Minggu, 08 November 2015

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 6

Chapter 6 : Simfoni Cahaya Bulan

Aku terbangun dengan perasaan sedih, dari langit biru muda kembali menatap langit-langit kayu yang kelabu, bau rerumputan seketika menjadi bau kayu perabotan yang lembab, cahaya-cahaya terang juga berubah menjadi cahaya remang yang keluar dari sudut jendela kamar yang terpasang jeruji, cahaya tersebut berwarna keoranyean tanda bahwa diriku yang telah tertidur hingga sore ini, cukup lama sejak pagi tadi. Malaikat bisu saat itu juga bangun bersamaan denganku, mengucek matanya dan tersenyum menatapku dengan tatapannya yang masih lelah.
Seperti sebagaimana biasanya diriku setelah bermimpi, perasaan sebal biasanya akan berkumpul di dalam benakku, membuatku mencoba menutup mata, berguling ke kiri dan ke kanan untuk mendapatkan posisi nyaman, dan mencoba tidur mencapai mimpi itu kembali. Tapi kali ini perhatianku lebih dari itu, kenyataan lebih melekat pada diriku karena terdapat salah satu yang belum hilang dari mimpi, yaitu suara panggilan ibu, dan bau masakan tersebut, bau yang belum pernah kuciumi sebelumnya. Dari balik pintu yang terbuka sedikit, seakan terdapat asap yang meliuk masuk melalui celah bersama aroma sedap, merayap dari udara menuju hidungku, mencekik pikiranku untuk mencari tahu darimana asal bau tersebut.
Jika aku hiraukan soal panggilan ibu di mimpi tersebut, maka siapa lagi yang memasak? Apakah ibu tetangga? Bisa jadi ibu membuka pintu dan lupa menutupnya kembali, dan tentu saja hal itu bukan sesuatu yang mungkin ibu lakukan. Bau itu sendiri juga terasa dekat, begitu tajam di hidungku hingga air liurku keluar, deras sekali, dan perutku bergerumuh seakan terdapat bencana gempa di dalamnya, tanda bahwa aku benar-benar lapar.
Aku segera menarik selimut di sekitarku, keluar dari kasur dan menginjak kayu-kayu lantai yang dingin sehingga membuat badanku sekejap merinding. Aku kaget bahwa terdapat suara siul seketika langkahku mendekati pintu, melantunkan melodi selagi diiringi suara gemercak api dan adukan kayu yang mengenai wajan besar. Suara tersebut berada di dapur, tempat kosong yang tidak pernah dipakai, dan tentunya ini seingatku.

“…”

Suara ini jelas adalah suara ibu. Apa ibu pernah bersiul sebelumnya, melodi ini terasa penuh nostalgia dalam batinku, entah mengapa aku sering mendengarnya. Tapi ibu bersiul seperti ini mungkin tanda bahwa ibu kerasukan sesuatu, apa dia lagi senang karena sesuatu?
“Ibu?”
“Racke, sudah bangun? Sebentar lagi makanan jadi, sini nak.”
Tidak seperti yang kubayangkan, yang kupikir keriangan adalah mata ibu yang lembab, bibir hingga pipi ibu yang biru, dan rambutnya yang berantakan.
“Matamu sembab, apa kau menangis Racke?”
“Tidak..”
Matamu ibu, sama saja.
Aku segera duduk dan melihat keranjang kosong. Sebuah papan kayu, dan kotak penuh debu yang membentuk suatu lekukan di dalamnya. Terlihat bahwa bentuk tersebut tanda bekas tempat pisau yang berada di atas papan bersama daun bawang, beberapa potongan daging ikan, dan berbagai sayur lainnya.
“Ikan..”

Ibu mendapatkan darimana? Apakah ini ada hubungannya dengan penampilan ibu?
“Kau belum pernah merasakan sup ikan ibu bukan? Kali ini kau akan memuji masakan ibumu ini seperti ayahmu dulu. Aku ini pandai sekali memasak Racke.”
Ibu memasukan bahan-bahan dari papan kayu tersebut masuk ke dalam wajan tersebut. Seketika bau semerbak wangi membuat pikiranku melayang jauh, serta air liur yang mengalir deras.
Aku seketika lupa masalah-masalah sebelum ini.
Aku hanya ingin makan masakan ibu.
“Ambil piringmu, kita makan di dekat perapian.”
Aku segera berlari, senyumku sampai pada pipiku, ah bisa saja ekspresi ini keluar selain di dalam mimpi! Aku mengambil mangkuk, dua untuk diriku dan ibu tentunya, dan menodongkannya pada ibu dengan riang.
“Aku membuatnya banyak, untukmu dua porsi Racke.”
Ibu tersenyum menuangkan sup dan kentang tersebut kedalam dua mangkuk tersebut, dan dia memberi isyarat bahwa dua mangkuk tersebut untukku. Aku senang sekali, berbalik menuju perapian, namun perasaan janggal muncul dalam hatiku, ini pertama kalinya ibu seperti ini.
Lalu dari kejauhan aku menengok, ibu menangis saat itu.

***
Aku mengunyahnya, dan daging ikan yang terdapat pada sup seakan meleleh di antara lidahku, teksturnya lembut dan gurih dan seketika mataku seakan ingin terbalik ketika pertama kali merasakannya. Kuah kental yang ibu sebut kaldu juga terasa gurih dan manis, mengalir hangat dalam tenggorokanku. Sayur-sayur seperti wortel, daun bawang, dan semacamnya yang ibu masukan dengan dipotong cincang terlebih dahulu juga bukan lagi sup-sup yang sebelumnya ibu buat bersama dengan roti, kali ini mereka menjadi bahan pelengkap yang sempurna bersama dengan sup ini.

Ah, rasanya aneh jika aku berkomentar, ini bahkan pertama kalinya aku merasakan daging, tapi ini sungguh enak sekali!
“Enak kan?”
Ibu tersenyum menatapku, tapi tidak sekalipun ia sentuh makanannya.
“Makanan ibu..”
Aku menunjuk pada makanan ibu, dan dia menatapnya, mangkuk yang diisi setengah tersebut.
“Kau mau?”
Ibu tersenyum dengan nada candanya. Tapi aku serius, dia pasti mengerti bahwa aku berkomentar soal mengapa ia tidak memakan makanannya.
“Bukan itu ibu, kenapa ibu tidak memakannya?”
“Aku sudah makan Racke.”
Bohong.
“Ibu kan baru membuatnya!”
Oh ibu mengapa kau berbohong?

Ibu saat itu hanya tersenyum, dan menyenderkan mangkuknya ke diriku.

“Aku sedang tidak ingin makan Racke.”

“Tapi..”

Tapi bukannya ibu yang bilang sendiri bahwa ibu butuh makan agar bisa kuat besok, bekerja membanting tulang seperti bagaimana ibu menggambarkannya? Entah mengapa pertanyaan itu tidak keluar dari mulutku. Mata ibu yang sembab, lebam di muka ibu, dan dia yang menangis ketika aku pergi dari dapur tersebut..

Sesuatu telah terjadi pada ibu.
“Iya ibu makan sesuap.. sisanya buatmu.”
Aku hanya terdiam, melihat tangannya bergetar mengambil sesuap sup tersebut, memasukannya ke mulutnya yang kering, lalu dikunyahnya perlahan dan ia telan sambil menutup matanya. Aku tahu dia tidak menikmatinya sedikitpun.
“Ini sudah cukup..”
Ibu mendorong mangkuknya, dan menyuruhku menghabiskannya melihat kedua mangkukku kini sudah kosong, aku bahkan tidak menyadari selama ini tanganku menyuapi mulut ini tanpa sadar.
“Habis ini kita belajar oke Racke? Matematika, sejarah, apapun yang kau suka? Kau yang pilih.”
“Terserah ibu..”
Ibu tersenyum lagi sembari berdiri dari kursinya dan masuk ke dalam kamarnya sambil membuka ikatan pada bukunya yang sebelumnya ingin ia jual. Ketika itu dia menyisih-nyisihkan bukunya, dan menemukan salah satu buku tipis yang berdebu, lalu dari pandangannya, dia sepertinya memutuskan untuk memakai buku tersebut untuk materi pelajarannya.
“…”
Tatapanku kembali pada makanan ibu yang kini milikku, rasanya sayang jika tidak fokus untuk makan, dan membiarkan tangan dan mulut ini bergerak dengan sendirinya.

***
Ibu duduk di depan perapian, dan menyuruhku duduk di sampingnya. Malaikat bisu seperti biasa duduk menjauh, seperti tahu bahwa momen ini adalah momen privasi antara aku dan ibuku. Buku yang ibu pegang memiliki sampul yang telah dirobek bagian depannya. Isinya dipenuhi oleh coretan tinta, yang berarti terdapat soal Beastman di dalamnya. Lembar-lembar dari buku ini adalah kusam kecoklatan dengan gambar yang seperti telah dirobek dan direkatkan kembali, seperti ibu tidak tega untuk membuangnya.
“Aku tidak pernah sampai usai menceritakan padamu soal Beastman bukan?”
“Belum.. kau tapi berjanji.”
“Maka aku akan menetapi janjiku malam ini.”
Aneh, ibu selalu berusaha menghindar menceritakan soal Beastman dan kini dia tersenyum lepas kepadaku bahwa dia akan menceritakannya. Ketika itu ibu mulai mendehemkan tenggorokannya dan menutup matanya. Dia sepertinya akan memberikanku introduksi sebelum masuk ke dalam kisah yang ingin dia ceritakan.
“Kisah yang akan kuceritakan padamu adalah Simfoni Cahaya Bulan, sebuah momen paling penting dalam sejarah umat manusia dan beastman. Pada momen ini manusia dan beastman mencapai masa kedamaian lebih dari 1000 tahun dan mengalami kemajuan peradaban yang sangat tinggi.”
“Tapi ibu..”
Aku tidak pernah dengar cerita yang ini, beastman dan manusia tidak pernah berkawan, apalagi 1000 tahun lamanya, apa ibu yakin bahwa dia sedang tidak menceritakan dongeng khayalannya?
“Aku menceritakan padamu versi yang sesungguhnya Racke, tidak banyak memang dokumen yang tersisa, dan banyak alasan mengapa kisah yang akan kuceritakan padamu tidak pernah sedikitpun tercantum dalam buku tebal sejarah yang selalu kita baca bersama.”
Aku mengangguk, tersadar bahwa aku akan benar-benar mendengar sesuatu yang baru membuat hatiku berdebar-debar. Ketika itu ibu mengambil nafasnya kembali, dan melanjutkan ucapannya.
“Manusia sesungguhnya adalah pendatang di tanah ini, dan Beastman adalah apa yang kita sebut sebagai pribumi.”
Mulutku ternganga. Jika demikian bukankah kita sama saja dengan pencuri? Maksudku, kita manusia mengusir beastman jauh-jauh di padang gersang, dibalik tembok raksasa tersebut setelah perang besar.
“Benua ini kita sebut sebagai ‘Isuka’, bahasa bangsa kita terdahulu yang berarti pasir. Setelah lama terombang-ambing berlari dari bencana besar, koloni manusia mendapati suatu tanah yang memiliki gurun pasir besar, kita menganggapnya ‘kumpulan pasir yang terapung’. Kita berlabuh dari tanah ‘Eḍāri’, tanah yang kita kini sebut sebagai tanah Beastman, gurun gersang dan minim dengan sumber daya. Disana kita diterima oleh suku gurun, para Beastman yang memahami bahwa bagian selatan benua mengalami bencana raksasa yang dahulu sempat berkunjung ke benua ini juga.”
“Jadi mereka tidak memakan kita?”
“Tidak, tidak saat itu.. lagipula kau tahu darimana soal itu?
“Buku sejarah, bab perang.. Mereka menjelaskan soal bagian siksaan Beastman, tapi aku hanya melirik.. ”
Aku ingat, buku soal catatan sejarah perang dari perang sipil, pecahnya kerajaan manusia, dan bab terakhir adalah perang soal Beastman yang merupakan perang terbesar dalam umat manusia. Ibu terlihat resah melihatku, dan memang bukan bacaan bagus untuk anak seusiaku, terutama hal tersebut adalah sub-bab soal penyiksaan. Tapi ibu sendiri tidak pernah melarangnya, dan membiarkan lemari bukunya bebas untuk kubaca.
“Tidak, kau tidak salah Racke, memang akan ada saatnya kita harus tahu bahwa ada banyak warna di dunia, dan aku tidak pernah yakin untuk mengenalkan warna hitam padamu.. Tapi kini kau tahu, dan setidaknya hal tersebut tidak membuatmu trauma.”
Aku sempat mimpi buruk soal itu sebenarnya.

“Walau pada faktanya di perperangan hal itu terjadi, tapi dahulu mereka menerima kita dengan baik-baik. Kita dibawa menuju pusat perdaban mereka untuk bertemu dengan nabi mereka yang juga adalah pemimpin, lalu mereka memberi kita tanah di Edari yang berdampingan dengan suku gurun. Tapi karena lemahnya komunikasi verbal, dan hanya berlandaskan komunikasi visual.. kau tahu bahasa isyarat kan Racke?”
Aku mengangguk, bahasa orang yang tidak bisa berbicara. Menggunakan gerik tangan sebagai simbolis, kadang untuk memahami suku pedalaman kita terpaksa memakai bahasa isyarat. Tapi lebihnya bagaimana mereka melakukan itu, aku tidak pernah benar-benar mempelajarinya.
“Terjadi banyak kesalahpahaman, bangsa kita yang ingin bernegosiasi untuk bisa bermigrasi ataupun mengadakan perdagangan dengan tanah pusat, Phāresṭ yang hijau dan memiliki banyak sumber daya malah dianggap melunjak dan tidak mensyukuri kebijakan sang Nabi. Diskusi yang alot ini menyebabkan situasi panas antara suku gurun dan koloni pengungsi.”
“Lalu perang terjadi bukan?”
“Tidak, tepatnya terdapat andil tuhan disini. Pada momen ini juga, cerita Simfoni Cahaya Bulan dimulai.”
Ibu membuka matanya, membalikan lembar pertama. Buku tersebut dipenuhi gambar dengan tinta, sebuah ilustrasi seperti pada kisah dongeng. Di gambar tersebut terillustrasi manusia dengan tombak mereka, dan beastman, mahluk bertanduk dengan kaki binatang, menyerupai kambing mungkin, berjumlah banyak memakai kapak mereka. Di bawah gambar tersebut terdapat tulisan menggunakan huruf Telugu, tulisan kuno yang kini sudah tidak terpakai kembali dan menurutku lebih mirip cacing yang meliuk-meliuk, tidak jelas apa bedanya antara huruf satu dengan huruf lainnya.
“Dimulai dengan pandangan negatif dan tersebarnya kebencian, mau dari kubu manusia dan beastman. Hubungan yang terjalin tidak turut membaik walau terdapat usaha dari kedua pihak untuk saling memahami bahasa satu sama lain. Hal ini diperperah oleh banyaknya perkelahian, dan tentu hal ini masih bisa dilerai. Klimaksnya terjadi ketika terbunuhnya anak beastman karena suatu kecelakaan dalam perkelahian, dan masalah bahasa yang belum selesai membuat musyawarah untuk menyelesaikan masalah ini tidak bisa dilakukan.”
“Dan konflik dimulai..”
“Ya, tapi sebelum itu adalah kekacuan presepsi antar pemahaman kasus ini yang sebenarnya tidak ada yang benar-benar salah di antara dua kubu, manusia percaya bahwa hal ini adalah kecelakaan, dan Beastman menginginkan anak mereka untuk bertanggung jawab atas perlakuan mereka. Tentu konflik individual ini seharusnya tidak boleh menyeret seluruh koloni manusia, tapi nyatanya kebencian yang muncul telah menjadi bahan bakar yang besar, seperti kayu bakar pada perapian, semakin besar kamu menaruh kayu di perapian tersebut maka semakin besar api yang tercipta, dan tragedi ini merupakan pemicu dari kebakaran besar yang akan terjadi.”
Aku perlahan memahami konsep konflik dari apa yang ibu ceritakan, bahwa kebencian dari omongan mulut ke mulut nyatanya lebih mengerikan dari apa yang kita kira. Saat itu ibu membalikan lembar, dan terlihat awan yang terbelah juga lekukan partitur yang keluar dari atas langit.
“Tapi ketika mereka bertatap muka, suku gurun pasir Beastman, dan koloni manusia, awan mendung kelabu yang sebelumnya menutupi langit terbelah menjadi dua. Suara sayup melantun, seruling, gendang, dan nyanyian dari mulut malaikat.’
Ibu membalikan kembali lembarnya, dan terlihat malaikat-malaikat yang turun. Mereka persis sekali dengan malaikat bisu, rambut yang pirang, gaun putih, dan sayap mereka yang putih terang. Apakah jika malaikat bisu memiliki lidah, maka dia akan bernyanyi dengan merdu? Pada gambar itu juga, manusia dan beastman terlihat menjatuhkan senjata mereka, dan menatap ke atas langit dengan mulut mereka yang terbuka.
“Mereka terhipnotis oleh kedamaian yang diciptakan malaikat, kecantikan mereka, lalu lantunan lagu yang mereka mainkan membuat jiwa mereka bergejolak. Mereka menari, membuang senjata mereka untuk dijadikan api unggun ditemani malam sinar cantik rembulan selalu menemani mereka, lalu mereka akhirnya menari bersama selama 7 hari penuh bersama para malaikat.”
Tujuh hari? Mereka pasti sangat kelelahan.
“Lalu mereka sadar oleh euforia itu, sadar bahwa mereka telah bergandengan tangan, tertawa bersama menikmati lagu tersebut, dan mereka tahu, bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka. Lagu telah menjadi bahasa universal yang mereka mengerti bahwa tidak ada satupun yang berbeda dari jiwa mereka selain bentuk yang berbeda, tanduk dan kaki mereka, sesuatu yang telah melekat dari lahir, dan itu bukanlah suatu hal yang penting sama sekali.”
“Lalu mereka berdamai?”
“Ya. Cerita ini tersebar dan mengubah seluruh pemikiran Beastman soal manusia dan mengawali awal baru bagi sejarah benua ini. Istana, gereja-gereja yang kini dibangun di ibukota, lalu monumen-monumen yang telah tercipta, hampir segalanya adalah bekas masa kejayaan tersebut. Ukiran-ukiran manusia dan beastman, banyaknya lagu-lagu yang menyerupai Simfoni Cahaya Bulan dibuat, menjadikan peradaban spritual, ekonomi, literatur, dan seni menjadikan benua Isuka atau yang beastman sebut dengan Bhumi masuk pada masa keemasannya, yaitu apa yang kita sebut utopia di muka bumi.”
Keharmonisan, utopia, betapa bahagianya? Mengapa kedamaian seribu tahun ini bisa sirna begitu saja? Ibu kembali membalikan lembarannya. Kini kosong, dan hanya dipenuhi dengan tulisan.
“Dengan banyaknya perkembangan dari berbagai hal, filosofi dan ideologi baru juga bermunculan, dan bertabrakannya kaum-kaum dengan ideologi mereka menyebabkan perpecahan. Kerajaan Beastman disebut tidak lagi ideal, kepercayaan buta atas nabi harus disirnakan, dan manusia setidaknya harus memiliki peranan besar karena perlahan kita, manusia, menjadi mayoritas dari struktur masyarakat. Tentu pikiran radikal ini minoritas, tapi suara mereka begitu vokal hingga muncul kebencian-kebencian dari sturuktur masyarakat, terutama masyarakat Beastman yang menyamakan pemikiran minoritas tersebut dengan pandangan mereka terhadap seluruh umat manusia.”
“Tapi bukankah hal itu baik? Maksudku, manusia juga memiliki hak yang sama bukan selama 1000 tahun lamanya, mereka tidak bisa dianggap sebagai pengungsi lagi..”
“Pada tahun itu Manusia sendiri sedikit demi sedikit sudah mulai ikut campur dalam pemerintahan, tapi yang kontroversial adalah saat manusia ingin menjatuhkan kerajaan demi mendapatkan bagian dari kekuasaan. Hal ini bahkan didukung oleh beberapa fraksi Beastman sendiri. Sama dengan membuang budaya mereka untuk sesuatu yang baru, kudeta terjadi ketika politik tidak stabil akibat pergantian raja dengan anak raja yang dianggap tidak kompeten, dan sistem baru dibuat. Manusia akhirnya memiliki tempat di kerajaan.”
“Kudeta.. itu kata yang tidak baik bukan?”
“Tentu saja, hal ini membuat beberapa konflik pembrontakan dari para pecinta raja dan nabi yang kini diasingkan. Konflik kecil diciptakan oleh para pembrontak, namun konflik sesungguhnya dimulai ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap para pembrontak yang mayoritas merupakan ras Beastman. Hal ini kontroversial, dan fraksi dari beastman yang berada di pemerintahan kemudian mengalami tuduhan memimpin pembrontakan, dan dihukum mati. Beastman seketika hilang dari kursi kekuasaan, dan hal ini menciptakan tindakan revolusi besar-besaran dari seluruh struktur masyarakat beastman yang bersatu melawan manusia.”
“Jadi.. kini bukan lagi kebencian motifnya?”
“Tidak, semua ini adalah murni politik, dan Beastman banyak melakukan kesalahan fatal. Lalu seperti yang selalu kau baca Racke, Manusia menang dan berhasil menyingkirkan Beastman.”
Ibu benar-benar menceritakan cerita yang tidak akan mampu kucerna dengan baik-baik setelah mendengarnya, apalagi karena hampir semuanya bertabrakan dengan apa yang buku sejarah ceritakan.
“Lalu ukiran mereka kita hilangkan, lembar-lembar sejarah kita ganti, orang tua diharuskan menceritakan kisah versi mereka pada anaknya bahwa Beastman adalah mahluk tidak bertuhan, tidak beradab, tidak bermoral, dan bar-bar. Kita singkirkan mereka untuk mati di gurun tersebut, atau setidaknya tidak akan berkembang lebih dari ini. Manusia melangkah pada sejarah versi pemenang, dan Beastman kemudian menjelma menjadi monster dongeng yang menyeramkan. Kau menyukai versi yang mana Racke?”
Ibu menatapku tajam. Pertanyaan tersebut jelas-jelas mencoba membuatku bertegas diri untuk menentukan sejarah versi mana yang harus kupercayai. Pada sisi lain dengan sejarah versi ibu, maka hampir seluruh cerita petualangan mengalahkan Beastman menjadi tidak lagi valid, kecuali sama dengan manusia membunuh manusia, yang menurutku cukup ironis.Tapi jelas, cerita ibu mungkin lebih masuk akal, dengan demikian juga presepsiku soal tanduk di kepalaku ini tidak lagi buruk

Lalu mengapa ibu tidak ingin menceritakannya menjadi misteri tersendiri.. Apa aku langsung bertanya saja yah?

“Simfoni Cahaya Bulan juga lambat laun dilupakan, takut bahwa momen terakhir yaitu kontak tuhan ke manusia akan membawa perasaan nostalgia atas tahun-tahun kedamaian akan membuka tabir ironi manusia terhadap beastman.”

Perasaan nostalgia! Ketika ibu menyiulkannya aku ingat benar rasanya ingatanku seperti kembali, entah, padahal umurku sekarang jelas-jelas tidak memiliki ingatan yang akan membuatku rindu. Tapi suara siul ibu adalah sensasi yang berbeda, persis sekali dengan arti kata nostalgia itu sendiri.

“Apakah yang ibu siulkan tadi adalah Simfoni Cahaya Bulan?.”

“Ya, hanya beberapa bait. Ibu diajarkan oleh nenekmu Racke.. dan..kau tahu kenapa aku menceritakan ini padamu?”

Aku menggelengkan kepalaku. Tentu, ibu akhirnya menceritakanku soal Beastman, tapi soal simfoni cahaya bulan dan sejarah lengkapnya, adalah cerita yang panjang dan berliku. Aku yakin ibu bisa memendekannya menjadi satu paragraf penuh, tapi dia tidak melakukannya.

“Karena.. oh Racke..”

Ibu tiba-tiba memelukku, mendekapku dalam dadanya.

“Aku ingin kau tahu..”

Suara ibu bergetar, dan tangan ibu juga.

“Aku ingin kau tidak membenci dirimu..”

Lalu perasaan ibu seakan merasap juga kedalam dadaku. Sesak, dan memaksa air mataku keluar.

“Maafkan ibumu ini.. karena.. oh tuhan..”

“Kenapa ibu?”

“Karena aku.. sempat membencimu, oh anakku sayang..”


***
Malam itu ibu membiarkanku tidur di kamarnya. Dia terus-terusan mengalirkan air matanya selagi tidur bersamaku. Aku juga menangis, tapi entah mengapa, saat itu juga setelah ibu meminta maaf, aku otomatis sudah memaafkan ibu. Mungkin bukan pilihanku juga, dan jelas ini salah tuhan, tapi hidup ibu pasti berubah sangat drastis ketika melahirkan diriku.

Mendengar ibu sempat membenci diriku, tentunya aku ingin marah, tapi ibu menyuruhku untuk tidak membenci diriku sendiri.
Pada hari itu ketika jendela terbuka dan seorang gadis melihatku, aku tahu bahwa lariku menuju kasur, dan ledakan tangisku adalah tanda kebencian pada diriku sendiri. Aku yang mereka sebut monster, beastman, membuatku terlena dalam kebencian tidak berarti terhadap diriku sendiri dan kini setelah mendengar cerita itu, aku tidak lagi membenci apa yang kini melekat dalam diriku. Seperti bagaimana ibu menceritakan bagaimana simfoni cahaya bulan menyadarkan mereka semua, jiwaku tidak berbeda dengan mereka, dan penilaian mereka terhadapku tidak berarti apa-apa terhadap hatiku yang kini telah yakin.
“…”
Saat aku berpikir sekarang, ayam telah berkokok. Ibu bangun, tidak lagi mandi dengan air yang membekukan tulangnya. Matanya sembab, dengan lemas memakai bajunya, gaun hitam, tentu bukan baju untuk bekerja, dan bahkan aku belum pernah melihat ibu memakainya.
“Kau sudah bangun?”
Ibu mendekatiku, mencium dahiku.
“Racke..”
Matanya khawatir, dan aku kini menjadi takut. Apa yang sebenarnya terjadi bu? Mengapa kau memandangiku seperti itu..
“Jika ibu tidak kembali sampai sore..”
“Ibu, apa maksud ibu? Ibu mau bekerja lembur?”
Tentu bukan itu, tapi aku ingin sekali dia menjawab ‘iya’ atau ‘benar’. Tapi dia menggelengkan kepalanya, dan hatiku rasanya hancur. Suatu hal yang buruk akan terjadi pada ibu..
“Aku ingin kau tahu bahwa ibu berbuat kesalahan kemarin.. dan ibu harus bertanggung jawab.”
Tidak..tidak..
“Aku juga ibu! Kau tahu, seseorang melihatku di jendela. Kau bilang sendiri bukan bahwa aku dilarang melihat jendela di dekat pintu!”
Dia tersenyum, tanda bahwa dia telah tahu. Oh tuhan, apakah kesalahan yang ibu maksud adalah aku? Aku yang melihat lewat jendela? Bahwa ibu tidak bisa menjaga perlakuan anaknya untuk tidak dilihat oleh anak lain?!
“Aku bisa melihat dari matamu bahwa kau merasa bersalah. Tidak Racke, ini murni adalah kesalahan ibu seluruhnya, dan tidak ada kaitannya dengan dirimu. Begini..”
Ibu memberikan kunci padaku, kunci cadangan yang tak pernah ia tinggalkan. Saat itu terdengar suara katukan pintu, dan suara ramai diluar.
“Nona Lenard! Cepat keluar!!”
Aku langsung menarik lengan ibu, mataku melotot menatap mata ibu, hatiku berdebar-debar, aku merasa bahwa jika ibu melangkah keluar maka dia tidak akan kembali.
“Maafkan aku ibu, karena aku.. karena aku..”
Ibu saat itu memelukku, erat.. erat sekali. Dia juga menangis saat itu, tapi dia bisa mengucapkannya dengan jelas, membisikannya ketelingaku :
“Ibu akan baik-baik saja, ibu berjanji soal itu. Malam ini kita makan sup ikan lagi, yah? Kali ini ibu juga akan makan dua mangkuk, tidak lagi sesuap.”
“Tidak ibu..”
Aku tetap tidak percaya, walau dia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh aku tetap tidak percaya. Aku tidak ingin ibu melepaskan pelukannya, aku ingin momen ini berlangsung lebih lama, hingga kerumunan itu berhenti meneriakan ibu dan pergi begitu saja.
Tapi tidak.
Ibu melepaskan pelukanku, dan pergi melewati pintu tersebut.
Lalu aku yang begitu saja melepaskan pelukanku, seakan baru saja merelakan ibu pergi, dan rasanya hatiku pecah berkeping-keping. Aku berteriak dalam tangisku saat itu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar