Kamis, 22 Juni 2023

Aku Hampir Mati Hari Ini

Aku hampir mati hari ini.

Truk di depanku tiba-tiba berhenti, dan motor yang kutumpangi untung saja langsung melakukan rem mendadak dari rem belakang hingga depan, hingga-hingga belakang motor itu naik. Suara dibelakang berteriak marah, entah ke supir ojekku atau si truk. Jelas sih, menempel di belakang truk adalah hal yang bodoh, tapi waktu itu memang jalannya agak cukup sempit sehingga tidak bisa menyalip, si ojek harusnya melambat saja.

Sisanya, si tukang ojek sepertinya dalam keadaan shock, dan mengendarainya malah tambah sempoyongan parah. Apa dia mengantuk sehingga hal ini terjadi? Entah.

Tapi hal yang cukup kupikirkan selama perjalanan adalah bagaimana bapak, yang turut bangun subuh menemaniku, masuk lagi ke rumah dan aku segera cabut ke tukang ojek. Tidak salam tangan, hanya mengucap.

Di motor kulihat ke belakang, bapak sudah di depan pager melihatku.

Rasanya ada yang salah.

Aku entah mengapa begitu kesal setiap berangkat dia menyuruhku membawa sesuatu, ada ikat pinggang tuh, ada tas bapak, ada baju baru, dan lain-lain di saat preparasi bahkan pada detik-detik keberangkatanku yang membuatku tidak cukup fokus memikirkan apa yang sudah dipersiapkan dan harus kulakukan hari ini.

Waktu aku beranjak pergi karena sudah terdengar klakson ojek, dia sedang masuk ke dalam mengambilkan sesuatu, kupikir ah sudah, sore ini toh bakal bertemu lagi.

Dan ternyata hampir saja tidak.

Hampir motor itu menabrak truk, dan motor yang cukup melaju kencang itu hancur tertabrak bemper. Kita terlempar ke depan karena inersia dan mengenai sisi belakang truk yang cukup keras, lalu daging kita yang cukup rapuh itu hancur belepotan. Kepala retak, organ rusak, darah habis.

Hari itu jalanan pagi macet, orang-orang berangkat pagi kerja mengutuk tapi juga ingin tahu bagaimana bentuk tubuh manusia yang sudah tercerai berai.

Bapak dan ibu mungkin baru tahu kabarnya siang hari, hati mereka pasti hancur melihat keadaan diriku mati. Kalo matinya karena demam berdarah mungkin lain lagi.

Lalu di detik-detik itu, penyesalanku paling-paling itu.

Aku tak cukup cakap melihat keseluruhan hidupku yang tidak ada apa-apa di dalamnya.

...

Dan aku harus setiap hari melewati hari seperti ini, rasanya aku tak akan sampai di umur 30.

 

Sabtu, 15 April 2023

Suara Bising




Di kampung Babakan telah masuk waktu dzuhur dan segera suara azan berkumandang dari segala sisi. Suara tersebut bergemuruh menggetar kaca, bercampur aduk, tidak terdengar lagi lafal-lafalnya arab dengan jelas, dari suara yang cempreng, berlogat jawa, betawi hingga yang benar-benar bagus pelafalannya tidak lagi penting ketika suara speaker-speaker yang disetel pol itu telah menyatu menjadi suara yang membisingkan telinga yang asing dengannya.

Demikian, ini adalah hal yang wajar bagi kuping warga Babakan mau apapun agamanya, yang barangkali merupakan contoh harmonis nan toleran antar warga, ataupula suatu adaptasi alami indra pendengaran mereka terhadap lingkungannya sehingga masih ada saja orang yang tidur nyenyak hingga melewatkan shalatnya.

Hal berbeda terjadi di Mushala At-Taqwa. Amplifier mushala kecil tersebut rusak, sudah digetok-getok oleh Ramli, si pengurus mushala, tetap tak bergeming. Tentu orang tetap berdatangan, dan mungkin hanya Ramli yang tahu amplifier mushala tersebut sesungguhnya rusak. Demikian, dia tetap merasa ada hal yang kurang jika dia tidak ikut memeriahkan riuh azan di tempatnya belum lagi malam ini ada acara haul akbar.

Tak lama shalat segera berlangsung di mesjid tersebut. Tiba-tiba selagi imam masih melafalkan Al-Fatihah di rakaat pertama, muncul teriakan yang segera memecahkan suasana hening di mushala, "Maliiiingg!!!", terlihat di antara ibu-ibu mukenaan yang telat ke mesjid, seorang pemuda berandal kesusahan menyimpan helm para jemaah shalat ke dalam tasnya yang kecil, dan paniklah sang berandal mendengar teriakan tersebut, insting-nya cukup terlatih untuk menggagalkan misinya dan segera melarikan diri.

Orang-orang shalat yang mendengarkan itu segera membubarkan diri meninggalkan shalat mereka, dengan cukup beringas dan bersemangat mengejar sang maling yang gagal membawa apa-apa.

Pengejaran itu terjadi cukup lama, namun berandal itu begitu cakap berlari dan hilang di antara gang-gang berpagar tinggi.

"Kalo gw tangkep gw matiin tuh maling." Ucap Tejo, kemudian di amini orang-orang yang turut mengejar si maling. Belakangan kasus kemalingan di kampung Babakan sudah begitu memuakkan warga dan polisi tak pernah menangkap satupun pelaku kemalingan yang dilaporkan warga walau telah direkam cctv, bahkan karakteristik tampangnya dicirikan detil oleh warga.

Kaki Tejo kini kotor karena tak sempat ia memakai sendalnya saat melakukan pengejaran, mengalir deras pula keringat dari dahinya bersama para pemuda lain yang turut mengejar. Tejo kembali ke mushala, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan shalatnya karena bajunya telah basah oleh keringat, dan sadarlah dia saat itu sendalnya telah hilang di bawah tangga batas suci mushala yang kini sepi dan hanya menyisakan sendal swallow hijau butut berlubang.

"Bangsaaaaaatt, sendal Eiger gw, bajinggaaaaan!!!" Teriak Tejo dalam hati, dan pulanglah dia berpasrah diri menggunakan sendal berlubang tersebut.

***

Di antara suara azan Dzuhur, Yadi, dengan wajah lusuh akhirnya pulang setelah bekerja semalaman penuh tanpa membawa uang sepeserpun. Di dalam rumahnya, ia melewati banyak televisi, speaker, dan ampli bekas yang tak laku walau sudah diperbaiki dan berfungsi dengan baik. Di depan meja terdapat tempe, sambel dan nasi yang segera Yadi habiskan dengan lahap. Semalam tadi ia belum makan sama sekali.

"Pulang-pulang langsung serobot makan." Ucap Wati, istri Yadi sambil mengelus-ngelus perut hamilnya yang telah mendekati 3 bulan waktu kelahiran. "Uang makan ada pak?"

"Nanti yah Ti, malem bantu kabelan orkes belum cair duitnya," Ucap Yadi, yang hidupnya melakukan segala kerjaan ketika barang-barang elektronik bekas yang diperbaikinya tidak laku, "Aku mau nagih uang Pak Saipul, ini Amplinya udah jadi. Nanti kukasih kamu semuanya."

"Jangan buat rokok yah," Ucap Wati yang biasanya langsung muntah jika mencium bau asap tembakau, "Awas kalo kecium."

"Iya, iya..." Ucap Yadi, kembali menghabisi tempe yang terasa begitu nikmat dengan kecap dan sambal. Setelah selesai ia berdiri, mengabaikan kopi hitam yang dibuatkan istrinya dan pergi membawa ampli.

"Aku berangkat dulu," Yadi berkata demikian sambil mencium kening istrinya.

"Hoekk!"

"Yaaah Ti... ughh... hueekk..."

Telah basah baju Yadi oleh muntah, lagi bau itu membuat Yadi muntah juga karena baru saja ia makan. Baru ingat Yadi sebelum pulang ia merokok dulu barang kawan-kawan. "Pes, apes..." Ucap Yadi segera mengganti bajunya dan bau muntah itu belum hilang juga.

***

Setelah mengganti baju Yadi segera mengikat ampli tersebut di motor tanpa mandi terlebih dahulu dan pergi meninggalkan istrinya yang masih bete dengannya. Tak lama ia sadar dirinya belum shalat Dzuhur. Jika dia berkunjung ke rumah Pak Saipul bisa dibuat lama dia bertamu sampai lewat waktu shalat.

Di tengah jalan akhirnya Yadi memutuskan untuk shalat di mushala paling dekat. Terlihat mushala yang sudah sepi kegiatan, Mushala At-Taqwa, mushala yang cocok karena ia tidak ingin orang-orang menciumi baunya yang masih kurang sedap. Memparkir motor butut Vega-R 2003 miliknya, terlihat di halaman mushala banyak orang-orang berkeringat pulang sambil berkata-kata kotor, tapi Yadi tak hiraukan.

Ketika shalat, entah kenapa ia begitu susah mengabaikan pandangannya pada pengurus mesjid yang mengotak-ngatik ampli.

Selesai shalat yang agak terganggu tadi, berdoalah Yadi saat itu.

Ia begitu merasa pusing oleh Istrinya yang kini tengah hamil, bagaimana beberapa bulan ini ia begitu kesusahan mencari uang. Bagaimana dia mampu membayai persalinan anaknya? Bagaimana cara ia menafkahi istri dan calon anaknya nanti dengan sumber penghasilan yang tak jelas ini? Dahulu selama membujang tak pernah terpikir hal-hal demikian, tapi kini tanggung jawabnya sudah begitu besar bukan hanya terhadap diri sendiri saja. Ia berdoa, begitu lama, dengan harap-harap agar rejekinya dilancarkan, istrinya mampu melahirkan dengan lancar, dan banyak hal lainnya sehingga rasa-rasanya doa itu tak ada henti-hentinya mengalir.

Tanpa sadar mushala itu sudah kosong, dan entah kenapa pandang Yadi kembali ke ampli yang diotak-atik oleh pengurus mushala tadi.

***

Teguh, salah satu pemuda yang ikut mengejar maling helm tadi masih merasa gusar. Di depan warung kopi ia terus mengumpat, dan orang-orang sekitarnya mewajari sikapnya. Teguh adalah supir ojek dan baru-baru ini motornya dimaling di dalam rumahnya sendiri yang terletak di kampung padat penduduk, menandakan bahwa maling hari-hari ini semakin berani dan menjadi-jadi. Laporan telah diberikan ke polisi, tapi bagai hilang kambing, melapor malah hilang sapi, mengurus kehilangan ternyata tidak semulus itu dan banyak uang yang harus dikeluarkan, itupun hasilnya nihil.

Teguh kini menganggur dan ia selalu menyalahkan segalanya: para maling yang mengambil mata penghasilan satu-satunya, presiden terpilih yang kemarin membikin dia tidak akrab dengan mertuanya hingga susah meminjam uang untuk sehari-hari, dan ternyata benar saja tebakannya tentang rezim sang presiden, di mana sampai hari ini semakin sepi lapangan pekerjaan dan harga sembako terus saja naik sehingga wajar maling-maling itu bermunculan karena kemiskinan. Polisi semakin kelihatan korupnya yang baru bekerja jika beritanya viral atau ada uang pelicin, warga-warga juga tidak bisa saling menjaga satu sama lain karena kesibukan mereka masing-masing untuk bertahan hidup, masa tak ada satupun yang bisa cegah orang asing masuk ke rumahnya untuk maling? Padahal rumah mereka hanya sebatas berapa meter saja di antara gang sempit itu, pikir Teguh.

Obrolan-obrolan di dalam warkop itu selalu panas ketika Teguh muncul, dan selalu, topik yang ditunggunya adalah cerita kemalingan, dan pemuda-pemuda kini kesemuanya tengah berkumpul di dalam warkop.

"Kalo dibiarin terus, kampung kita bakal kemalingan terus. Liat aja."

"Mau diapain?"

"Matiin. Kasih peringatan ke maling lainnya jangan main-main di kampung kita."

"Kalo ditangkep mau lu?"

"Kalo yang kroyok puluhan orang, polisi mau tangkep satu-satu?"

Tiba-tiba muncul Tejo memasuki warkop, matanya terbuka lebar, wajahnya memerah dengan banyak luka juga tanah yang menempel, terlihat sendal bututnya yang diperolehnya dari sisa sendal di mesjid tadi, tali sendalnya telah lepas rusak.

"Ada maling!"

Mendengar itu, terdapat perasaan bahagia dari diri Teguh, inilah saatnya gw kasih pelajaran, pikir Teguh.

Keluarlah orang-orang warkop dengan wajah marah.

"Dimana malingnya Jo?!"

"Mushala!"

"Anjing, mesjid lagi yang dimalingin. Iblis, setan bener tuh maling!!"

"Bawa motor, semuanya, pelakunya bawa motor buat kabur."

"Ke arah mana?"

"Pasar Muara Semut, orangnya bawa ampli mesjid diiket di jok, Pak Ramli juga lagi kejar."

Tak lama mereka semua sudah naik motor bergoncengan, masing-masing membawa pentungan dengan adrenalin dan napas yang berderu-deru. Tejo celingak-celinguk di antara pemuda mencari boncengan, tapi semua sudah cabut meninggalkannya. Tejo berlari, memutuskan melempar sendal bututnya itu, tak mau ketinggalan acara ngeroyokin maling.

***

Pak Ramli baru kali ini mengebut dengan motor Astrea. Teriaknya dia, "MALIIING!! WOI BERHENTI WOII!!!", tapi tak didengarnya oleh pria di depan yang malah menaikan kecepatan kendaraannya.

Beberapa waktu yang lalu Ramli memanggil tukang elektronik untuk membenarkan ampli, dan ketika ia memeriksa mushala yang sempat ditinggalnya itu sadarlah dia bahwa ampli rusak tersebut sudah hilang. Ia mencari-cari, tapi tapi tidak ada, hanya tercium waktu itu bau muntah yang samar, dan diikutinya bau tersebut dan terlihat olehnya terdapat pemotor dengan ampli terikat di motornya melaju meninggalkan mushala.

Ramli yakin benar melihat ampli tersebut adalah ampli mushala.

Teriaklah dia, Maliiing, maliiing dan Tejo sekeluarga yang tinggal di sebelah mushala segera muncul bertanya-tanya. Setelah Ramli menunjuk motor yang sudah jauh di pelupuk mata, segera Tejo menyuruh Ramli mengejar maling tersebut dengan motor astrea-nya selagi Tejo memanggil para pemuda desa untuk turut mengejar.

Sambil mencoba menyalakan motor butut tersebut, terlihat Tejo terjatuh selagi berlari, tali sendalnya ternyata putus, tapi Tejo yang begitu bersemangat telah kembali berdiri dan berlari lagi sampai hilang rupanya ke arah warkop.

Ramli kemudian yang berhasil menyalakan motor Tejo segera mengebut mengejar, tak lama dilihatnya dari kejauhan pria yang membawa Ampli Mushala yang terlihat tidak terburu-buru karena berada di gang sempit komplek perumahan, dan saat itu segera Ramli berteriak ke arah pria tersebut: "WOOI MALING, BALIKIN!!"

Pria tersebut melihat ke arah Ramli, wajahnya pucat, dan tiba-tiba mengencangkan motornya. Warga sekitar yang melihat itu mencoba melemparkan barang-barang mereka, beberapa kali maling itu hampir oleng jatuh, tapi berhasil dia menyeimbangkan motornya. Orang-orang mulai berlarian mengejar, dan semakin pol gas dikencangkan maling tersebut hingga ia berhasil keluar dari komplek perumahan yang masyarakatnya mulai kompak mengejarnya.

Aksi kejar-kejaran makin seru ketika para pemuda muncul dengan motor-motor mereka yang memang cocok untuk kejar-kejaran.

"Di mana pelakunya Pak Ramli?!"

"Itu depan, motor Vega R yang ada ampli di belakangnya itu"

"Oke Pakk, kejaar semuaa!!!"

Motor Satria cepernya di gas pol, dan mereka tanpa helm dengan sikap badan menunduk mencoba untuk tidak menghalangi angin segera membalap Pak Ramli dan sekian motor lainnya hingga dekat dengan pelaku. Teguh tanpa ragu, dengan pentungan besinya, berhasil mementung kepala pria tersebut yang terpelanting jatuh jauh di antara aspal.

Tanpa sadar mereka sudah berada di pasar, dan orang-orang mulai berkumpul memperhatikan ada ribut apa di sini. Pak Ramli masih berteriak: "Maliiing, maliing, ini maliing, jangan di lepas!"

Motor-motor berhenti pada jarak yang cukup jauh, dan pria yang jatuh tersebut, yang terlihat kepalanya sudah bopeng mengucur darah seperti air mancur, masih terlihat memiliki tenaga untuk meninggalkan motornya. Awalnya orang-orang ketakutan melihat sosok yang kini tampangnya telah begitu mengerikan oleh luka-luka yang terlihat mematikan, masih bisa bergerak setengah berlari sempoyongan menjauh sampai salah satu pemuda berteriak:

"Kejaaar! Kejaar pelakunya jangan sampe lepas!"

***

Janji Yadi adalah tidak merokok ketika menikah dengan Wati. Wati bilang bapaknya meninggal karena kanker paru-paru, dan kanker adalah vonis mati bagi masyarakat ekonomi kalangan mereka. Ia tidak mau menjanda dan anaknya menjadi yatim, merasai kesusahan yang dialaminya semasa kecil, dan Yadi menjanjikan itu padanya.

Beberapa bulan kemudian setelah menikah ia langgar janji itu ketika dirinya dilanda stress oleh sepinya pekerjaan dan statusnya yang hanya lulusan SMP, lalu bertengkarlah mereka. Yadi kemudian berjanji lagi sembari membuka bisnis servis elektronik, lalu tak lama ia langgar lagi ketika sepi pelanggan dan barang bekas rusak yang dibelinya murah dan diperbaiki tak kunjung laku. Selalu begitu siklusnya selama ini.

Kini Wati telah hamil, dan Yadi sekali lagi telah berjanji, sampai tadi malam ia langgar ketika uang ngurus kelistrikan di orkes yang ternyata tidak bisa langsung turun. Rokok seakan menenangkan syarafnya yang tegang, setiap asap yang memenuhi paru-parunya membuatnya mampu menghela napas menikmati hidup, hidup yang tidak pernah menyayanginya.

Seakan ketika merokok, ditemani kopi hitam, segala kesusahan hidup rasanya hilang untuk sementara waktu.

Dan kini ia sangat ingin merokok.

...

"Maling, Anjing!!"

Brakk!! Tangannya meliuk tak karuan dihantam pentung besi, dan teriak Yadi sejadi-jadinya di atas aspal.

Sekumpulan manusia berkumpul menyaksikan seperti menonton acara pagelaran tanpa satupun berusaha menolong. Pada saat itu, ia tidak bisa lagi melarikan diri. Sudah memohon-mohon dia dengan kepalanya yang bopeng itu, tapi hanya dibalas dengan tendangan, pukulan, lemparan batu dan pentungan hingga ia tidak bisa lagi berkata-kata dan pandangnya telah buyar oleh darah yang memenuhi matanya. Ia telah menjadi tontonan dengan kamera-kamera yang menjepret dan merekam kekejaman ini.

Selagi itu terdapat seseorang memegang batu bata, ia menaikan tinggi batu bata tersebut tapi tak dilempar-lemparnya juga karena ragu.

"Lempar! Lempar aja!!!"

Batu bata tersebut kemudian menghantam kepalanya, merobohkannya.

***

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan!" Kutipan Al-Insyirah selalu dibisikan ke telinga Yadi oleh Ibunya ketika ia menangis karena tidak bisa melanjutkan ke SMA untuk membantu pekerjaan Bapaknya yang bekerja sebagai tukang servis televisi.

Kehidupan seakan tak pernah membaik setelah itu, Bapak meninggalkan mereka sehingga Yadi harus menghidupi sang ibu dengan 3 adiknya. Pekerjaan menjadi dua kali lipat, dan lagi dilantunkan Ibu, sesudah kesulitan itu ada kemudahan, ucapan tersebut terus diucapkan sampai liang lahat Ibu yang mengikut Bapak lima tahun kemudian.

Setiap harinya kehidupan semakin keras, semakin mahal harga sembako dan biaya pendidikan adik-adiknya. Jika Bapak tak ajari dia ilmu bongkar-bongkar barang elektronik apakah dia bisa hidup dalam masa-masa sulit itu? Barangkali, dia akan maling, mencopet, dan merampok seperti kawan-kawannya yang lain yang juga tidak pernah punya kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Belum lagi, lama-kelamaan ilmu memperbaiki barang elektronik ini ternyata tidak cukup untuk menghidupi hidup. Yadi karenanya harus hidup menjadi kuli, buruh pabrik, membantu manen padi, harus hidup menjadi apa saja. Secapek apapun, selelah-lelahnya, sehancur-hancurnya, kehidupan tak pernah lebih sejahtera dari kemarin, seakan hidupnya sehari hanya untuk mampu bertahan hidup untuk keesokan harinya, dan tak lama ia mulai lupa cara bersyukur.

Kini adik-adik Yadi sudah mulai dewasa, yang satu menikah, yang satu menjadi pembantu di Jakarta, dan yang satu menjadi TKI.

Yadi setelah itu pergi meninggalkan kampung halamannya, berharap kehidupan yang lebih baik dekat dengan ibukota. Awal menjadi buruh pabrik, hingga membuka tempat reparasi elektronik di rumah sewaan. Lalu menikahi gadis kampung yang ia senangi ketika mengutang nasi uduk di depan pabrik tempatnya menjadi kuli dulu.

Benar kata ibunya, kehidupan ternyata bisa menjadi lebih baik, walau waktunya lama sekali.

Tapi nyatanya memang, kemujuran memang ada batasnya.

Hidup tak sesederhana pikiran, hal yang dahulu dipikir cukup ternyata sama sekali jauh dari kata cukup, hutang semakin mudah didapat tapi ternyata membengkaknya bukan main, ah aku kan hanya lulusan SMP pikir Yadi, gampang ditipu-tipu. Lalu ia harus hidup lebih keras lagi, lebih keras lagi, dengan harap kemujuran akan muncul lagi, seperti berharap mungkin suatu saat togelnya mujur.

Dalam renung pikirnya tapi kadang terlintas, apakah anaknya akan senasib dengan dirinya, apakah dia akan merasakan susahnya kehidupan seperti ibunya Wati jika saja dirinya pergi mencari penghidupan dan ternyata tidak kembali hidup-hidup?

Ketakutan ini selalu muncul ketika ia bangun dari tidurnya.

Lalu ketakutan itu semakin demikian nyata ketika ia bangun dari atas aspal, bersimbah darah.

***

Ia bangkit lagi, entah kekuatan dari mana, darah telah mengalir dari hidungnya. Rasa sakit meluap-luap. Kencing tumpah memenuhi celananya. Pikiran dan tubuhnya kompak berteriak, ia masih ingin hidup!

Tejo datang dengan keringat memenuhi keningnya setelah berlari sekian lama menuju pasar. Segera ia masuk di antara kerumunan, dan dengan kaki hitamnya yang kotor berhasil menendang ke arah Yadi. Betapa senangnya Tejo saat itu, namun tiba-tiba tangan Yadi meraih kaki kotor Tejo.

"Tolong, saya punya anak, istri... mohon ampun... Saya bukan maling... Anak saya sebentar lagi mau lahir, tolong jangan yatimkan anak saya..."

Yadi tidak ingin melarikan diri lagi. Ia tahu hal itu akan sia-sia di mata orang-orang yang semuanya sudah dirasuki setan.

Yadi hanya ingin percaya, bahwa pria yang menendangnya, yang kini ia peluk kakinya, adalah manusia juga, yang sehari-hari mengutuk berita pembunuhan di koran poskota yang dibacanya tiap pagi. Ibu-ibu yang merekam dengan handphonenya bisa melihat bahwa orang di hadapannya, yang kini bersimbahkan darah, adalah anaknya atau saudaranya. Bahwa pria berkacamata dengan baju safari yang menjatuhkan batu bata di kepalanya, adalah seorang guru yang selalu ramah tamah pada anak-anak dan tak pernah sekalipun melukai orang seumur hidupnya. Mereka semua adalah orang biasa yang tidak haus akan darah. Mereka semua adalah orang baik yang tidak pernah sekalipun berpikir bahwa suatu hari mereka akan benar-benar mencabut nyawa manusia.

"Anjing, lepasin babi!"

Tejo tendang kepala Yadi dua kali, tapi tak bergeming Yadi dibuatnya.

Tangis Yadi membuat orang-orang semakin merasa kasihan, dan lama-lama tendang pukul dan lempar batu itu makin sepi juga, bahkan Tejo yang dari tadi berupaya melepaskan diri dengan memukuli Yadi-pun berhenti melakukannya karena rasa iba.

Tapi Teguh tidak senang dengan suasana itu.

Ia memiliki suatu ide, dan ide tersebut sungguh brilian di kepalanya hingga rasa-rasanya ia membohongi dirinya sendiri bahwa dirinya telah dirasuki setan.

***

"Guh, jangan guh!!"

"Minggir kalian semua, minggir!!"

Bau bensin tercium dan orang-orang mulai melarikan diri ketakutan, beberapa berteriak menyuruh Teguh berhenti, tapi tidak dihiraukan.

"Ampun... ampun..." Ucap Yadi, ia sudah begitu lemas hingga tak mampu lagi memeluk kaki Tejo, wajahnya sudah mulai pucat kehilangan darah.

"Astagfirullah..." Pak Ramli berdoa dari kejauhan sembari memangku Ampli mushala yang baru dilepasnya dari motor Yadi.

Tak lama suara bising Azan Ashar memenuhi pasar, membuat sadar beberapa bahwa ternyata sudah cukup lama pengeroyokan ini terjadi. Suara azan tersebut begitu bising hingga suara-suara warga yang berteriak menghentikan Teguh kalah.

Teguh sendiri sudah tak mampu mendengar suara azan, teriakan manusia, juga hati nuraninya, seperti ketika ia bisa tidur nyenyak di antara bising azan pada subuh hari. Barangkali iblis, setan atau jin benar-benar telah merasuki tubuhnya, menutupi kedua telinganya.

Tak lama telah tumpah ruah bensin di badan Yadi, dan semua orang menjauhi Yadi.

Yadi sudah pasrah saat itu, ia hanya berdoa bahwa segala rasa sakit ini hilang dengan cepat.

Bahwa semuanya berlalu dengan cepat.

Bahwa ia terbangun, dan semua ini hanya mimpi buruk belaka.

Ia pulang kecapaian semalam belum tidur, matanya terlalu berat untuk melanjutkan makan tempe dan roboh tepat di sofa ruang tamu.

Ia bangun oleh sentuh tangan Wati yang lembut di pundaknya. Ia bangun, meminum kopi yang diletakan Wati, yang ia ingat tidak diminumnya tadi di dalam mimpinya.

Ia merasakan keheningan, suara azan samar-samar memasuki telinganya, sudah Ashar. Yadi wudhu, shalat, berdoa dengan khusyuk bahwa segalanya akan baik-baik saja, untuk Wati dan anaknya, agar ia terlahir dalam dunia yang baik, dikelilingi orang baik, di mana dia tidak harus hidup sesusah payah dirinya...

...

Api tak lama telah berkobar di badan Yadi, dan terlihat pada dirinya seperti pentul korek yang api berkobar-kobar di atas kepalanya.

Tubuh yang penuh gelora hidup itu, yang sehari-hari telah berupaya sepenuhnya untuk hidup dan menghidupi keluarganya, menunjukan daya akhir hidupnya, dia berdiri dan berjalan walau di selimuti oleh bara api. Orang-orang menghindar, bahkan Teguh-pun dibuat tertegun sadar dan kini dipenuhi ketakutan yang teramat. Lalu tubuh yang bergerak itu terperosok dalam got kotor, seketika memadamkan api tersebut dalam air yang bercampur limbah-limbah kotor pasar.

Hari itu semerbak bau memenuhi pasar, bau daging terbakar yang membuat orang-orang muntah dibuatnya.

***

Kesedihan pecah di rumah Yadi, dan telah terjadi kemalangan oleh Wati yang keguguran setelah mendapati kabar yang menimpa Yadi di halaman rumahnya.

Beberapa jam kemudian, dirinya dihadapkan badan Yadi yang telah menjadi arang yang tak mampu dikenali lagi rupanya. Warga sekitarpun tak percaya dengan penjelasan orang-orang mengenai penyebab kematian Yadi, bahkan hampir-hampir saja pecah tawuran antar warga karena ini.

Tak lama awak media mulai meliput kejadian ini setelah dikuburkannya Yadi.

Wati dalam rupa yang masih pucat lemas mengatakan pada media yang meliput, "Yadi tidak mungkin maling. Lagian jika iya, kenapa juga perlu dibakar seperti ini suami saya? Kenapa tak diserahkan ke kepolisian saja? Suami saya manusia, bukan hewan..."

Berita ini demikian viral, video-video yang tersebar di mana puluhan orang mengeksekusi mati Yadi, dan polisi menetapkan dua tersangka dari video sebagai barang bukti. Salah satunya Teguh, dan entah pasal apa yang mengenainya. Ketika ditanya, dia hanya bilang bahwa ia kerasukan setan hari itu, tanpa rasa penyesalan terlihat di wajahnya.

"Memang berapa harga Ampli?"

"300 ribu."

"Bah, orang mati karena begituan." Ucap salah satu warga yang mendatangi haul akbar di mushala.

Ketika itu Ramli telah kembali dari kepolisian mengambil barang bukti berupa ampli yang dibawa Yadi. Teringat-ingat di kepalanya tadi, Ramli lihat istri Yadi marah-marah di depan polisi karena motor suaminya tidak bisa dikembalikan karena uang tebusannya kurang, Ramli yang kasihan dan merasa bersalah akhirnya diam-diam membayar uang tebusan tersebut ke polisi.

Ramli sesungguhnya sedikit menyesal. Jika saja Ramli tidak berteriak, jika saja ia merelakan semua ini, tak perlu segala petaka ini terjadi pikirnya. Tapi betul benar bahwa tak ada kemalingan lagi terdengar di kampung. Obrolan warung kopi dengan bangga mengatakan tindakan mereka benar efektif mengusir para maling tersebut dari kampung, dan dalam bisik-bisik, Teguh, yang ditangkap kemarin diam-diam sudah dijadikan pahlawan kampung oleh para pemuda. Sedangkan malang nasib Tejo, video dia menendang Yadi begitu jelas memperlihatkan tampangnya dan dia juga turut diseret ke penjara bersama Teguh. Tadi ketika warga berkunjung ke penjara, menangis sejadi-jadinya Tejo, dia bilang baru menendang tiga kali karena telat, tapi tak dihiraukan polisi.

Sekarang Ramli sedang di hadapan ampli bersama tukang yang dipanggil untuk memperbaiki dan sekalian memasangnya, dan tiba-tiba terdengar suara kencang dari sound sistem mesjid, dan tukang itu bilang ke Ramli dengan wajah heran:

"Katanya rusak pak amplinya? Ini gak rusak kok pak?"

Mendengar itu kaki pak Ramli seketika lemas.


Senin, 11 Maret 2019

Tulisan Asal: Doa Yang Mengancam


Perihal doa yang mengancam sedang popular ketika Neno Warisman mengucapkan doanya di malam munajat 212, penggalannya seperti ini: “...Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan. Kami khawatir ya Allah. Kami khawatir ya Allah tak ada lagi yang menyembah-Mu...” Rasanya tidak elok dari akal sehat ketika seorang hamba mengatakan begini, tapi Nabi sendiri pernah berdoa hal yang sama di Perang Badar. Tentu persoalan ini kemudian dilanjutkan pada konteks historis doa nabi dan konteks politik doa si Neno. Demikian, saya yakin Tuhan diancam begitu yah tidak menghiraukan, toh Tuhan tidak butuh kita melainkan kita yang membutuhkan dia. Tidak disujudi itu perkara yang rugi manusia, bukan Tuhan.

Demikian, doa seperti ini wajar, bahkan di kehidupan saya juga. Pernah waktu kecil, menjelang kakak sedang rajin-rajinnya belajar dan bekerja keras saya berdoa begini: “Ya Tuhan, aku tahu kau maha mendengar dan mengabulkan, begitu juga kau yang tidak mengkhianati hasil kerja keras. Masukan kakakku ke ITB ya Tuhan, jika kau tidak masukan Kakakku ke ITB, maka aku akan benar-benar marah padamu, maka aku akan ragukan kebenaranmu, aku tidak akan mau shalat dan berdoa lagi.”

Ya, ini kan doa yang kurang ajar sekali, tapi saya juga masih bocah saat itu (omong-omong kakak saya tidak masuk ITB akhirnya). Tentu saya habis itu tetap shalat dan berdoa, tapi saya kepikiran mulu, dosa gak yah saya doa begitu, saya istigfhar tidak ada hentinya ketika mengingat saya pernah berdoa seperti itu. Dan betapa kagetnya saya, di kehidupan sehari-hari doa yang mengancam seperti saya itu juga sering diucapkan di doa-doa lain.

“Ya, Tuhan, engkau yang maha baik, maha adil dan maha mengabulkan permintaan hambanya.” Misalkan sepenggal doa ini kan bisa sama saja dengan, “Tuhan kalau kau tidak kabulkan, kau berarti tidak maha baik, maha adil, dan maha mengabulkan.” Sedangkan awal-awal doa seharusnya yah memuji, bukan mengancam. Doa yang begitu seringkali diucapkan, apalagi menjelang pemilu dan berbagai perkara lainnya, dan mendengar doa begitu rasanya begitu janggal mendengar apalagi kenyataan yang berbeda dari harapan yang berdoa. Apakah yang berdoa keimanannya berkurang, atau dia berpasarh, berkata bahwa semuanya adalah kehendak Tuhan tanpa mengutuki hasil yang ada? Entah. 

Tapi apalah itu, yang penting memang niatnya. Jikalau sang pendoa tidak bermaksud mengancam atau dalam niat memojokan Tuhan agar memperbesar peluang doanya diterima, yah siapa saya untuk menilai? Toh hanya Tuhan yang tahu niatan sang pendoa. Tapi lebih baik, lebih sopan toh, ketika doa kita harus sadar benar, jangan sampai doa-doa itu terdengar mengancam, sadar lah siapa kita ini. Berani benar mengancam yang maha besar, sang pencipta kita?


Rabu, 27 Februari 2019

The Unsung Hero: Cita-Cita Saya Dalam Membuat Cerita Fantasi.

Saya jujur menggilai genre fantasi. Jika saja Indonesia memiliki massa genre fantasi yang bagus, cita-cita saya barangkali jadi novelis bergenre fantasi. Pertama kali saya mencintai genre ini dari videogame, terutama Final Fantasy Tactic (yang merupakan sub-seri Final Fantasy).

Mendalami fantasi kisah-kisah kebanyakan selalu menceritakan seorang yang terpilih ataupun istimewa. Pahlawan (Hero), Bangsawan, Petarung tangguh, Anak yang terkutuk, Dragonborn, Esper, dan lain sebagainya, yang tak lain mengisayaratkan bahwa genre fantasi mengharuskan tokoh utamanya menjadi sosok spesial di dalamnya. Parahnya lagi, fantasi juga menjadi sarana self-insert yang cukup parah, tokoh-tokoh semacam Mary Sue menghantui cerita fantasi kini karena genre fantasi sendiri dianggap sebagai cerita yang ideal sebagai medium eskapis.

Saya kemudian jadi berpikir kembali apa yang membuat saya tergila-gila dengan dunia fantasi? Manusia-manusia yang menggunakan pedang dan baju zirah, melawan naga dan mahluk fantasi sejenisnya, dalam dunia yang indah nan kreatif. Tapi, dewasa ini, terutama pengalaman saya mendalami sejarah, pengamatan sehari-hari dan tentunya, bermain game mengingatkan saya bahwa ada kisah-kisah yang asing dalam genre fantasi: Cerita orang biasa.

The Unsung Hero menceritakan tokoh pahlawan tanpa jasa. Dia tidak diingat, tidak dinyanyikan, dan lenyap di makan jaman. Demikian, kontribusi dan ketulusan mereka dalam melakukan sesuatu tidak perlu dipertanyakan, mereka adalah sebenar-benarnya pahlawan. Di sini pahlawan yang saya maksud bisa apa saja, penjaga gerbang, kurir, penjaga bar, dan lain sebagainya. Kehidupan dan pekerjaan mereka, sebiasa-biasanya, adalah menghidupi dunia fantasi dengan segala ancaman di dalamnya, tak lain ancaman yang sama dialami para manusia luar biasa yang sering kita baca di dunia fantasi.

Saya ingat memainkan cerita seorang yang terpilih, sang messiah. Ia berjalan, menyusuri dunia fantasi untuk mengalahkan tokoh jahat, sang raja kegelapan (begitu klise-nya). Suatu saat saya mengunjungi suatu tempat pemukiman terakhir, tempat beristirahat dan membeli barang-barang kelas atas sebelum bertemu sang boss. Di situ saya sadar, bagaimana sang penjaga bar, seorang biasa, mampu mengumpulkan barang-barang kelas atas dan bertahan selagi saya, sang messiah, terlunta-lunta menghadapi mob random encounter yang luar biasa menyusahkan?

Barang-barang itu tidak akan ada tanpa adanya para pemburu, tak ada yang mengantarkan kecuali ada bantuan pedagang ataupun kurir, dan tak akan ada tanpa diramu terlebih dahulu dari seorang alchemist ataupun sang pemilik bar itu sendiri. Pemukiman itu barangkali juga tidak ada jika sang penjaga bar tidak cukup kuat, tidak memiliki koneksi, dan segala persyaratannya untuk bertahan di tempat itu. Demikian, mereka ada, untuk membantu sang messiah mengemban tugasnya dan tentu juga untuk kebaikan para petualang dan mahluk lainnya.

Cerita-cerita seperti menarik seseorang ke dalam realita, saya harap begitu. Seorang berpakian oranye yang menyapu taman dan orang yang menyeret gerombak sampah, apa bisa dikatakan pahlawan kita tak pernah tahu, tapi jelas tanpa mereka taman kotor dan sampah tidak ada yang mengambil. Begitu juga tentu pekerjaan seperti Guru, TKI, Mbok nasi rames, dan lain-lainnya. Mereka menghidupi dunia mereka, perbuatan mereka dalam berkontribusi pada keadaan yang lebih baik sama baiknya mungkin dengan pahlawan.

Tapi mereka tak dibanggakan, tak dinyanyikan, dan bahkan beberapanya dihina. Mereka yang saya idolakan, pahlawan-pahlawan semacam itu, sebagaimana tokoh yang saya hormati juga yang seumur hidupnya berjuang demi bangsanya ditembak oleh bangsa yang dibelanya, seumur hidupnya dikutuk oleh sebagian bangsanya, tokoh tragis di kisah-kisah tragedi kebanyakan. Tapi mereka-mereka ini adalah yang menjejakan kakinya, membekas langkah kaki dalam dunia yang dibuatnya, dunia yang lebih baik dari kegelapan tanpa harap miliknya dulu.

Saya berharap, dengan kemampuan saya yang terbatas dan apa adanya mampu menciptakan konsep-konsep potensial untuk mengusung tema The Unsung Hero ini.

Minggu, 17 Februari 2019

Tulisan Asal: Ballad Narayama dan Kegelisahan Saya





Ada kisah lama di jepang berjudul The Ballad of Narayama[1]mengisahkan tentang tradisi ubasute, yaitu di mana seorang anak mentelantarkan orang tuanya ke gunung ketika mereka mulai menjadi beban dalam hidup. Kisah atau tradisi ini barangkali tidak asing, di mana orangtua yang dianggap merepotkan atau memiliki banyak kebutuhan, keluarga mereka memutuskan untuk menempati mereka di panti jompo.

Dalam Islam, hal ini sangat-sangatlah tidak pantas. Gambaran yang paling umum adalah bagaimana kita sebagai anak, masa bayi dulu dalam keadaan yang benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa sangat tergantung oleh kasih sayang orang tua. Bukan begitu saja, bahkan kebanyakan sampai menginjak umur akil baligh yaitu 17 dan lebih, orang tua tetap saja terus dengan segenap hati memiliki perasaan untuk merawat dan memedulikan kita (setidaknya di Indonesia).

Kembali di kisah The Ballad of Narayama, sang ibu bukan hanya menyelesaikan persoalan hidup untuk bekal anaknya, tapi juga di gendongan anaknya yang membawanya ke gunung, memetik ranting-ranting di pohon yang ia lewati, menyebarkan serpihan sebagai jejak agar anaknya mampu pulang dengan selamat. Begitu gambaran kisah ini terhadap kasih sayang Ibu, dan bagaimana seorang anak harus sadar betapa dalamnya ikatan hubungan ibu dan anak.

Saya hari-hari ini menghadapi dua minggu melihat Ibu sakit parah. Awal gejala yang ibu perlihatkan adalah flu, dan kebetulan saya juga ketularan, jadi saya begitu yakin ibu mengalami sakit yang sama. Demikian, Ibu tetap bekerja setiap harinya, sedangkan saya masih berleha-leha di rumah pasca lulus kuliah, memutuskan untuk mengulur-ngulur persiapan untuk beasiswa yang belum tentu saya dapatkan. Penyakit saya membaik, mungkin karena lepas dari stress, istirahat yang cukup, dan makanan yang bergizi. Beda dengan Ibu, tiga hal yang tadi saya sebut tidak ia lakukan, terutama stressnya untuk mempersiapkan acara Imlek di sekolahnya, belum dengan segala eksperimen obat yang dilakukannya tanpa konsultasi ke dokter beneran.

Penyakitnya memburuk, demam sering terjadi, tidak bisa makan, batuk yang terkadang diikuti oleh muntah, dan ia tidak bisa tidur oleh gejala batuk yang dialaminya. Terkadang malam hari saya mendengar Ibu terduduk menekuk (itu satu-satunya cara agar ia tidak batuk), dan menangis bertanya pada tuhan kenapa dia tidak sembuh-sembuh, itu tepatnya dua minggu pasca penyakit. Ibu juga memang bukan contoh yang bagus bagi orang yang sakit, antibiotik yang ia pesan sendiri saya kritik untuk konsul ke dokter beneran, bukan hanya lewat pengalaman (yang bisa jadi malah antibiotik sakit gigi) ataupun resep dari dokter yang bahkan tidak bertemu langsung dengannya.  

Klimaks penyakit ibu terjadi saat selesai acara sekolahnya, Ibu dibawa bapak ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu (karena BPJS hanya diterima lewat layanan UGD katanya). Dokter kata Ibu melihat ada infeksi dari pemeriksaan darah, demikian masalah Ibu katanya ada di lambung, obat diberikan namun hanya untuk dosis tiga hari. Ibu membaik saat itu, suhu panasnya turun walau belum bisa tidur. Namun, beberapa hari kemudian Ibu kembali demam parah, dan kembali di bawa ke UGD. Kali ini Ibu diberi selang oksigen, dan lagi-lagi diberi obat yang sama. Ibu tak kunjung membaik.

Akhirnya Ibu kami paksa bertemu kakaknya yang seorang dokter (entah mengapa, Ibu selalu ogah-ogahan konsul ke kakaknya, padahal kakaknya spesialis THT). Bahkan, teman bapak yang seorang dokter juga datang menjenguk memeriksa Ibu, yang demikian Ibu skeptis terhadap obat yang diberikannya, “Lagi-lagi antibiotik.” atau "Dia kan bukan ahli THT atau paru-paru." Katanya. Obat yang diberikan teman bapak tidak diminum, dan kami kesulitan mendapat obat dari resep kakaknya Ibu (yang kemudian ia bantu carikan, namun 3 hari rasanya lama sekali). Di jeda obat yang nihil, Ibu dibawa ke tukang urut refleksi oleh kakaknya yang lain. Tukang urut ini rasanya sesat, dan lagi, menyesatkan kami (terutama saya) bahwa penyakit Ibu ada urusannya dengan lambung yang kupikir agak bias karena tidak berlandas uji lab dan kontrol pasca UGD kemarin, dan bahkan Ibu ditakuti-takuti sang tukang urut bahwa antibiotik (dan segala obat yang lain) untuk dihentikan pemakaiannya dan fokus pada pengobatan alternatifnya.

Demikian benar salahnya, Ibu tetap tak bisa tidur walau obat antasid untuk maag sudah diberikan. Memang penyakit ibu mirip-mirip gejala GERD (penyakit asam lambung), tapi setelah obat maag tidak berfungsi, saya rasai ada kejanggalan. Obatpun di dapatkan dari kakak sang ibu, dan ibu melanjutkan pemakaian obat yang berlangsung beberapa hari sampai antibiotik habis. Di sini Ibu sudah mengalami peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya, dia sudah bisa makan lahap, dan bahkan tidur. Saya menyarankan ibu kontrol ke kakaknya persoalan antibiotik habis (yang dia tidak lakukan), sorenya ibu lagi-lagi demam parah diikuti muntah-muntah, ini terakhir kami membawa ibu ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu. Tidak percaya dengan rumah sakit sebelumnya, kita memutuskan untuk pergi ke RS Harum di mana rumah sakit kakaknya ibu berada.

Di situ hasil rontgen menunjukan bahwa Ibu mengalami infeksi berat dengan tanda radang di antara kedua paru-parunya (dan lucu, tidak ada apa-apa di lambungnya). Ibu diperbolehkan pulang sebenarnya dengan obat paracetamol, obat pereda batuk dan antibiotik plus rujukan ke dokter paru-paru pada hari senin (kami bawa dia hari sabtu lalu), tapi Ibu berkali-kali menyatakan dirinya ingin dirawat inap karena berharap hal itu mampu membuatnya baikan dan dokter juga kakak ibu yang mendengar itu akhirnya merekomendasikan Ibu dirawat inap.

Di sini saya kembali ke fokus narasi saya, bahwa merawat orang sakit itu sungguh melelahkan dan penuh dengan tekanan. Setiap hari mendengar keluh kesah, marah, dan mood yang tidak enak. Setiap malam mendengar suara batuk, muntah, dan tangis. Ada suatu malam saya memijati ibu saya, mengajaknya bicara berpikir betapa membosankan dia mencoba tidur dengan posisi yang tidak mengenakan itu (duduk sambil menekuk kepalanya kedepan yang diselipi bantal). Dan terakhir, Ibu minta dirawat inap. Bapak awalnya meminta saya menemani ke rumah sakit, dan betapa kagetnya saya dengan diri sendiri dan mungkin juga bapak bahwa saya yang dari tadi menyuruh ibu ke rumah sakit juga salah satu yang merawatnya (mengingat rahmat sedang sakit, kakak tidak pernah di rumah) memperlihatkan keengganan untuk menemani sang Ibu.

Apa yang ada di kepala saya adalah timbunan rasa tidak enak yang rasanya sudah tertimbun terlalu tinggi, saya menyalahkan perasaan tidak fit saya (yang benar saja, besoknya saya lagi-lagi terkena pilek). Lagi setelah saya ikut, klimaks dari perasaan tidak enak saya muncul: Ibu memutuskan untuk rawat inap. Di kepala saya, keputusan ibu terkesan dilebih-lebihkan, toh ibu akan mendapati obat yang sama, hanya bedanya lewat infus saja, dia akan tetap kesulitan tidur bahkan tidak akan bisa beraktivitas apa-apa untuk menghabisi kebosanan yang bisa dilakukan dirumah, selebihnya adalah repot bagi keluarganya yang menjenguk, membawa baju dan menemaninya di rumah sakit yang steril dari definisi hidup, itu belum diikuti demand sang ibu untuk membawakan makanan atau sejenisnya yang barangkali mampu membawa kenikmatan dalam ruang steril itu (bisa saja dia menolaknya karena ternyata tidak seenak yang dipikirkannya, ibu saya begitu orangnya). Tidak ada yang menurut saya menyehatkan dari ruang kamar rumah sakit, ruang-ruang yang penuh orang sakit, minim kehidupan, dan tentu saya bisa-bisa sangat salah, toh ini prespektif yang sangat sempit bagi orang yang bukan pada profesinya mengenai perawatan rumah sakit yang serba direct.

Saya menarik kembali kejadian ketika ibu patah tulang setahun yang lalu dan menginap di rumah sakit menemaninya, betapa repot, bosan dan melelahkannya. Rumah sakit dengan bau khasnya dan tentu, penuh dengan orang sakit, adalah ruang kamar kecil di mana tempat tidur yang ideal adalah kursi dan karpet di bawah lantai, lorong sempit, wc yang buruk juga sibuk. Jika saya mengeluh juga, betapa durhakanya saya sebagai seorang anak. Saya merasa Guilty pleasure juga ketika pulang dari rumah sakit, dan betapa leganya merasakan empuknya kasur kamar. Saya yang suka bermanja pada sang Ibu, ternyata memiliki perasaan sayang yang setipis itu ketika ibu sedang susah, pikir saya dulu dan akhirnya, sekarang.

Bapak ketika ibu sudah berada di kamar sakit kemudian bertanya sekalian meminta, apa saya berniat menginap pada hari pertama, karena Bapak butuh dokumen BPJS yang dia urusi agar ibu tidak membayar. Saya bilang ke Bapak dalam perasaan ogah, mengatakan Iya, dia mampu membaca ekspresi saya yang ogah dan saya benar-benar bukan orang yang mampu menyembunyikan ekspresi wajah sendiri. Bapak memutuskan untuk tinggal sampai suster mengabarkan kita boleh tidak menemani ibu, yang penting pagi sudah datang untuk kontrol dengan dokter. Saya dan bapak pulang. Besok paginya, bapak berangkat sendirian ke rumah sakit membawa pakaian dan lainnya.

Betapa bersalahnya saya pagi itu, merasa mengkhianati Ibu dan ekspetasi Bapak. Hari yang sama, saya lagi-lagi memegang perasaan yang sama, jauh-jauh dari yang namanya menginap menemani Ibu di Rumah Sakit. Rachmat ingin tinggal dan saya mencoba untuk tidak tinggal, ruang sesempit itu hanya memungkinkan satu orang untuk tinggal saya bilang. Bapak memutuskan untuk tinggal dan saya juga Rachmat kembali ke rumah.

Pulang saya berpikir kenapa perasaan saya begitu tidak tenang, dan saya kemudian mengingat The Ballad of Narayama. Jika Ibu dan Bapak sudah tua, mereka sakit ataupun sekedar tua yang sudah pikun, ngompol, sifatnya mulai kekanak-kanakan yang kerjaannya mengeluh dan mengeluh, apa perasaan yang seperti ini akan muncul? Apa saya akan seperti anak dalam kisah lama itu, anak yang tidak tahu namanya berbakti, anak durhaka, dan lupa akan kebaikan ibu dan bapak yang dahulu merawat kita yang tak lain, adalah yang mengompol, kekanak-kanakan, dan mengeluh (dengan teriakan tangis pada waktu malam, ketika mereka sedang terlelap-lelapnya) ?

Saya benar-benar merasa bersalah hari ini, dan semoga saya bisa merefleksi diri lewat tulisan ini.



[1] https://en.wikipedia.org/wiki/The_Ballad_of_Narayama_(1958_film)

Sabtu, 02 Februari 2019

Naas: Sebuah Cerita Pendek


Afrizal bangun pukul setengah lima subuh. Segera ia membangunkan keluarganya, sang ibu segera terbangun mengambil wudhu, adik-adik Afrizal yang masih kecil masih terlihat ogah-ogahan, beberapa memeluk guling lebih erat, beberapa membalik badan menolak. Tapi Afrizal tetap bersikeras, makin keras ia goyangkan sambil menegur "Bangun-bangun!" maka akhirnya terbangun mereka dengan enggan untuk bertemu tuhan mereka.
Afrizal kemudian memimpin shalat, beberapa kesal karena Afrizal selalu melantunkan ayat panjang, biasanya adiknya Syahrul segera melolongkan menguapnya hingga terdengar telinga Afrizal, tapi ia tidak peduli.
Dahulu perilaku begini bisa membikin Syahrul dijepret Bapak dengan sabuk, tapi kegiatan shalat subuh ini sudah digantikan Afrizal setelah Bapak wafat, dan Afrizal tak pernah setega itu pada adiknya.
Setelah shalat adik-adik Afrizal kembali tidur kecuali Ani yang sudah SMA. Dia menyiapkan buku dan menyetrika pakaian, dari pakaian seragamnya sampai seragam cleaning service Afrizal dan adik-adiknya. Ibu saat itu menyiapkan sarapan, memasak nasi dan menyuguhkan teh. Afrizal segera mandi, bersiap diri karena pukul 6 dia sudah harus di sekolah untuk melakukan pekerjaannya.
Air terasa dingin membasahi tubuh Afrizal pada pagi hari itu, diselingi angin yang menyelinap masuk dari atap kamar mandi yang tak beratap. Afrizal hanya mengguyur seadanya, sabunan dan sampoan dibarengi, guyur lagi dua kali dengan sungguh-sungguh membilas seefisien mungkin bersih mengingat betapa repotnya mengambil air dari sumur. Afrizal setelah berhandukan segera menggunakan celana dan kaus skutangnya.
Keluar dari kamar mandi sudah ada Ani di sebelah tempat setrika, dia terlihat tidak ingin segera masuk menggantikan kakaknya.
"Mas," Ucap Ani sambil memberikan seragam pada Afrizal, wajahnya tapi berpaling tidak menatap langsung pada kakaknya, "Boleh Ani minta sesuatu Mas?"
Afrizal mengambil baju seragamnya yang sudah disetrika Ani sekalian merespon ucapan Ani, "Mau minta apa Ni?"
Afrizal tahu Ani ingin meminta duit, dan wajah Ani seakan enggan menanyakannya, tidak enak.
Afrizal tahu bahwa Ani selama ini memang selalu merasa enggan dalam perihal uang. Setelah bapak tiada, Afrizal sebagai kakak tertua meninggalkan sekolahnya untuk bekerja menghidupi keluarga. Pekerjaan Afrizal merupakan pekerjaan serabutan, kadang ia menjadi kuli, menjadi tukang bersih got, benerin genteng. Kini ia mendapati pekerjaan tetap menjadi cleaning service yang gajinya lumayan, itupun tidak mengurangi kelelahannya karena setelah bekerja Afrizal kemudian membantu Ibu yang kini memiliki usaha laundry dari modal yang dikumpulkan Afrizal dan tabungan Bapak.
Melihat kakaknya yang tak pernah mengeluh, ia tak pernah tega menggunakan uang jajannya untuk makan. Jika temannya mengajak ia main, ia menolak. Ani tahu kondisi keluarganya, maka ia belajar pintar-pintar agar tidak membebani kakaknya. Namun kali ini Ani sedih, bahwa dia terpaksa harus meminta uang pada kakaknya.
"Mas, ini... Ani ada acara perpisahan."
"Ah iya, kamu habis UN yah Ni, butuh berapa perpisahan?"
Afrizal tersenyum bertanya sambil mengeluarkan dompetnya, padahal dalam hatinya dia bersiap diri mendengar digit angka uang yang akan diucapkan Ani.
"Tiga ratus..." Ani tiba-tiba saja memalingkan wajahnya, "Gak usah deh mas."
Ani tentu ingin sekali ke acara perpisahan untuk meninggalkan kenang-kenangan bersama sahabat-sahabatnya, tapi apakah acara perpisahan itu wajib sekali untuk diikuti? Lagipula tiga ratus itu uang yang besar sekali, pikir Ani, itu juga sudah dikurangi uang tabungan Ani. Memang perpisahan kali ini istimewa, karena sekolahnya berencana untuk pergi ke Jogja, tur ke universitas-universitas dan tempat wisata. Tapi kemewahan itu bukan untuk Ani, pikirnya.
"Nih."
Demikian Ani sudah berkata begitu, uang tiga ratus ribu tergeletak di tempat setrikaan. Afrizal sudah memasukan lagi dompetnya di kantung celananya.
"Mas, Ani..."
"Udah, gak papa. Mas masih banyak simpenan duit kok."
Ani memeluk kakaknya.
"Terima kasih mas!"
Ani tersenyum, dan Afrizal merasa lega. Ani adiknya yang ia banggakan, juara kelas, selalu merenung setelah ditinggal bapak. Baru kali ini Afrizal mampu membuatnya senang.
Demikian, Afrizal harus berpikir pekerjaan paruh waktu apa yang harus ia lakukan setelah bekerja sebagai Cleaning Service untuk mengganti uang tiga ratus tersebut.
***
Pukul 10, Afrizal kini sedang membersihkan kamar mandi di sekolah tempat ia bekerja. Afrizal baru bekerja beberapa bulan, dan ia merasa terkagum-kagum dengan sekolah ini, terutama kamar mandinya, lebih besar dari rumah yang ia hidupi bersama lima anggota keluarganya.
Ia jadi ingat kamar mandi yang begitu bau pesing di sekolah dasarnya dulu, begitu kotor dan tidak nyaman. Afrizal lebih enak pulang saja jika kebelet buang air besar dibanding harus berada di wc sekolah tersebut, sedangkan di sini, barangkali Afrizal bisa berlama-lama berak sambil ngudud. Tapi, Afrizal juga kebingungan sendiri. Kloset yang kini ia bersihkan merupakan kloset duduk, tidak ada bak air, hanya tersedia tissue dan tempat sampah. Di kloset duduk tersebut sendiri banyak tombol-tombol misterius juga, yang Afrizal takut kalau ia tekan nanti bisa rusak.
Demikian untunglah Afrizal tidak terlalu pusing mengenai itu, mereka para cleaning service memang tidak diperkenankan menggunakan WC siswa, apalagi WC guru. Mereka punya WC-nya sendiri, yaitu di tempat parkir di luar sekolah, kloset jongkok lengkap dengan bak airnya yang memang pas buat mereka.
Dan kalo dipikir-pikir, jika buang air besar sambil duduk, Afrizal pikir takkan bisa kotoran itu bisa keluar, toh susah ngedennya.
Sedang bengong mengelapi kaca sambil menyemprotkan cairan pembersih, keluar seorang bocah. Wajahnya pucat, jalannya pun aneh, langkahnya besar-besar sekali. Terlihat ia kesakitan. Mereka bertatap mata sekilas, dan Afrizal melanjutkan mengelap kaca kembali.
Tak lama Afrizal sudah lupa dengan pertemuannya dengan anak kecil tersebut.
***
Pukul 8 malam, Afrizal tengah bekerja membantu temannya berjualan nasi kucing.
Tiba-tiba handphonenya berdering, ditelpon dari nomor kepegawaian sekolah.
Dia disuruh untuk segera masuk pukul 6 pagi, walau besok adalah hari minggu.
Afrizal merasakan sesuatu yang janggal dari nada bicara staff kepegawaian tersebut, namun setelah telpon tertutup, Afrizal segera menghapus segala perasaan janggal tersebut dan fokus melayani pelanggan.
Afrizal kemudian kembali bekerja sampai pukul 11 malam.
Ketika pulang, Ibu Afrizal menunggu di depan rumah sambil terkantuk-kantuk matanya. Melihat Afrizal mengucapkan "Assalamualaikum," Ibu tersenyum, dengan penuh syukur menjawab salam Afrizal, "Waalaikumsalam.". Segera ibu membawa segelas teh hangat selagi Afrizal mengganti baju.
Kemudian mereka nonton tv berdua, ibu bercerita mengenai apa yang dia alami hari ini.
"Ani peringkat sepuluh besar UN di seluruh provinsi kata gurunya."
Afrizal sudah dengar semua itu kemarin, tapi ia selalu mendengarkan ucapan bangga dari ibunya.
"Ani tuh bisa milih universitas apa aja, dan tahu gak mas dia bilang apa ke Ibu?" Kemudian Ibu berucap, kali ini suaranya kehilangan semangatnya, "Dia bilang dia pingin langsung kerja aja."
"Wah, sayang."
"Nah betul kan? Katanya uang gedung mahal, dan lain-lain."
"Nah terus ibu bilang apa ke Ani?"
"Yah, Ibu bilang kita urus beasiswa, kan ada sekarang apa itu namanya? Bidik misi? Kita juga bisa minta keringanan. Pokoknya kata gurunya semuanya bisa diurus."
"Iya, betul tuh." Afrizal sebenarnya tak paham benar apa yang ibunya katakan, tapi ia mengangguk-ngangguk saja.
"Tapi Ani bilang juga, nanti ada biaya kos, belum biaya makan, belum buat beli buku, laptop."
"Kebanyakan mikir tuh anak..."
"Iya kan?"
"Terus ibu bilang apa?"
"Yah, ibu bilang bener juga."
"Looohh..." Afrizal menepuk kepalanya, "Ibu bilang ke Ani, masnya bakal urus semua kebutuhan hidup Ani. Yang penting Ani kuliah dulu, di mana aja. Bilang, cuman itu cara kita bisa keluar hidup miskin. Gak apa masnya banting tulang, capek, yang penting Ani bisa sukses. Nah, sekarang di mana Ani?"
"Lagi nginep di rumah temennya."
"Yasudah, besok aku bilang sendiri ke anaknya."
Ibu melihat ke arah Afrizal yang kembali fokus menonton TV. Ibu bersykur sekali punya anak rajin dan penuh rasa tanggung jawab. Berkali-kali Ibu merasa bersalah bahwa dirinya yang hanya lulusan SD tidak mampu melanjutkan sekolah anaknya. Ibu ingat setelah kematian bapaknya, Afrizal berkata, "Gak apa bu, Afrizal yang kerja.", Ibu menangis mengatakan tidak boleh begitu, harapan orang tua adalah melihat anaknya mampu hingga ke pendidikan tinggi, "Afrizal kerja sampai Ani lulus, nanti Afrizal lanjut sekolah lagi, janji bu, gimana kalau gitu?"
Tentu Afrizal hanya berkata begitu untuk meyakinkan sang Ibu, dan karenanya hingga kini mereka masih mampu bertahan dari segala kesusahan yang mereka hadapi.
Sekali lagi dalam pikir Ibu, bahwa Ibu sungguh bersyukur memiliki anak seperti Afrizal.
***
Keesokan harinya, terdengar kabar dari telpon bahwa Afrizal ditangkap pihak kepolisian.
Ibu pingsan.
***
Afrizal berdiri di antara cleaning service yang kemarin mendapati tugas mengurus kamar mandi.
Seorang ibu dengan wajah gusar bersama pihak kepolisian menyuruh sang anak menunjuk.
"Saya tahu! Salah satu dari kalian memperkosa anak saya!"
Sang bocah kelihatan kebingungan. Seorang polwan membisik anak tersebut, dia disuruh memilih, tapi lagi, ia enggan. Salah satu guru dengan ilmu pseudo-psikologinya berkata, "Sang anak pasti trauma sehingga ingatannya buyar, ah, barangkali diancam."
Sang ibu kemudian menarik anaknya, "Cepat nak, pak polisi nunggu siapa yang ngelakuin ini ke kamu."
Sang anak tertekan.
Kemarin dia mengeluh ke ibunya, pada bagian anusnya ia merasakan sakit, keluar darah. Tak seperti yang ia sangka, ibunya terlihat begitu kaget, dan segera memeluknya, "Siapa yang melakukan ini nak? Siapa?" Dia menangis saat itu. Sang anak kebingungan, tak memahami maksud ibunya, sampai tiba-tiba dia dipaksa bangun pada pagi harinya, dan kini bertemu bapak polisi dan staff cleaning service di hadapannya, yang ia tak kenal, kecuali... Wajah yang familiar ketika ia keluar dari kamar mandi kemarin.
Jika ditanya, siapa yang ia ingat dalam ingatannya yang samar-samar, hanya pria itu.
Telunjuknya terangkat.
Afrizal dipilihnya.
Afrizal takjub tak mampu berkata apa-apa, seketika polisi segera memborgolnya, dan pandang-pandang jijik terhadapnya.
Diamnya hilang ketika tampar mengenai pipinya.
"Mati kamu! Bajingan!"
Sang ibu berteriak dengan matanya yang ngeri.
Afrizal tentu tak terima, "Ini fitnah!" ucapnya, tapi tak ada yang menanggapi, kawan-kawan cleaning servicenya pun hanya menunduk.
Sang anak segera di bawa pergi, Afrizal mengingat pada pagi hari itu ketika dia sedang mengelap kaca. Seorang anak yang berjalan dengan rintihan rasa sakit. Ingatannya kembali, dan ingatan tersebut adalah ingatan yang percuma.
Dia hanya bisa merintih seketika polisi menaklukan badannya yang melawan, "Ini fitnah, Astagfirullah, demi Allah, ini fitnah..."
***
Pukulan mengenai bibir kemudian pelipis Afrizal, pecah, darah mengocor deras.
Pukulan mengenai perut Afrizal, muntah seluruh isi sarapannya.
Pukulan mengenai mata Afrizal, bonyok dibuatnya.
"Ngaku lu Anjing!"
Kasus para pemerkosa sulit untuk dibuktikan, terutama dari kasus ini. Pertama, tidak ada saksi kecuali korban. Kedua, tidak ada sperma yang ditinggalkan korban. Ketiga, hasil visum saja tidak cukup. Korban bisa saja berbohong, tapi polisi cukup tahu, anak kecil tidak mungkin berbohong.
Polisi yang berada di ruang intograsi ini semuanya memiliki anak, bagi mereka tiada ampun bagi para penyodomi anak.
Ditenggelamkan Afrizal.
Dipotong kuku-kuku itu hingga keujung-ujungnya.
Disetrum Afrizal.
Sudah 12 jam.
Pandangan Afrizal mulai buyar. Perutnya kembung oleh air. Perutnya belum terisi apa-apa, pun yang sudah terisi terbuang dalam muntah.
Ia belum juga mengaku, namun kini ia begitu ragu untuk mempertahankannya. Melihat kini ruhnya sudah begitu tidak lekat dengan raga, ia merasa begitu sayang jika ia mati pada saat ini.
Pikiran Afrizal lebih-lebih memikirkan nasib keluarganya setelah rasa sakit mulai mati rasa: Koko, Adi, dan Syahrul masih SD, terutama Syahrul yang sebentar lagi akan menginjak bangku SMP. Dia butuh baju, buku, dan uang gedung. Ani pastilah takkan tega untuk melanjutkan kuliah, ia pasti akan bekerja, entah membantu ibu, menjadi TKI atau menjadi istri seseorang untuk meringankan beban ibu. Dan Ibu, duh, ibuku sayang, kalau sampai aku ditangkap bagaimana nasib bisnis ibu? Ah, ah, jika aku mati, siapa yang mampu menjaga mereka? Tapi juga jika aku mengaku, aku akan dipenjara, dan sama saja hasilnya.
Apa ini yang dikatakan apes? Naas? Apa ini yang disebut bagai buah simalakama?
Polisi sudah selesai istirahat.
Wajah mereka masih garang.
Salah satu dari mereka membawa kertas dan pulpen.
"Kalo lu ngaku, gw janji proses pengadilan lu lancar, dan cuman dipenjara yah, paling lima tahun lah."
Afrizal terdiam dengan badannya yang masih basah, dan darah yang menetes dari bibirnya yang pecah. Matanya terpicu oleh suara binatang yang berada di balik sang polisi.
"Kalo lu gak ngaku, yah lu mati anjing. Terus lu kira kalo lu mati terus lu gak bakal dikira sebagai pelaku? Nggak njing. Lu bakal tetep jadi penyodomi anak kecil."
Afrizal memegang pulpen dihadapannya.
"Nah gitu dong dari tadi, kalo gitu kan lu gak bakal bonyok tadi."
Pulpen itu menulis, terseok-seok tulisannya.
"Sekarang lu mau makan apa? Nasi goreng? Nanti gw pesenin."
Tersenyum polisi itu, sedangkan Afrizal menangis. Air matanya mengenai tinta yang menjadi pudar, dan ia terus menulis.
Sang polisi keluar berteriak, "Oy, minta materai 6000 dong! Nih pelaku pengen ngaku."
Dalam alam pikir Afrizal hanya ada rasa takut melihat apa yang dibawa polisi yang ada di hadapannya. Tikus, ember, dan lilin. Dia tidak mau lagi disiksa. Ia juga tidak mau mati.
Ia hanya ingin selamat.
Dan beberapa menit kemudian, Afrizal resmi menjadi tersangka.
***
Ruang putih berbau alkohol, tirai hijau, dan seorang dokter dengan maskernya melihat ke arah anus sang anak yang kini tengah menungging. Sang dokter melihat Abrasi dan nanah, dan dia memahami benar apa yang terjadi pada anak ini.
Dia kemudian menyuruh sang anak mengenakan pakaiannya lagi, dan segera bertemu dengan sang ibu di sebelah ruangan, dia tengah berbicara di telponnya sambil berteriak-teriak.
"Sudah mengaku dia? Ya, ya, kau pikir dihukum berapa orang itu? 15 tahun? Terus bagaimana sekolah ganti rugi ke saya? Ya, ya..."
Sang ibu mengangguk-ngangguk, dan sang dokter menunggu sampai sang ibu selesai menelpon anaknya.
"Anak ibu mengalami Proktitis."
"Maaf ibu dokter, apa itu Proktitis?"
"Infeksi oleh protozoa, biasanya karena kurang bersih membersihkannya setelah buang air besar. Apa anak ibu terbiasa menggunakan tissue? Biasanya karena tidak bersih melapnya Untuk saat ini coba gunakan air bu untuk setiap harinya..."
"Sebentar, semua ini bukan karena trauma atau cedera fisik?"
"Trauma? Maksud ibu? Ah, ya, saya resepkan salep Flagyl yah bu. Oh, dan ibu butuh surat visum untuk apa?"
"Dok..."
Sang ibu melihat ke arah anaknya yang kebingungan, lalu dia melihat ke dokter itu lagi.
"Apa mungkin mengubah hasil visum?"
***
Televisi menayangkan tentang kasus sodomi di sekolah internasional. Diberitakan begitu sensasional, begitu biadab, begitu memalukan.
Sang anak disensor mukanya, dan sang ibu menceritakan detil mengerikan yang dilakukan sang pelaku. Begitu membuat buluk kuduk merinding ketika penonton mendengarnya, diikuti suara-suara latar yang tak kalah ngeri. Kemudian foto Afrizal diperlihatkan, orang-orang yang melihatnya segera merasakan perasaan jijik terhadapnya. Afrizal dikatakan sudah mengaku, namun ia baru akan diadili sebulan lagi.
Di kediaman Afrizal, suasana begitu panas. Bau tidak sedap di pekarangan rumah Afrizal oleh lemparan telur busuk, sayur-sayuran, dan air got. Mereka murka, tapi karena tak mampu mengeroyok Afrizal secara langsung, maka keluarga Afrizal adalah pelampiasannya. Ibu masih mengurung diri juga kelima anggota keluarga Afrizal.
"Ani pokoknya gak mau ikut perpisahan."
Ani melempar uang 300 ribu yang tercecer di lantai, dan Ibu segera mengambilnya satu-satu yang kemudian terkagetkan oleh dobrakan suara pintu kamar Ani yang menutup.
Ibu setelah selesai mengumpulkan uang yang Ani lempar, dengan matanya yang masih basah mencoba mengetuk pintu kamar Ani.
"Gak akan ada yang tahu Ni, memang mereka kenal masmu?"
"Mereka pasti tahu, entah bagaimana, mereka pasti nanti akan tahu!"
"Kan ibu sudah bilang nak, mas mu gak akan melaku—"
Lalu Ani yang sudah bosan mendengar ucap ibunya segera berteriak dengan begitu murka, "Pokoknya aku benci Mas Afrizal! Mas hancurin semuanya!"
"Ani!"
Ibu berteriak. Dia ingin berkata lanjut tapi sudah habis kata-katanya, dia tidak memiliki bukti, diapun sudah begitu yakin mendengar anaknya melakukan pengakuan secara langsung ke polisi.
Ketika televisi menyiarkan kabar bahwa Afrizal adalah pelaku hati Ibu dan Ani hancur berantakan. Tapi Ibu mengabaikan segala perasaannya yang terombang-ambing setelah berita itu. Ia adalah Ibu Afrizal, dan ia tahu benar siapa Afrizal. Hanyalah rasa, sebagai seorang Ibu yang sehari-hari merawat, membimbing, menyayangi anaknya, tahu benar bahwa dia tidak mungkin melakukan hal amoral seperti itu. Hanya itu, pikir ibu, hal yang membuatnya yakin bahwa Afrizal tidak bersalah.
Dan tangis ibu pecah kembali mengingat Afrizal kini sendirian, anaknya pastilah merasa begitu hancur melihat tidak ada satupun orang yang membelanya. Dia sendirian, pikirnya. Bagaimanapun, ketika anakku memutuskan untuk mengakui sesuatu yang bukan kesalahannya, pasti ada sesuatu yang menimpa dirinya. Maka, siapa lagi jika bukan yang paling dekat, bahkan sampai darah, ibunya sendiri yang akan membelanya!
"Anakku bukan pelakunya! Ini semua fitnah!"
Ibu segera memakai pakaian terbaiknya, dia ingin ke penjara sekarang juga untuk menemui anaknya.
Sedangkan Ani masih berada dalam sudut kamarnya, menangis. Di sosial media yang ia buka dari telepon genggamnya sudah penuh dengan kata makian terhadapnya. Ia kemudian keluar dari aplikasi sosial medianya, masuk pada halaman muka yang berisikan logo universitas negeri terbaik di Indonesia yang ingin dia masuki.
Dalam hati dia bergumam, sekarang semuanya tidak mungkin.
Semuanya tidak mungkin lagi, gumamnya ulang.
***
Ibu memaksa untuk melihat anaknya, tapi tidak dibolehkan.
Sebenarnya alasan mengapa Afrizal tidak boleh bertemu dengan ibunya karena keadaan Afrizal yang bonyok. Begitu juga alasan mengapa pengadilan diundur, dan barangkali jika sebulan ini kondisi Afrizal belum baik, akan diundur lebih lama lagi. Ia tentu harus tampil baik jadi tidak ada tanggapan bahwa pengakuannya merupakan hasil penyiksaan.
Sang Ibu kemudian keluar dari lapas, dan ia tak sengaja bertemu dengan ibu korban yang ada di televisi.
Sang ibu segera melabrak ibu-ibu tersebut.
"Kau!"
Sang Ibu korban segera menjauh, polisi mengetahui itu segera berlari mencoba mencegah.
"Kau fitnah anakku!"
"Apa?! Ah, jadi kau orang tua si pemerkosa anak kecil, pemerkosa anakku!"
Namun pandangan sang ibu teralih pada sang anak kecil yang berada di samping ibunya.
"Nak, tolong, tolong kau bilang ke semuanya bahwa kamu berbohong. Kau berbohong. Kau tidak apa-apa kan? Anakku tidak mungkin bersalah. Tolong, tolong kami, aku takkan menyalahkanmu, tolong nak."
Sang ibu memohon, dia cium kaki anak itu, namun disepaknya kepala sang ibu oleh sepatu hak tinggi sang ibu korban.
"Jangan kau sentuh anakku, dasar pelacur!"
Polisi melerai, menarik Ibu Afrizal jauh-jauh dari Ibu korban.
Sang ibu Korban merasa kesal, dia menggurutu tak jelas. Namun kejadian tadi begitu membekas di kepala sang anak.
Anak tersebut kini merasa begitu gusar.
Dan dia melirik ke arah ibunya, yang kini membawa surat visum untuk segera diserahkan ke polisi. Surat itu kini telah berubah menjadi bukti terjadinya praktik sodomi yang menyebabkan luka pada anus korban.
Menyadari sang anak melihat ke arahnya, sang ibu tersenyum sebelum kembali meluruskan pandangannya.
Sang anak kemudian mencoba menghalau keraguannya, dan kembali memainkan permainan di telepon genggamnya.
***
Afrizal meringkuk di jeruji, memegang perutnya penuh kesakitan, kepalanya berdarah. Polisi penjaga tidak melerai, terkesan membiarkan.
Satu tendangan lagi ke arah perutnya, kembali ia memuntahkan makanannya.
Pria besar dengan tato di tangannya merasa begitu kesal, urat nadinya keluar dari kepalanya.
"Beruntung kali polisi bawa kau ke sini, biar aku beri kau pelajaran, setan! Aku barangkali penjahat, tapi aku punya anak, tahu penyodomi anak kecil macam kau ini harus dibikin babak belur!! Mati sekalian!!!"
Afrizal menyeret badannya. Entah apa yang ia coba lakukan, menggunakan kuku-kukunya yang memerah meraih celah ubin, semata-mata menjauhkannya dari pria yang mencoba mengeksekusinya, ia tahu itu adalah usaha yang percuma.
Telah ia harap bahwa tuhan memberikannya kesempatan untuk keluar dari rasa sakit, keluar dari ancam kematian, keluar dari penjara dalam waktu yang masih mampu ditolerir. Tapi, rasa sakit itu masih ada, kematian itu masih dekat, dan nyatanya 15 tahun adalah keputusan yang pasti akan menyambarnya, sebut pengacara lembaga bantuan hukum yang enggan untuk membelanya.
Pria besar itu, melihat Afrizal masih berusaha kabur, menarik bajunya dan menyeretnya ke arah tembok. Ia lihat wajah Afrizal, matanya kosong, dan pria itu tidak melihat ada penyesalan, takut, sakit, dan lainnya. Tapi hanya kosong, mata yang sudah kehilangan harap dan rasa.
Maka kaki pria besar itu segera menyepak kepala Afrizal yang sudah lunglai, seakan dalam usaha untuk membuatnya sadar, agar rasa sesal, rasa sakit, rasa takut muncul. Tapi pria besar itu tidak melihat apa-apa, seakan pria itu sudah mati.
Disitu polisi yang merasa kekerasan ini sudah cukup diluar batas segera masuk, memisahkan pria besar dari Afrizal yang terkapar kaku di lantai berisi darah yang mengalir dari mulut Afrizal.
Tak lama ia merasai noda merah dalam pandangannya.
Tak lama ia sadar bahwa dirinya tidak mampu menegakkan badannya.
Tak lama ia merasa sesak.
Tak lama ia merasa mati rasa terhadap sakit yang barusan ia rasakan di sekujur tubuhnya.
Tak lama ia mengingat memori seluruh hidupnya selama ini dalam perasaan penuh nostalgia, sampai pada titik kulminasi ingatannya: Ia keluar dari rahim ibu, menangis ketika pertama kali menghirup napas, bau khas dikenalkannya ia di dunia, suara bapak mengadzani Afrizal pada kuping kanan, kecup lembut Ibu yang telah berusaha mengeluarkannya.
Dan sebelum itu, jauh sebelum itu, semuanya gelap.
...
Tak lama polisi menemukan Afrizal sudah tidak bernyawa di jeruji besinya. Ia meninggal dikarenakan terdapatnya hantaman keras di kepalanya yang meninggalkan gegar otak berat.
Tak lama berita sampai di telinga kepolisian, dan pihak yang mengurusi kasus ini mengatakan Afrizal mati akibat pemukulan oleh kawan jerujinya (tentu menyembunyikan fakta bahwa mereka baru saja menyiksanya seharian).
Tak lama berita sampai di media massa. Sang pelaku sodomi mati setelah melakukan pengakuan.
Tak lama berita sampai pada sang Ibu yang tahu bahwa dia tidak mampu menolong anaknya, dan Ani yang penuh dengan perasaan campur aduk, dan memutuskan bahwa dia selama ini merasa penuh dengan kesedihan.
Tak lama rumah dipenuhi oleh tangisan terhadap nasib Afrizal, sedangkan seluruh masyarakat Indonesia melakukan selebrasi atas kematian naas sang penyodomi anak kecil yang cabul nan biadab agar segera menemui neraka jahanam.
***
Mayat Afrizal sampai, dan tidak ada yang ingin memandikan, tidak ada yang ingin menyalatkan.
Sampai di tempat penguburan, masyarakat menolak mayat Afrizal dimakamkan di tempat mereka. Konflik warga ditenangkan oleh kepala desa. Afrizal tetap dimakamkan, di ujung pojok, jauh dari kuburan yang lain. Nisan yang ditancap pun harus lebih pendek dari kuburan yang lain.
Ibu merasa begitu pilu oleh semua ini, dan Ani juga adik-adiknya hanya terdiam menerimanya. Mereka semua tahu bahwa kakaknya merupakan seorang tersangka, dan di kesehariannya mereka sudah mendapatkan cacian dan pengasingan. Mereka sudah tidak mampu lagi bersimpati pada sang kakak, terlupakan segala memori indah yang membekas.
Hanya sang Ibu yang menangisi nasib anaknya, seorang anaknya yang sempurna bagi dirinya, yang dijatuhi berbagai musibah, sebuah nasib yang naas. Betapa tak beruntungnya kau nak, pikir ibu. Semoga Tuhan berikan surga untukmu, walau dunia mengharapkan neraka bagimu. Tuhan tahu yang terbaik, sedangkan manusia tidak. Ibu terus meyakinkan dirinya, terus begitu.
***
Dan suatu hari semuanya sudah lupa.
Keluarga Afrizal kini telah pindah jauh dari tempat asalnya.
Ani telah menjadi TKI di Arab sana. Syahrul dan adik-adiknya bersekolah dari penghasilan Ani. Ibu masih melanjutkan usaha laundrynya yang cukup untuk makan sehari-hari.
Mereka sudah melewati berbagai rintangan dalam hidup, dan kini dengan ikhlas menjalani hidup mereka.
Lalu di ruang tamu yang kosong di kediaman keluarga Afrizal yang baru, TV masih menyala, tidak ada yang menonton.
Terlihat wajah sang anak, sang korban, kini telah dewasa untuk berpikir rasional. Dia menangis, dia meminta maaf, jika tidak dia akan merasa tersiksa seumur hidupnya. Seorang dokter juga meminta maaf, dia mengakui visum palsunya, lalai karena ia tidak mengetahui duduk perkaranya. Karenanya, izinnya telah dicabut.
Tapi Afrizal telah lama mati. Pengakuan mereka tidak berarti, ataupun mendapati tanggapan yang sensasional sebagaimana seorang anak yang disodomi beberapa tahun lalu.
Dan telah lama keluarga Afrizal merelakan kepergian pemimpin keluarga sementara mereka.
Berita mengenai kebenaran itu tidak mendapati perhatian kuping keluarga tersebut oleh kesibukan mereka untuk bertahan hidup sehari-hari.
Dan channel berganti tayangan, suatu sinetron murahan.
Berita itu tidak pernah diberitakan lagi, dalam televisi ataupun koran. Hanya seperti kisah yang lalu, kicau kebenaran tersebut lenyap oleh berita-berita yang lebih nampak dan keras suaranya, begitu juga lontar nama Afrizal sang penyodomi.
Hanya dari doa yasin yang dibacakan ibu setiap malam jumat, nama Afrizal kembali disebut dan muncul dalam hatinya, dalam lembut Afrizal berkata bahwa ia terus memperhatikan keluarganya dan tuhan kini telah merawatnya dengan begitu baik di akhirat sana.