Sabtu, 16 April 2016

Vandalisme di Wajah Rini (Bagian 1)

Bau alkohol yang khas, ruangan yang serba putih, gorden hijau yang menutupi jendela menyisakan cahaya sore yang sedikit, disebelahnya terdapat suatu televisi kecil yang membentuk garis naik turun berbunyi dengan ritme yang stabil. Rini sadar dia telah terbangun di rumah sakit setelah mimpi lamanya, dan ingatan terakhirnya adalah dirinya yang terpeleset dari tangga ketika ingin segera menonton sinetron koreanya di tv. Suster yang masuk terngaga melihat Rini, ia jatuhkan papan tulis yang berisikan laporan pasien dan berlari menuju ruang dokter. Sang dokter yang berada di meja kerjanya saat itu melepas nafas lega, perasaan senangnya bahwa tidak ada yang salah dari operasi yang ia jalani kemarin. Ia segera memberitahukan lewat telpon kepada orang tua Rini yang sedang bekerja bahwa anaknya telah siuman.

Dokter segera masuk ke kamar dan memeriksa denyut nadi dan pupil mata Rini, normal katanya. Saat itu Rini bertanya apa yang terjadi, dan dokter menjelaskan secara singkat bahwa Rini telah koma 3 hari ini, ia jatuh dan mengalami gegar otak. Menurut pengetahuan orang tua, Rini katanya sempat bangun kembali, namun segera pingsan kembali. Sampai dirumah sakit, keterangan tersebut menandakan gegar otak yang berat dan harus segera dilaksanakan operasi. Setelah operasi untuk menghentikan pendarahan, kondisi Rini telah baikan namun kesadaran yang tak kunjung pulih membuat sang dokter khawatir bahwa terdapat efek samping dari operasi atau benturan, syukur dia tidak melihat hal yang seperti itu.

Saat itu Rini yang menyadari dirinya jatuh dari tangga dengan panik segera menyuruh suster mengambilkan kaca. Bagaimana mukanya? Bonyokkah? Ada yang terlukakah kulitnya? Suster dan dokter yang melihat tingkah Rini langsung tertawa, berkata bahwa dari segala hal yang dialaminya malah Rini mengkhawatirkan wajahnya. Selagi dokter izin keluar untuk melihat keadaan pasien lainnya, sang suster segera membawakan Rini kaca, dia bilang Rini tetap cantik, tanpa cacat.

Tapi ketika kaca itu berhadapan dengannya, Rini langsung berteriak kencang. Sang dokter yang sudah ingin keluar segera berbalik menuju Rini. Ada apa katanya? Suster juga panik melihat Rini tak henti-hentinya berteriak menatap wajahnya. Orang-orang di lorong segera melihat ramai di kamar itu, orang yang berada di sebelahnya juga, orang tua Rini yang saat itu berada di lorong segera berlari panik menuju kamar anaknya yang dikerumuni orang-orang.

Rini melihat wajahnya telah hitam, hitam seperti sebuah papan tulis. Dan saat itu muncul perlahan kata-kata yang menempel pada wajahnya, tulisan kapur putih.

Jelek.

Menyusahkan,

Narsis.

Rini melempar kaca itu hingga pecah.

***

Beberapa hari kemudian setelah Rini sudah bebas rawat, ia segera diperiksa di ruang CT Scan, menjalani MRI, EEG, dan berbagai nama pemeriksaan otak lainnya yang Rini juga orang tuanya sendiri tidak mengerti arti ataupun kepanjangan dari serangkaian pemeriksaan itu, namun kata dokter tidak ditemukan kejanggalan apapun dalam otaknya, kadar hormonnya pun diperkirakan normal. Akhirnya sang dokter yang mengurusi Rini menganjurkan Rini diperiksa oleh seorang psikiatris kenalannya sebagai hipotesisnya mengenai kondisi paska trauma operasi, dan tentu orang tua Rini tidak setuju. Psikiatris seringkali dikaitkan dengan penyakit jiwa, dan mereka menolak bahwa anaknya Rini adalah seorang sakit jiwa. Tapi keputusan ada ditangan Rini, dan Rini menyetujuinya. Dia tidak peduli apa yang terjadi, dia ingin normal, dan ia tidak tahan untuk tidak bisa melihat wajahnya sendiri, dan tulisan-tulisan buruk yang menempel pada wajahnya benar-benar menganggu batinnya, ia tidak mengerti kenapa tulisan itu bisa muncul.

Rinipun akhirnya datang menemui psikiatris tersebut pulang sekolah. Ruangannya seperti bayangan Rini di film-film, sebuah kursi panjang yang mampu dipakai untuk bersender, pencahayaan yang redup tapi nyaman, bebauan aromaterapi, dan banyak sekali lemari buku dengan isi yang tidak Rini mengerti, bahasanya jelas bukan bahasa indonesia, bahkan bukan bahasa inggris.

Lalu muncul psikiatris tersebut, seorang wanita setengah baya dengan baju jas hitamnya. Rambutnya terurai sebahu diwarnai coklat. Dia terlihat pintar dengan kacamatanya frame tipisnya, dan kini sedang mengutak-ngatik file Rini, file dari sang dokter mengenai treatment dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada Rini. Sang psikiatris yang telah memahami isi file segera menaruhnya di meja, dan duduk berhadapan dengan Rini. Psikiatris itu awalnya langsung memperkenalkan diri, Nina katanya, dan setelah mereka saling berkenalan, Rini memperbolehkan sang psikiatris memanggilnya dengan awalan ‘Dek’ biar akrab. Mereka saling berbasa-basi, dan beberapa saat kemudian sang dokter akhirnya memulai pembicaraan sesungguhnya, dia bertanya mengenai keadaan Rini dan Rini menjawab seadanya.

“Jadi dek Rini tidak mampu melihat wajah dek Rini sendiri, bahkan sampai di foto-foto? Terlihat tulisan aneh yang segera menempel di wajah dek Rini, seperti saja, ‘menyusahkan’ seperti itu?”

Rini mengangguk.

“Tak adakah kejadian spesifik bagaimana tulisan-tulisan itu muncul?”

Rini mulai mengingat, dan ingatan itu kembali ketika ia pergi ke sekolah setelah kesembuhannya. Ketika itu dia memutuskan untuk tidak mempedulikan sesuatu yang abnormal ini, dan memutuskan untuk pergi ke sekolah setelah dikatakan bebas rawat.

***

Rini duduk dihadapan ibunya yang mencoba meriasnya. Sang ibu sesungguhnya tidak tahu bagaimana biasanya Rini menghias wajahnya, tapi Rini bersikeras untuk didandani. Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri di kaca, atau lebihnya lagi ia tidak tahan. Sang ibu memakai alat-alat yang diberikan, membedakinya, menguncirnya, memberikan apa yang Rini katakan sebagai eyeshadow pada matanya. Sang ibu ingat ketika kecil ia tidak pernah seperti anaknya ini yang begitu peduli pada penampilannya. Pada zamannya, penampilan macam anaknya ini pasti sudah dikatai.. Ah, bagaimana seorang ibu bisa berpikir demikian pada anaknya? Pikir sang ibu.

Ketika itu Rini segera bertanya pada sang ibu apakah dirinya sudah cantik? Sudah katanya, tapi sang ibu tidak yakin apakah gaya meriasnya persis seperti anaknya yang berbeda generasi ini, dan dia hanya bisa bilang betapa cantik anaknya seperti ibunya dulu. Rini tersenyum pahit, ia tidak pernah melihat ibunya sebagai sosok cantik. Tak pakai kerudung? Kata ibu. Tidak usah, tidak ada pelajaran agama, kata Rini.

Rini saat itu segera berangkat dengan rambu terurainya, dan namanya kebiasaan, menuju ke arah pintu keluar dia langsung mengecek wajahnya di kaca pajangan yang dekat dengan ruang tamu, dan ada tulisan baru dijidatnya.

Lonte.

Rini kaget, sejak kapan tulisan itu ada disana? Rini mengabaikan tulisan itu, dia tidak seharusnya melihat kaca, dan segera pergi menuju sekolahnya, dijemput pacarnya Lucky dengan motor ninja hijaunya.

***

Rini masuk dalam kelasnya, dan kawan-kawan segengnya segera berlari menyambutnya. Sang laki yang mengantar sampai depan pintu segera mencium pipi Rini sebelum kembali ke kelasnya membuat Rini malu dihadapan teman-temannya yang mensuit-suit dirinya. Ketika Rini sudah duduk di meja dan meletakan tasnya, kawan-kawannya itu segera berkumpul mengerumuninya, bertanya-tanya mengenai apa yang sebenernya terjadi. Jatuh dari tangga? Kok bisa, sedang mau nonton korea? Operasi? Koma 3 hari? Maaf tidak menjenguk, sibuk mau UN. Setelah itu pembicaraan kembali ke topik biasa, soal sinetron korea yang Rini sempat tertinggal 3 episode, toko es krim yang baru saja dibuka, bicara soal laki, dan harus ditunda pembicaraan ini karena guru masuk, si walikelas, dan melihat Rini, walikelas segera mengucapkan selamat bahwa Rini telah kembali.

Rasanya hari berlangsung baik-baik saja, walikelas berusaha untuk tidak menunjuk Rini kedepan ketika terdapat kegiatan tunjuk menunjuk, dan seringkali wali kelas menunjuk Rini untuk pertunjukan bagaimana siswa yang tidak belajar dipermalukan. Sang walikelas mencoba menahan diri. Rini saat itu sudah mulai lupa tentang kondisinya, sampai ia tiba-tiba ingin kebelakang. Rini minta izin, dan minta ditemani teman sebelahnya Iis. Ketika Rini memasuki WC, tak sengaja ia menegok ke kiri dan spontan ia berteriak. Iis yang berada di luar segera masuk, melihat Rini telah terjatuh di lantai sambil menunjuk ke kaca.

“Kamu kenapa Rin?”

“Siapa itu Is?

Iis tidak melihat sesuatu, dan Rini berdiri melihat kaca itu kembali.

Disitu terdapat sosoknya dengan gores-gores kapur yang menggerogoti wajahnya, tulisan itu begitu mengerikan, suatu kapur yang seakan ditekan keras hingga tergores kasar di papan hitam wajahnya itu. Jelek, Lacur, Goblok, Telmi, Ceroboh, Kafir, dan lain-lain. Tulisan itu bukan saja menggerogoti wajahnya, tapi hingga leher ke dada seakan tidak cukup wajah itu menjadi tempat cemooh. Iis bilang bahwa Rini pasti kelelahan karena operasi di kepalanya, dan ketika itu Rini melihat langsung telah muncul tulisan baru di dadanya itu, Sinting.

***

Rini menjelaskan pada psikiatris itu mengenai keadaannya saat itu, bagaimana tulisan itu mendadak memenuhi seluruh badannya ketika memasuki kelas. Psikiatris itu bertanya, bisa hilangkah tulisan itu? Ya, dan tidak. Rini telah 3 hari ini pergi ke sekolah, dan tulisan itu setelah tidur akan menghilang beberapa, tapi akan terisi lagi memenuhi badannya ketika memasuki kelas, dan kadang beberapa tulisan seperti goblok, dan narsis terlihat selalu melekat pada dahinya.

“Aku ingin kau besok kembali kesini, tapi dek Rini, kamu ingin tahu pendapatku mengenai keadaanmu itu?”

Rini mengangguk. Sang psikiatris segera menyilangkan kakinya, membuat dirinya nyaman sebelum menjelaskan kepada Rini, mencoba menjelaskan seringan mungkin hingga orang yang dihadapannya ini mampu memahami isi penjelasannya. Singkatnya, ia bilang bahwa tulisan itu adalah pikiran orang terhadapnya, walau tidak demikian tepat, sesungguhnya semua itu adalah hasil dari interpetasi alam bawah sadar Rini sendiri terhadap presepsi orang kepada dirinya. Rini berkata bahwa dia masih belum paham, tapi ia paham sedikit soal kalimat pertamanya,dan sang psikiatris menganggap bahwa Rini punya kecerdasan dibawah rata-rata.

***

Rini tidak memahami definisi dari interpetasi alam bawah sadar, bahkan dia tidak tahu arti dari kata ‘interpetasi’, apalagi ‘alam bawah sadar’, bukankah itu yang sering diucapkan para pelaku hipnotis di televisi? Tapi ia jelas tahu bahwa apa yang tertulis di tubuhnya adalah tanggapan orang padanya, dan menyadari itu, seakan penuh kemarahan dalam hatinya. Siapa? Siapa yang berkata demikian? Kenapa kalian mengumpat dibelakangku? Pikir Rini.

Rini akhirnya memutuskan untuk mengetahui siapa yang berpikiran buruk padanya, seorang kawan tidak mungkin melakukan ini padanya. Kalau tidak salah dari novel teenlit yang dibacanya, bukannya sebuah persahabatan seharusnya merupakan tanpa syarat, jujur, terbuka, dan pastinya, tidak akan berpikir yang tidak-tidak pada temannya. Terutama Rini sendiri tidak pernah berpikiran buruk mengenai temannya seperti Iis, dan ketika ia berpikir seperti itu sesuatu mengganjal hatinya. Benarkah begitu? Ya, pasti begitu!

Rini kembali ke meja makan. Sang ayah dan sang ibu sudah berada disana, mereka makan dengan tenang-tenang saja. Sang ayah bercerita mengenai susah kerjanya, sang ibu diam memperhatikan TV, Rini fokus pada hapenya, sang ayah terdiam. Sang Ibu menanyakan kondisi Rini, dan Rini bilang biasa saja dengan wajah datar menatap layar hapenya. Sang ibu tahu bahwa Rini berbohong, tapi akhirnya memutuskan untuk diam saja. Makan malam yang hambar ini memang terus berlansung setiap malamnya, tak ada satupun yang saling peduli satu sama lain, sampai tiba-tiba handphone Rini baterenya habis hingga terlihat refleksi wajahnya dari bening layarnya itu.

Anak tidak tahu diuntung.

Durhaka.

Pembohong.

Rini menengok pada orang tuanya, dan ia lihat wajah orang tuanya terlihat biasa, tenang-tenang saja memasukan makanan ke dalam mulutnya dan Rini terlihat begitu kesal hingga ia dobrak meja itu, membuat sang ayah memuncratkan makanannya ke sang istri karena kaget.

“Hei! Ada apa Rini?” Sang ayah berteriak sambil mengelap makanan yang tercecer diwajah istrinya yang kini merasa kehilangan nafsu makannya, sedikit ingin muntah.

“Bapak atau Ibu, kalau kesal bilang saja ke Rini!”

Mereka kebingungan, sang suami menengok ke istrinya, sang istri menggeleng-geleng tidak mengerti. Mungkin lagi ‘mens’ pikir ayah, dan sang ibu pikir memang anaknya ini sedang ada masalah. Rini yang tahu ayah ibunya membisu akan kemarahannya segera mangkir dari meja dan masuk ke kamarnya. Sang ayah segera mengikutinya dan mengetuk kencang, ada apa? Kenapa kamu marah dengan kami? Hei!

Rini hanya terdiam menangis.

Bahkan orangtuanya sendiri menilai dia yang buruk-buruk, anak mereka sendiri, anak satu-satunya. Lalu apa kasih sayang yang murni dari orang tua terhadap anak itu hanya bohong belaka? Rini ingat saat itu, habis ibu meriasnya terdapat tulisan ‘lonte’ dijidatnya, Rini segera membekap wajahnya dengan bantal sambil berteriak kesal.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar