rini. Iis pikir ini masalah yang mungkin umum bagi gadis seperti dirinya juga kebanyakan, dan kini hal yang sama terjadi oleh Rini: Ia mulai khawatir tentang pendapat sekitar terhadap dirinya. Kadang kegalauan yang semacam ini membuat mereka ingin ke salon, mempercantik diri, punya segala hal yang lagi trendi, up to date dengan apa yang sedang populer dikalangan cewek-cewek, atau bisa jadi malah yang berlainan sama sekali, menjadi alim dan soleha, hidup yang Iis pikir menyusahkan baginya di masa lalu.
“Kamu mau denger pendapatku soal ini Rin?”
“Iya.”
Iis berpikir dulu, dia memang pernah resah, tapi sekarang sudah dia gak pikiri lagi. Mungkin karena gak dipikirin itu Iis merasa baik-baik saja kini. Ah, setelah dipikir-pikir kini Iis mendapatkan ilham.
"Label itu gak mungkin bisa dihindari Rin, bahkan seasing apapun kamu. Sekali kamu lewati pintu itu,” Iis menunjuk ke pintu kelasnya, “Seribu label segera melekat di tubuh kamu, jeleklah, sombonglah, dan lainnya. Yang udah pasti kayak gitu gak usah dipikirin.”
Ada benarnya pikiran Iis, tapi permasalahannya Rini bisa melihat apa yang orang labeli padanya, dan tidak peduli bukanlah pilihan, Rini akan terus dihantui oleh label-label tersebut, coretan-coretan di wajahnya, kecuali Rini sembuh olehnya. Melihat wajah Rini yang belum puas dan semakin gundah, Iis mulai berpikir lagi, dan tiba-tiba saja kalimat selanjutnya keluar dari mulutnya.
“Tapi jika memang kamu ingin nyaman yah kamu harus semakin kenal dengan mereka, sadar dengan sekitar, dan jadi baik. Itu aja sih."
Rini tersenyum, ia mengangguk-ngangguk. Pendapat Iis mirip dengan psikiaternya.
“Kamu lihat kerudung sama baju ini? Startnya bagus gak?”
Rini bertanya dengan senyum lebarnya. Iis ingat-ingat, si Rini ini selalu berpakaian ketat, rok sedengkul, kerudung jika ada pelajaran agama saja, itupun sering cabut. Untuk kisaran gadis kayak Rini, Iis pikir tentu itu perubahan besar baginya.
“Bagus kok, tapi gak cuman penampilan aja loh Rin, perilaku juga.”
Rini mengangguk-ngangguk, hatinya kini berbunga-bunga. Akhirnya ia punya teman, teman yang bisa ia ceritakan hingga masalah-masalahnya, teman yang setuju padanya. Dia tak pernah cerita hati ke hati seperti ini kepada gengnya, paling yang remeh temeh, misal soal korea gitu. Ia saat itu memegang pundak Iis, dan Iis kaget Rini melakukan itu.
"Aku sadar setelah kejadianku dengan Nur Jannah, ternyata aku belum deket sama semuanya, bahkan sama geng-gengku sendiri. Is, mau kamu jadi temen deketku?"
Entah mengapa begitu aneh Iis mendengar ucapan Rini, polos sekali, bahkan condong memalukan, tapi entah mengapa Iis juga sama senangnya.
“Iya Rin.”
Iis mengangguk, wajahnya memerah malu. Rini saat itu sadar bahwa dengan adanya seorang teman dekat atau seorang sahabat, masalah yang Rini rasai entah mengapa terasa lebih ringan dari sebelumnya.
“Oh iya, Is.”
“Apa Rin?”
“Kamu nonton Descendants of the sun?”
***
Di ruangan psikiater, Rini asik bercerita mengenai keluh kesahnya di sekolah, juga betapa senangnya dia kini mendapatkan sahabat baru, mengulangi kutipan kata yang Iis berikan. Saat itu terdapat perasaan senang dari sang psikiatris yang melihat sifat Rini yang ceria tidak seperti kemarin. Tapi Rini ketika itu sadar ada yang aneh di wajah sang psikiatris, terdapat lebam di pipi kiri psikiatris juga luka di bibir kirinya. Dia juga tidak menggunakan kaca frame tipis, melainkan kaca frame tebal yang sudah kelihatan usang. Bajunya tidak stylish, hanya baju formal biasa.
“Mbak, itu wajahnya kenapa?”
“Jatuh kepeleset di rumah, sekarang juga ganti pake kacamata lama, yang kemarin pecah.”
Rini segera menerima jawaban psikiatris tersebut, dan sang psikiatris sesungguhnya berbohong, alasan yang dia berikan ke setiap orang yang bertanya padanya. Rini kemudian bercerita kembali, sang psikiatris terus mendengarkan, membiarkan waktu terus terlewat hingga selesai sesi ini. Dia menulis dan menyimpulkan bahwa terdapat perkembangan yang baik bagi Rini walau terdapat penolakan bagi Rini untuk berimpresi menjadi gadis baik, tapi keberadaan teman barunya membantu perkembangan Rini, ia mungkin harus menyarankan untuk mereka saling berhubungan secara intens. Melihat sang psikiatris sedang fokus menulis dan menyimpulkan, Rini terdiam sebentar, dan ingin sekali bertanya pada psikiatris tersebut mengenai unek-unek di hatinya yang tiba-tiba saja muncul dalam sesi curhat ini.
“Mbak kan psikiatris?”
“Iya?”
“Psikiatris-kan dengerin dan nyembuhin permasalahan orang stress yah mbak?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Apa mbak psikiatris sendiri gak punya masalah?”
Psikiatris tersebut menyadari bahwa Rini melihat kegelisahan hatinya sehingga dia bertanya demikian. Tentu, dan ya, seorang psikiatris juga manusia. Sepaham-pahamnya dia dengan masalah psikis seseorang, dia kadang memiliki ketidakseimbangan psikologi ketika dihadapkan dengan masalah, pikir psikiatris tersebut. Mengingat hal tersebut, sang psikiatris tiba-tiba berkeringat, diam-diam kegugupan muncul dalam hatinya. Setelah Rinipun masih banyak pasien yang lain, dan apakah kegelisahannya akan memberikan efek pada pasien lain? Sang psikiatris kini sadar akan kepemulaan dia di konteks kejiawaan ini dalam 2 tahun profesinya.
“Ya, setiap orang saya pikir punya masalah tersendiri dalam hidupnya. Dan sama kayak dek Rini, saya juga ada orang yang mendengarkan masalah saya, ngasih saran saya, seperti dokter yang tidak bisa mengoperasi dirinya sendiri ketika dia kena penyakit kronis.”
“Masuk akal.”
Rini tersenyum sedikit, ia keluarkan hapenya malu-malu.
“Mbak, kalo mau, kita bisa saling curhat. Saya minta nomor hape mbak dong.”
Sang psikiatris merasa resah, rasanya ia hanya ingin hubungan pasien dan psikiatrisnya berlangsung di ruangan ini saja. Tapi mengingat Rini masih remaja dan tidak paham hubungan professional ini, rasanya begitu buruk untuk menolak ajakan berkawan ini. Sang psikiatris saat itu memberi nomor hape, Rini tersenyum lebar.
“Boleh saya panggil mba psikiatris, mba Nina saja?”
“Terserah dek Rini aja.”
Sang psikiatris melihat bahwa Rini kini mulai menunjukan sifat aktif untuk mendalami setiap orang yang ditemuinya, sikap yang baru-baru ini muncul. Mungkin memang cara seperti ini yang paling efektif untuk menyembuhkan Rini.
“Mbak Nina nonton Descendants of the sun?”
***
Ayah dan ibu Rini melihat anaknya begitu bahagia, memijati sang ayah yang habis bekerja, membantu ibu mencuci piring. Aneh sekali, aneh sekali anak mereka! Pikir ayah dan ibu Rini. Sedang jatuh cintakah anak ini? Ah, si Jepri berandalan itu? Si ibu usil menanyakan Jepri, ternyata sudah putus. Ayah bertanya apa ada pacar baru? Tidak katanya, baru saja putus kemarin masa udah pingin punya pacar baru.
Ketika Rini ke WC, sang ibu bercerita pada sang ayah bahwa Rini kini menggunakan pakaian sopan yang tak pernah dipakainya, memakai kerudung yang juga jarang dipakai. Mereka berdua tentu berpikir Rini sedang mendekati cowok, mungkin cowoknya agak alim, tidak seperti Jepri berandal itu, ya, hanya itu alasan Rini berubah pesat seperti ini, pikir mereka.
Ketika itu di WC, Rini sedang asik bertukar pesan dengan Iis, kadang dengan mbak Nina. Dulu dia juga begini sama geng-gengnya di grup BBM, tapi secara personal ternyata begitu berbeda dan begitu asik. Selesai urusannya, Rini segera mencuci muka, dan tanpa sadar Rini melihat wajahnya di kaca.
Ia segera mengelak, seperti melihat suatu penampakan. Rini hanya melihat sekilas, tapi seakan bayangan tulisan itu semakin nyata dalam pikirannya. Rini tidak mau mengingatnya, Rini tak mau hari bahagianya ini segera hilang dan jatuh dalam kesedihan hatinya lagi. Lupakan, lupakan, lupakan!
Tiba-tiba ayah dan ibu mendengar suara kaca pecah di kamar mandi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar