Sabtu, 07 Mei 2016

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 9

Chapter 9: The Door

Ibu keluar, ia berikan kunci cadangan yang kini kugenggam erat-erat dan suara yang ramai dari penduduk mulai menjauhi rumah, saat itu juga rumah ini terasa begitu sepi dan kelabu. Ulir kayu oak yang indah nyatanya hanya lekak-lekuk kayu yang biasa, sofa empuk yang tak lain sofa kapuk usang berdebu, dan api perapian yang hanya merupakan api yang membakar kayu yang ditebang. Aku tak mampu lagi memandang detil rumah ini menjadi sesuatu yang unik dan menarik sebagaimana aku ceritakan dulu, mereka hanya seperti itu saja, dan menyadari hal itu membuatku menjadi panik, rumah ini seakan menjadi tak lebih dari sebuah kurungan. Kenapa baru sekarang aku merasakan ini? Aku segera berlari menuju jendela, kubuka gorden itu tak peduli ada yang melihat, tak peduli ancam ibu dahulu, dan kuperhatikan ibu yang sudah menjauh dan terseret oleh tebal salju.
Tangan ibu dipegangi oleh pria besar, suara makian keluar dalam teriak terdengar hingga telingaku yang berada di balik kaca, setelah itu ibu diludahi dan diikuti lemparan kerikil. Ibu jatuh sekali, dibangunkan paksa oleh pria besar itu, diseret lagi ia, ibu berjalan lagi, lalu menghilang kerumunan itu di ujung ufuk.
Pikiranku menjadi kacau saat itu, apa salah ibu hingga ia dirasa pantas mendapat perlakuan seperti itu? Aku ingat malam tadi ibu menangis, ia bilang dirinya bersalah, tapi ia tak ceritakan. Ia bilang maaf padaku, sesuatu yang belum pernah ia katakan sebelumnya. Ibu yang berkata bahwa ketidakadilan harus dilawan, ibu yang cerita tentang martabat manusia, yang bercerita soal moral-moral hingga aku tahu mana hitam putih lalu kelabunya, dan kini ia menerima itu semua. Apa ibu merasa pantas dibegitukan? Kenapa kau tak melawan? Oh Ibu, apa salahmu? Apa yang membuatmu mau menerima itu semua? Aku tidak mengerti, dan aku tidak percaya, lebih tepatnya tidak mau percaya bahwa ibu begitu bersalahnya hingga orang-orang melakukan tindakan semena-mena seperti itu pada ibu.
Aku segera terduduk, memeluk kakiku, menangis, lama sekali.
Malaikat bisu duduk disampingku, mengelus rambutku. Apa ia mengerti apa yang kurasakan? Rasa sakit di hati ini? Rasa pilu ini?
Seketika kurasakan dingin, setiap hembus nafasku mengeluarkan uap putih. Kulihat, api sudah kecil dan sebentar lagi ia padam. Aku masih ingin berlama-lama dalam tangis, tapi tangis takkan membawa ibu kembali, tak akan membuat api itu menyala lebih lama. Sesungguhnya aku masih belum paham apa gunanya tangis, betapa sia-sianya tangis itu. Aku segera berdiri, berjalan sambil mengusap air mataku, dan mengambil persediaan kayu yang ternyata telah habis. Ibu dengan segala ruwet pikirannya lupa menyediakan kayu, dan ini bukan untuk pertama kalinya.
"Aku harus ambil kayu."
Kulihat Malaikat bisu mengangguk-ngangguk, dan kini mengambil kayu bukan lagi masalah mengingat ibu memberikan kunci cadangan padaku.
Aku segera berjalan menuju kamar yang sudah rapih, mengambil selimut, memakainya padaku dua lembar selimut tebal punya aku dan ibu. Entah mengapa ingatanku kembali ketika ibu menampari pantatku, tidak mau mendengarkan alasanku mengenai kayu yang habis, ia menangis, ia marah padaku karena foto ayah yang jatuh lalu pecah bingkainya dan usahaku untuk keluar dari rumah. Lucunya aku tersenyum mengingat itu. Konyol sekali diriku hari itu, dan ibu memang seperti itu. Dulu aku menangis seharian penuh, merasa tidak adil dan sebagainya, dan kini aku malah tersenyum mengingatnya. Baru berapa menit, aku sudah begitu rindu pada ibu.
Saat itu entah mengapa di antara dingin ini, mengingat kemarin itu aku ingin melihat foto ayah, niat yang terlupa entah mengapa. Ibu menaruhnya di lemari kamar setelah bingkai itu pecah, dan aku segera membuka lemari itu. Foto itu tergeletak, gelap tidak terlihat karena buramnya gambar. Di lemari itu ada juga surat-surat, dan surat terakhir tertulis 5 tahun yang lalu, ditulis oleh John Lenard. Surat ini dari ayah! Ibu ternyata menyimpan segala surat ayah dan ia ikat dengan tali merah, dan surat terakhir tersebut tergeletak terpisah tidak terikat dari surat lainnya, seperti Ibu baru saja membacanya tadi malam.
Ibu jarang menceritakan soal ayah, dia hanya sekali bilang bahwa ayah pernah bekerja sebagai ksatria di kerajaan dan kini tinggal di desa. Hilang kemudian ayah dalam ekspedisi ke utara, benua manusia dahulu, tapi ibu percaya ayah pasti akan kembali. Ayah hilang 5 tahun yang lalu, dan ini surat terakhirnya. Aku ambil foto ayah dan surat ayah lalu kukantongi. Aku harus segera menyediakan kayu, dingin ini seakan begitu menusuk tulang, aku tidak kuat.
Aku segera berjalan, menyeret selimut, membawa kapak dari dapur, menyiapkan sepatu boot untuk kupakai.
Sudah sampai pintu depan, aku segera menyiapkan kunci cadangan yang ibu berikan. Tapi saat ingin kubuka pintu itu, kunci itu menyelip tidak bisa masuk dalam lubangnya, gagangnya meninggi dari tempat sesungguhnya. Pintu itu menjadi besar, gelap, tidak tersentuh. Kurasai perasaan yang begitu janggal, perasaan tidak enak, takut. Terdengar suara tawa dari luar, mungkin tetangga, mereka banyak, dalam omongan mereka terdengar nama ibu, terdengar nama ayah, juga aku. Tawa mereka memekik. Mereka bilang akan terjadi sesuatu yang buruk pada ibu, padaku, demi kebaikan desa. Suara itu lalu surut dan sepi.
Aku kini terduduk. Kapak kecil itu tergeletak, selimut yang kuikat dan kukalungi lepas. Aku sudah berada beberapa meter dari pintu tanpa sadar, dan disitu kuketahui bahwa kakiku gemetar, bulu kudukku berdiri, keringat keluar dari dahiku walau tempat ini dingin bukan main. Aku takut. Wajah ibu terbayang, wajah marah ibu, suara ibu yang penuh gelegar menceritakan betapa buruknya dunia luar, betapa ibu melindungiku dari ini semua. Tempat ini bukan kurungan, tempat ini adalah perlindungan, tempat ini adalah dunia kecilku kata ibu. Dan kini hanya untuk mengambil kayu saja, untuk mengambil kayu saja!
Bibirku membiru, tanganku gemetar hebat, gigiku bergetak.
Aku harus keluar, dan kulangkahkan kakiku lagi mendekati pintu, dan aku mundur entah mengapa. Lagi-lagi muncul wajah ibu, lagi dan lagi! Dan aku terjatuh, dan rasanya kini aku ingin menyerah dan pasrah.
Ibu, apa yang telah kau lakukan padaku?! Mengapa terbayang wajahmu? Mengapa terbayang cerita-cerita mengerikanmu? Mengapa pintu ini menjadi besar dan menyeramkan oh ibu? Mengapa hanya ketakutan yang kurasai diluar sana, bukan seperti mimpi rerumputan hijau dengan bunga-bunganya, tapi horror, horror dari tetangga-tetangga kita dan seluruh desa ini. Aku takut ibu, aku takut.
Aku kembali duduk menatap pintu. Saat itu cahaya mentari sudah muncul, tembus ia dari kaca pintu mengenai diriku. Aku kembali ingat foto dan surat ayah. Aku kembali menggunakan selimut itu melindungi diri lagi dari dingin, kulihat foto ayah dan terlihat rambutnya mirip denganku, senyumnya, tapi mataku lebih mirip ibu, dan ia berkumis tebal, akankah aku seperti itu? Kuingat ibu tersenyum melihat senyumku lalu mengelus rambutku. Apakah ibu melihat ayah dalam diriku?
Entah mengapa air mataku keluar lagi, kuingat ibu menolak menjual kasur, kuingat ibu menangis setiap malam melihat bingkai ini. Ibu begitu kesepian, 10 tahun lamanya ia tidak melihat suaminya, dan hanya ditemani surat terakhirnya ini yang sudah 5 tahun lamanya, dan alasannya untuk tidak kembali. Ada apa denganmu ayah? Kubuka surat yang sudah rusak pengikatnya. Surat itu sudah usang dan lecak, terlihat beberapa tulisannya memudar seperti terkena air, mungkin air mata ibu. Tulisannya miring, dan khas, aku menyipitkan mata untuk membacanya.
"Untuk Julia, maafkan aku, sudah berapa tahun aku tidak mengirim surat, tapi tak ada kisah bahagia yang mampu kuberikan pada kalian berdua. Julia sayangku, aku tahu kau menungguku, aku tahu kau mendapati rintangan dari anak kita berdua. Disaat aku harusnya berada disana, aku malah terjebak disini, didalam peperangan yang tak jauh bodohnya dengan konflik manusia beastman, dan keadaan semakin memburuk sehingga mungkin ini surat terakhir dariku padamu. Semoga kau tidak kehilangan harap, sayangku Julia."
Apa yang sesungguhnya terjadi? Perang? Di benua utara sana? Mungkin aku harus membaca surat-surat sebelumnya. Tapi surat ini belum juga selesai, tulisan ini ternyata bukan untuk ibu saja.
"Untuk anakku Racke. Ketika kau lahir, ayah berada di sampingmu nak. Ketika tanduk itu ada, tak mengurangi kebahagiaan ayah akan kelahiranmu, kau adalah anugerah tuhan seperti anak-anak lainnya. Maafkan ayah karena tidak pernah sedikitpun merawat dan menjagamu, membimbingmu menjadi pria hebat, dan aku percaya Ibumu Julia mampu membawamu menjadi anak yang hebat. Kini ibumu pasti begitu kesusahan karena tandukmu. Aku ingin kau ingat ini anakku: Terimalah apa yang tuhan berikan padamu, maka tanduk itu bukan lagi kelemahanmu. Maka jadilah kuat anakku, bantulah ibumu agar ia bisa tetap tegar, tetap kuat menjaga dan merawatmu, tidak kehilangan harap atas segala cobaan yang menimpa dirinya."
Surat kemudian berakhir dengan ayah menjelaskan soal terputusnya jalur bekal karena ganasnya laut dan badai yang berlangsung lama di samudra. Pesan ini dibawa oleh perahu terakhir yang melintas sebelum badai tersebut berlangsung kembali, dan koloni dari raja mulai terpojok oleh bangsa baru yang menduduki benua manusia sebelumnya. Jika selamat, ayah merencanakan membuat buku mengenai pulau baru tersebut dan menceritakan pada ibu dan aku. Mengetahui ini surat terakhir dari ayah membuat hatiku pilu, dan tentu ibu juga.
Mengapa ibu tidak pernah memberi surat ini padaku? Ibu mungkin berpikir 5 tahun yang lalu aku takkan memahami isi surat ini, tapi sekarang?
Surat ayah membuatku dilematis. Kembali ingat aku suara-suara dari tetangga yang menyebutkan nama kami, dan rasa takut bahwa ibu tidak kembali. Kuingat ibu diseret, diberlakukan tidak semena-mena atas kesalahannya, dan ibu sekali lagi sendirian, dia begitu kesepian diluar sana. Hanya aku anaknya yang harusnya membelanya, sebagaimanapun dosa yang ibu perbuat, seharusnya aku membantu ibu, menemaninya dari segala susah, yang mungkin karena aku juga, karena tanduk ini. Ayah, maafkan aku yang selama ini hanya berkutat pada dirinya sendiri, tapi tidak pernah sekalipun mengerti perasaan ibu, masalahnya, kesepiannya.
Kini aku akan keluar. Ibu sendirian disana, diadili, dan aku tahu, sebagaimana buku-buku yang ibu ceritakan, tak ada keadilan bagi orang yang sendirian di tengah manusia yang menunjuk.
Aku berjalan, meninggalkan foto dan surat ayah. Kutinggalkan kapak itu, aku tak peduli lagi dingin, akan kuterjang tebal salju. Aku tidak peduli dengan warga desa, yang mencaci, yang membentak, yang memukul keras pintu, yang tertawa memekik, yang melihatku seperti sosok monster.
Kubuka pintu itu lewat kunci yang ibu beri.
Aku keluar ibu, aku keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar