Sabtu, 02 Februari 2019

Tulisan Asal: Eksploitasi Terhadap Empati

Jujur aja gw pikir barang omongan yang kali ini gw bahas udah basi untuk jadi perbincangan, tapi entah gimana gw selalu resah ngeliatnya: Yaitu para pengeksploitasi empati untuk memperoleh keuntungan. Tapi, yah, gw bukan bicara soal pengemis (atau lebih tepatnya, bukan hanya membicarakan dalam lingkup sesempit itu), tapi juga pelaku lainnya, yaitu sang pemberi, orang yang kesannya dieksploitasi itu.

Percaya gak sih lu kalo si pemberi, juga kadang adalah salah satu pengeksploitasi rasa empati itu sendiri. Lah, tapi kan lucu yah bahwa pemberi yang harusnya korban dari permainan rasa empati malah juga salah satu bentuk lain dalam ekpsloitasi. Dan yah, ini tulisan ngasal, jadi gw bilang bisa jadi. Gw sebut sih ini namanya Personal Gratification, yaitu lu mencoba ngasih bantuan ke orang agar diri lu merasa lebih baik, agar merasa moral lu di atas mereka, dan bisa jadi merasa diri lu mampu mempertahankan imej yang ada di kepala lu tentang diri lu sendiri. Dan ini bisa jadi adalah sesuatu yang memang ada di luar kepala, permainan alam bawah sadar.

Kata kakak gw yang merupakan mahasiswa psikologi, hampir semua orang, mau dia filantropis, melakukan tindakan-tindakan sosial secara gratis dan lainnya, tidak pernah dirasai rasa tulus. Semua memiliki ekspetasi, dan kemudian adalah cara untuk mendapatkan kenikmatan dalam memenuhi ekpetasi tersebut. Ekspetasi bisa seperti rasa terima kasih, atau perasaan sudah memberikan kontribusi, atau merasa sudah menolong seseorang, atau bahkan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Tapi apakah hal itu pantas kita jelek-jelekan, yah enggak juga. Dalam takaran yang tepat, terdapat banyak hal positif dari hal ini, yaitu dalam kesehatan pikiran seseorang sebagai mahluk sosial juga terhadap komunitas.

Demikian, kritik gw juga berada poin-poin tadi. Hal ini gw sadari ketika terdapat bantuan yang tidak diterima dengan baik oleh korban banjir yang mengakibatkan makanan malah jadi dibuang [1]. Media dan para pemberi bantuan menyalahkan para korban yang seakan tidak tahu diuntung. Loh, kata gw saat itu, kalo kita teliti lagi ternyata memang mereka sudah overabundance dengan bantuan makanan. Toh, di sana tukang nasi padang barangkali memberi bantuan dan pada saat yang sama hyga tukang warteg juga kasih bantuan, dan lain sebagainya, itu kan korban macam di tempat makan presmanan, bisa pilih sendiri mau makan lauk apa. Nah, bantuan itu juga bukan diberikan pada waktu yang tepat, tapi pasca kebanjiran itu sudah berlangsung beberapa hari, yang berarti kabar sudah tersebar dan bantuan telah banyak sampai di segala pelosok. Manajemen bencana juga survei sosial harusnya dilakukan, mencari di sektor mana butuh bantuan makanan dan di sektor mana juga butuh pakaian bersih, dan lain sebagainya, jika asal membantu begitu yah bersiap-siaplah kecewa.

Nah, lain dari persoalan teknis, melihat pemberi bantuan marah kan gw jadi bertanya-tanya, mereka tuh ngasih bantuan tulus atau enggak sih? Harus banget bantuannya diterima? Harus banget diterimakasihin? Bukankah tulus adalah memberi tanpa pamrih? Secara tidak langsung mereka sedang melakukan eksploitasi pada rasa empati mereka sendiri untuk mendapatkan kenikmatan dari ekspetasi-ekspetasi mereka yang tidak sehat itu, sehingga mereka bukan hanya kecewa (yang saya rasa wajar), tapi bahkan sampai murka.

Hal ini juga terjadi di sosial media, di mana hyper-realism [2] terjadi di mana-mana, ketika presepsi seseorang yang super lebay dianggap sebagai kenyataan mutlak karena keterbatasan informasi yang kita peroleh: Sebuah foto dan caption. Gw lihat seorang kakek renta tertidur, dia jualan ketoprak malem-malem. Isi captionnya, “Kasihan kakek ini, dia sudah dagang sampai malam, tapi dagangannya tidak laku. Akhirnya saya makan, dan enak sekali. Dia cerita, dia jualan seperti ini karena istrinya sedang sakit dan anaknya...”. Keesokan harinya bisnis sang kakek rame, tentu ada tiga tipe orang yang sangat bersyukur: Sang kakek, si pembikin caption, dan orang yang termakan oleh narasi tersebut.

Tapi apakah presepsi sang pemberi caption benar? Belum tentu. Bisa jadi bisnisnya memang lagi sepi saat itu, dan ramai pada waktu yang lain, toh kita tidak tahu sudah berapa lama sang kakek berjualan di situ? Kalo sudah lama, pastilah ada pembelinya, apalagi kalo enak. Demikian, para pengeksploitasi kemudian bermunculan di mana-mana, seorang kakek jual kemoceng, seorang gadis baju SMA berjualan di depan ATM sambil belajar, dan lain sebagainya. Sebagai seorang yang sempat berwirausaha gw jadi kepikiran, apakah ada dampak buruk dari tren ini? Misal gw jualan barang yang gw ciptain dengan sepenuh hati, lalu dibeli, dan tahu bahwa semua itu karena rasa kasihan? Perasaan gw jujur bakal campur aduk.

Mereka beli walau mereka tahu mereka enggak butuh, dan memberi duit dalam suatu rasa yang sama dengan memberi pada seorang pengemis. Dan mereka sedang tidak meminta-minta! Tidak semua orang, walau dia ada dari kalangan bawah dalam struktur masyarakat, sedang mengharap pertolongan dengan tangan meminta-minta. Itu adalah imej paling ngeri dalam masa milenial ini, di mana panggung media yang memperlihatkan bahwa masyarakat kelas bawah benar-benar begitu menyedihkan sehingga menjadikan mereka sebagai penyalur segala jenis penat kalian sebagai mahluk sosial seperti tampak pada mic pelunas hutang dan acara sejenisnya [3], sedangkan, kalian bisa jadi tidak menolong atau bahkan memperparah sesuatu yang tidak tampak.  

Tapi tentu, itu prespektif gw sendiri, prespektif sempit saya yang demikian tidak semua setuju, toh mendapat uang saja sudah rasanya harus disyukuri, dalam rasa iba ataupun kalau memang butuh. Apakah dalam persoalan perut seorang akan menimbang-nimbang niatan pembelinya? Tentu tidak, tapi saya pikir budaya baru ini bukanlah budaya yang sehat, terutama dalam substansi-substansi manusia yang sedang berusaha memberi jasa, namun derajatnya disamakan dengan orang yang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan, barangkali ada orang yang memang butuh pertolongan.

Gw jadi inget salah satu teks naskah Arifin C Noer yang berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”[4], di sini ada konflik di mana seorang Pemuda (yang ternyata penipu) gak bawa uang untuk bayar si Mbok yang kemudian diintimidasi oleh sekitarnya. Si Mbak yang lewat merasa kasihan oleh si Mbok juga sang Pemuda, dia pikir masalah bisa selesai jika dia ngasih duit dalam rasa kasihan itu, tapi si Kurus sang kompas moral dalam lakon ini berkata :

Saya juga maklum, apa yang Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan..... tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.

Gw bisa jadi memakai dialog ini di luar konteksnya, bahkan memenggal beberapa kata. Tapi dari apa yang gw tangkep bahwa mereka semua sedang melakukan kemuliaan termasuk si Mbok yang menjual makanan. Dia sedang tidak minta dikasihani, tapi minta makanannya di bayar oleh orang yang lapar tadi. Jika si Mbak membayar dalam rasa iba, maka otomatis kemuliaan yang tengah dilakukan penyedia jasa secara substantif hilang, begitu pula kemuliaan si Mbak yang ingin memberi pertolongan.

Akhir kata, demikian memang empati merupakan suatu sifat yang sudah purbakala namun jelas efektif dalam survivalbilitas individual di dalam komunitas, esensi dari mahluk sosial. Demikian sifat purbakala ini dimanfaatkan secara berlebih-lebihan, diekplotasi macam sumber minyak yang lama kelamaan surut, macam seks yang dikomersilkan, yang mulia tak lagi mulia. Barangkali ini penyakit yang terjadi pada masyarakat kapitalis yang teralienisasi dan haus akan kepuasan sebagai mahluk sosial.  Banyak kini yang mencoba menolong untuk memuaskan batinnya sendiri dalam pikir seakan-akan tengah menolong orang lain, padahal bisa jadi dia sama sekali tidak menolong, bahkan merugikan dirinya sendiri, dan diri orang lain.

Gw bikin ini karena keresahan gw ngeliat bapak menjadikan teman-teman kelas bawahnya sebagai saluran empatinya sehingga dia mampu merasa mulia telah menolong orang. Tak tahu dia bahwa temannya itu sudah ditolong banyak orang, menjadi tempat orang-orang seperti bapak saya, menyalurkan segala bantuan karena imejnya yang sudah dia bikin (bapak sempat marah ketika diberitahu soal ini oleh ibu, untung saya disebelah ibu yang bisa memediasi argumen keduanya).



[1] https://nasional.kontan.co.id/news/miris-pengungsi-banjir-tolak-nasi-bungkus
[2] https://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/5580f242e022bd6c310e7751/kita-dan-hiperealitas
[3] https://www.youtube.com/watch?v=VBw13yM_cRQ
[4] http://naskahdramapbsi.blogspot.com/2012/11/lakon-matahari-di-sebuah-jalan-kecil.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar