Sabtu, 26 Maret 2016

Alarm




Seorang pria tiba-tiba melihat dirinya berada di tengah antah berantah. Ingatannya kabur, dan dirinya tiba-tiba merasa panik untuk melihat sekitar. Langit sore keoranye-oranyean tanpa awan sedikitpun, jalanan aspal berstrip putih tak berujung hingga ujung ufuk, tidak ada pohon, udara terasa penat, dan panas. Ia memakai jas coklat usang, topi, dan tas koper. Disekitarnya orang-orang berjalan tak tentu arah, beberapa mirip dengannya memakai jas dan topi, dan beberapa dari mereka juga ada yang memiliki karakteristik yang aneh, misal anjing berwajah manusia yang baru mengendus sepatunya, atau seorang buta yang mengendarai sepeda yang berjalan mundur.
“Aku pasti sedang bermimpi.”
Ya, hanya itu yang pria itu pahami, semuanya masuk akal jika dia berpikir demikian. Setelah menyimpulkan, ia kemudian duduk di jalan aspal membiarkan celana bahannya kotor, dan menunggu dirinya untuk bangun kembali ke dunia nyata. Namun lama-lama ia merasa tidak enak, orang-orang terus berjalan namun dirinya tidak. Beberapa memandangnya, lalu melanjutkan berjalan.
Pada saat itu, tiba-tiba seorang kakek tua berjas hitam memegang pundak pria tersebut dari belakang.
“Kenapa kau duduk nak?”
“Aku sedang bermimpi kek, dunia ini tidak masuk akal. Untuk apa capek-capek berjalan?”
“Aku tadi berpikir juga demikian.”
Tiba-tiba ada perasaan menjanggal dari pria tersebut.
“Tapi lebih baik kau berjalan, mungkin kita bisa mengobrol.”
Sesungguhnya tidak usah diberitahu, pria tersebut memang bermaksud ingin berdiri dan berjalan-jalan sedikit. Dia berpura-pura enggan, entah mengapa ia harus berpura-pura, lalu akhirnya berdiri sambil membersihkan celananya.
“Mengapa kau begitu yakin bahwa ini mimpi?”
“Karena akalku berkata demikian, disini kosong, berisi orang-orang aneh yang berjalan tak tentu arah.”
“Apa aku terlihat aneh?”
“Tidak.”
Kakek tua menunjuk pada orang berjas yang mirip dengan pria yang berbicara dengannya kini.
“Apa dia aneh?”
“Tidak, tapi beberapa orang disini aneh.”
Kakek tua itu tertawa sedikit sebelum melanjutkan omongannya.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku bilang, dunia ini mimpi?”
“Berarti kau sepikiran denganku.”
“Lalu bagaimana jika aku bilang, bahwa aku sedang bermimpi?”
Pria tersebut terdiam sedikit, dia menggaruk kepalanya. Keringat keluar dari dahinya.
“Itu absurd.”
“Kenapa absurd?”
“Karena aku yang sedang bermimpi!”
“Kenapa kau yakin demikian? Sekarang begini, apa kau ingat siapa dirimu sebelum ini?”
Tidak, pria itu tidak ingat apa-apa.
“Namamu?”
Bahkan namanya sendiri ia lupa. Tapi pria itu tidak menjawab, entah mengapa ia merasa harus untuk menunjukan bahwa dia adalah orang yang sedang bermimpi, yang satu-satunya nyata disini. Tapi tidak muncul nama-nama di kepalanya, aneh sekali. Belum selesai berpikir kakek tersebut menepuk pundak pria tadi.
“Aku juga tak tahu apa-apa soal itu, tapi sebelumnya aku juga yakin bahwa aku yang sedang bermimpi, dan mengetahui bahwa tak ada bedanya aku dengan orang-orang disini, aku memutuskan untuk menerima kenyataan pahit ini, dan memutuskan untuk berjalan.”
Pria tersebut terdiam, ia merasa tidak ingin disamai dengan kakek tua ini. Ia berpikir keras keistimewaannya, yang membuat dia berbeda dengan lainnya. Jasnya? Topinya? Tas koper di tangannya? Tidak, tidak ada. Tapi, ah, apa jika dia duduk maka dia istimewa? Tiba-tiba berpikir demikian, muncul pertanyaan mengapa kakek tua ini memutuskan untuk berjalan?
“Mengapa kau memutuskan berjalan?”
“Entah, mencari tujuan mungkin?”
“Tidak ada apa-apa disini...”
“Lebih baik daripada duduk bukan? Berjalan sambil mengobrol, mungkin kita bisa berteman akrab. Setidaknya ada kegiatan ketika kita ‘ada’ sebelum ‘tiada’.”
Pria tersebut begitu sungkan untuk menerima pemikiran kakek ini. Bagaimana dia bisa menerima begitu saja bahwa dia bukanlah seorang yang bermimpi, seorang yang eksis, yang lebih nyata dari sebuah imaji-imaji mimpi, yang nanti setelah bangun ia akan tetap terus ada?
“Aku duduk saja.”
Dia merasa bahwa hanya itu perlawanannya sebagai seorang yang sesungguhnya nyata.
“Yah jika kau berpikir sebaiknya seperti itu.”
Lalu pria tersebut duduk, dan kakek itu meninggalkannya.
Di kejauhan ia melihat seseorang berjas mirip dengannya, menatapnya, dan tiba-tiba ikut duduk sepertinya. Dalam pikirnya, ia merasa marah, terancam, merasa ingin berteriak pada orang tersebut untuk tidak mengikutinya duduk. Namun tak lama, dua, tiga, sepuluh, dua puluh, memutuskan untuk duduk, beberapa masih terus berjalan.
Lalu pria tersebut membenturkan kepalanya ke kerasnya aspal dalam rasa putus asa. Dia tidak lagi merasa istimewa dan berbeda, dan seakan racun memenuhi pikirannya, memaksanya untuk menerima bahwa dia tak lebih dari sesuatu yang muncul, hilang, lalu dilupakan. Apa orang-orang juga berpikiran sama dengannya, dan karena itu mereka memutuskan untuk duduk? Memutuskan pasrah untuk melihat sosok yang tidur bermimpi bangun, dan merelakan diri mereka hilang, berdoa paling-paling saja mereka yang kini sedang bermimpi, pasrah atas suatu ketidakpastian. Mengetahui bahwa setelah ini dunia seketika hilang dan mereka menjadi tiada, bukankah jika begitu segalanya terasa sia-sia? Misal, tak ada monumen yang bisa ditinggalkan di dunia ini, tak ada gunanya untuk berjalan, mengobrol dengan yang lain, membuat suatu hubungan, mencoba melakukan sesuatu yang berarti, ketika tidak ada kepastian setelah ini kau ada dimana, kecuali kegelapan kekal dalam alam bawah sadar sang pemimpi?
Pria tersebut pusing, ia tak bisa membayangkan perasaannya jika mengetahui sang pemimpi terbangun.
Lelah dalam pikirannya, ia tiba-tiba berdiri.
Tiba-tiba ia berlari.
Nafasnya tersengal-sengal.
Lalu bunyi familiar terdengar, suara alarm.
Ia terus berlari, sesak dadanya seperti berteriak bahwa dia hidup, dia ada untuk saat ini. Ya, hanya itu yang berarti! Pikir pria tersebut.
Dan sang pemimpi-pun terbangun dari kasurnya.