Minggu, 19 November 2017

When Void Scream Back At You: Prolog

PROLOG: KENDARAAN MALAM

Uli Nurjanah merasakan merinding tepat di bulu kuduk lehernya. Ia merasai dirinya seperti sedang diperhatikan di tengah gelap bis malam, dan sesekali ia mencoba melirik, pandang tersebut tiba-tiba saja menjadi lenyap dan seketika muncul lagi ketika Uli mulai memandang lurus.

Apa ini hanya perasaannya belaka? Atau memang terdapat sesuatu yang sedang mengintainya? Pikir Uli.
Ini sudah ke dua kalinya Uli harus menggunakan bis, dan dia tidak pernah merasa nyaman dengan kendaraan yang satu ini, entah mengapa sepertinya rentan sekali modus kejahatan terjadi di bis. Hari ini harusnya dirinya tengah duduk di kereta gerbong bisnis menuju Purwokerto dari stasiun Pasar Senen, akan tetapi dia tidak mengira kereta Commuter Line akan tertahan di Jatinegara selama 30 menit lamanya dan membuat dirinya terlambat. Celakanya dia harus melakukan seminar di kampusnya esok hari, sehingga keterlambatannya terasa begitu tolol dalam benak Uli. Terpaksa dia harus naik salah satu bis dari jasa yang Uli tidak kenal, dan Uli menjadi begitu paranoid karenanya.
Kini Uli memeluk tasnya begitu erat, di dalamnya terdapat uang, oleh-oleh, dan laptop yang terdapat bahan-bahan penting di dalamnya. Sekali ia tertidur barangkali semuanya sudah lenyap, dan Uli tidak mau hal tersebut sampai terjadi.
Namun perasaan merinding ini belum ia sadari dari awal dirinya duduk di bis ini, tapi jauh setelah itu.
Pada saat itu bis memasuki rest area, dan Uli memutuskan untuk turun untuk ke kamar mandi, dan menyeduh mie gelas di kantin restroom. Namun pada saat dia memasuki bis, tiba-tiba ia perhatikan salah satu penumpang yang duduk di belakang sambil menggunakan tudung tengah mengambil gambarnya dengan diam-diam, flashlight keluar dari handphonenya yang segera ia sembunyikan dan berpura-pura tidak memperhatikan Uli. Setelah itu seakan perasaan was-was ini tak bisa lagi lepas dari perasaan Uli, seakan membekas, terukir dan menyiksa, Uli begitu ingin segera keluar dari bis ini, namun Purwokerto tak kunjung sampai di mata.
Lama kelamaan pikiran Uli menerawang jauh, seperti, mengapa orang tersebut merekam Uli? Kalau dia berniat mencuri barang berharganya tak perlukan dia harus merekam dirinya? Apa ia memiliki suatu niat tertentu lainnya, suatu niat jahat? Dan pikiran-pikiran tentang kejahatan muncul di benak Uli, pemerkosaan, human trafficking, dan berbagai kejahatan populer lainnya. Berpikir seperti itu, Uli merasa begitu mual dan ingin muntah.
“Maaf mbak? Sedang tidak enak badan yah? Pucat wajah mba.”
Seorang kakek-kakek di sebelahnya tiba-tiba menegur Uli.
“Ah, gak apa kok pak.”
“Mau antimo?”
Uli saat itu melihat bahwa kakek-kakek ini memiliki suatu niat baik, sehingga ia ceritakan bahwa dirinya merasa tidak aman dan sang kakek mengangguk-ngangguk mendengar penjelasannya.
“Tukeran kursi sama kakek aja mau?”
“Ah, ya, terima kasih kek. Duh terima kasih banget…”
Dan seketika Uli berada di dekat jendela, segera perasaan sesuatu yang memandanginya itu terputus. Uli seakan bisa bernafas lega setelah lama dirinya tercekik dalam perasaannya sendiri.
Beberapa jam kemudian setelah itu bis berhenti di sekitaran wilayah Brebes, dan Uli perhatikan dari kegelapan, ternyata pria bertudung itu yang keluar dari bis. Dia tidak terlihat membawa tas atau membawa bawaan lainnya, dan pada saat itu semakin Uli merasa aman, pria yang sudah turun ini tidak mungkin melakukan sesuatu padanya, jelas dia telah salah sangka.
Namun tak lama, Uli tak sengaja bertatapan mata dengan pria tersebut ketika bis mulai memacu gasnya, dan dengan anehnya pria tersebut tersenyum melambai-lambaikan tangan ke arahnya dan menunjuk-nunjuk ke handphonenya yang bercahaya terang di antara gelap itu, Uli tidak tahu jelasnya, tapi sepertinya pria itu menunjukan suatu gambar yang bergerak, video.
Perasaan merinding seketika merambati perasaan Uli pada saat itu, tapi Uli tidak menemui alasan pria tersebut mampu menjadi ancaman bagi dirinya.
Dua jam setelah itu, segala beban Uli sirna. Sudah sampai bis pada pukul 3 pagi di terminal Purwokerto yang masih terlihat ramai dengan aktivitas manusia. Ketika turun, Uli segera disamperi oleh berbagai tukang ojek, namun yang paling getol saat itu adalah tukang Taxi yang memakai seragam kuning.
“Malem-malem gini taxi aja mbak, terus ini tarifnya dipotong setengah aja mbak.”
Uli akhirnya memilih menggunakan taxi karena dia sendiri agak mengantuk setelah sembilan jam perjalanan Uli memaksa dirinya terjaga dan kini takut terjadi apa-apa di jalan, lagipula biaya 15 ribu jika dipotong setengah tidak terlalu mahal.
Masuk ke dalam Taxi kursi belakang, Uli segera memperhatikan sesuatu yang janggal. Di kaca tertempel sebuah kamera yang menghadap ke kursi penumpang. Uli bertanya-tanya apakah armada taxi sekarang punya regulasi seperti ini?
“Itu kamera yah mas?”
“Iya mbak, buat keamanan, kemarin ada yang kena maling. Biar bisa langsung dilaporin.”
Tapi entah mengapa Uli masih merasa janggal. Kamera yang tertempel itu jelas adalah merek GoPro yang cukup mahal untuk armada kecil di kota seperti ini. Namun Uli segera menolak untuk berpikir yang aneh-aneh, berpikir bahwa paranoidnya dikarenakan pengalaman di bis malam barusan.
Tak lama mobil keluar dari terminal, mata Uli sudah mulai tertutup dan terbuka, AC di Taxi ini entah mengapa terasa begitu nyaman, sampai si supir taxi mengajak Uli berbicara, “Mbak tahu gak kemarin ada cerita heboh.”
“Apa bang?”
“Yah, kayak mbak, ada anak gadis mahasiswa keluar dari terminal udah pagi banget. Dia naik ojek tuh, dan ojeknya kenceng banget karena udah malem juga kali yah mbak. Nah, lucunya tuh ojek gak pake jalan umum, tapi pake jalan sepi, yang banyak sawah-sawah, dan si penumpang udah mulai khawatir tuh mbak.”
Uli sadar si supir taxi sedang menceritakan kisah buruk, dan karenanya Uli kembali merasakan perasaan tidak enak dalam hatinya. Walau begitu, entah mengapa Uli tidak segera berusaha menghentikan cerita si supir taxi, dia masih merasa ingin terjaga dari tidurnya.
“Nah, si penumpang teriak nanya kenapa lewat jalan ini, malah si tukang ojek diem aja tuh mbak. Karena makin ke tempat sepi, si penumpang minta berhenti, dan lucunya abangnya malah makin ngebut. Dan di situ, si penumpang yang liat ada semak-semak lebat segera loncat dari motornya. Luka-luka tuh penumpang, segera dia merayap walau kakinya barangkali patah, teriak minta tolong, tapi di sawah udah banyak orang nunggu itu penumpang, entah mau diapain mbaknya.”
Mendengar ucapan si supir taxi, Uli sedikit melirik ke luar jendela, dan entah mengapa jalanan begitu asing, begitu gelap. Walau demikian, Uli memang tidak familiar dengan jalan menuju kosannya dari arah Terminal.
“…”
Pada saat itu sang supir taxi entah mengapa berhenti menceritakan kisahnya, Uli akhirnya mencoba berbicara kepada abangnya mengenai kelanjutan ceritanya yang belum tuntas.
“Terus bisa lolos penumpangnya pak?”
“Enggak, hilang sampai sekarang.”
“Pelakunya ketemu?”
“Yah, korbannya aja belum ketemu, gimana pelakunya mbak?”
Pada saat itu Uli merasakan perasaan yang begitu janggal setelah mendengar penjelasan sang supir taxi tersebut.
“Lah, terus gimana abang tahu ceritanya?”
“Yah tahu aja.”
Mendengar itu Uli segera melihat kaca spion abangnya, dan terlihat abangnya menunjukan ekspresi datar, dia tidak terlihat sedang bercanda. Pandangan Uli juga pada saat itu segera mengarah pada kartu identitas supir, Nurhadi, tahun, dan lainnya, namun tidak terdapat foto dari tempat seharusnya, seakan foto tersebut sudah disobek dari tempatnya.
Keresahan Uli lalu menjadi-jadi, dia akhirnya bertanya dengan perasaan pasrah.
“Bang kita di mana yah?”
“Yah ke kosan mba.”
“Kok saya gak pernah liat tempat ini.”
“Masa sih mbak? Ini kita udah masuk jalan besar loh mbak.”
Uli perhatikan baik-baik, dan, ya ini memang jalan besar, tapi mengapa begitu asing? Uli bukan mahasiswa baru, dia sudah 4 tahun tinggal di kota ini, setidaknya dia sudah sering jalan-jalan bersama temannya keliling kota ini.
Akhirnya Uli segera membuka handphonenya, dan ia buka google mapnya. Pada saat itu taxi berhenti tepat pada lampu merah di tengah jalanan yang begitu sepi.
Sinyal handphonenya tak kunjung menunjukan 4G, dan di handphone Uli hanya tersisa kuota dari jaringan tersebut. Uli segera menepuk-nepuk sinyal yang naik turun, dan ia lihat di kaca spion, si supir taxi memperhatikannya.
“Mbak takut sama cerita saya tadi yah?”
Uli tidak menjawab, ia fokus melihat handphonenya dengan keringat dingin yang perlahan keluar dari dahinya. Dan ketika sinyal akhirnya menunjukan jaringan 4G, google map segera menunjukan lokasi di mana Uli berada.
Pada saat itu Uli tersadar, Taxi ini sedang tidak menuju kosannya.
Tok, tok, tok!
Seseorang mengetuk kaca di pintu belakang dengan kencang, dan ketika Uli menengok, ia melihat seseorang menggunakan topeng kambing dengan kamera di tangannya, mengeluarkan suara napas yang begitu kencang hingga terdengar dari sisi dalam kaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar