Senin, 26 Oktober 2015

Naqoyqatsi chapter 14

LITTLE MONSTER
by Reza Pratama Nugraha



Terdapat saat dimana kepalaku sangat pening hingga rasanya waktu terasa berhenti. Saat itu rasanya pemandangan disekitarku yang terasa tidak relevan menjadi lebih jelas, sangat jelas. Bau darah yang keluar dari hidungku, lantai yang penuh keringat menjadikan langkahku licin, keringat yang berterbangan membentuk butiran-butiran air, semua orang yang bersorakan, Guo Rong yang kini telah aman berada di samping Li Ling, senyum Man Yi yang menyeramkan dengan tahi lalat kecil di dagunya yang tak pernah kuperhatikan selama ini, dan sedikit darah yang keluar dari kepalan tangan birunya yang kini mengarah ke wajahku.

Dia bahkan tidak mengeluarkan sihirnya, dan apalagi yang lebih hina dari ini?

Sihirku, petir, api, dan sebagainya yang sirna begitu saja di hadapannya sebagai tanda kepemulaanku.

Lalu dia yang menolak memakai sihirnya yang berarti menolak membunuhku lebih cepat, dan bertubi-tubi memberikan pukulannya ke seluruh badanku hingga membuat tangannya biru, dan dengan kepalannya yang sudah terasa mati rasa, badanku juga, begitu pula dengan harapanku.

“Kau melihat kemana Balthiq!”

Waktu mulai berjalan lagi, dan persis pada saat itu kepalannya mengenai pipiku, begitu keras hingga rasanya tulang pipiku remuk. Kini aku yakin bahwa mukaku tidak lagi berbentuk. Hidungku yang ia pukul berkali-kali hingga bengkok, kelopak mataku yang membengkak hingga susah sekali untuk melihat, dan gigiku yang rontok berkali-kali dipukulnya.

Diriku setelahnya terpental ke arah penonton yang segera menangkapku, dan melemparku ke arah Man Yi untuk mendapatkan sekali lagi kepalan tangannya yang mengenai dadaku, hingga rasanya tulang rusukku berbunyi.

“Kau kini sangat ingin membunuhku bukan?”

Pertanyaan yang sama ia ucapkan sekali lagi, dan dia selalu marah melihat mataku, seakan seluruh pertanyaannya sudah kujawab : bahwa aku benar-benar berbeda dengannya.

“..hah..hah..”

Nafasku sesak, sesak sekali, rasanya udara hanya sampai pada tenggorakanku hingga aku harus menghela nafas dari mulutku.

“Aku akan membuatmu mengerti Balthiq..”

Lalu pukulannya melayang lagi ke perutku, hingga membuatku bertekuk lutut. Isi perutku, entah apa lagi yang berada di dalamnya, sekali lagi kukeluarkan.

“Aku akan mengubah matamu yang hina itu, kemunafikan busukmu itu.”

Lalu dia menendangku, membuatku terseret jauh di antara lantai yang licin.

Aku yang kini terlentang mencoba membalikan badanku, mencoba berdiri, namun darah memenuhi hidungku hingga aku terpaksa menekuk mukaku ke lantai, dan darah mengalir denga deras. Beberapa saat aku bisa melihat diriku di antara genangan darah tersebut, sosok asing, buruk rupa, aku bahkan tidak mengenalnya lagi.

“Balthiq..”

Suara familiar tersebut,  Li Ling. Aku ternyata terseret ke arahnya yang kini tengah mendekap Guo Rong, mencoba mengobati punggungnya. Ketika diriku mencoba melihat ke arahnya, dia langsung memalingkan wajahnya. Dia menjauhiku bahkan hingga melepaskan Guo Rong.

“Li Ling..”

Ketika itu dia menutup mulutnya, dan seakan aku bisa merasakannya, bahwa dia tidak tahan melihatku, apa aku seburuk rupa itu? Apa dia takut bahwa aku akan menyeretnya dalam keadaan menyedihkan ini? Rasa pedih muncul dalam hatiku yang seketika membuat sensasi mengejutkan muncul. Mati rasa itu telah hilang, kepalaku terasa lebih jelas, dan Man Yi yang kini berjalan perlahan ke arahku membuat air mataku keluar.

Hatiku meledak, aku takut, oh tuhan, aku takut! Li Ling... Li Ling!!

Tanpa sadar rasa takutku muncul, sesuatu yang rasanya hilang selama ini. Tanganku segera mencoba menyeret tubuhku mendekati Li Ling dan mencoba menggapainya. Aku tidak tahu lagi, aku merasa tidak bisa lagi menerima pukulannya.

Ya, Aku butuh bantuan, aku butuh bantuanmu Li Ling..

“Li Ling tolong..”

Li Ling menggelengkan kepalanya, dan kini ia menatapku, dan aku bisa melihat matanya yang merah, dan air matanya yang mengalir deras.

“Maafkan aku Balthiq.. maafkan aku..”

“Li Ling!! HUAAA!!”

Man Yi menarik rambutku, menyeretku ke tengah-tengah. Kini senyumnya muncul melihatku, dia tertawa terbahak-bahak hingga menekuk mukanya ke atas sambil menutupnya dengan tangannya yang telah berlumuran darah. Dia melihatku lagi, dan aku bisa melihat terdapat air matanya yang keluar.

“Ada apa? Kau kecewa bahwa sahabat barumu tidak ada niatan sama sekali untuk menolongmu? Dan kini kau sudah waras kembali.”

Jantungku berdetak kencang, dia melepaskan jambakannya, dan aku berusaha menyeret tubuhku kebelakang menjauhinya.

“Kau harus lihat matamu itu Balthiq, oh tuhan, akhirnya aku bisa membuatmu hidup. Tapi bukan ini yang kuharapkan, dan oh Balthiqku sayang..”

Dia mematerialisasi tombak pada tangannya, memutar-mutarkannya, dan kini mengarahkannya padaku.

“Aku sungguh kecewa denganmu Balthiq..”

“Ahh...ahh..”

Lalu bilah tajam tombak itu memasuki perutku, secara perlahan, dan darah keluar secara deras.

Aku memegang tombak tersebut, mencoba menariknya keluar, dan Man Yi akan lebih keras lagi menusuknya.

“Bisa kau rasakan itu Balthiq? Beberapa menit lagi, dunia akan terasa berputar ketika darah mulai turun dari kepalamu, kau akan bernafas lebih kencang dari biasanya, lalu perlahan, kau akan kehilangan badanmu secara perlahan-lahan, tanganmu, kakimu. Kau akan terbawa dalam masa lalumu, lalu..”

Tanpa sadar bibir Man Yi bergerak begitu lama, dan sekali lagi waktu berjalan lambat. Suaranya perlahan menghilang dari mulutnya, dan pandanganku buyar tenggelam dalam imajinasiku.

“...”

Seketika aku mengingat ibu, ayah, Lushan, Guo Rong, Li Ling..

Lalu aku mengingat betapa putus asanya diriku kini.

Lalu aku merasa panah pernah menembus kepalaku, dan aku tahu, bahwa aku hidup lebih lama daripada waktu yang seharusnya.

Saat itu benakku berteriak, Ada apa?  Perasaan apa ini?

Ya, seharusnya aku telah mati. Aku benar-benar mengingatnya, bagaimana rasanya ketika panah itu menusuk kepala lewat mataku, dan seketika aku terombang-ambing dalam lautan luas, lalu tenggelam menyatu, damai, tenang, kehilangan segalanya.

Tapi...

Aku tidak merasa menjadi diriku. Aku bukan lagi Balthiq saat itu, dan aku takut, benar-benar takut.

Lalu aku sadar kembali, melihat bibir Man Yi bergerak secara perlahan.

“Guo Rong temanmu itu, aku berjanji bahwa selanjutnya dia akan mengalami hal yang sama denganmu, aku akan mengubahnya, kemunafikan dan kenaifannya. Kau dengar itu Balthiq!?”

Tiba-tiba kepalaku panas, dan diikuti gemertak gigiku yang tersisa. Seketika matanya melihat ke Guo Rong, ku pegang erat tombaknya yang terbuat dari besi kokoh, dan tanpa sadar aku mengucapkannya.

“Jalang!”

“Hah?”

“Aku akan membunuhmu!”

Lalu Man Yi terpental ketika sihir petirku mengalir lewat tombaknya ketika ia lengah.

Aku segera mengeluarkan sihir keduaku, kabut tebal, membuatku terpisah dari Man Yi. Aku sama sekali tidak sadar bahwa aku masih punya kekuatan untuk melakukan ini.

“Ahh...Ahh!!!”

Aku mencabut tombak tersebut dari perutku yang kusadari, Man Yi tidak tepat menusukannya pada bagian vital tubuhku, membuatku masih bisa berjalan walau darah mengalir deras setelah tombak tersebut kulepaskan. Aku berjalan memegangi perutku, berharap dengan demikian darah tersebut bisa kutahan, walau rasanya sangat perih, perih sekali.

“BALTHIQ!!!”

Suara marah Man Yi keluar, dia berteriak sangat kencang hingga bulu kudukku berdiri.

“Kau.. Hahaha.. Ya, mata itu, akhirnya kau sadar bukan?”

Aku berjalan terseret-seret dan menyadari darah telah mengalir deras dari perutku. Saat itu perihal mudah untuk Man Yi berlari mengejarku, dan dia tidak melakukannya.

“Kau akhirnya..”

Akhirnya? Tanpa sadar aku menengok ke arah suara tersebut.

“Kau telah menjadi kita!”

Seketika teriakan Man Yi tersebut, panah melewati kepalaku, dan meleset. Dia bisa mendengar suara langkahku dan menebak keberadaanku. Aku terlalu takut pada fakta bahwa panah tersebut hampir mengenai kepalaku, dan gagal paham tentang apa yang dibicarakan Man Yi.

“Dan kau tahu betapa mudahnya aku membunuhmu? Oh Balthiq, harusnya panah itu secara tepat mengenai kepalamu.”

Dia sengaja untuk tidak mengenainya? Aku segera bergerak menjauh, dan kembali panah-panah melewatiku. Tipis, melewati helai rambutku, diantara kakiku, dia benar-benar membuatnya tidak mengenaiku, menunjukan bahwa nyawaku benar-benar di tangannya.

Apa alasannya? Aku bisa mati kapan saja saat ini. Mengapa dia tidak ingin membunuhku segera? Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya, dan tetap berjalan menjauhinya, entah apa yang kini kuusahakan.

“...”

Pandanganku rasanya mulai berputar, sesekali aku muntah, dan berjalan lagi sempoyongan, jatuh, dan berdiri lagi.

Kini diriku berada diantara teriakan Man Yi yang berjalan mengikuti jejak darahku, dan teriakan orang-orang yang merasa kecewa karena tidak bisa menyaksikan ini. Kebisingan ini benar-benar membuatku  lelah hingga membuatku menutup telinga sambil berjalan.

Lalu rasanya kakiku mulai mati rasa hingga aku jatuh kelantai, dan kini mencoba menyeret badanku di antara pilar-pilar besar. Terduduk, dan masih mencoba menutup luka dengan tanganku walau kurasa memang percuma, semua gerakan dan usaha untuk melarikan diri membuat lukaku semakin deras. Mantra penyembuhpun tidak sama sekali membantu karena usaha terakhirku tadi benar-benar menghabiskan seluruh kekuatan ruhku.

“Kau tahu, rasa sakit sesungguhnya sangatlah baik untukmu, bukti bahwa tubuhmu berteriak untuk tetap hidup, memaksamu takut, berlari, berlari dariku. Oh Balthiq, mengapa aku begitu menikmati ini?”

Ucapan itu.. apa aku pernah mendengarnya?

Kalau tidak salah mimpi itu.., lalu Guo Rong saat itu membangunkanku. Apa aku selamat pada saat itu? Mimpiku harusnya berakhir saat ini juga.

Seseorang melihatku, berteriak sambil menunjuk tempat keberadaanku. Tanpa darah, nyatanya seluruh tempat ini akan memberitahu Man Yi dimana aku berada.

“Ahh, Balthiq.. disitu kau rupanya..”

Dia menemukanku. Lalu tepat pada saat itu rasanya kelopak mataku tidak bisa membuka lagi, walau aku benar-benar beusaha.

Lalu seseorang menggoyangkan badanku.

Semoga semua ini hanya mimpi, Guo Rong berada di sampingku, dan aku sedang berada di kelas tertidur.

***

“Bangun Balthiq..”

Ketika mataku terbuka, bukanlah pemandangan kelas yang kudapatkan dengan guru yang memegangi pinggangnya dengan muka kesal, melainkan tempat yang gelap, basah dengan genangan air, lembab, dan suatu sosok punggung terang yang berada di hadapanku, dengan sayapnya yang besar, dan ekornya yang panjang. Suara yang membangunkan itu jika kudeskripsikan adalah suara yang berat, dan bukanlah suara seorang manusia. Ucapannya tersebut diikuti suara nafas yang berhembus kencang.

Apakah aku telah mati?

“Ini bukan neraka, dan kau belum mati.”

Sosok punggung tersebut membalikan badannya. Sosok pria telanjang tanpa paras wajah, rata seperti dinding yang kosong. Kini dia mendekatiku, dan langkahnya besar di antara genangan air membuat gelombang besar setiap kali ia seret kaki tersebut di antaranya.

“Kau pasti berpikir, siapa sosok yang berhadapan denganmu kini?”

“Monster..”

Tanpa sadar mulutku terbuka, aku bahkan tidak benar-benar memikirkannya.

“Kau mengucapkannya tanpa sadar bukan?”

Aku menganggukan kepalaku lalu menunduk ketakutan. Ketika itu juga aku sadar bahwa seluruh badanku kini hitam, benar-benar hitam hingga aku tidak benar-benar yakin dengan apa yang kulihat, apa hitam memang seperti ini?. Namun hal yang kini kusadari, aku tidak terluka saat ini.

Dan saat itu, sosok tersebut berbicara lagi padaku.

“Kau latah karena sensor represi kesadaranmu kini begitu lemah, mungkin karena apa yang wanita itu lakukan padamu.”

Sensor? Represi?

“Tapi tentu itu sama artinya dengan apa yang benar-benar kau pikirkan saat melihatku, dan ya, monster, kau benar Balthiq.”

Dia mengibaskan sayapnya, dan rasanya angin yang luar biasa mencoba menghempasku, namun sesuatu di kakiku menahan badanku untuk terhempas dari tempat ini.

“Naga merah yang agung, monster agung dari kreativitas manusia. Aku benar-benar menyukainya hingga memakai sosok ini untuk menemuimu, monster kecilku.”

Monster kecilku?  Apa yang dia maksud? Mengapa cara bicaranya aneh sekali?

“Kau dewa bukan? ”

Sekali lagi ucapan itu keluar tanpa kusadari. Aku benar-benar tidak memikirkannya, apa ini ucapan ini benar-benar dariku? Tapi tentu aku akan berpikir seperti demikian, dari cara bicara yang ekstrinstik, dunia buatan dan pengetahuan seperti berada dalam masa yang berbeda karena mereka yang tidak terkekang pada batasan waktu, jelas adalah ciri-ciri dewa yang akademi sering bicarakan.

“Ya, dan sepertinya tidak. Aku bertemu dengan adikmu yang dengan beraninya menyebut kita sebagai sekedar elemen yang bisa berbicara.”

“Lushan?”

Dia mengenal Lushan? Urusan apa Lushan berbicara dengan para dewa. Semakin lama aku merasa absurd, dan lupa dengan masalahku sebelumnya, bahwa aku sedang sekarat sekarang.

“Aku dewa yang menjaga daya tarik antar materi, menjaga keseimbangan ruang waktu. Lebih mudahnya, aku yang membuat batu jatuh ke tanah, dan manusia di masa depan menyebutku gravitasi.”

“Kau yang membuat orang terjatuh.”

“Ya, tapi lebihnya lagi, aku yang membuat air pasang, membuat bumi mengitari matahari, dan menjaga seluruh alam semesta berputar.”

“Tapi matahari yang mengitari bumi.”

Semua ucapan yang spontan kukeluarkan tanpa terpikirkan sama sekali, dan tahu apa aku dengan apa yang dewa ini ucapkan? Aku bahkan tidak tertarik sama sekali.

“Geosentris! Kebenaran memang selalu berubah seiring berjalannya sejarah bukan?”

Aku benar-benar harus mengakhiri perbincangan ini. Saat kita berbicara, apa yang tengah Man Yi lakukan? Jika dewa mengajakku kesini, maka satu-satunya tujuan itu adalah dia ingin membantuku. Tapi pertanyaan baru muncul, mengapa? Mengapa pada momen ini dia mengajakku kesini? Mengapa dia ingin membantuku? Apakah karena aku seorang Ashide? Apa ini ada urusannya dengan Lushan?

“Apa kau sadar bahwa kau baru saja mengucapkannya?”

“Apa?”

“Pikiranmu.”

Dan aku sadar bahwa mulutku benar-benar terbuka lebar, dengan lidah yang bergerak setiap kali pikiranku keluar, bahkan saat ini juga.

“Jika kau dewa tolonglah aku!”

Aku benar-benar tidak bisa menahannya, segalanya keluar dari mulutku.

“Aku ingin membunuhnya, membunuh wanita jalang tersebut!”

Ucapan itu, apa ini benar-benar apa yang kupikirkan, kata-kata kasar itu? Tidak, pasti ada suatu kehendak yang mengambilnya!

“Aku ingin benar-benar menghancurkan wajahnya, merontokan giginya, menunjukan wajahnya ke genangan darahnya sendiri. Aku ingin melakukan apa yang ia lakukan padaku.. tidak, lebih buruk!”

Hentikan..

“Aku ingin membunuhnya pelan-pelan hingga ia tahu bahwa arwahnya telah sampai pada tenggorokannya.”

Hentikan.. hentikan..

“Lalu kugorok kepalanya! Kugantungkan kepalanya agar semua melihat bahwa mereka tidak akan bermain-main denganku! Bahwa aku, Ashide, berada di atas mereka, puncak rantai yang mereka bicarakan itu. Oh dewa tolonglah aku!”

“Ah.. aku ingin, ingin sekali membunuh orang-orang yang menyoraki, binatang-binatang itu.”

“Lalu.. Li Ling..”

Hentikan semua ini!!

“Ya, aku akan menolongmu mewujudkan itu semua. Kontrak kita telah dibuat sekarang.”

Tidak, aku tidak mengucapkannya, aku.. aku tidak ingin membunuh Li Ling.

Dewa ini pasti telah bermain dengan pikiranku!

“Tidak Balthiq, itu semua apa yang benar-benar kau inginkan. Id mu, benar-benar dari lubuk hatimu.”

Tidak, tidak mungkin..

“Tapi aku ingin kau memahami apa yang benar-benar kau katakan.”

Dewa tersebut menyentuhkan jarinya ke kepalaku, dan membuatku jatuh ke dalam genangan air. Tiba-tiba rasanya aku tenggelam di antaranya, dalam sekali, dan gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.


***

“Sebagai pengawal kisah, aku akan berkata bahwa kalian memiliki sifat naluriah, ego, dan moral. Rantai moral mengekang dua hal tersebut. Kedipkan matamu Balthiq.”

Aku mengedipkan mataku, dan tiba-tiba diriku telah berada di tempat lain. Sebuah ruangan, dengan lantai yang merupakan papan kayu, kasur, dan pintu geser dengan celah-celah yang ditutupi kertas. Sosok bayangan muncul dibalik pintu tersebut, sosok kecil dan besar, dan kini memasuki ruangan ini.

“Anak sialan, berapa kali kuucapkan untuk tidak bermain diluar!”

Seoorang pria memarahi anak gadisnya. Aku bisa melihat bekas tamparan pada pipi gadis tersebut.

“Kenapa? Kenapa saat anak-anak lainnya boleh keluar aku tidak boleh?!”

Gadis ini memakai baju anggota kekaisaran, aku tahu itu dari motif gaun sutra itu yang sering ibu kenakan. Rambutnya terikat, dan tahi lalat di dagunya, aku seperti mengenalnya.. Man Yi?

“Kenapa? Bukankah aku sudah mengucapkan berkali-kali padamu? Karena kau adalah seorang suku bar-bar!”

Ayahnya berbadan besar, kekar. Dia seorang china karena matanya yang sipit. Suaranya berat dan keras sekali sampai membuat bulu kudukku berdiri. Telapak tangannya sangat besar, dan aku tak bisa menyangka bagaimana dia menampar gadis sekecil ini?

“Lalu ada apa dengan itu?”

“Keras kepala!”

Dia menampar anaknya begitu keras, menghempasnya hingga kepalanya terbentur meja. Aku segera berlari menuju anak tersebut mencoba memegangnya, namun sosokku menembus badannya, dan kini aku menyadari bahwa diriku tidak benar-benar berada disini.

“...”

Anak tersebut menatap ayahnya. Hidungya mengalir darah, dan juga kepalanya yang terbentur sisi tajam meja tersebut.

Tatapannya marah, dan sang ayah seperti terhina oleh tatapan tersebut.

“Kau.. kau.. kurang ajar..”

Dia mendekati anaknya, dan anak tersebut mencoba menjauhi ayahnya namun ketika dia merangkak, sang ayah menarik rambutnya.

“Ahhh!!”

“Aku akan mengajarimu anak sialan!”

Tanpa sadar diriku bergerak, marah, mencoba memegang pundak pria tersebut dan tahu bahwa semua ini hanya sia-sia saja. Apakah aku hanya bisa melihat? Rasanya ini benar-benar salah. Aku akhirnya hanya bisa menutup mulutku, mencoba menahan tangisku mendengar teriakan sang anak yang kesakitan. Saat itu dia menarik dan menyeretnya begitu keras. Beberapa rambutnya lepas bersama kulit yang berada di kepalanya.

“Ayah! Ayah!! Maafkan aku.. tolong..”

Aku mengikuti mereka keluar dari ruangan, dan menyadari bahwa tempat ini memang adalah komplek kerajaan. Di kejauhan aku bisa melihat seorang wanita yang menangisi anak tersebut, dan terlihat bahwa dia adalah ibunya, seorang suku bar-bar. Matanya ketakutan, kakinya penuh gemetar dan terlihat tidak bisa melakukan apa-apa walau anak gadis kecil yang tengah diseret ini adalah anaknya sendiri. Mungkin dia takut dengan suaminya, tapi adakah alasan seorang ibu untuk tidak melindungi anaknya? Apa ia pikir anak ini pantas mendapati hal ini.

Aku marah, rasanya ingin berteriak tapi tidak memiliki mulut, mereka semua tidak bisa mendengarkanku.Saat itu sang ayah menyeretnya hingga menuju ke arah gubuk yang gelap tanpa jendela, dan panas sekali karena matahari tepat mengenai gubuk tersebut.

“Ayah aku takut... Ayah!”

“Ini tempat untukmu sementara ini, bersama dengan kotoran dan kencingmu. Aku tidak akan memberimu makan dan minum di tengah terik panas ini! dan oh, jika saja ada pelayan atau ibumu yang berani melakukan itu, aku akan memberikan mereka yang terburuk. HEI KALIAN SEMUA DENGAR ITU!”

Anak gadis ini memegangi kaki ayahnya meminta ampun, dan sang ayah menendanginya, membuatnya semakin masuk ke dalam kegelapan ini. Ketika itu sang ayah menutup pintunya, dan celah-celah cahaya semakin lama menutup.

“...”

Gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.

“...!”

Tiba-tiba terdapat suatu sorot cahaya mengarah pada anak gadis ini yang kini terlihat duduk menekuk lututnya, tentu ini perbuatan dewa.

Dia menangis dengan lamanya, menggedor pintu gubuk, mencakarkan kukunya sambil berteriak meminta tolong, dan akhirnya berhenti setelah beberapa jam kelelahan.

“...bunuh..”

Dia mulai bergumam sesuatu, aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena dia berbicara sambil berbisik. Aku mendekatkan telingaku, dan tiba-tiba dia menaikan wajahnya ke arahku, membuatku benar-benar kaget hingga terjatuh.

“Aku akan membunuhnya!”

Matanya melotot, dan aku bisa melihat sesuatu muncul dari dahinya.

Tanduk.

Kecil, tapi jelas bahwa itu tanduk yang muncul pada dahinya.

“Aku akan membunuhnya, bunuh, bunuh..”

Matanya yang melotot membutku ngeri sendiri, dengan rambutnya yang berantakan, darah yang mulai mengering dari dahinya, dia terus bergumam hal yang sama terus menerus, dan tidak terasa tanduk itu semakin jelas terlihat dari dahinya membentuk ujung yang tajam.

“Kita kebagian selanjutnya, kedipkan matamu Balthiq.”

Dan aku mengedipkan mataku.

***

Dalam kedipan dunia sudah berubah lagi, kini aku duduk di meja makan bersama keluarga tadi. Ruangan ini redup, dengan pencahayaan seadanya dan atmosfir yang terasa aneh sekali. Si gadis kecil kini duduk di ujung, sang ayah yang tersenyum sambil menggulung-gulungkan jenggot panjangnya dengan jemarinya, sang ibu yang matanya sembab melihat anaknya dengan wajah khawatir, dan lelaki gendut tua yang terlihat tersenyum genit duduk di ujung lainnya. Si gadis menunduk dengan keringatnya yang keluar deras, dan aku tahu bahwa dia merasa canggung.

“Jaga sikapmu, jangan menunduk seperti itu!”

“Ayah..”

Dia menegakan mukanya, dan aku bisa melihat bahwa gadis ini tidak menyukai pria yang berada di hadapannya.

“Aku tidak ingin..”

Sang ayah berdiri mendobrak mejanya, dan pria tua gendut itu ikut terbangun dari kursinya.

“Tidak apa, aku tahu apa yang dia ragukan. Tapi aku berjanji, dia akan terbiasa.”

“Ya, semoga saja seperti itu, anak tidak tahu diuntung.”

Aku bingung sama sekali, sebenarnya apa yang terjadi disini? Saat itu gadis tersebut menangis, dan sang ayah sepertinya sangat berusaha untuk menahan amarahnya. Pria gendut itu mendekati sang ayah, berbicara dengan jelas hingga terdengar olehku yang jauh dari mereka.

“Aku tidak ingin kau merusaknya, kau dengar itu.”

“Baik..”

Sang ayah yang kekar itu menunduk ketakutan pada pria tua gendut tersebut, dan lalu pria tersebut mengampiri gadis kecil tersebut yang sekali lagi menekuk mukanya ke lantai. Dia mengambil dagunya, membuat gadis tersebut menatap matanya langsung.

“Tersenyumlah Man Yi, karena saat kita tinggal bersama, aku tidak ingin istriku bersedih seperti ini.. aku akan.. memaksamu tersenyum, kau mengerti?”

Man Yi? Benarkah dia Man Yi?! Lalu istri, apakah tidak sinting seorang ayah menikahkan gadis kecil seperti ini pada pria tua yang rasanya sudah hidup setengah abad ini? Tapi selama pikiran ini berlangsung, aku juga mulai berpikir apa yang dewa inginkan dengan melihatkanku masa lalu Man Yi.

Tanpa sadar, aku melihat tanduk di dahi Man Yi terlihat lagi, kini lebih panjang dari sebelumnya, dan bahkan terus memanjang. Ketika pria tersebut meninggalkan Man Yi, aku bisa mendengarnya, suara hati Man Yi yang mengutuk lelaki tersebut, ayahnya, ibunya.

“Sialan, sialan, sialan, sialan..”

Terus dan terus hingga kedua orang tua meninggalkan tempat makan tersebut, Man Yi terus terduduk menekuk mukanya dengan tatapan mengerikannya ke arah lantai yang kosong.

“...!”

Lalu saat aku mengedip, tiba-tiba aku sudah berada di tempat lain lagi, kamar, dengan Man Yi yang menggunakan gaun putih pernikahan, dan pria gendut tersebut yang kini bertelanjang dada mendekap Man Yi.

Tatapan Man Yi kosong ketika pria tersebut membuka gaunnya, meraba tubuhnya yang masih kecil, mencoba meremas dadanya erat yang sesungguhnya belum ranum, menciumi lehernya, dan.. aku tidak mau tahu lagi apa yang terjadi setelah ini. Aku langsung menutup mataku, tidak tahan melihat pemandangan menjijikan ini, dan dari celah jariku aku bisa melihat tanduk hitam kusam yang sangat besar keluar dari dahi Man Yi.

“Ah..ahh.. agh!”

Tiba-tiba pria itu terlihat terkejut dalam desahannya, dan setelah itu dia tidak lagi mendesah.

“Aghhh!! AGHHH!!!”

Dia berteriak, dan segera saat aku membuka mataku, terdapat puluhan pedang menancap pada punggungnya.

Mata Man Yi terbuka lebar, melototi pria tersebut yang berteriak panik sampai satu tangan Man Yi menutup mulutnya, dan satu tangannya yang lain mengenggam sebuah pisau dan segera menancapkannya ke bagian samping kepala.

Pria tersebut diam, matanya bergerak tidak teratur, darah keluar dari hidungnya, mulutnya terbuka lebar mencoba menghela nafas dan ketika Man Yi melepas pisau tersebut, sang pria seketika jatuh menimpa Man Yi.

“Tidak..tidak..”

Tatapan Man Yi kembali normal, dan dia terlihat benar-benar ketakutan.

 “Kyaaaa!!”

Lalu dia berteriak kencang-kencang, dan akhirnya para penjaga masuk melihat tuannya yang kini berlumuran darah. Saat itu pedang-pedang tersebut menghilang, begitu pula pisau di tangan Man Yi. Mereka para penjaga kebingungan, dan akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan Man Yi yang kini berlumuran darah dan kesusahan untuk berjalan setelah keperawanannya diambil oleh pria tua tersebut. Kebingungan, akhirnya mereka segera menyimpulkan bahwa terdapat pembunuh bayaran ahli yang menyelinap masuk, terutama karena pria tua tersebut terlibat dalam intrik politik kerajaan.

“...”

Mata Man Yi masih terlihat shock, dan badannya penuh dengan gemetar. Saat itu tanpa sadar tanduk dari kepala Man Yi sudah menghilang entah kemana.

Kemudian aku mulai berpikir tentang tanduk tersebut, apakah sebenarnya kulihat? Apakah ini ada hubungannya dengan itu semua?

Lalu ketika orang tua Man Yi datang, sang ibu langsung memeluk sang anak yang ketakutan, meminta maaf karena menikahkan paksa dirinya. Tapi tidak dengan sang ayah yang terlihat ketakutan melihat wajah Man Yi. Dia menunjuk pada anaknya, dan berteriak.

“Kau! Pasti kau bukan! Anak terkutuk!”

Lalu dibalik pelukan ibunya, Man Yi menatap ayahnya, dan seketika aku maupun sang ayah merasakan gemetar pada bulu kuduk kami.

Man Yi tersenyum saat itu.


***


Sang dewa membawaku ke banyak peristiwa yang dialami Man Yi, bagaimana dia membunuh ayahnya yang hampir melukainya kembali, bahkan ibunya, bagaimana dia lolos dari itu semua dengan kepintarannya melewati pengadilan, bagaimana dia masuk dalam akademi sihir dan melakukan duel pertamanya, lalu banyak lagi pertarungan, pembunuhan yang membuatnya menjadi petarung tingkat tinggi di akademi. Man Yi benar-benar berubah menjadi sosok yang mengerikan, berdarah dingin, bahkan aku tidak bisa melihat lagi ketakutan saat dia melakukan pembunuhan keduanya.

Lalu pada kedipan terakhir, aku kembali dalam dunia sang dewa yang gelap, dan dia sudah menungguku di kursi.

“Apa kau masih ingin membunuhnya?”

“Tidak..”

Tiba-tiba saja tidak lagi terlintas lagi pikiranku untuk melakukan hal keji pada Man Yi. Aku kini paham bahwa sosoknya kini dibentuk oleh tragedi demi tragedi, lahir pada lingkungan yang memiliki hastrat untuk menyiksa dan membunuhnya. Man Yi lolos dengan penuh perjuangan, yang membuat mentalnya terluka, dan menjadikannya sosok seperti sekarang.

“Kini kau tahu kenapa dia ingin membunuh pria di tempat itu?”

“Dia membenci pria karena apa yang mereka lakukan padanya..”

“Ya, ada dua cara untuk menghadapi keresahan oleh rasa trauma masa lalu, menerimanya, atau menghancurkannya. Dia mengambil langkah destruktif dalam hal itu, dan kau tahu bahwa lelaki tidak diperbolehkan berada di akademi? Dia menggunakan itu untuk pembenaran tentang apa yang dilakukannya, bahwa itu tidak berlawanan dengan moralitas yang ada di akademi kini kau diami.”

“...”

“Monster didalam dirinya tumbuh dan terus tumbuh besar dalam alam bawah sadarnya, dan ketika dia telah sampai batas kewarasannya, sosok tersebut mengambil alih tubuhnya, dan menjadi kesadaran dominan dalam gadis tersebut.”

Saat ini aku tetap tidak ingin membenarkan hal ini. Kebenciannya terhadap lelaki , pembenaran, dan sebagainya kupikir jelas adalah hal yang salah. Tapi tetap, perasaan ini berbeda dengan keadaan ketika pertama kali aku bertemu dengannya, aku tidak lagi bisa membencinya.

“Aku sedikit melihat memorimu, dan apa kau menyadari sesuatu ketika dia menyeretmu masuk ke dalam kelompoknya, ketika kau merasa diusili? Lalu juga ketika dia mengajakmu sekali lagi ketika mereka ingin mengeksekusi pria tersebut?”

Aku menggelengkan kepalaku, saat itu kupikir tidak ada maksud khusus tentang apa yang dilakukan Man Yi kepadaku.

“Dia melihat sesuatu darimu Balthiq, refleksi sosok dirinya. Dia ingin menjadikanmu kawan, membentukmu menjadi dirinya, dan dia sangat kecewa ketika kau menyerangnya, tanda bahwa kau menolak.”

“Refleksi?”

“Bahkan dalam pertarungan itu dia masih berusaha untuk membentukmu, dan dia berhasil Balthiqku sayang, lalu karenanya kini aku memanggilmu.”

Rasa merinding muncul dari bulu kudukku ketika dewa tersebut menyebut ‘Balthiqku sayang’. Nadanya berubah menjadi terdengar menggodaku dan dia mendekatiku.

“Aku ingin menyadarkanmu bahwa Man Yi telah merusak ikatan moral yang mendekap naluriahmu, dan kini aku memperlihatkanmu bentuk baru, empati, kekuatan yang lebih kuat dari ikatan moral yang muncul dari perasaan. Ironi adalah karena empati muncul dari perasaan setara, wujud monster yang sama, bahwa kau merasakan hal yang sama persis dengan dirinya. Kau tidak benar-benar sadar karena semua itu tersembunyi dalam alam bawah sadarmu.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Monster juga telah tumbuh besar dalam alam bawah sadarmu Balthiq, dan monster tersebut sangat cantik dan agung.”

Tiba-tiba sang dewa menggerakan tangannya, dan muncul kotak-kotak bersinar yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang dialami Man Yi, lalu dia menggerakan tangannya lagi dan wajah Man Yi berubah menjadi diriku.

“Apa maksudmu..”

Lalu dia menggerakan tangannya lagi, dan lingkungan Man Yi berubah menjadi lingkungan yang persis dengan lingkunganku. Aku melihat diriku bekerja di tempat roti dan mereka melempar piring hingga kepalaku hingga berdarah. Saat anak-anak melemparkan batu padaku yang baru pulang.  Ketika rambutku ditarik dan dipukuli habis-habisan oleh Man Yi.  Lalu.. satu kotak terasa asing bagikum dan aku tidak tahu apa yang kulihat.

“Kau ingat represi yang kuucapkan, ketika kau benar-benar menekan ingatanmu dalam-dalam ke alam bawah sadar.”

Mereka para pekerja di tempat roti itu menyeretku, membuka bajuku, lalu..

“Tidak! Kejadian ini tidak pernah terjadi padaku!! TIDAK, TIDAK, TIDAK!!”

“Kau menyangkalnya Balthiq, dan kini kau terus berusaha mensugesti dirimu sendiri dengan teriakan itu, histeria.”

Tanpa sadar tanduk muncul dari kepalaku, dan aku mencoba menahannya keluar, tapi tanduk tersebut tidak berhenti tumbuh. Saat itu suara dari kotak itu keluar, suara desahan, dan suara itu muncul dari mana-mana, atas, bawah, bahkan di kepalaku sendiri, bahkan dimulutku sendiri!

Aku segera menutup mataku, menutup kupingku, tapi seakan terdapat mulut dalam telapak tanganku. Suara itu keluar dari mana-mana.

“Karena itu Balthiq, aku akan memutuskan rantai yang mengekangmu.”

Tiba-tiba aku merasakan tangan dewa yang memegang pundakku, dan aku segera mencoba melepaskannya kemudian berlari.

“Oh Balthiq, seperti bagaimana kau ingin berteriak sekencang mungkin tapi tuhan tidak memberimu mulut, bagaimana kau bisa lari dari duniaku?”

Tiba-tiba kakiku terlekat di bawah genangan air, dan membawaku berhadapan dengan dewa tersebut yang terlihat sangat mengerikan. Sayapnya terbuka lebar, api keluar dari kepalanya, dan setiap hembusan nafasnya mengeluarkan asap. Ketika itu dibaliknya terdapat satu kotak yang memperlihatkanku satu lagi kejadian yang tidak kuingat, saat aku membunuh banyak orang dan sebuah panah tertancap di mataku.

Aku jelas-jelas mati di kotak tersebut.

“Tahan nafasmu Balthiq.”

Dia memegang kepalaku, dan menceburkannya ke genangan air. Saat itu noda hitam keluar dari wajahku seperti tinta yang masuk ke dalam air. Lalu dewa menarik kepalaku keluar.

“Kau telah terlahir kembali.”

Lalu sebuah kaca besar muncul dihadapanku, noda di wajahku menghilang, memperlihatkan wajahku dari kegelapan yang mengelilingi tubuhku. Saat itu aku bisa melihat bahwa terdapat panah menancap pada mataku, dan tanduk hitam pekat panjang yang sudah berhenti tumbuh. Wajahku terlihat jelas dari noda hitam yang mengelilingi badanku, dan dari punggungku keluar sepasang sayap, sayap yang besar berwarna hitam pekat.

"..."

Tanpa sadar aku tersenyum, senyum yang mirip sekali dikeluarkan oleh Man Yi ketika menatap ayahnya.

“Oh, monster kecilku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar