Minggu, 19 Juni 2016

Jurnal Harian: Memahami Genre Tragedi

Kemarin setelah shalat jumat, ngobrol-ngobrol soal ide cerita, temen kosan bertanya mengenai genre dan eksekusi cerita, kenapa ceritanya memakai unsur tragedi? Bukannya cerita harus mampu menyenangkan diri seseorang?

Saya pikir acuan kita untuk memahami cerita tragedi harus kembali pada kisah tragedi greeks, terutama dengan acuan The Poetics Aristotle dalam ulasannya tentang Katharsis. Pernyataan ini mengacu pada apa point dari tragedi itu sendiri, yang selalu menjadi pakem dari kisah-kisah yunani dimana tokoh utamanya mengalami Peripeteia, atau perubahan nasib dari hebat menjadi menyedihkan. Genre Tragedi mengingatkan bahwa kesalahan kecil ataupun sesuatu yang kita tidak duga mampu menghancurkan hidup menjadi berantakan, dalam hal ini tragedi bermain dalam lingkup nyata bahwa hal buruk sangat bisa terjadi pada semua orang, bahkan pada diri kita sendiri.

Manusia yang jarang melihat ini dan selalu terjebak dalam kisah-kisah utopis untuk terjaga dalam delusi yang menurut saya nantinya akan cenderung berhati keras, susah untuk berempati, dan berlebihan dalam ketakutannya atau tidak cukup dalam merasa takut ketika dihadapkan dalam masalah. Dengan mengingat kisah tragedi dalam keseharian dan merenungkannya, kita akan melihat lebih jelas dalam permasalahan hidup, menyadarkan diri kita tentang fakta kehidupan yang pahit, dan utamanya, melatih rasa empati dan rasa kasih ketika melihat sesamanya mengalami celaka dalam hidupnya.

Terakhir diskusi saya bilang tidak semua penulis menaruh tragedi untuk tujuan yang sama, beberapa hanya untuk sekedar storytelling yang menarik (semacam shock value) dan saya tidak bisa salahkan juga, karena tragedi kadang mampu menyenangkan pembaca bukan? Setidaknya selama masih ada masalah yang menarik, diikuti eksekusi yang bagus dan konklusi yang memuaskan.

Mengingat hal yang sudah saya tulis diatas, genre tragedi saya pikir adalah bacaan penting yang setidaknya bisa dijadikan selingan dari novel-novel ringan yang jadi makanan kita sehari-sehari. Buku harus bisa menjadi bentuk terapi diri, dia juga harus bisa membawa pembacanya dalam kedewasaan, membimbing pembaca ke suatu tempat tujuan yang jarang orang-orang sampai padanya, karenanya kita harus pintar-pintar memilih bacaan (mungkin juga dalam menulis).

"Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya , tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini." - P.A Toer, Bumi Manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar