Minggu, 17 Februari 2019

Tulisan Asal: Ballad Narayama dan Kegelisahan Saya





Ada kisah lama di jepang berjudul The Ballad of Narayama[1]mengisahkan tentang tradisi ubasute, yaitu di mana seorang anak mentelantarkan orang tuanya ke gunung ketika mereka mulai menjadi beban dalam hidup. Kisah atau tradisi ini barangkali tidak asing, di mana orangtua yang dianggap merepotkan atau memiliki banyak kebutuhan, keluarga mereka memutuskan untuk menempati mereka di panti jompo.

Dalam Islam, hal ini sangat-sangatlah tidak pantas. Gambaran yang paling umum adalah bagaimana kita sebagai anak, masa bayi dulu dalam keadaan yang benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa sangat tergantung oleh kasih sayang orang tua. Bukan begitu saja, bahkan kebanyakan sampai menginjak umur akil baligh yaitu 17 dan lebih, orang tua tetap saja terus dengan segenap hati memiliki perasaan untuk merawat dan memedulikan kita (setidaknya di Indonesia).

Kembali di kisah The Ballad of Narayama, sang ibu bukan hanya menyelesaikan persoalan hidup untuk bekal anaknya, tapi juga di gendongan anaknya yang membawanya ke gunung, memetik ranting-ranting di pohon yang ia lewati, menyebarkan serpihan sebagai jejak agar anaknya mampu pulang dengan selamat. Begitu gambaran kisah ini terhadap kasih sayang Ibu, dan bagaimana seorang anak harus sadar betapa dalamnya ikatan hubungan ibu dan anak.

Saya hari-hari ini menghadapi dua minggu melihat Ibu sakit parah. Awal gejala yang ibu perlihatkan adalah flu, dan kebetulan saya juga ketularan, jadi saya begitu yakin ibu mengalami sakit yang sama. Demikian, Ibu tetap bekerja setiap harinya, sedangkan saya masih berleha-leha di rumah pasca lulus kuliah, memutuskan untuk mengulur-ngulur persiapan untuk beasiswa yang belum tentu saya dapatkan. Penyakit saya membaik, mungkin karena lepas dari stress, istirahat yang cukup, dan makanan yang bergizi. Beda dengan Ibu, tiga hal yang tadi saya sebut tidak ia lakukan, terutama stressnya untuk mempersiapkan acara Imlek di sekolahnya, belum dengan segala eksperimen obat yang dilakukannya tanpa konsultasi ke dokter beneran.

Penyakitnya memburuk, demam sering terjadi, tidak bisa makan, batuk yang terkadang diikuti oleh muntah, dan ia tidak bisa tidur oleh gejala batuk yang dialaminya. Terkadang malam hari saya mendengar Ibu terduduk menekuk (itu satu-satunya cara agar ia tidak batuk), dan menangis bertanya pada tuhan kenapa dia tidak sembuh-sembuh, itu tepatnya dua minggu pasca penyakit. Ibu juga memang bukan contoh yang bagus bagi orang yang sakit, antibiotik yang ia pesan sendiri saya kritik untuk konsul ke dokter beneran, bukan hanya lewat pengalaman (yang bisa jadi malah antibiotik sakit gigi) ataupun resep dari dokter yang bahkan tidak bertemu langsung dengannya.  

Klimaks penyakit ibu terjadi saat selesai acara sekolahnya, Ibu dibawa bapak ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu (karena BPJS hanya diterima lewat layanan UGD katanya). Dokter kata Ibu melihat ada infeksi dari pemeriksaan darah, demikian masalah Ibu katanya ada di lambung, obat diberikan namun hanya untuk dosis tiga hari. Ibu membaik saat itu, suhu panasnya turun walau belum bisa tidur. Namun, beberapa hari kemudian Ibu kembali demam parah, dan kembali di bawa ke UGD. Kali ini Ibu diberi selang oksigen, dan lagi-lagi diberi obat yang sama. Ibu tak kunjung membaik.

Akhirnya Ibu kami paksa bertemu kakaknya yang seorang dokter (entah mengapa, Ibu selalu ogah-ogahan konsul ke kakaknya, padahal kakaknya spesialis THT). Bahkan, teman bapak yang seorang dokter juga datang menjenguk memeriksa Ibu, yang demikian Ibu skeptis terhadap obat yang diberikannya, “Lagi-lagi antibiotik.” atau "Dia kan bukan ahli THT atau paru-paru." Katanya. Obat yang diberikan teman bapak tidak diminum, dan kami kesulitan mendapat obat dari resep kakaknya Ibu (yang kemudian ia bantu carikan, namun 3 hari rasanya lama sekali). Di jeda obat yang nihil, Ibu dibawa ke tukang urut refleksi oleh kakaknya yang lain. Tukang urut ini rasanya sesat, dan lagi, menyesatkan kami (terutama saya) bahwa penyakit Ibu ada urusannya dengan lambung yang kupikir agak bias karena tidak berlandas uji lab dan kontrol pasca UGD kemarin, dan bahkan Ibu ditakuti-takuti sang tukang urut bahwa antibiotik (dan segala obat yang lain) untuk dihentikan pemakaiannya dan fokus pada pengobatan alternatifnya.

Demikian benar salahnya, Ibu tetap tak bisa tidur walau obat antasid untuk maag sudah diberikan. Memang penyakit ibu mirip-mirip gejala GERD (penyakit asam lambung), tapi setelah obat maag tidak berfungsi, saya rasai ada kejanggalan. Obatpun di dapatkan dari kakak sang ibu, dan ibu melanjutkan pemakaian obat yang berlangsung beberapa hari sampai antibiotik habis. Di sini Ibu sudah mengalami peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya, dia sudah bisa makan lahap, dan bahkan tidur. Saya menyarankan ibu kontrol ke kakaknya persoalan antibiotik habis (yang dia tidak lakukan), sorenya ibu lagi-lagi demam parah diikuti muntah-muntah, ini terakhir kami membawa ibu ke UGD Rumah Sakit Rawalumbu. Tidak percaya dengan rumah sakit sebelumnya, kita memutuskan untuk pergi ke RS Harum di mana rumah sakit kakaknya ibu berada.

Di situ hasil rontgen menunjukan bahwa Ibu mengalami infeksi berat dengan tanda radang di antara kedua paru-parunya (dan lucu, tidak ada apa-apa di lambungnya). Ibu diperbolehkan pulang sebenarnya dengan obat paracetamol, obat pereda batuk dan antibiotik plus rujukan ke dokter paru-paru pada hari senin (kami bawa dia hari sabtu lalu), tapi Ibu berkali-kali menyatakan dirinya ingin dirawat inap karena berharap hal itu mampu membuatnya baikan dan dokter juga kakak ibu yang mendengar itu akhirnya merekomendasikan Ibu dirawat inap.

Di sini saya kembali ke fokus narasi saya, bahwa merawat orang sakit itu sungguh melelahkan dan penuh dengan tekanan. Setiap hari mendengar keluh kesah, marah, dan mood yang tidak enak. Setiap malam mendengar suara batuk, muntah, dan tangis. Ada suatu malam saya memijati ibu saya, mengajaknya bicara berpikir betapa membosankan dia mencoba tidur dengan posisi yang tidak mengenakan itu (duduk sambil menekuk kepalanya kedepan yang diselipi bantal). Dan terakhir, Ibu minta dirawat inap. Bapak awalnya meminta saya menemani ke rumah sakit, dan betapa kagetnya saya dengan diri sendiri dan mungkin juga bapak bahwa saya yang dari tadi menyuruh ibu ke rumah sakit juga salah satu yang merawatnya (mengingat rahmat sedang sakit, kakak tidak pernah di rumah) memperlihatkan keengganan untuk menemani sang Ibu.

Apa yang ada di kepala saya adalah timbunan rasa tidak enak yang rasanya sudah tertimbun terlalu tinggi, saya menyalahkan perasaan tidak fit saya (yang benar saja, besoknya saya lagi-lagi terkena pilek). Lagi setelah saya ikut, klimaks dari perasaan tidak enak saya muncul: Ibu memutuskan untuk rawat inap. Di kepala saya, keputusan ibu terkesan dilebih-lebihkan, toh ibu akan mendapati obat yang sama, hanya bedanya lewat infus saja, dia akan tetap kesulitan tidur bahkan tidak akan bisa beraktivitas apa-apa untuk menghabisi kebosanan yang bisa dilakukan dirumah, selebihnya adalah repot bagi keluarganya yang menjenguk, membawa baju dan menemaninya di rumah sakit yang steril dari definisi hidup, itu belum diikuti demand sang ibu untuk membawakan makanan atau sejenisnya yang barangkali mampu membawa kenikmatan dalam ruang steril itu (bisa saja dia menolaknya karena ternyata tidak seenak yang dipikirkannya, ibu saya begitu orangnya). Tidak ada yang menurut saya menyehatkan dari ruang kamar rumah sakit, ruang-ruang yang penuh orang sakit, minim kehidupan, dan tentu saya bisa-bisa sangat salah, toh ini prespektif yang sangat sempit bagi orang yang bukan pada profesinya mengenai perawatan rumah sakit yang serba direct.

Saya menarik kembali kejadian ketika ibu patah tulang setahun yang lalu dan menginap di rumah sakit menemaninya, betapa repot, bosan dan melelahkannya. Rumah sakit dengan bau khasnya dan tentu, penuh dengan orang sakit, adalah ruang kamar kecil di mana tempat tidur yang ideal adalah kursi dan karpet di bawah lantai, lorong sempit, wc yang buruk juga sibuk. Jika saya mengeluh juga, betapa durhakanya saya sebagai seorang anak. Saya merasa Guilty pleasure juga ketika pulang dari rumah sakit, dan betapa leganya merasakan empuknya kasur kamar. Saya yang suka bermanja pada sang Ibu, ternyata memiliki perasaan sayang yang setipis itu ketika ibu sedang susah, pikir saya dulu dan akhirnya, sekarang.

Bapak ketika ibu sudah berada di kamar sakit kemudian bertanya sekalian meminta, apa saya berniat menginap pada hari pertama, karena Bapak butuh dokumen BPJS yang dia urusi agar ibu tidak membayar. Saya bilang ke Bapak dalam perasaan ogah, mengatakan Iya, dia mampu membaca ekspresi saya yang ogah dan saya benar-benar bukan orang yang mampu menyembunyikan ekspresi wajah sendiri. Bapak memutuskan untuk tinggal sampai suster mengabarkan kita boleh tidak menemani ibu, yang penting pagi sudah datang untuk kontrol dengan dokter. Saya dan bapak pulang. Besok paginya, bapak berangkat sendirian ke rumah sakit membawa pakaian dan lainnya.

Betapa bersalahnya saya pagi itu, merasa mengkhianati Ibu dan ekspetasi Bapak. Hari yang sama, saya lagi-lagi memegang perasaan yang sama, jauh-jauh dari yang namanya menginap menemani Ibu di Rumah Sakit. Rachmat ingin tinggal dan saya mencoba untuk tidak tinggal, ruang sesempit itu hanya memungkinkan satu orang untuk tinggal saya bilang. Bapak memutuskan untuk tinggal dan saya juga Rachmat kembali ke rumah.

Pulang saya berpikir kenapa perasaan saya begitu tidak tenang, dan saya kemudian mengingat The Ballad of Narayama. Jika Ibu dan Bapak sudah tua, mereka sakit ataupun sekedar tua yang sudah pikun, ngompol, sifatnya mulai kekanak-kanakan yang kerjaannya mengeluh dan mengeluh, apa perasaan yang seperti ini akan muncul? Apa saya akan seperti anak dalam kisah lama itu, anak yang tidak tahu namanya berbakti, anak durhaka, dan lupa akan kebaikan ibu dan bapak yang dahulu merawat kita yang tak lain, adalah yang mengompol, kekanak-kanakan, dan mengeluh (dengan teriakan tangis pada waktu malam, ketika mereka sedang terlelap-lelapnya) ?

Saya benar-benar merasa bersalah hari ini, dan semoga saya bisa merefleksi diri lewat tulisan ini.



[1] https://en.wikipedia.org/wiki/The_Ballad_of_Narayama_(1958_film)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar