Jumat, 25 Desember 2015

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 7

Chapter 7 :Prejudice

Langit yang suram pada pagi hari menurunkan lagi butiran-butiran saljunya yang perlahan tertiup angin, turun lembut membasahi wajahku yang kering. Kututupi kemudian kepalaku dengan tudung jaketku sebelum rambut ini dipenuhi dengan salju-salju putih tersebut. Angin kencang tetap saja masuk melalui celah-celah kancing, merasuk menusuk tulang, dan sekarang jelas musim dingin sudah mencapai masa puncaknya, hari-hari tersuramnya.

Saat itu sekitarku tidak jauh berbeda, kesuraman yang sama, dipancarkan oleh mata manusia-manusia berpakaian jaket tebal lusuh, kebanyakan dari mereka masih berantakan rambutnya, mata lelah mereka, dan jelas dari bau mereka yang samar tericium bahwa mereka belum bersentuhan dengan air hangat, mungkin karena ini masih pukul 6 pagi, tetua cepat-cepat mengadakan pengadilan agar aktivitas masyarakat bisa berlangsung normal. Sedemikian mereka terlihat terburu-buru bangun, semua tentu tertarik dengan apa yang terjadi, seorang yang mereka singkirkan dalam kehidupan sosialita mereka kini akan diadili akibat perbuatannya. Ibu dari seorang Iblis, dan hukuman ini kupikir akan sedikit melepas kekesalan mereka, walau pengadilan ini hanyalah kulit dari musyawarah desa untuk menyelesaikan perkara biasa, warga desa yang berkelahi.

Anehnya kutangkap dari mimik wajah mereka, senyum sinis, mengutuk, dan marah. Jelas bahwa mereka tidak mengutukku karena memukul seorang nenek penjual di pinggir pasar, yang biasanya secara suka rela ingin memberikan 2 roti, sayur, dan bumbunya demi 2 butir koin perak, empati mereka jauh dari itu. Mereka pastinya menyalahkanku lebih dari itu, dan mungkin karena musim salju yang memuncak ini, sayur yang susah tumbuh, dan ikan-ikan yang pindah menuju pesisir laut yang lebih hangat. Jelas itu bukan salah tuhan pikir mereka, karena sifat tuhan jauh dari itu, dan memang sifat dasar manusia yang butuh kambing hitam untuk ditunjuk. Apakah bisa menyalahkan alam? tapi apa gunanya mereka tunjuk alam yang tidak bisa berbicara, sedih, tersiksa sebagai pelampiasan? Maka mereka tunjuk anakku, yang mereka anggap anjing kurap yang bersembunyi di antara kulit manusia.

"Nona Lenard, anda sudah ditunggu."

Pria yang dari tadi mengetuk pintu, keras seakan ingin mendobrak. Dia memanggilku dengan sebutan 'Nona', tapi jelas dari tampangnya terlihat bahwa lidahnya pahit mengucapkannya karena yang dihadapannya tidak terlihat seperti nona, jauh dari itu, dan hanya suatu kebiasaan desa untuk menyebut wanita dengan sebutan nona. Tidak selembut ucapannya, tangannya mendekapku keras, seakan aku ingin berlari jauh meninggalkan perkara yang kubuat, seakan aku ingin dibawa ke tempat eksekusi mati.

Ketika itu aku sekali lagi berpikir, bukankah suasana ini mirip dengan suasana orang yang ingin dieksekusi mati?

"Lepaskan, aku bisa berjalan sendiri."

Aku berusaha menariknya, tapi dia tetap bersiteguh untuk mendekapnya. Aku menatap matanya tajam untuk meyakinkan ataupun membuatnya seram, entahlah, tapi matanya yang merah membalas tatapanku menandakan bahwa dia tidak akan berkutik.

Tunggu, merah? Apa dia baru saja menangis? Aku tidak melihatnya dari tubuhnya yang gagah, kumisnya yang tebal, dan kepalaku yang hanya sampai dadanya, dia terlihat baru saja menangis, dan aku tahu dia menyalahkanku atas sesuatu. Rasanya aku ingin berteriak, 'oh, tidak lagi', dan aku mulai berpikir lagi, apakah ini hanya soal perkaraku berkelahi?

Ketika itu dia menelan ludahnya, yang kupikir, dia memikirkan alasannya untuk masih terus mendekap tanganku seakan menahan pembunuh berdarah dingin, padahal yang dipegangnya adalah 'nona' yang jaketnya jika disentuh akan langsung membungkus ke tulangku, terlihat lemah dan lunglai, berjalan di atas salju saja susah.

"Ini perintah tetua."

Tentu itu alasanmu, dan untuk apa tetua takut bahwa aku akan berlari?

"Omong kos—Ah!"

Tiba-tiba sosok dibelakang pria tersebut mendorong kami, dan kita mulai berjalan. Sekali lagi, aku tidak bisa berjalan di antara salju tebal, terutama yang belum dibersihkan, tapi langkah pria di depanku ini cepat sekali dan memaksaku mengikuti langkahnya untuk bisa tetap berada disampingnya. Ketika itu tentu aku terjatuh, dan kemudian terseret. Tapi pria ini tetap berjalan, dan hal ini memaksaku untuk mencoba melepas jaketku sampai akhirnya dia menatapku, yang kubalas tatapannya dalam batin 'Lepaskan tanganku sialan!'.

Tapi tidak, dia tidak mengerti. Ditariknya lenganku, memaksa tubuh berbalut tulang ini tertarik, dan seakan lengan lunglai ini ingin lepas ditariknya. Dan 'Sreet', jaketku robek, lalu dingin luar biasa masuk ke dalam lenganku, dan kini aku merasa teraniaya, betapa seenaknya?

"Hei! Apa kau tidak bisa melihat bahwa aku.."

Belum selesai bicara pria tersebut menarikku lagi dalam diamnya. Dia tidak bermaksud ramah, dan diamnya terasa mengancam. Tarikannya yang kuat, seretnya yang memaksa, dekapannya pada lenganku yang erat, dia seakan sedang menarik sosok yang telah berbuat sesuatu padanya, atau keluarganya, atau mungkin binatang peliharaannya. Tapi jelas, aku merasa terancam, aku merasa ditarik pada ujung takdirku bahwa pembalasannya akan benar-benar setimpal, tentunya setimpal tersebut tidak menurutku, tapi menurut ekspetasi mereka, dan jelas bahwa hukumanku bukan berupa denda yang bisa kubayar dengan menimbang bukuku, atau memotong gajiku, atau memecatku yang membuatku terpaksa berburu burung, atau jika tidak terpaksa memakan tupai yang hibernasi di dalam pohon.

Hukuman yang mereka inginkan jelas adalah anakku yang juga kena timpalannya.

Tentu kini aku menebak terlalu jauh, dan rasa takut mulai muncul dalam benakku. Dikurung, hanya itu pikiranku, dan berarti itu hukuman mati bagi Racke. Bagaimana pula dia mendapatkan makanan di musim salju seperti ini, belas kasih? Tidak mungkin! Aku bahkan sudah berjanji pada Racke untuk kembali..

Dalam renungku saat itu, tiba-tiba terpecah suasana. Kulihat dari kerumunan manusia yang berusaha melawan tumpukan salju, mengerumuni, membentuk jalan sambil melihatku, teriakan seorang ibu yang melolong keras membuat keramaian pun ikut menengok, sedikit teralih dari betapa menariknya melihat kambing kurban ini.

"Nak! Jauhi dia!"

Ketika itu wajah lucu gumpal, kemerahan di pipinya muncul di antara kerumunan yang melihatku terseret dan berjalan terseok-seok. Wajah itu dengan polos menatapku, tapi dia terlihat kebingungan, seperti apa yang dilihatnya tidak seperti apa yang ia pikirkan.

"Bagaimana jika kamu sakit?"

Sakit? Memangnya aku wabah?

"Kamu ingin seperti teman-temanmu. Ayo pulang!"

Teman-temannya? Apakah ada epidemik di desa ini? Lalu apa hubungannya semua itu dengan mendekati diriku? Tentu saja perihal ini soal Racke bukan? Oh tuhan, kini kau pukul diriku dua kali.

Jelas, aku yakin, bahkan bukan praduga lagi. Pengadilan ini tidak akan berjalan seperti apa yang kupikirkan, horror yang kubayangkan akan terjadi. Aku ingin menenggelamkan kakiku di antara salju yang dalam, menjatuhkan diriku, terserah ia ingin menyeretku atau tidak dan aku tahu, pria besar ini cukup mampu menyeretku dengan cepat, perlawananku tidak berarti.

Jaketku yang robek ingin kupaksa hingga benar-benar lepas, melongsong licin keluar dari dekapan otot pria ini, lalu berlari menuju rumah, menyuruh Racke cepat memakai jaket lalu kita pergi dari sini, di desa yang ingin membunuhnya. Tapi mungkin jika kulakukan itu, bukan hanya pria ini saja yang mengejarku, tapi seluruh warga desa ini, dari wanita kurus sepertiku hingga pria besar biasa melakukan pekerjaan fisik. Sebelum sampai anakku sudah menghilang ditawan penduduk, memaksaku kembali menuju pengadilan, tentunya dengan hukuman tambahan.

Oh tuhan tolong kami.

Ah, lagi-lagi memang dasar. Kemunafikanku muncul lagi, berdoa disaat tertindas, tapi sejak kapan aku tidak berdoa ketika penindasan sehari-hari kuanggap normalitas. Tapi mungkin aku sudah kehilangan kewarasanku jika tidak ada satupun harapan yang bisa menjadi tempat menyenderkan kepalaku yang berat dengan paranoid yang kurasakan.

Kini mereka ingin melakukan sesuatu, memakai peluang dari perkara yang kubuat. Kini kulahap pikiranku soal letak keadilan untuk menjustifikasi perbuatanku. Aku menyesal, sangat menyesal, hingga jika saja ada nenek tersebut maka akan kucium kakinya, memohon maafnya, agar aku bisa pulang bertemu Racke lagi.

Oh, baru kali ini, tidak ada sejam melangkah keluar rumah dan aku sudah mulai merindukanmu anakku, mata birunya, rambutnya yang berantakan, dan senyum musim panasnya.

Aku ingin tidur bersamanya lagi, memeluknya, mencium bau rambutnya, yang kusesali baru kulakukan malam itu, menolaknya setiap hari atas nama duka kehilangan suamiku untuk menyiksa diriku sendiri. Sesalku lebih lagi karena malam itu hanya kuhabiskan dengan menangis, menangis memikirkan kepiluanku yang pernah membenci anakku sendiri.

Kini aku berdoa dalam hati, kututup mataku, dan kupercayakan langkahku pada pria besar ini.

'Oh tuhan tolong aku.'

Tidak, aku tidak realis soal itu, aku sudah celaka disini.

'Tolong Racke.'

Ya, aku hanya memohon itu saja, tolong dia!

Lalu seketika pikiranku disadarkan, kini kedua kalinya. Kakiku dibuat gemetar olehnya, bulu kudukku berdiri, keringatku keluar yang seketika menjadi bijih es.

Aku sudah sampai di gedung musyawarah desa, tepat di depan pintu besarnya.

***

Masuk dalam ruangan yang pintu besarnya dibukakan oleh para nelayan yang bertubuh besar, seketika aku melihat ke sosok-sosok yang sudah ada sejak pagi, sebelum diriku di ruangan aula yang secara ajaib berubah menjadi tempat sidang. Tak ada satupun sosok yang familiar dihadapanku, kecuali tatapan mereka, yang terasa sama saja. Ruangan ini dipenuhi oleh manusia-manusia yang berdiri karena kursi yang disidiakan hanya pada baris depan saja. Saling kasak-kusuk ingin melihat, atau mungkin agar menghangatkan diri mereka dari dingin musim salju ini. Saat itu tidak ada di antara mereka yang membuka jalan, mungkin terlalu sesak, seharusnya mereka keluar dulu, tapi tidak mereka lakukan.

Aku menatap lelaki di hadapanku, dia melihat ke arah tetua di kejauhan yang menyuruhnya untuk cepat-cepat lewat gerakan tangannya. Dia lalu mengangguk, dan aku tahu, kita akan dipaksa masuk melalui lautan manusia tersebut.

Lalu pada barisan pertama, dan sesak, sesak sekali!

Pria yang menyeretku mungkin cukup kuat, kepalanya juga ada di atas langit untuk bernafas, tapi aku bersentuhan langsung dengan punggungnya, sesak tidak ada udara, dicekik oleh bau keringat warga-warga yang saling berdesakan.

"Aw!"

Saat itu terdapat yang memukul kepalaku, cukup keras hingga rasanya kepalaku lebam karenanya. Seperti teladan, kini yang lain juga ikut-ikutan, menampar, menarik jaketku yang kini robek, dan kupikir bukan hanya aku yang menjadi tersangka, tapi semua orang yang kulewati sudah bisa dihukum atas nama penganiayaan terhadap diriku. Saat itu tiba-tiba seseorang memegangi pipiku, membuatku menatap ke matanya.

"Gara-gara kau!"

Sosok wanita, mengenakan gaun hitam tanda berbelasungkawa, matanya dan hidungnya merah sekali dan ingusnya yang keluar segera ia bersihkan. Dia pasti baru saja menangis tersedu-sedu, dan aku hanya bisa menatapnya bingung dengan pikiran 'aku bahkan tidak mengenalmu, dan apa pula yang kulakukan padamu!?'.

"Anakku.. Kembalikan anakku!!"

Lalu lepas tangannya dari pipiku, dan aku terbawa arus lautan manusia lagi. Kini aku ingat kisah nenek itu, yang menamparku dari ucapan Aslan, bahwa cucunya baru saja meninggal. Ingatanku kembali juga pada anak di jalan tersebut yang diteriaki oleh ibunya. Lalu mungkin juga, sosok yang menarik keras lengangku saat ini. Mereka jelas ingin menyaksikan sesuatu yang lain, pengadilanku atas anak-anak mereka, dan mereka tidak akan puas jika saja aku tidak mendapat balasannya.

Seketika lautan manusia tersebut menghilang dan aku dihadapkan dengan kursi, rasanya kepalaku ingin melayang, diikuti hidungku yang memaksa udara dingin ini segera masuk memenuhi paru-paruku.

"Silahkan duduk Nona Lenard."

Dilepaskan tanganku dari dekapan pria tersebut, dan sakit, darah rasanya tidak mengalir dari lengan kananku. Pria tersebut segera duduk di barisan depan, dan aku merasa bahwa matanya masih tajam menatapku, dan perasaan itu membuatku berusaha untuk tidak menengok ke arahnya.

Aku kemudian duduk sambil memijati tanganku, mencoba mengalirkan darah lagi sebelum dingin ini memakan tanganku, dan baru kusadari bahwa disebelah kananku jauh, terdapat nenek tersebut, yang kupukul, dan kuludahi, Martha, dan anaknya yang merupakan nelayan yang baru saja kehilangan bayinya.

Ketika itu aku berpikir lagi, siapa saksi perkara ini. Aku menengok ke kiri, ke kanan, dan di balikku. Aslan, dia saksi semua ini dan juga yang bertanggung jawab di lokasi pasar, lalu jelas bahwa dia manusia paling waras disini, tapi dimana dia?

"Mohon maaf, Aslan pelapor dan yang bersedia menjadi saksi tidak bisa datang karena urusan di laut yang mendesak."

Pukulan ketiga hari ini, aku tidak percaya bahwa sosok sepertinya masih mementingkan laut dibandingkan nasib seseorang yang dia sadar, bahwa aku tidak memiliki harapan disini. Tapi salahku berharap pada orang asing, bahkan sehari yang lalu sebelum momen itu dia bukan apa-apa bagiku, kecuali kisah penuh bangga ibu-ibu yang kudengar lewat telinga, dan benar ucap mereka, dia adalah pria yang tinggal di laut.

"Sebagai gantinya, William anak buah Aslan yang kebetulan berada di lokasi yang menggantikan."

Sosok berkumis itu, yang badannya besar itu, yang matanya merah itu. Ya, sosok yang selama itu menarikku, dia yang ternyata menjadi saksi. Kini kuingat-ingat lagi, ah, dia yang pertama kali menarikku ketika bersilat lidah dengan nenek tua bangka sialan tersebut, tertawa terbahak-bahak ketika nenek tersebut menampar pipiku hingga biru lebam.

Tapi aku tidak pernah ingat dirinya, di mataku dia sama saja dengan pria-pria besar lainnya, yang pada sore hari setelah melaut, duduk-duduk bersama seperti nelayan lainnya minum arak hingga mabuk, rupa mereka yang terlihat sama membuatnya tidak kelihatan.

"Baik tetua.."

William saat itu berdiri, dia yang sudah berada di kursi penonton yang berada di baris depan. Mukanya lurus, matanya tajam, ucapannya sigap. Batinnya terlihat siap untuk menghadapi semua ini, dan batinku semakin mengecil ciut karenanya. Dia akan memojokkanku, dan aku akan habis dalam pengadilan ini. Lalu jika saja tetua membiarkan penonton sebagai juri hasil pengadilan ini, maka dia sama saja melemparkanku ke laut yang penuh dengan hiu. Aku rasanya ingin sekali menutup mataku, dan jika saja boleh, menutup telingaku.

"Dengan ini, sidang kita mulai!"

*Bersambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar