Seorang yang saya kenal berteriak tepat di depan wajah saya sembari menjambaki rambutnya. Ia sendiri tidak benar-benar paham apa yang ia teriakkan. Jantungnya berdebar kencang, kepalanya terasa seperti dipukul benda tumpul, dan perasaannya kacau balau.
Sehari-hari hidupnya berjalan sama: bangun, mandi, berangkat kerja, berdesakan di kereta, pulang, kembali berdesakan di kereta, lalu tidur. Esoknya bangun, mengulang rutinitas itu lagi. Di akhir pekan, ia lebih banyak tidur untuk melepas letih. Sesekali menatap layar ponselnya, melihat reels dan story teman-temannya yang tampak bergembira.
Malam menjelang Senin, kami sempat mengobrol tentang hal-hal remeh, hingga tiba-tiba ledakan itu muncul.
Ketika saya tanya, ia hanya menjawab, “Gak tahu aku…”
Napasnya tersengal, tubuhnya rebah seakan sulit bernapas. Saya bingung harus berbuat apa — apakah perlu membawanya ke klinik, ke UGD? Ia menolak. “Biarkan… nanti reda sendiri,” katanya.
Lalu ia bercerita. Katanya, ia tidak bisa melihat masa depan. Di dalam dirinya ada kehampaan besar, perasaan bahwa dunia ini tidak menginginkan keberadaannya. Ia pernah ditolak di tempat-tempat yang menyimpan mimpinya. Kini ia bekerja di sebuah tempat yang bisa dimasuki siapa saja, hanya demi bertahan hidup. Tapi bertahan… untuk apa?
Hobinya pun seakan menguap. Ia bahkan lupa apa hobinya. Menonton film tidak lagi menyenangkan. Menulis, tak sanggup ia susun lebih dari dua kalimat. Hubungan antar manusia pun sama: renggang, jauh, seakan tidak ada pegangan. Teman-temannya sibuk dengan hidup masing-masing, begitu juga dirinya. Percintaan pun kandas, selalu jatuh ke dalam kedangkalan — karena ia tidak mampu mencintai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa mencintai orang lain?
Ia berkata pernah bermimpi sudah mati. Ada kesedihan singkat, hanya sebatas kenangan dalam obrolan. Lalu hidup berjalan kembali, seperti biasa. Kesibukan membuat orang-orang tak bisa lama-lama bersedih. Perlahan, kuburnya pun tak lagi dikunjungi. Lumut tumbuh, lalu kuburan lain menimpa. Ia dilupakan. “Begitulah nasib manusia di bumi,” ucapnya.
Kehampaan itu, katanya, seperti berada di ruang antariksa yang sunyi. Meski kami sedang bicara hal remeh, di dalam dirinya ia merasa terlempar ke ruang kosong itu. Panik, karena hidup baginya tidak punya arti apa-apa.
Ia merasa terjebak dalam keputusan-keputusan salah, yang menyeretnya ke rutinitas menyesakkan.
Ia lelah. Ia berteriak sekencang mungkin, mencoba keluar dari kekosongan itu. Rasanya seperti bangun dari tindihan: tubuh lelah, jiwa tak berdaya.
“Biarkan aku berbaring di lantai,” katanya lirih.
Saya hanya bisa diam. Mendengarkan. Tanpa komentar. Karena sungguh, saya tidak sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya terasing sedemikian rupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar