Jumat, 30 Oktober 2015

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 5

Chapter 5 : Mimpi

Aku menciumnya, bau rerumputan yang basah oleh embun. Matahari yang cerah menyinari embun tersebut hingga dia membias dan mengkilap ke arah mataku. Rumput-rumput itu bergerak ke arah kiri, sembari mengikuti angin yang berhembus nyaman ke arahku. Ketika itu aku bersender di antara pohon peneduh, kalau tidak salah mereka menyebutnya Yaksha, diambil dari nama mahluk lagenda raksasa yang mampu menutupi matahari, ukuran pohon yang besar dengan rerumbunan daun yang lebat membuat pohon ini terasa begitu teduh, tidak aneh jika mereka menamainya demikian.
Aku segera berdiri ketika terdapat sesuatu yang mengibaskan sayapnya di atas langit. Malaikat bisu. Dia tersenyum, berputar-putar, mengibaskan sayapnya yang telah baikan lalu membiarkan angin membawanya, melesat di antara bunga-bunga tulip, lalu ia mengambilkannya satu, dan terbang ke arahku dengan matanya yang berbinar-binar. Di dekatku kemudian dia turun dan melangkah perlahan, sayapnya masuk di antara punggungnya, kemudian dia menaikan gaun putihnya yang begitu terang oleh sinar matahari yang menyinarinya, berlari ke arahku sambil mengarahkan tangannya yang membawa bunga.
“Buatku?”
Dia menangguk, dan aku mengambilnya, dan kucoba untuk menghirup bau bunga tulip tersebut. Wangi, aromanya manis dan segar, dan lalu hastratku seakan menginginkan lebih, aku ingin berada di antara bunga-bunga tersebut. Aku lalu berdiri memegang pundak Malaikat bisu, senyumku mungkin sampai pada pinggir pipiku, hatiku terasa meluap-meluap, senang sekali.
Aku kemudian berlari, dan malaikat bisu akhirnya tahu apa maksudku. Aku ingin kita berlomba untuk siapa yang paling cepat ke arah taman bunga tersebut.
Malaikat bisu mengangkat lagi gaunnya, mencoba berlari di antara rumput-rumput yang basah, namun dia tersandung dan saat itu aku segera menghentikan lariku dan tertawa terbahak-bahak. Malaikat bisu lalu mencoba berdiri, membersihkan wajahnya yang kini kotor dengan tanah, dan bajunya yang basah oleh embun rumput. Dia melihatku tertawa, lalu dia marah, dan sayapnya keluar dari punggungnya.
“Jangan curang!”
Walau aku sudah berteriak padanya, malaikat bisu tetap mengibaskan sayapnya dan terbang. Aku yang sudah dekat dengan taman bunga lalu mencoba berlari lebih kencang, namun saat itu Malaikat bisu sudah berada di atasku. Aku langsung menutup mataku, menaikan dadaku, mencoba bernafas kencang-kencang selagi kakiku bergerak dengan cepatnya di antara rumput-rumput ini.
Aku tidak ingin kalah, aku ingin lari sekencang-kencangnya, selelah-lelahnya, karena pada akhirnya aku bisa berlari sebebas ini, aku harus menikmati masa-masa ini!
“Eh..”
Tiba-tiba rasanya aku tidak lagi menginjak tanah, kakiku berputar tidak jelas di antara langit-langit dan sesuatu memegang ke dua lenganku. Ketika kubuka mataku, aku sudah melayang dan kakiku menyentuh di antara bunga-bunga. Malaikat bisu mengangkatku, dan badanku entah kenapa terasa ringan sekali.
Angin sangat kencang berhembus di wajahku, lalu Malaikat bisu mengibaskan sayapnya dan kita naik ke atas, tinggi, dan tinggi sekali hingga rasanya aku bisa melihat bahwa daratan menjadi bundar, sebundar bola sepak. Ketika itu juga bulu kudukku berdiri, dadaku rasanya ingin copot, ternyata aku takut ketinggian.
“Malaikat bisu, bisakah kita turun?”
Aku menengok ke atas, dan malaikat bisu menganggukan kepalanya. Saat itu dia mengeluarkan ekspresi yang tak pernah kulihat. Dia tersenyum, tapi tatapannya usil sekali, dan aku tahu dia merencanakan sesuatu. Apa dia masih kesal dengan tadi? 
“Oh tidak.”
Tiba-tiba malaikat bisu menghentikan kibasan sayapnya dan kita terjatuh. Aku berteriak, air mataku keluar, dan tetesan air mata tersebut tidak lebih cepat sehingga aku melihatnya seperti butiran-butirannya yang utuh tertinggal olehku. Malaikat bisu yang berada di atasku langsung memelukku, lalu dia melebarkan sayapnya, dan kita menunggangi angin dengan cepat, melesat, seperti bagaimana burung elang ingin mencengkram mangsanya, cepat sekali.
Walau demikian, aku benar-benar membuka mataku. Aku benar-benar ingin melihat bagaimana rasanya burung terbang, menembus tetes-tetes air awan, melihat mahluk-mahluk yang kini berubah bagai semut, kecil tidak terlihat. Melihat bagaimana hutan membentuk suatu komunitas tumbuhan yang beragam, dan aku tidak akan benar-benar tahu jika diriku sekarang tidak berada di atasnya. Lalu sampai pada taman bunga tadi, sayap malaikat bisu tiba-tiba terbuka lebar menahan angin, membuat gerakannya melambat dan kita mendarat di atas taman bunga. 
“Oh malaikat bisu, terbang benar-benar asyik.. enak sekali pasti rasanya menjadi burung, atau menjadi malaikat..”
Aku segera berbaring di antara bunga, melihat ke langit yang biru dengan awan-awannya. Ketika itu malaikat bisu menatapku, dan dia membentuk bayang-bayang, menutupi sinar matahari ke arah wajahku dengan wajahnya yang khawatir, dari tatapannya terlihat bahwa dirinya melihat sesuatu pada wajahku.
Aku menangis.
Air mata keluar dan kini mengalir di pipiku. 
Aku begitu menikmati ini semua, kebebasanku, kesenangan yang sangat tidak ingin kulupakan ini. Tapi.. aku tahu sejak awal bahwa ini semua adalah mimpi.
“Aku ingin sekali selamanya berada disini.. Bersama ibu.. dan mungkin ayah juga.”
Aku kemudian duduk, mencoba menyeka air mataku.
“Aku tidak ingin lupa tentang semua ini oh Malaikat bisu, mimpi akan kebebasan ini.. Aku tidak ingin bangun lagi dan lupa oleh tempat ini, dan hanya ingat bahwa selama hidupku, aku hanya tinggal di tempat gelap yang ibu bilang sebagai rumah, dimana aku hanya bisa bergerak dari kamar hingga perapian. Aku ingin keluar, berjalan di atas tanah, menari di atas rerumputan, lalu kita terbang bersama-sama. Karena itu aku tidak ingin lupa, oh Malaikat bisu..”
Malaikat bisu memelukku, dan rasanya hatiku menjadi pecah oleh gundahku, tangisku rasanya ingin meledak.
Saat itu tiba-tiba aku mencium bau harum, bau makanan, dan terasa nikmat sekali bau tersebut. Aku tidak pernah mencium bau senikmat ini. Saat aku mencoba melihat dari balik pelukan Malaikat bisu, aku tidak melihat terdapat makanan atau apapun yang sejenis dengan itu. Tapi sepertinya aku mendengar sesuatu, suara api, percikan dari wajan, dan suara nyanyian. Suara itu adalah suara ibu.
“Racke! Bangun, ayo kita makan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar