Minggu, 17 Agustus 2025

Panik

Seorang yang saya kenal berteriak tepat di depan wajah saya sembari menjambaki rambutnya. Ia sendiri tidak benar-benar paham apa yang ia teriakkan. Jantungnya berdebar kencang, kepalanya terasa seperti dipukul benda tumpul, dan perasaannya kacau balau.

Sehari-hari hidupnya berjalan sama: bangun, mandi, berangkat kerja, berdesakan di kereta, pulang, kembali berdesakan di kereta, lalu tidur. Esoknya bangun, mengulang rutinitas itu lagi. Di akhir pekan, ia lebih banyak tidur untuk melepas letih. Sesekali menatap layar ponselnya, melihat reels dan story teman-temannya yang tampak bergembira.

Malam menjelang Senin, kami sempat mengobrol tentang hal-hal remeh, hingga tiba-tiba ledakan itu muncul.

Ketika saya tanya, ia hanya menjawab, “Gak tahu aku…”

Napasnya tersengal, tubuhnya rebah seakan sulit bernapas. Saya bingung harus berbuat apa — apakah perlu membawanya ke klinik, ke UGD? Ia menolak. “Biarkan… nanti reda sendiri,” katanya.

Lalu ia bercerita. Katanya, ia tidak bisa melihat masa depan. Di dalam dirinya ada kehampaan besar, perasaan bahwa dunia ini tidak menginginkan keberadaannya. Ia pernah ditolak di tempat-tempat yang menyimpan mimpinya. Kini ia bekerja di sebuah tempat yang bisa dimasuki siapa saja, hanya demi bertahan hidup. Tapi bertahan… untuk apa?

Hobinya pun seakan menguap. Ia bahkan lupa apa hobinya. Menonton film tidak lagi menyenangkan. Menulis, tak sanggup ia susun lebih dari dua kalimat. Hubungan antar manusia pun sama: renggang, jauh, seakan tidak ada pegangan. Teman-temannya sibuk dengan hidup masing-masing, begitu juga dirinya. Percintaan pun kandas, selalu jatuh ke dalam kedangkalan — karena ia tidak mampu mencintai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa mencintai orang lain?

Ia berkata pernah bermimpi sudah mati. Ada kesedihan singkat, hanya sebatas kenangan dalam obrolan. Lalu hidup berjalan kembali, seperti biasa. Kesibukan membuat orang-orang tak bisa lama-lama bersedih. Perlahan, kuburnya pun tak lagi dikunjungi. Lumut tumbuh, lalu kuburan lain menimpa. Ia dilupakan. “Begitulah nasib manusia di bumi,” ucapnya.

Kehampaan itu, katanya, seperti berada di ruang antariksa yang sunyi. Meski kami sedang bicara hal remeh, di dalam dirinya ia merasa terlempar ke ruang kosong itu. Panik, karena hidup baginya tidak punya arti apa-apa.

Ia merasa terjebak dalam keputusan-keputusan salah, yang menyeretnya ke rutinitas menyesakkan.

Ia lelah. Ia berteriak sekencang mungkin, mencoba keluar dari kekosongan itu. Rasanya seperti bangun dari tindihan: tubuh lelah, jiwa tak berdaya.

“Biarkan aku berbaring di lantai,” katanya lirih.

Saya hanya bisa diam. Mendengarkan. Tanpa komentar. Karena sungguh, saya tidak sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya terasing sedemikian rupa.

Jumat, 08 Agustus 2025

Pertanyaan Untuk Menikah

Memasuki usia 30, pemandangan teman-teman yang sudah menikah dan menggendong anak menjadi hal biasa. Saudara-saudara dekat pun begitu. Maka, tidak heran jika obrolan ringan dengan ibu saya kini kerap dibuka dengan satu kalimat andalan: "Mau kapan kamu menikah?"

Saya tak mendengarnya sebagai tekanan atau ancaman. Mungkin berbeda dengan sebagian orang seusia saya yang akan menanggapinya dengan sebal atau sinis, bagi saya pertanyaan itu lahir dari kasih sayang. Ibu ingin saya bahagia, sama seperti kebahagiaan yang ia temukan dulu hingga akhirnya melahirkan saya. Bahagia yang, bagi banyak orang, selaras dengan definisi umum: dianjurkan agama, terhindar dari gosip, punya teman hidup yang bisa diandalkan, menyambung garis keturunan. Mungkin juga, ada perasaan bahwa tugas orang tua belum tuntas sebelum anaknya menikah.

Justru dari pertanyaan itu, muncul pertanyaan balik di kepala saya: "Kenapa menikah?" Apakah menikah adalah jawaban dari rasa kekosongan yang dirasakan orang-orang? Apakah ia hanya lompatan hidup yang diambil karena umur, atau tekanan sosial?

Bagi saya, pernikahan tidak seharusnya menjadi tahap otomatis seperti lulus sekolah, kuliah, lalu bekerja. Ia bukan sekadar "check point" hidup yang wajib dilewati. Menikah adalah pilihan, dan pilihan itu sebaiknya lahir dari pemahaman yang matang, bukan sekadar mengikuti tradisi atau memenuhi ekspektasi.

Lalu, apa esensinya menikah? Apakah kita menikah karena takut kesepian di masa tua? Karena ingin disambut ketika pulang kerja? Karena ingin punya anak yang bisa dibanggakan? Atau karena merasa hidup akan lebih berarti jika ada seseorang di samping kita? Agar ada yang menemani dan merawat di hari tua?

Mungkin semuanya benar, dan setiap orang bebas mendefinisikan alasan itu sendiri. Tapi bagi saya, esensi menikah sederhana: menemukan seseorang yang pantas dicintai dan bisa mencintai saya kembali, dengan utuh. Bersamanya, saya ingin membangun rumah yang tidak hanya berdiri dari bata dan semen, tapi dari kedamaian dan kenyamanan. Sebuah tempat yang aman untuk menjadi diri sendiri, tumbuh, dan saling menyembuhkan.

Jika semua itu ada, maka menikah adalah keputusan untuk mengikatnya. Sebuah kesimpulan bahwa hubungan ini layak dijaga selamanya. Bahwa cinta tidak dibiarkan mengambang, tapi diberi bentuk, dalam janji.

Namun, justru karena itu, pernikahan tidak bisa dianggap enteng. Di dalamnya bukan hanya ada dua insan, tapi juga dua keluarga, dua latar belakang, dua sistem nilai yang kadang saling bertabrakan. Ada janji yang diucapkan, ada komitmen finansial, ada tanggung jawab yang jauh melampaui urusan membagi tagihan atau memilih warna sofa. Ada anak-anak yang mungkin lahir, membawa kebahagiaan sekaligus tantangan baru. Semua ini perlu dipikirkan sejak sebelum janji itu diucapkan.

Memahami itu membuat saya sadar: pernikahan yang bagi banyak orang terasa wajar bahkan wajib, sesungguhnya adalah lembaga kehidupan yang berat. Ia tidak boleh menjadi bentuk pelarian dari masalah pribadi, pelampiasan luka lama, atau proyek "healing" yang disangka akan selesai dengan mengucap ijab kabul. Pernikahan justru butuh mentalitas yang siap lelah, siap kecewa, dan tetap memilih bertahan. Siap menghadapi pertengkaran dan tidak buru-buru menyerah ketika rasa cinta meredup.

Ironisnya, di zaman serba instan, menikah sering terasa seperti keputusan kilat. Ada aplikasi, swipe kanan, ngobrol sebentar, bertemu sekali dua kali, lalu menikah. Banyak yang merasa cukup dengan kriteria: sudah kerja, sudah mapan, sama-sama ingin cepat menikah. Cocok! Tapi apa yang dimaksud "cocok" di sini? Sama-sama takut kesepian? Sama-sama khawatir umur bertambah dan tekanan keluarga membesar?

Yang saya khawatirkan adalah: bagaimana jika ternyata, setelah semua gegap gempita, ternyata tidak cocok? Bagaimana jika yang awalnya manis berubah jadi beban? Karena ketika sudah menikah, semua rasa sakit harus ditanggung bersama. Keluarga yang awalnya terasa menyatu bisa menjadi sumber tekanan, bahkan memperlihatkan retak di dalamnya. Sering kali, dua orang yang dulu saling jatuh cinta, kini saling menjatuhkan. Hubungan yang dulu terasa rumah, kini lebih mirip penjara.

Saya tidak ingin itu. Saya tidak ingin pernikahan menjadi penjara. Saya ingin ia menjadi taman.

Taman tidak tumbuh dari bibit yang dilempar sembarangan. Ia butuh tanah yang subur, perawatan, kesabaran, dan komitmen jangka panjang. Sama halnya dengan pernikahan. Ia tidak lahir dari kepanikan sosial karena umur, bukan dari sekadar menyenangkan orang tua, bukan dari rasa lelah hidup sendiri. Ia lahir dari kesiapan dua orang untuk saling merawat, bahkan ketika perasaan tidak lagi seindah awal.

Maka, ketika ibu kembali bertanya, saya tidak membalas dengan sinis. Saya hanya tersenyum kadang menjawabnya dengan canda. Namun, terkadang saya ingin berkata:

"Bu, saya juga ingin menikah. Tapi bukan karena umur, bukan karena takut sepi. Saya ingin menikah karena saya telah menemukan seseorang yang membuat saya yakin, hidup bersamanya adalah pilihan yang masuk akal, bahkan di hari-hari tersulit."

Saya tahu, saya belum sampai di sana. Tapi saya tidak berdiam diri. Saya sedang belajar memahami diri, mencintai hidup, dan membuka ruang bagi orang lain masuk dengan cara yang sehat. Saya sedang memupuk tanah itu, meski belum tahu kapan bibit akan saya tanam.

Karena saya percaya, pernikahan yang baik tidak lahir dari tergesa. Ia lahir dari keberanian untuk mencintai sepenuhnya, dan dari kedewasaan untuk menjaga cinta itu, meski dunia tak lagi semanis hari pertama kita jatuh hati. Dan seperti taman, ia hanya akan indah jika dirawat setiap hari, bersama-sama.