Kamis, 21 Agustus 2025

Harapan Yang Membunuh

Harapan yang berubah menjadi mimpi memiliki potensi yang bisa menjadikannya bahaya. Harapan sendiri adalah kepercayaan bahwa masih ada jalan di tengah keputusasaan. Kepercayaan itu adalah bagaimana kita memahami sesuatu yang mungkin akan terjadi, mungkin ada, dan dari kata “mungkin” tersebut juga, kemungkinannya untuk tidak ada dan takkan pernah terjadi. Bisa dibilang, kemanusiaan terus eksis dengan adanya harapan, dan kemampuan manusia untuk terus bermimpi.

Namun, ketika dunia telah runtuh, dan manusia tidak memiliki pondasi di dalam alam pikirannya (filsafat, ketahan psikologi, rasio) dan hanya berpijak di dalam harapan, maka ia tengah berdiri pada pondasi yang rapuh.

Pikiran di atas kepikiran ketika saya menonton Angel’s Egg milik Mamoru Oshii. Entah apa arti sesungguhnya film tersebut karena film tersebut memiliki direksi artistik yang avant garde. Tapi saya memahaminya begini: Si gadis melindungi sebuah telur, kita menganggap telur itu adalah telur sebuah malaikat. Di tengah dunia yang tanpa harap, satu-satunya harapan sang gadis adalah menetasnya telur tersebut, yang entah apa ekspetasi sang gadis, apakah malaikat itu akan membebaskannya atau sesuatu, telur tersebut memberikannya makna untuk hidup dan bertahan. Sampai suatu saat seorang pria misterius datang, terganggu dengan harapan palsu itu dan di akhir film akhirnya memecahkan telur tersebut. Sang gadis melihat telur itu ternyata selama ini adalah telur kosong, dan dalam rasa kehilangan, membunuh dirinya sendiri. Dia telah kehilangan harapan terakhirnya, makna hidupnya, momen the loss of faith atau faith collapse.

Tentu tulisan di atas bisa saja salah karena memori saya yang buruk (saya menonton film tersebut dulu sekali), dan bisa saja juga maknanya bukan demikian karena kedangkalan saya memahami film tersebut. Tapi, saya pikir, hampir semua orang, terutama di Indonesia, berpegang teguh pada harapan untuk bertahan. Entah, harapan itu adalah cita-cita, cinta, mimpi, agama, dan lain sebagainya. Ketika negeri ini ditengah krisis, kita memegang dengan erat harapan itu, untuk sekedar bertahan.

Tapi bagaimana jika kita menghadapi the loss of faith moment? Seorang yang percaya akan kebaikan tuhan, tiba-tiba melihat sesuatu kekejaman luar biasa yang tuhan, yang maha kuasa dan maha baik, tidak mencegahnya. Seseorang yang mempercayai kemanusiaan, melihat kekejian massa di hadapannya. Seseorang yang berpegang teguh pada mimpi, kemudian dihadapi oleh kesadaran akan tembok seperti ekonomi, bakat dan keberuntungan. Seseorang yang berharap pada yang tercinta, untuk suatu saat ditinggal, mungkin dalam fisik (mati) atau pengkhianatan yang menyedihkan.

Belum lagi kita berbicara orang-orang yang mengeksploitasi harapan. Para messiah karbitan — politikus, pemuka agama, atau influencer motivasi, yang tahu orang-orang memakan telan-telan siapapun yang menjual harapan untuk memberi perasaan damai di antara kekacauan sehari-hari. Bagaimana mereka tergantung-gantung di dalamnya, berkonflik karenanya, dan kemudian mati secara filosofis dan bahkan materi ketika harapan itu pupus di tengah jalan. 

Saya berharap bisa menulis solusi di antara pernyataan ini, misal ketika saya berbicara soal filsafat, psikologis, rasionalitas yang demikian klise, tapi ketika kita berbicara soal nature manusia, memang kita adalah mahluk yang terus menerus memegang harapan dan tidak akan bisa menolaknya (menolaknya adalah hal yang bodoh). Pun jika secara sadar kita menolak alih-alih tidak ingin tersakiti, alam bawah sadar kita, yang tidak bisa kita kendalikan akan terus memasang ekspetasi akan adanya harapan, dan kita dipaksa untuk menjalaninya, menderita di dalamnya. 

Maka, mungkin, jalan terbaik adalah menerima. Misal, menerima fakta bahwa harapan adalah kemungkinan bukan kepastian. Bahwa semua belum tentu bermakna, bahkan kemungkinan besar tidak bermakna. Bahwa meski goyah, ketika kita berada di momen telur malaikat pecah dan tidak ada apapun di dalamnya, kita tetap tidak kehilangan pijakan untuk berdiri, karena kita sudah tidak lagi bersandar (lepas dari keterikatan), dan terus tetap melangkah mencari makna baru di dalam hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar