Senin, 11 Maret 2019

Tulisan Asal: Doa Yang Mengancam


Perihal doa yang mengancam sedang popular ketika Neno Warisman mengucapkan doanya di malam munajat 212, penggalannya seperti ini: “...Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan. Kami khawatir ya Allah. Kami khawatir ya Allah tak ada lagi yang menyembah-Mu...” Rasanya tidak elok dari akal sehat ketika seorang hamba mengatakan begini, tapi Nabi sendiri pernah berdoa hal yang sama di Perang Badar. Tentu persoalan ini kemudian dilanjutkan pada konteks historis doa nabi dan konteks politik doa si Neno. Demikian, saya yakin Tuhan diancam begitu yah tidak menghiraukan, toh Tuhan tidak butuh kita melainkan kita yang membutuhkan dia. Tidak disujudi itu perkara yang rugi manusia, bukan Tuhan.

Demikian, doa seperti ini wajar, bahkan di kehidupan saya juga. Pernah waktu kecil, menjelang kakak sedang rajin-rajinnya belajar dan bekerja keras saya berdoa begini: “Ya Tuhan, aku tahu kau maha mendengar dan mengabulkan, begitu juga kau yang tidak mengkhianati hasil kerja keras. Masukan kakakku ke ITB ya Tuhan, jika kau tidak masukan Kakakku ke ITB, maka aku akan benar-benar marah padamu, maka aku akan ragukan kebenaranmu, aku tidak akan mau shalat dan berdoa lagi.”

Ya, ini kan doa yang kurang ajar sekali, tapi saya juga masih bocah saat itu (omong-omong kakak saya tidak masuk ITB akhirnya). Tentu saya habis itu tetap shalat dan berdoa, tapi saya kepikiran mulu, dosa gak yah saya doa begitu, saya istigfhar tidak ada hentinya ketika mengingat saya pernah berdoa seperti itu. Dan betapa kagetnya saya, di kehidupan sehari-hari doa yang mengancam seperti saya itu juga sering diucapkan di doa-doa lain.

“Ya, Tuhan, engkau yang maha baik, maha adil dan maha mengabulkan permintaan hambanya.” Misalkan sepenggal doa ini kan bisa sama saja dengan, “Tuhan kalau kau tidak kabulkan, kau berarti tidak maha baik, maha adil, dan maha mengabulkan.” Sedangkan awal-awal doa seharusnya yah memuji, bukan mengancam. Doa yang begitu seringkali diucapkan, apalagi menjelang pemilu dan berbagai perkara lainnya, dan mendengar doa begitu rasanya begitu janggal mendengar apalagi kenyataan yang berbeda dari harapan yang berdoa. Apakah yang berdoa keimanannya berkurang, atau dia berpasarh, berkata bahwa semuanya adalah kehendak Tuhan tanpa mengutuki hasil yang ada? Entah. 

Tapi apalah itu, yang penting memang niatnya. Jikalau sang pendoa tidak bermaksud mengancam atau dalam niat memojokan Tuhan agar memperbesar peluang doanya diterima, yah siapa saya untuk menilai? Toh hanya Tuhan yang tahu niatan sang pendoa. Tapi lebih baik, lebih sopan toh, ketika doa kita harus sadar benar, jangan sampai doa-doa itu terdengar mengancam, sadar lah siapa kita ini. Berani benar mengancam yang maha besar, sang pencipta kita?