Minggu, 27 Desember 2015

Cerpen : Sarang Peluru

Cerpen ini sebenernya cerpen yang terinspirasi dari cerpen punya kakak. Diblend antara narasi kakak dan gw sendiri, dan tentunya hampir kesuluruhan cerita berbeda hingga interpetasinya walau ada yang dipinjam sana dan sini. Cameo gw masukin dari tokoh Farid beserta backgroundnya yang merupakan kisah utama kakak dan beserta nama kakak gw juga (Ricky Kinanti Sulistiyo).

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sarang Peluru
By Reza Pratama Nugraha

Mereka akan hukum tembak aku, 15 menit lagi, dan setidaknya aku sudah menunggu sejak 5 tahun yang lalu, diulur-ulur sampai bosan ingin kugigit lidah ini. Kematian kini bagai harapan dari ruang sempit, makan bersama dengan tahik-tahikku, berbicara dengan lalat setiap harinya. Bau mesiu seperti bau kemenangan yang kunanti-nantikan, apalagi mayat-mayat yang melewatiku, dibopong dengan tandu, ditutupi mata dan dahinya, dan kulihat senyumnya itu. Senyum yang mungkin akan kulepaskan nanti.
Tapi sedemikian rupa pikiranku memuja kematian, badanku tidak berkata demikian. Dia mengutuk, memberiku mimpi buruk, neraka, hanya neraka tempat penantianku. Gemetar aku dibuatnya, kakiku, bulu kudukku, air mataku yang keluar. Aku benci kemunafikan, dan kemunafikan muncul dalam alam bawah sadar terdalamku.
Dor!
Suara tembakan, Sniper Rifle Pietro Beretta, peluru berkaliber CF 18mm dengan daya letus piston 92FS, tertulis di lembaran detil eksekusiku, dan aku makin-makin familiar dengan suara teman baruku ini. Karena aku akan jadi sarangnya nanti, aku akan menjadi sarang peluru.
Dor!
Mereka tembak dua kali, yang berarti satu meleset, atau mungkin yang ditembak belum benar-benar mati.
Kini mayat digiring lagi. Satu mengenai leher, lalu kedua mengenai kepala. Kini bibir yang lewat tidak lagi senyum, dengan darah yang bercecer di mana-mana, dan mulut yang terlihat meringis, dia salah satu yang tidak beruntung untuk bertemu dengan kematian.
Mungkin saja karma.
Ya, kita yang mau dihukum mati ini punya banyak cerita, dan bentuk kematian kita mungkin merupakan wujud karma dari segala kisah yang telah kita bentuk. Dia yang mati pertama, Anton, aku kenal baik dengan dirinya. Seorang marxis, anarkis, ia rencanakan suatu kudeta untuk menyelamatkan negeri ini dari para pria gemuk kapitalis yang menggerogoti negeri ini hingga akar-akarnya, dan lucunya ia malah dimaki sedemikian rupa oleh masyarakat, disumpahi mati ketika ketahuan perbuatannya itu. Walau demikian, matinya ia pikir adalah suatu buah yang manis dan bukanlah suatu kesia-siaan, atas niat baiknya jika saja benar apa yang ia perjuangkan itu, tuhan mungkin berikan dia tempat di neraka sana dengan para penjunjung revolusi seperti Che Guevara dan mungkin Karl Marx sendiri si empunya teori, membahas teori-teori politik dan topik kemanusiaan sambil menyeduh kopi.
Satu lagi namanya Farid Agdianto, yang salah tembak tadi. Nah, yang ini menarik, terkenal di koran-koran juga televisi, tragis tapi bangsat. Pedofil, tapi dibalik itu dia juga hasil buah korban pedofil, diperkosa ayahnya hingga tidak bisa libido di depan wanita telanjang sekalipun. Diperkosanya anak-anak, lalu dibunuh. Dia juga bunuh menantunya, lalu dia bunuh ibunya. Bangsat memang, tapi ini salah nasib memang akal sehatnya menghilang, setidaknya cukup berakal untuk menceritakan kisahnya ke diriku.
Kalo aku?
Oh, aku tidak seperti mereka. Tak bisa salahkan dunia kapitalis seperti Anton yang dibunuh kaum pemodal, ataupun salahkan dunia yang kurang kemanusiaan seperti Farid yang kemudian kehilangan akal dan nuraninya.
Emakku orang baik-baik seperti emak-emak lainnya, Abah pekerja yang rela banting tulang tanpa mengeluh demi membawaku ke sekolah tinggi, jadi tolong jangan salahkan mereka. Aku dididik untuk shalat 5 waktu tepat waktu, mengaji habis magrib (walau paling 2 lembar quran tanpa terjemahan saja yang kubaca), banyak membaca buku agar tidak tolol, dan dipaksanya aku untuk tidak bekerja, hanya belajar, belajar, dan belajar, untuk bisa berkontribusi di negeri ini, mau jadi dokter, usahawan, atau yah, guru, untuk bikin pintar warga desa tolol lainnya agar setidaknya bisa membaca dan berhitung. Mereka orang yang baik-baik, dan aku hidup di lingkungan yang baik pula.
Lalu apa yang salah?
Tidak, tidak ada yang salah. Hanya aku yang tolol. Kisahku sekali lagi tidak semenarik apa yang dilalui dua lelaki tadi. Aku hanya lelaki yang kalap melihat sosok betina genit yang sembunyi-sembunyi selingkuh dariku (kusebut betina karena dia tak lebih dari binatang penuh birahi di pandanganku sekarang), setelah tahu dia kerap kali bercumbu setiap aku pergi kerja, kurencanakan pertemuan mereka, lalu kubunuh dengan keji wanita jalang dan selingkuhannya tepat sebelum mereka mencapai orgasme, belum selesai sampai disitu, kumutilasi kelamin selingkuhannya itu yang masih ereksi dan kumasukan ke mulut wanita jalang itu. Gila memang, benar-benar sinting aku saat itu. Kutelpon polisi untuk cepat tangkap aku. Pengadilan berjalan sangat lancar, pengacara ogah membelaku dan sangat jelas apa yang membuatku sampai pada tempat tembak ini: Pembunuhan berencana yang kelewat keji.
Aku mati demi cinta yang cetek. Demi satu betina kampung yang bisa kutemukan di segala pelosok negeri ini. Sudah berapa surat kabar yang menceritakan orang yang membunuh atas alasan cinta belaka? Demi persoalan selangkangan dan nafsuwi belaka? Orangtuaku banting tulang 16 tahun membawaku ke gelar sarjana, dan ternyata anaknya masih bodoh, sebodoh orang kampung yang bunuh-bunuhan karena masalah betina dan harga diri.
Oh maafkan aku Abah, Emak, yang jauh-jauh dari kampung untuk melihat kematianku, untuk membacakanku yasin di kursi kursi tunggu depan ruang mayat, untuk pulang agar dicaci maki seluruh warga kampung yang baca koran pos kota, kolom "Nah ini dia!" dengan ilustrasi calon menantumu yang pahanya keluar halus, lalu pria gendut berinisial 'Y' yang penisnya menonjol besar di antara selimut, dan sosokku yang memegang golok dengan tampang setan. Maafkan aku.
"Pak Agus, silahkan?"
Jantungku berhenti sesaat, panggilan lembut dari pria berjubah putih, sosok yang seharusnya mungkin adalah aku, si dokter muda. Memakai kaca muta bundar, rambutnya yang diseka rapih, berkali-kali mewawancarai orang yang sudah ingin berhadapan dengan maut. Aku sudah berdiri didampingi 2 polisi dengan senjata mereka, 10 menit lamanya, 5 menit lagi berarti eksekusiku. Dia suruh diriku duduk di kursi datar, mulai menyenter mataku, mendengarkan jantungku melalui stetoskop yang dikalungkan di leher, dan dipasang Sphygmomanometer di lenganku. Setelahnya dia tulis di kertas keterangan, dia lihat waktu dan sepertinya belum waktuku, dia kemudian berbasa-basi denganku:
"Agus Setiawan? Oh pernah ganti nama dari Agung pas sakit?"
"Oh sudah 26 tahun, jadi lulusan UI juga, ah, sayang sekali."
"Agama anda Islam? Sebutkan syahadat ya, nanti. Jangan lupa."
Dia lihat lagi jamnya, tatapannya berubah, dia lega. Lepas bebannya, hari ini aku yang terakhir, dan hanya sisa beberapa detik lagi.
Tentu saja, berapa kali dia menghadap teroris, musuh politik, psikopat, et cetera. Dia tidak begitu tahu bahwa diriku hanya sekedar pembunuh tengik kacangan. Bahkan dari apa yang kuterangkan, dia tidak benar-benar mendengar, bohong mungkin dikira. Muka kampungan seperti ini.
"Bapak siapa namanya?" Kini aku yang bertanya.
Wajahnya berubah, sinis, dia tidak senang dengan pertanyaanku. Memang untuk apa orang yang akan mati beberapa menit lagi ini bertanya soal nama orang asing seperti dirinya. Ekspresinya lalu berubah lagi menjadi kosong, mungkin kini dia pikir biar saja. Tidak jadi penting, sosok di depannya hanyalah pasir, sebutir pasir dari sepanjang eksistensinya di dunia ini. Sebuah jawaban tidak penting ini tentu tidak jadi persoalan seharusnya, tidak perlu panjang berpikir untuk apa, dan apa pentingnya. Hanya perihal gerakan lidah, dan udara yang menghempas dari pita suara.
"Ricky Kinanti Sulistyo"
"Bagus namanya, kayak aku yang artinya laki-laki yang setia, nama kita ini doa. Oh masih berapa menit lagi ini?"
"1 menit"
"Ah, bisalah kucerita sedikit. Aku ini hampir kayak kamu, dokter, masih masa calon dokter di daerah terpencil. Jatuh cinta sama gadis kampung genit punya selangkangan, disini akhirnya aku berada. Tolol memang, tiap hari belajar dari belum TK sampe sini, gak ada duit buat main, kupelotot buku-buku, sampe pemerintahan runtuh sama mahasiswa, sampe pemerintah punya lagi pemimpin korup lainnya, kuhiraukan dan tetep kupelotot ini buku, biar sukses, biar sentosa. Lalu apa? Aku jatuh sama selangkangan koh, sama nafsu. Kurelakan eksistensi sekali ini demi sifat primitif, jauh dari dunia manusia, aku jadi binatang. Aih, mungkin bukan aku saja. Matamu itu tahu lebih banyak dari aku perihal ini."
Seakan aku ingin memberinya petuah, peringatan, atau mungkin refleksiku sebelum mati. Meninggal untuk benar-benar meninggalkan pesan. Tapi dokter ini tidak mendengar, dia tatap handphonenya yang bisa kulihat jelas, sms dari ayang.
"Ya, pak. Em, pak polisi tolong."
Dua pria lalu menarik bahuku, mendekapnya di antara dada-dada mereka yang tegap. Kulihat jam, sudah lewat 15 detik.
Diseretnya aku. Kencing diriku di celana. Polisi ini seperti sudah biasa, sudah keseharian. Keringatku keluar menyeruak seperti kehujanan diriku dibuatnya, kerongkonganku kering, aku minta minum tapi tidak diperbolehkan. Apa aku harus mati kehausan? Ah, sudah telat sih.
Kini aku sudah berada di lapangan tembak. Dikelilingi orang bersenjata, tegap, hitam. Ditemani bau amis darah, belum sempat dibersihkan, mungkin habis ini biar sekalian saja. Salah satu pria dengan tatapnya tajam, ah, aku tahu dia yang ingin mengeksekusi diriku. Tak ada rasa ragu kupikir dalam hatinya, bahwa dia akan membunuh seorang manusia, yang berlaku kejahatan karena ia lahir di tempat, dan waktu yang salah. Tak pernahkah para penembak itu merasa, bahwa bisa saja mereka yang berada di hadapan moncong yang akan mereka tembakan itu, jika saja tuhan iseng meniupkan ruh mereka ke bayi-bayi yang hidup di lingkungan para bajingan?
Diambilnya senjatanya, dimasukan pelurunya, dan dikokang. Jantungku copot dibuatnya.
Lalu aku diberdirikan di tengah-tengah lapangan hijau bercampur bercak darah ini, dibayangi terik matahari. Takutku kemudian semakin nyata saja, perasaan yang asli muncul dari sanubari yang kutahan, yang kumasukan dan kudempul dalam-dalam di alam bawah sadar, kini membrontak dan berteriak tak karuan.
Aku ingin hidup!
Kenapa aku ingin hidup ketika sebelumnya aku sudah mantap memutuskan untuk mati, kenapa pada detik-detik ini? Bangsat!
Oh Tuhan aku menyesal, menyesal sekali! Tolong, Emak, Abah!
Ah, tubuhku berteriak dalam gemetar, aku ingin berlari tapi pikiranku menolak, nanti pelurunya kena kaki, terus badan, terus kepala, sakit matiku. Aku ingin mengigit, mengoyak-ngoyak polisi yang membawaku, toh dia tidak jauh dariku. Tapi untuk apa? Toh gerakku akan memicu gerak jari pada pelatuk senapan itu. Inikah yang disebut sebagai insting primitif, untuk bertahan hidup dengan segala cara apapun?
"Sudah siap pak?"
Aku memutuskan untuk menyerah, aku memahaminya, inilah keputusasaan, berada dalam zona tanpa harapan, tanpa tuhan, tanpa mukjizat. Harusnya aku berdoa saja tadi, tapi sebosan apa cerita ini jika kuhabiskan dengan berdoa saja?
Krek! Suara pelatuk.
Seketika aku ingat Abah dan Emak yang kujanjikan haji, yang uang tabungannya selalu habis untuk kebutuhanku yang pergi merantau. Adikku Julia yang diterima di universitas negeri, tapi Abah dan Emak tak bisa masukan dia karena ditolaknya biaya keringanan, harus keluar kocek puluhan juta karena bangsatnya pendidikan di negeri ini, aku janji bayari dia. Oh, kucingku, Belang, nanti Julia yang gantikan kau beri makan. Sahabatku Joseph yang janji sama-sama kita jejaki S3 di luar negeri. Ah... Banyak janji yang kuutarakan. Kusia-siakan semua itu, demi apa? Demi apa?
Ah..ah..ah.. Tunggu, oh tunggu! Tangan ku songsong kedepan, kelopak tangan kulebarkan, kuberi tanda berhenti. Biarkan aku bernafas sejenak, biarkan aku...
DOR!!
AAARHHHHK!!! SAKIT!! Sakit sekali!
Dinginnya peluru-peluru yang kurasakan hanya sekilas, berubah menjadi rasa panas, sakit yang tak tertahankan. Aku gigit lidahku sampai putus. Semua mati rasa, kecuali rasa sakit di jantungku.
Kucoba menarik nafas, tetapi tak bisa, percuma. Tidak ada udara yang bisa kuhisap.
Ah, jelas aku mati, dan matiku jelas sedang tidak tersenyum.
Saat ini aku tidak bisa mendengar apapun, kecuali dengung yang luar biasa berisik. Semua terasa seperti mimpi, mimpi buruk. Walau mataku dalam keadaan tertutup, aku bisa merasakan badanku melayang.
Makin tinggi, makin cepat, dan...
Lalu hilanglah semuanya.
Kudengar doa Abah dan Emak, samar-samar juga ada Julia.
...
!?وصدق دعائك انفرجت
Hah, suara siapa itu?
!!به أحد من البشر
Siapa itu? Aku dimana? Sesak, gelap sekali.
..محال أن ترى صدر
Kau bicara apa? Aku tidak mengerti!
Tiba-tiba entah darimana, cahaya dari bawah menyinari seseorang yang menjadi lawan bicaraku tersebut, mereka 2 orang. Mereka memakai sorban dengan jubah kotor, arab sekali, pikirku.
Ah, Mengapa 2 orang itu membawa pecut yang terbakar?
-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar