Jumat, 10 Juli 2015

Naqoyqatsi : Chapter 1

Chapter 1 : A Land Without God



Ketika kubuka kelopak mataku, tanpa sadar diriku sudah berada didepan kaca besar yang memperlihatkan refleksi diriku yang terlihat begitu tua.


Kulihat sekitarku, dan aku berada di ruangan yang tidak kukenali. Anehnya lagi, latar refleksi yang timbul dari kaca didepanku sama sekali berbeda dengan ruangan ini, yaitu sebuah medan pertempuran dengan tumpukan mayat-mayat. Penampakan tumpukan mayat tersebut seperti mayat-mayat yang kami kumpulkan untuk membakar mayat musuh yang ditakuti akan menyebarkan penyakit.


Saat itu segera kugerakan tanganku untuk melihat apakah refleksi ini benar-benar diriku, tapi refleksiku tidak mau mengikuti gerakanku, melainkan bergerak dengan kemauannya dan menatap medan pertempuran dibelakangnya yang dipenuhi oleh senjata yang tertancap ditanah dengan genangan darah diantaranya.


"Hei diriku.."


"Eh?"


"Ya, kamu!"


Dia kini menatapku dan menunjukan jarinya padaku. Suaranya begitu serak dan matanya begitu merah seperti baru saja menangis.


"Begitu banyak rakyat di negeri ini yang terbunuh demi cita-cita kita wahai Lushan, dan itu demi tujuan apa? Kebebasan mereka? Kesejahteraan mereka?"


Dia kini bertanya sambil menatap tumpukan mayat disebelahnya.


"Tentu saja, pengorbanan dibutuhkan demi terwujudnya impian tersebut,"


"Ya! Tentu saja, Hingga kini tidak ada sesuatu hal yang berdiri tanpa adanya pengorbanan!"


Dia kemudian berjalan menuju tumpukan mayat tersebut, dan mendudukinya.


Aneh, tanpa sadar aku melihat tumpukan mayat tersebut menyerupai singsana kerajaan yang begitu besar, dimana kemegahan muncul diantara mayat-mayat yang kini tengah membusuk didiami belatung dan lalat.


"Kau pasti sadar bahwa apa yang kududuki ini merupakan singsana kerajaaan. Tapi apa kau juga sadar bahwa selama ini kau juga mendudukinya?"


"Maksudmu?"


"Ya, singsana itu kita dapati dan duduki dari jutaan manusia yang telah mati, mengorbankan dirinya demi kita dan percaya bahwa kita bisa mengubah nasib mereka, nasib negara mereka!"


Jadi dia memetaforakan singsana kerajaan dengan tumpukan mayat tersebut?


"Tentu saja.."


"Tentu saja? Heh, kau belum tua benar seperti diriku wahai Lushan, sehingga matamu tidak bisa membedakan singsana megah dengan tumpukan mayat busuk ini. Matamu belum membusuk benar sehingga apa yang kau lihat didepanmu, hasil dari usahamu, berubah menjadi potongan-potongan tubuh manusia yang tengah digerogoti lalat dan belatung."


Tiba-tiba aku melihat badannya yang dikelilingi lalat, dan keluar belatung dari kulitnya yang sudah terlihat tua dan keriput.


"Ketika kau sudah dalam keadaan seperti ini.. Ketika harapan-harapan itu sudah terengut dari matamu, kau akan berpikir.. Apakah tuhan benar-benar ada di dunia tanpa harapan ini? Apakah dunia ini tak lebih indah dari neraka?"


"Neraka.. Apa yang sebenarnya ingin kau ingin sampaikan wahai diriku yang berada dikaca?"


Dia berdiri dan mengeluarkan pedangnya, lalu menghantamkannya kekaca yg menghadapku hingga terdapat retak diantaranya. Wajahnya kini memperlihatkan kemarahannya kepadaku yang tidak sadar akan apa yang dimaksudnya.


"Aku adalah kau Lushan, ingat itu! Kau akan diberi kesempatan untuk mengulangi kesalahan yang sama, dan aku bisa menjanjikan itu!"


Ketika itu aku sadar akan maksud dari dirinya, dimana diriku yang berada pada kaca tersebut merupakan refleksi kegagalanku walau telah meraih kesempatan kedua dan berhasil menghindari kematian yang disebabkan anakku sendiri.


"Aku takkan gagal. Jika kau berbicara apakah aku bisa menggapai semua itu tanpa pertumpahan darah, kita sendiri tahu bahwa hal itu terlalu naif. Tapi berbicara tentang harapan, aku berjanji bahwa mata ini takkan pernah menjadi sepertimu!"


"Hahaha, apapun yang kau katakan wahai kau diriku yang lain, aku sudah pesimis untuk mempercayai itu semua. Roh ini sudah tua dan lemah.. Ketika anaknya tidak dapat menghunuskan pedangnya ke punggung ayahnya ini, dia tetap runtuh karenanya.."


Dia tertawa, kemudian menggorok lehernya dengan pedangnya. Ketika itu darah keluar dari lehernya, mengalir diantara tanah yang kemudian keluar dari kaca yang kupandang.


Ketika itu aku tidak bisa bergerak untuk menghindari noda darah yang kini tengah mengalir di kakiku, dan kemudian aku terkagetkan ketika melihat refleksi dari darah tersebut, dimana aku terlihat muda..



***


"Ehh.."


Buku-buku berjatuhan dari pangkuanku karena terguncangnya kereta kuda yang bergerak begitu cepat ditanah yang belum rampung dibuat jalan.


“...”


Aku termenung oleh maksud dari mimpi yang baru saja kualami, dan ketika itu ibu dan kakak yang berada didepanku sepertinya terganggu dengan jatuhnya bukuku.


"Hei cepat ambil bukumu, Lushan si kutu buku"


Kakak mengejekku dengan senyumannya yang sinis. Mungkin dia bosan dengan perjalanan yang lama menuju tempat pernikahan Ibu sehingga dia mencoba membuat kemeriahan, dengan cara mengejekku.


Ketika itu segera kuambil bukuku yang kebanyakan berisikan karya sastra dan filosofi perang yang kini sangat kugemari. Seketika kubuka beberapa halaman, entah mengapa diriku seperti merasa sudah membaca semuanya..


"Lihat dirimu Lushan.. Pria dengan buku-bukunya. Klan Ashide yang tanpa kekuatan sihir karena dirinya adalah pria seharusnya menggerakan pedangnya, bukan dengan membaca buku yang usang seperti itu!"


Sekali lagi kakak mencoba membuatku kesal, kini dia mengkritikku yang tidak pernah tertarik berlatih pedang, dan bahkan membahas isu sensitif tentang tidak bisanya pria dari klan ashide dalam menggunakan sihir, padahal sudah jelas bahwa dilarang untuk membahas hal tersebut


"Buku ini adalah ilmu kakak, dan pengetahuan yang kudapatkan dari buku ini akan lebih tajam dari pedang, dan bahkan lebih menghancurkan dari sihirmu."


"Heh, argumentasi kosong,"


"Balthiq, adikmu benar.. Hanya dengan membaca buku, bangsa bar-bar seperti kita bisa diakui dan memasuki pemerintahan. Pria yang hanya mengayunkan pedangnya tanpa menggunakan otaknya hanya menjadi seorang tentara dengan pangkat biasa yang mati konyol dimedan perperangan. Kita klan Ashide tidak perlu pria bodoh seperti itu."


Sebenarnya aku tidak sependapat dengan ibu, dia melihat ilmu yang kudapat hanya sebagai alat meraih pangkat. Tapi yah setidaknya dia mendukungku..


"Lushan.. kau menangis?"


"Eh?"


Tiba-tiba air mata mengalir dari mataku, dan tiba-tiba muncul perasaan aneh dari dadaku. Aku merasa seperti sudah begitu lama tidak berbicara seperti ini dengan keluargaku.


"Aku.. sepertinya kelilipan kak"


"Heh, ternyata hatimu sensitif juga Lushan. Ayolah.. kakak cuman bosan karena gak ada bahan pembicaraan.."


"Cara meminta maafmu buruk sekali!"


Ketika itu segera kuusap air mataku. Entah mengapa saat itu perasaanku terasa seperti terombang-ambing setelah melihat mimpi tersebut.


"Omong-omong.. Lushan, ibu ingin berbicara padamu.."


Tiba-tiba ibu dengan muka khawatirnya memecahkan suasana yang tercipta dari kakak dan diriku. Wajahnya terlihat begitu serius sehingga make-up yang ia gunakan untuk pernikahan kini tidak bisa menutupi kerutan diwajahnya.


"Ini soal tadi malam, aku ingin menjelaskan padamu tentang marga yang kita perdebatkan tadi malam.."


"Aku akan pakai marga An ibu."


"Eh!!"


Ibu dan kakak memajang wajah kaget, dan yah.. tentu saja mereka kaget dengan perubahan hati yang begitu cepat ini.


"Emm.. ketika kupikir-pikir.. mungkin memakai marga An akan memudahkan diriku dalam banyak hal. Lagipula ini salah satu tujuan ibu menikahinya bukan?"


Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Tidak pernah sekalipun aku melihat wajah ibu yang terlihat sangat senang seperti ini, dia lebih cenderung berwajah serius, sedih, dan menyeramkan. Ketika ibu sudah begitu depresi, dia akan menghirup pipa opium yang sudah tersedia didalam bajunya, dan hanya disaat itu terlihat ketenangan dalam wajahnya.


"Ibu begitu senang kau mengerti Lushan.. Tapi perubahan suasana hati seperti bukan kamu saja.."


Ketika itu aku juga merasa aneh dengan perubahan hati ini, seakan tidak ada lagi rasa marah dalam hatiku mengenai ibu yang menikahi laki-laki lain setelah meninggalnya ayah setahun yang lalu. Aku seakan sudah benar-benar mengerti perasaan ibu, padahal ketika kita berdebat tadi malam, kubantah semua alasannya dan hal itu sempat membuat kita tidak berbicara sepanjang perjalanan dikereta kuda ini.


"Heh entah mengapa kakak merasa kau juga begitu berbeda Lushan.. hei, kau mimisan.."


Tanpa sadar darah mengalir dari hidungku, dan kepalaku terasa begitu pusing.


“Musuh! Segera ke formasi pertahanan!”


Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan panik dari para ksatria yang menjaga kereta kuda kita, dan gerakan kereta kuda menjadi cepat. Ketika itu darah dari mimisanku berceceran kemana-mana, dan ibu segera menjauhiku karena takut gaun pernikahannya ternodai darahku.


"Hei Balthiq! Cepat kau tutupi mimisan adikmu itu!!"


"Tunggu!! Kita.."


Kepalaku begitu pusing seperti isi kepala ini ingin meledak. Kupegangi kepala ini yang rasanya begitu berat, dan kakak terlihat begitu panik melihat perilaku diriku dan segera menggunakan sapu tangannya untuk menahan darah dari hidungku.


"Kakak kau dalam bahaya!"


"Lushan kau kenapa sih!!"


Ketika itu tiba-tiba aku merasa panik, seperti merasakan terror dalam ingatanku. Aku seperti.. melihat panah menembus kepala kakakku.


Saat itu suara trompet terdengar dari mana-mana, dan aku mengetahui bahwa hal tersebut merupakan aba-aba untuk menyerang. Lalu seseorang penjaga mengetuk jendela kereta kuda kita, dan ibu segera membukanya.


"Maaf nona Ashide, sebaiknya kalian.. Aghh!!"


Tiba-tiba panah menembus kepala penjaga yang berbicara pada ibu, dan darah mengenai muka dan gaun dari ibu. Ketika itu mata dari penjaga tersebut terpental masuk kedalam kereta kuda. Seketika aku merasakan dejavu, dimana aku malah melihat kepala kakak yang berada diluar jendela tersebut.


"Gaunku!!"


"Kyaa!! Ibu!!"


Kakak terlihat ketakutan dengan terbunuhnya seseorang didepannya dan juga mata penjaga yang kini berada didekatnya, namun ibu malah panik akan gaunnya yang terkotori darah.


"Kalian semua! berpegangan pada sesuatu!!"


Tiba-tiba aku berteriak demikian, dan memegang pegangan yang berada dekat ditempat dudukku seperti tahu bahwa akan terjadi sesuatu. Di jendela, banyak sekali bandit-bandit menggunakan kudanya menyerang penjaga, dan saat itu tiba-tiba kereta kuda berguncang seperti menginjak sesuatu.


"Ibu kenapa kereta kudanya?"


"Kesini nak! Oh dewa pelindung, berilah kami perlindunganmu, kami yang.."


Ketika itu Balthiq segera ketempat ibu yang sedang membacakan mantranya, namun tiba-tiba disaat dirinya berjalan, terdengar suara ledakan yang begitu dahsyat dan karena sihir ibu yang mengelilingi kereta kuda ini membuat kita terlindungi dari dahsyatnya mesiu yang meledak melainkan terpental menuju keatas, dan saat itu Balthiq yang tengah berjalan kini terlihat melayang dan berputar sampai pada akhirnya kereta kuda terjatuh lagi ketanah, dan semuanya gelap seketika.


...


Tidak ada suara dari ibu maupun kakak. Kereta kuda ambruk karena terbentur tanah dan kita terjebak didalamnya. Ibu dan kakak sepertinya tidak sadarkan diri, dan diluar sepertinya masih terdengar suara pertarungan.


Saat itu rasa sakit dan pening dikepalaku menghilang, dan darah berhenti mengalir dari hidungku.


Aku ingat semuanya.. apa yang akan terjadi setelah ini, semua terlihat jelas seperti aku sudah mengalaminya..


Bukan, aku memang sudah mengalaminya. Ah, apa benar diriku kembali kemasa lalu? Ini kesempatan kedua yang mahluk tersebut maksudkan?


Tapi tidak salah lagi..


Tak lama setelah ini kakak akan menemui ajalnya.


***


Aku begitu ingat momen-momen diriku di kereta kuda ini yang jelas sangat berbeda dengan apa yang tengah terjadi barusan. Aku dan ibuku saat itu melanjutkan pertikaian panas diantara kita tadi malam tentang marga yang kupakai dimana aku bersikeras memakai marga Kang milik ayahku dulu, dan ibu memaksaku untuk memakai marga An dari ayah baruku. Hal ini menjadikan alasan mengapa dia menyiapkan pipa opiumnya, perdebatannya dengan anaknya pasti sangat membuatnya depresi.


"Ingat Lushan, dengan memakai marga mereka secara otomatis kau akan dianggap sebagai bangsawan! Aku menikahinya demi kesempatan ini, apalagi mengingat dia tidak memiliki anak laki-laki.. Masa depanmu dikeluarga ini begitu cerah Lushan!"


"Peduli demi diriku? Lalu bagaimana dengan ayah? Bagaimana aku bisa menghormati almarhum ayah yang telah merawatku ketika kau pergi bertahun-tahun demi pekerjaanmu? Lihat istrinya kini, setahun di tinggal mati, lalu dia menikah lagi dengan seorang lelaki yang di tengahi alasan murahan seperti itu!"


"Jaga omonganmu anak durhaka!"


Ibu menamparku dengan begitu keras dengan mata yang di penuhi air mata, karena itu juga make-upnya yang sudah berjam-jam dia persiapkan kini luntur membuat mukanya begitu mengerikan.


Mengenai alasan kemarahanku, ibu karena sumpahnya sebagai klan Ashide di haruskan mengabdi pada kaisar Dinasti Tang semeninggal ibunya yang dulu juga mengurus perserikatan penyihir. Ketika itu dia meninggalkan keluarganya, dan tak pernah sekalipun pulang, bahkan beberapa tahun kemudian berhenti mengirim surat.


Perginya ibuku membuat aku dan kakak begitu bergantung pada Ayahku, Kang Ushan, yang merupakan rakyat biasa yang mengajari dan merawat kami hingga dewasa, dan bahkan kematiannya berkaitan dengan betapa susah payahnya dia dalam merawat kami. Saat itu ibuku akhirnya pulang ketika ajal sudah begitu dekat menghampirinya. 


Ibu yang menjenguk saat itu dibentak oleh ayah walau dia sudah begitu lemah. Ibu terlihat begitu sedih ketika ayah tidak menerimanya masuk kedalam kamarnya lagi, dan saat ayah meninggal, kami begitu enggan untuk tinggal bersama ibu yang cuti dari tugasnya. Namun setelah setahun bersamanya, kami akhirnya mencoba mengerti dan bahkan kakak sudah mulai menyukainya karena ibu begitu rajin mengajarkan sihir kepadanya.


Tentunya ketika mendengar dia ingin menikah lagi, semua itu menghancurkan segala hal yang ia ingin bangun kepada anak-anaknya.


"Aku begitu mencintai ayahmu.. tapi kini semuanya sudah sangat berbeda, dunia bukan lagi soal impian-impian muda tersebut. Kau akan mengetahuinya Lushan, bahwa harapan muda seperti cinta, dan semacamnya akan sirna di depan matamu.."


Ketika itu aku tidak menghiraukan pembicaraannya, dan fokus membaca bukuku. Dia menatapku sedih, dan segera ia keluarkan pipa opiumnya walau dia tahu menghirup opium merupakan hal terlarang sebelum upacara pernikahan.


...


Setelah perdebatan itu, suasana di kereta kuda ini menjadi bagitu sunyi. Aku hanyut dalam bukuku, dan ibu hanya terdiam sambil menghirup opiumnya. Kakak saat itu terlihat bosan, dan segera ia buka jendela kereta kuda dan menatap keluar, ketika itu ia berpikir tentang apa yang mau ia omongkan dari suasana tanah Tujue yang kini sedang kita lewati.


"Ibu, bukankah lucu ketika kita memakai kereta kuda yang begitu mewah dengan penjagaan ksatria-kstaria yang memiliki kuda-kuda yang gagah, namun orang-orang di tanah ini begitu miskin dan kumuh.. Seperti permata di antara kotoran-kotoran."


Saat itu perkataan kakak memang ironis, tapi saat itu memang wajar jika hal ini terjadi. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya begitu terlihat, terutama masyarakat dengan para bangsawan. Mereka masyarakat selalu tidak diuntungkan, apalagi di tempat ini dengan pajak yang tinggi, dan tanah yag tandus di Tujue ini membuat kesejahteraan mereka ambruk. Sudah ditelanjangi alam, mereka ditusuk oleh pemerintahan yang busuk.


Kemudian kereta kuda memasuki pemukiman, dan kuda akhirnya melambat. Ketika itu banyak anak-anak yang mengejar kereta kuda sambil meminta-minta, yang tentunya diusir oleh penjaga kami. 


Orang-orang sekitar melihat kami dengan sinis, mereka pasti muak dengan perilaku bangsawan yang mendapatkan kemewahan di atas susah payahnya mereka dalam mencari makan. Mereka merasa telah dirampok oleh pemerintahan, namun dengan kata yang lebih lembut dari itu, yaitu 'pajak' yang kini mencekik mereka perlahan untuk mati kelelahan ataupun mati kelaparan.


Tak sengaja kereta kami melindas mayat seseorang di jalan, dan tak ada satupun orang yang menganggapinya serius seakan hal tersebut merupakan hal yang biasa.


"Disini bahkan lebih buruk dari tempat tinggal kita dulu Lushan.. Mayat yang bergelatakan karena gejala kelaparan, dan orang-orang yang tinggal disini seperti sudah terbiasa dengan bau busuk, sehingga mereka tidak sama sekali menguburkannya.."


"Tidak Balthiq, itu adalah kepercayaan disini. Mereka menganggap bahwa dengan membiarkan mayat bergelatakan akan mendapatkan simpati tuhan yang mungkin melewati tanah ini."


Ibu akhirnya membalas omongan kakak. Dia masih berbicara lancar walaupun kini tengah dipengaruhi opium.


"Tapi mencari perhatian tuhan.. bukankah itu begitu ironis ibu? Seakan tanah ini tidak memiliki perhatian tuhan.."


"Itu cara mereka untuk hidup, dan tanpa harapan akan adanya tuhan, mereka akan mati menggorok leher mereka sendiri. Mereka kini terjebak di tanah gersang ini, dicekik oleh pajak, dan banyak dari mereka yang mati karena penyakit dan rasa lapar. Disini.. bahkan matipun lebih baik dari hidup.. Tak ada cara lain selain menelan bulat-bulat omongan pemuka agama yang menjual harapan tersebut."


Ketika itu muncul kegelisahan di muka ibu. Tanah Tujue ini adalah tanah milik keluarga An yang akan dinikahi ibu, dan ibu pasti risau dengan kemiskinan serta ancaman dari tanah Tujue ini. Walau demikian, sebenarnya keluarga An sendiri tidak memiliki pilihan ketika kaisar secara asal menaruh keluarga bangsawan di tanah-tanahnya yang baru ia jajah, dan keluarga An tidak bisa menolak karena mereka tetap merasakan kemewahan di tanah manapun yang mereka tempati.


"Ibu apa kau pikir.. bahwa tidak ada tuhan ditanah ini?"


"Kakak! Tuhan itu maha melihat sesuatu, dia pasti memiliki alasan tersendiri mengapa tanah ini mendapati nasib demikian"


Aku saat itu merupakan orang yang begitu mempercayai tuhan. Ayah sendiri yang sering mengajariku ajaran kebaikan, dan tuhanlah yang menciptakan ajaran-ajaran kebaikan tersebut. Ketika terdapat keraguan akan tuhan dari seseorang, entah mengapa kita yang begitu percaya akan keberadaan tuhan akan segera mencoba menjaga kepercayaan tersebut.


"Mungkin lebih baik kita berpikir demikian Balthiq. Di sini.. ugh.. moral sudah begitu jatuh, pembunuhan, perampokan, dan bahkan pemerkosaan. Walau mereka masih terkekang oleh agama, sudah separah itulah tanah ini.."


Omongan ibu mulai terlihat tidak jelas, dia seakan mendukung argumentasiku, tapi kemudian berbicara tentang moral yang cenderung mendukung pemikiran kakakku. Saat itu efek opium sepertinya sudah mulai mempengaruhi cara berpikir maupun bicaranya.


...


Akhirnya kereta keluar dari pemukiman, dan kakak sudah sepertinya sudah tidak mendapatkan bahan omongannya setelah keluar dari pemukiman tersebut. Kita kembali terjebak dalam suasana bisu yang aneh.


"Sepi sekali.. padahal sebentar lagi diriku akan jarang bertemu kalian lagi.."


Kakak saat itu berusaha menjaga hubungan baik antar keluarga ini karena dia akan segera memasuki akademi sihir di ibukota Luoyang. Ibu sempat menjelaskan bahwa akademi sihir merupakan tempat yang memiliki aturan yang ketat dan kakak akan susah bertemu diriku maupun ibu karena peraturan yang tidak membolehkan mereka yang belajar untuk pulang kecuali jika kakak sudah menaiki tingkatan yang baru. Itupun menurut ibu perlu bertahun-tahun untuk satu tingkatannya.


Kakak merenung sedih, dia kini mendekatiku dan memebisikkanku sesuatu.


"Ini semua salahmu Lushan! Kau pikir bangsawan sinting mana yang mau menikahi bangsa bar-bar seperti kita. Kita mendapatkan gelar dan marga bangsawan seperti ini merupakan anugrah.. Dibandingkan hidup bersama ayah.. aku tak mau lagi hidup seperti itu.."


Walau demikian dia memiliki kebiasan buruk dalam memakai kata-kata tanpa memikirkannya terlebih dahulu suasana maupun situasi, dan seringkali aku bertengkar karenanya. 


"Aku akan memukulmu walau kau perempuan dan kakakku sendiri.."


"Ugh.. baik aku diam! Dasar adik keras kepala!!"


Kakak memang terlihat menyebalkan, tapi di antara marahku terkadang muncul sebuah senyuman. 


Sudah 17 umurnya, kecantikannya sudah mulai muncul dengan mata birunya yang menawan, dan umur yang cukup untuk menikahi seseorang. Sayangnya dia masih memiliki perilaku kekakanak-kanakan.. 


Walau begitu dialah yang menjaga ayah dikala sakit, dan menemani juga menghidupi diriku yang saat itu terlalu lemah untuk pekerjaan laki-laki di lingkunganku yang kebanyakan merupakan pekerjaan kuli. Di antara sifat kekanak-kanakannya, aku bisa melihat rasa optimis hidup, semangat, dan kasih sayang terhadapku maupun pada ibuku yang dulu meninggalkannya bertahun-tahun. 


Tapi tetap, semua kebaikan dari kakakku tertutupi oleh sifat buruknya ini.


"Eh bukankah kereta kuda ini berjalan begitu cepat?"


Ketika itu kakak mulai memegang pegangan di dekat kursinya. Terdengar suara panik di luar..


Ya, tepat seperti tadi, pemandangan kepala yang tertembus panah, suara trompet dari atas bukit, kereta yang terpental, dan pertarungan di luar dengan kereta kuda yang kini menimpa kami, kemudian membuat kami terjebak didalamnya, semuanya sama dengan apa yang terjadi barusan.. 


...


Tepat ketika suara sudah mulai sunyi dan tidak terdengar suara langkah maupun orang-orang yang berbicara, tiba-tiba ada yang memegang pundakku yang sedang ketakutan akan nasib yg akan menimpa kami jika saja para ksatria kalah melawan serangan tiba-tiba tadi.


"Lushan, kau tidak apa-apa?"


Kakak saat itu sudah sadarkan diri, dan segera ia ambil korek dari gaun ibu yang kini masih tidak sadarkan diri untuk menyinari diantara kegelapan ini.


"Kakak.."


"Kau terluka lushan!"


Kakak panik dan segera memotong gaunnya, dan mengikatnya di kepalaku. Darah masih mengalir dari kepalaku, dan kakak sepertinya semakin khawatir dengan keadaanku saat itu. 


"Apa mereka sudah selesai bertarung? kenapa tidak ada suara dari mereka? Ah.. yang penting kita keluar dari sini dulu Lushan!"


Kakak segera memusatkan sihir di tangannya dan membuat lubang untuk jalan keluar. Segera cahaya keluar, dan terdapat beberapa kaki di depan kita. Kakak langsung merangkak keluar termakan harapan bahwa kaki itu milik para penjaga, namun tiba-tiba sebuah tangan menariknya.


"Lushan!!"


"Kakak!"


"Hei masih ada seseorang di dalam!"


Ketika itu sebuah tangan yang panjang memasuki lubang tersebut, dan memegang kakiku kemudian menyeretku keluar.


"Jangan sampai kau apa-apakan adikku dasar kalian bajingan!"


"Hei-hei, galak juga gadis yang baru mekar ini!"


Ketika itu begitu banyak bandit yang mengepung kereta kuda, dan terdapat anak muda di antara mereka yang mungkin masih berumur berkisar 8 sampai 13 tahun. Kini sebagian dari mereka sedang menyeret mayat-mayat penjaga, dan juga berusaha membongkar lubang yang kami buat.


"Kau pegangi anak itu! Sekarang Suo Yan sini, kau belum pernah merasakan tubuh wanita bukan?"


Anak kecil tersebut keluar dari keremunan anak-anak muda lainnya, mungkin dia yang paling muda di antara mereka. Mukanya begitu polos, dan rasanya tidak mungkin anak kecil seperti ini menjadi pelaku kejahatan.


"Kau mau apakan kakakku bandit brengsek!"


"Hei, hei.. Kita disuruh untuk menghancurkan kereta kuda yang akan lewat kejalan ini, dan mengetahui kalian selamat dari ranjau tersebut tidak boleh menjadi kesempatan yang sia-sia, apalagi isinya hanyalah bocah dan gadis cantik ini.."


Dia mulai meraba kakakku, dan saat itu muka kakak memerah. 


"Jika kau teruskan, aku berjanji nyawamu akan melayang.."


"Heh, maksudmu seperti ini?"


Dia kini memasukan tangannya ke gaun kakakku, dan kini kakakku benar-benar marah.


"Oh..dewa.."


"Eh?!"


Kakak membisikan mantra, dan tiba-tiba suara petir bergerumuh di atasnya. Laki-laki tersebut yang mengetahui indentitas asli kakakku yang merupakan seorang penyihir, dia segera menjauhi kakakku dan mengambil pedangnya yang tertancap di salah satu badan penjaga.


"Pemanah cepat serang wanita tersebut selagi dia belum selesai mengucapkan mantranya!"


"Kakak!!"


Ketika panah menyerang kakak, sebuah petir menyambar panah tersebut hingga hilang menjadi abu. Ketika itu kakak memakai mantra yang membuat dewa petir menjaganya, dan membuatnya dalam kendali kakak.


"Dewa.. mereka yang telah mengotoriku dan mengancam nyawa saudaraku!! Berilah hukuman pada mereka semua!!" 


Ketika kakak menunjukan tangannya, seketika petir menyambar semua orang yang mengelilingi kakak. Bau daging terbakar seketika memenuhi udara, dan kakak kemudian terjatuh seperti kehilangan semua energinya.


"Kakak.. kau tidak apa?"


Aku segera mendekatinya, dan kakak berusaha memberdirikan kakinya yang sudah begitu lemas.


"Aku tidak apa Lushan.. kau di sana saja.. dan Hei kau bocah..!"


"Eh! Ampun.."


Tiba-tiba mataku tertuju pada bocah yang kakak tunjuk. Di antara mayat teman-temannya dia terduduk lemas dengan air seni yang membasahi celananya. Matanya dipenuhi oleh air mata ketakutan.


"Cepat pergi dari sini, dan jangan berani lagi kau melakukan hal tidak terpuji seperti ini! atau aku.. akan membunuhmu seperti teman-temanmu ini.."


"Hii!!"


Dia kemudian berlari menjauhi mayat-mayat temannya. Ketika itu kakak tersenyum melihat anak tersebut, seakan rasa ampunnya memperlihatkan secercah harapan bahwa anak tersebut tidak jatuh kedalam jurang yang sama.


"Lushan cepat kau ambil kembang api di mayat para penjaga, dan tembakan keudara, tentara keluarga An akan segera kesini melihat kembang api tersebut.."


Kakak melemparkan korek ibu kepadaku dan kemudian terduduk lemas sambil menghela nafas. Saat itu aku melihat mata kakak yang seakan berubah 180 derajat. Dia terlihat begitu dewasa dengan tatapan dinginnya melihat begitu banyak nyawa yang ia ambil.


"Kakak, bagaimana rasanya membunuh seseorang ?"


Aku bertanya sambil mengecek mayat penjaga yang tertumpuk. Ketika itu kakak seperti begitu lama berpikir untuk menjawab pertanyaanku tersebut.


"Aku tidak merasakan apa-apa Lushan.. Kita semua pasti mati, cepat atau lambat. Mengingat kematian adalah proses yang pasti akan berlangsung.. ditambah lagi demi hidupku, hidupmu, dan juga hidup ibu. Ketika berpikir demikian, aku tidak ragu untuk membunuh mereka."


Ketika itu kakak mengucapkan pembenarannya dengan nada yang dipenuhi dengan keraguan, dan aku bisa melihat air mata mengalir dari matanya.


"Lalu kenapa kau menangis kakak?"


"Eh?"


Kakak segera mengelap tangisnya, namun tiba-tiba sesuatu menembus dadanya.


"Lushan.."



Seketika mulutnya terucapkan namaku sambil darah mengalir dari bibirnya, beberapa anak panah menusuk lagi badannya dengan cepat, di akhiri dengan menembusnya panah menuju kepalanya. Seketika kakak terjatuh ketanah, dan aku sama sekali tidak sadar apa yang terjadi saat itu, seakan apa yang baru saja kulihat adalah khayalanku.. Tapi yang berada di hadapanku saat itu benar-benar kakak, dan panah sudah menembus badannya.

"Kakak..oh tidak.."


Aku segera menuju kakak yang kini tergeletak di tanah. 3 panah menembus badannya, dan 1 panah menembus matanya. Ketika itu aku begitu ketakutan melihat jasad kakak, namun aku masih bisa merasakan hangatnya tubuh kakak sehingga seketika aku memeluk mayatnya.


"Rasakan pembalasan kami penyihir sialan!"


Aku menatap marah pada suara tersebut, yaitu anak kecil yang kakak lepaskan tadi. Kini dia membawa teman-temannya yang seumurannya dengan busur di tangan mereka.


"Kenapa kau melakukan ini! Kakak.. dia sudah membiarkanmu hidup bukan?"


"Karena kebodohan kakakmu lah yang membawakan kematian pada dirinya. Dia begitu meremehkan umurku sehingga dia tidak sadar bahwa aku bisa merebut nyawanya!"


"Bodoh!! Dia membiarkanmu.. karena kau.."


Marah dan sedih bercampur di batinku. Ketika kakak dengan sifat belas kasihnya membebaskan seorang anak kecil yang ia kira sebagai korban dari kehancuran moral di tempat ini, kematiannya malah timbul dari seseorang yang ia beri belas kasih. 


"Balthiq!!"


Ketika itu ibu berteriak dari kejauhan, dia sudah sadarkan diri dan sepertinya dia mendengar teriakanku sehingga menyadari apa yang terjadi pada kakak.


"Oh Balthiq.. Tuhan.. kini kau ambil lagi sesuatu dariku..*hiks* Siapa yang membunuh anakku!!"


Anak-anak tersebut terkagetkan dengan suara ibuku yang begitu keras seperti suara halilintar yang mampu mentulikan telinga jika saja mereka berada di dekatnya. 


Ibu begitu marah hingga terlihat aura pembunuh di sekitarnya, dan keluar api dari tangannya tanpa sekalipun mantra keluar dari mulutnya.


"Panah penyihir tersebut!!"


"Jadi kalian!!"


"Hii!!..."


Ketika itu mayat-mayat terbangun dan memegangi anak-anak tersebut hingga mereka tidak bisa bergerak. 

Kemudian ibu tiba-tiba berada di depan mereka, dan kemudian ibu memandangiku dengan tatapan yang begitu menyeramkan.

"Lushan.. siapa yang kakakmu lepaskan dari kematian?"


Aku menunjuk kepada anak kecil tersebut, dia berada di tengah-tengah komplotan anak-anak tersebut. Ketika itu ibu segera menaikan tangannya, dan anak-anak di sekitar bocah yang kutunjuk tersebut semuanya mengeluarkan darah dari segala lubang di tubuhnya, kemudian mati dengan tubuh mereka yang menciut seperti tidak berisikan apapun di dalamnya. 


"Hii!! kau monster!!"


"Aku memberikan kematian yang cepat bagi mereka, tapi tidak dengan kau.."


Ibu membuat tangannya yang di selimuti api menjadi seperti sebuah pedang. Kemudian dia memenggal kedua tangan anak tersebut dengan begitu cepat, dan ketika itu luka dari anak tersebut segera tertutupi oleh api dari pedang tersebut


"Argghh!!! Ampun.."


Anak tersebut terlihat begitu kesakitan, dan air mata mengalir begitu deras dari kedua matanya. Kini dia terduduk lemas, dan terlihat begitu shock melihat kedua tangannya sudah menghilang.


"Aku minta maaf telah.. *hiks* membunuh *hiks* anakmu.. aku.."


"Ya, tentu ini bukan salahmu. Ini salah tuhan, salah tanah terkutuk ini, salah pemerintahan yang sudah begitu busuk.. Tentu ini bukan salahmu nak.."


Ibu segera menghilangkan sihirnya, dan ketika itu anak tersebut terlihat lega dengan sedikit senyum harapan keluar dari wajahnya.


"Kau.. *hiks* akan melepaskanku? Aghh!!!"


Segera tangan ibu menembus kedua matanya, dan anak tersebut berteriak begitu panjang. Aku menutup mataku karena tidak tega melihat penyiksaan ini, dan tidak percaya dengan apa yang ibu lakukan di depan mataku sendiri.


"Dengan keadaanmu kini, hidup akan lebih menyakitkan daripada kematian. Kau tidak akan melihat keindahan bumi ini, dan hanya suara yang menggerogoti hatimu yang tersisa. Makanan adalah hasil suapan rasa kasihan, dan kau menjadi manusia tidak berguna. Kematian akan menjadi hal yang sangat memilukan bagimu ketika tidak ada lagi tangan yang menyuapimu di tanah yang miskin ini"


"Tidak!! oh..tidak.."


"Bahkan seseorang masih bisa mengalirkan air mata walau sudah direbut kedua matanya.."


Ketika itu Ibu meninggalkan anak tersebut, dan mendekati kakak. Dia memeluk kakak tanpa peduli bahwa panah telah menghancurkan mukanya. Aku begitu ingat bahwa kakaklah yang pertama kali memaafkan apa yang telah dilakukan ibu, dan dia juga yang begitu dekat dengan ibu sehingga ibu rela meninggalkan pekerjaannya demi mengajari kakak ilmu sihir.


"Suamiku.. kini anakku.. Jika benar ini adalah cara tuhan untuk menghukumku, maka akan kuhancurkan apa yang telah tuhan bangun di dunia ini!"


"Ibu.. apa kau sungguh-sungguh?"


Ibu kemudian tersenyum padaku, dan ikut memelukku. Saat itu tentara keluarga An mulai berdatangan, namun ibu tetap memeluk diriku dan jasad kakakku yang kini sudah mulai mengundang perhatian lalat. Dia tidak ingin sekalipun melepaskan kedua anaknya ini.


"Tidak lushan, ini bukan salah tuhan.. Ini karena realita bahwa harapan tidak pernah ada.. tidak pernah ada tuhan di tanah ini, di dunia ini. Ini semua salahku semata, yang tidak bisa melindungi kalian dan menyerahkan semuanya pada harapan yang merupakan omong kosong.. Aku berjanji bahwa hal ini takkan terjadi lagi.."


...


Ketika itu, momen ini menjadi momen perubahan terbesar dalam hidup kami. Aku menjadi semakin terobsesi oleh impianku, dan ibu.. dia berubah menjadi penyihir paling diagungkan dalam dinasti tang dengan sihir kekuasaan absolut yang mampu menciptakan masyarakat yang tidak mungkin melakukan tindak kejahatan, dan saat itu.. aku terpaksa membunuhnya..


***

Kembali teringat semua momen-momen tersebut, dan kini suasana kembali sunyi, aku tidak bisa membiarkan kejadian yang sama terulang lagi.. tapi apa yang terjadi jika kuubah sejarah ini? Apakah aku akan mendapati kedudukan yang sama? Atau malah menghancurkan semua itu..

"Lushan kau tidak apa-apa?"

Dejavu kembali menghantuiku, kakak kini menepuk pundakku dan menyalakan api dari korek yang ia ambil dari gaun ibu yang kini tidak sadarkan diri. Semuanya persis seperti apa yang terjadi dulu.

"Hei kepalamu.. Agh!"

Aku segera memukul perut kakak dan membuatnya pingsan.. dan ah.. apa yang kulakukan..

Saat itu secara refleks aku mencoba menyelamatkan kakak, tapi juga dengan mengacaukan sejarah, rasa paranoia kembali menghantuiku. Pencapaian yang kumiliki bukan sulit untuk meraihnya, dan momen ini merupakan momen yang begitu krusial dalam hidupku..
“Mengapa aku mengacau? Bukankah jika tidak kujalani semuanya dengan cara yang sama akan membuat pencapaianku menjadi sia-sia? Apa kubunuh saja kakakku sekarang untuk menghindari resiko tersebut? Selagi ibu belum terbangun..”

“Tunggu, apa yang terjadi pula jika kakak hidup kini? Pertama ibu takkan menjadi seorang yang gila akan ambisinya untuk menciptakan sihir ‘itu’, tapi.. Aku juga takkan memiliki sihirnya jika demikian, dan hal tersebut akan benar-benar menghambatku dalam mencapai apa yang telah kuraih.. atau mungkin..”

Di kegelapan ini aku berbicara sendiri tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika aku mengacau. Namun..kupikir tidak ada gunanya berpikir terlalu panjang, karena bandit diluar pasti akan segera mengetahui bahwa ada seseorang yang masih hidup di kereta kuda ini.

Aku segera menendang kayu rapuh didepanku dan keluar dengan perlahan. Berbeda dengan sihir yang digunakan kakakku dulu, kini apa yang kulakukan tidak mengundang perhatian mereka yang sedang sibuk menumpuk mayat.

Ketika berjalan perlahan untuk mencari peluang mengitari kereta kuda yang ambruk ini, tiba-tiba secara tidak sengaja aku menginjak ranting dan dedaunan kering dibawah kakiku.

"Hei apa kau mendengar suara?"

Ketika salah satu dari mereka sepertinya tersadar, aku segera mengambil pedang dari mayat penjaga yang masih bergeletakan disebelahku dan menusuk mereka dari belakang.

"Hei musuh!!"

Aku melepaskan mayat didepanku, dan segera membunuh seseorang yang akan segera membunyikan terompet.

"Heh bocah!"

Tiba-tiba terdapat serangan dari samping, dan hal tersebut membuatku tidak sempat memberhentikan orang yang memegang trompet yang akhirnya membuat orang-orang yang sedang menumpuk mayat berkumpul mengelilingiku, dan para pemanah dipepohonan dan bukit kini mengarah padaku.

"Hei tunggu.. Aku sendirian dan kalian begitu banyak. Kenapa kalian tidak menghadapiku satu-satu?"

Ketika itu sebenarnya aku sedikit percaya diri dengan kemampuan pedangku yang sudah terasah dari ratusan perang yang pernah kulalui dikehidupanku sebelumnya, namun dengan tubuh yang tidak terlatih ini, aku tidak percaya bahwa aku bisa mengalahkan mereka semua.

"Baiklah bocah.. dari yang muda dulu bukan..?"

Ketika itu lima bocah seumuranku mulai mengelilingiku, dan bandit tersebut agaknya tidak setuju dengan konsep satu-satu, tapi tentunya ini memudahkan diriku dibandingkan semua bandit berbadan besar mengeroyokiku dengan pedang mereka.

"Hyaa!! aghh.."

Satu dari mereka menyerangku, namun begitu lambat, pedangku sudah sampai duluan ke leher anak tersebut.

"Shi lao!! Brengsek!!"

Matinya anak yang bernama Shi Lao ini membuat suasana semakin panas, dan kini mereka berempat bermaksud untuk segera mengakhiri pertarungan ini dengan bersama-sama menyerangku.

"Mati kau sialan!! Ekgh!"

Segera aku menghindar membuat mereka malah menebas teman mereka sendiri, membuat kini hanya tersisa dua orang.

"Oh.. apa yang sudah kulakukan.."

"Bodoh, kita masih bertarung!"

Sudah tidak tertarik dengan pertarungan ini, aku segera menusuk salah satu dari mereka yang masih terlihat shock akan kecerobohan yang baru saja ia lakukan, dan kemudian melemparkan pedangku ke anak yang merasa panik dengan betapa cepatnya teman-temannya berguguran. Kemudian aku mengambil pedang yang tertancap dibadannya.

"Hahaha, menarik!"

Ketika itu seseorang paling besar diantara bandit menepuk tangannya. Aku ingat benar siapa pria ini, seorang yang memegang kendali penyerangan kereta kuda, dan dulu yang memancing kemarahan kakak.

"Hebat benar kau bocah, membunuh anak-anak muda bodoh seumuranmu dengan begitu cepat.. Kini sebagai hadiah, kau akan menghadapiku Sao Lung! Orang terkuat di tanah Tujue ini.."

Dia memasuki tempat pertarungan, dan dengan pedangnya yang besar, ia langsung menebaskan pedangnya padaku. Mengetahui tidak mungkin aku bisa menahannya, aku segera meloncat menghindari serangannya tersebut.

"Kau ketakutan pada kekuatan pedangku bukan? Sebuah kehormatan bagimu untuk bisa mati dengan kekuatan seperti ini!"

"Heh.. dan suatu penghinaan bagimu yang akan terbunuh oleh bocah yang hanya menggunakan pedang mainan dibandingkan dengan pedangmu"

"Kurang ajar!!"

Dengan memancing kemarahannya, dia segera mengeluarkan segala kemampuannya, dan ketika itu gerakannya mulai terbaca. Dia terlihat tidak memiliki ilmu pedang, dan semuanya murni dari pengalamannya bertarung dimedan pertempuran yang memeperlihatkan jenis pertarungan yang simple namun efektif untuk membunuh lawan. Ketika dia menyerang, pedangnya yang besar akan tertancap ditanah dan butuh kekuatan yang besar untuk mengeluarkannya. Ketika kudekati, dia sudah tau cara menutupi celah ini dengan pedang panjang ia keluarkan dari punggungnya dengan tangan kiri yang dia ayunkan menyamping secara cepat, yang ketika ku menjauh, dia sudah menyarungkan kembali pedangnya dan secara cepat dia keluarkan pedangnya dari tanah.

"Kau takkan bisa menyerangku bocah!!"

Mencoba memahami trik tersebut, aku mengambil salah satu pedang yang tergeletak ditanah dari anak-anak muda yang kubunuh tersebut. Tidak kuat, tapi cukup untuk menahan salah satu serangan raksasa tersebut.

"Aku tidak bodoh untuk bisa kalah dengan trik bodohmu itu"

Kembali ia terpancing, dan semakin kekuatannya bertambah dalam mengayunkan pedang yang kini menghancurkan tanah yang percikan tanahnya membuat pipiku terluka. Ketika pedang tersebut kembali tertancap, dia kemudian kembali menarik pedang panjangnya untuk menjaga jarak, tapi sekaranglah kesempatan untuk menyerang!

"Ehh!!"

Serangan yang memakai tangan kirinya saja merupakan serangan yang ringan, dan dengan diriku yang sudah terbiasa dengan kecepatan dan jarak serangan pedang panjangnya membuatku mampu menahan dan menyeret pedangku mendekati badannya. Kemudian kunaiki pedang besar tersebut yang masih belum bisa dilepaskan karena serangannya yang tersulut emosi dan membuat pedangnya tertancap terlalu kuat dibandingkan tebasan biasanya.

"Brengsek!! Kau tidak boleh meremehkan kekuatanku!!"

Dia segera melepaskan pedang ditangan kirinya, dan dengan tangan kanannya sendiri akhirnya mampu melepaskan pedang tersebut. Aku yang berada diatasnya terpental, tapi dengan pasti pedangku mengarah tepat ke lehernya.

"Aghh..."

"Ketua!!!"

Darah keluar dengan begitu indah dari leher raksasa tersebut. Seketika itu, orang-orang terlihat takjub sekaligus marah dengan hal ini. Aku begitu yakin kini pemanah sudah siap untuk melepaskan panahnya.

"Pemanah!! Serang bocah tersebut!!"

Aku berencana untuk segera berlindung ditubuh raksasa tersebut, tapi kakiku.. rasa sakit benar-benar membuat kakiku tidak bisa digerakan, sepertinya aku mendarat ketanah dengan letak kaki yang salah..

Ah.. sudah diberi kesempatan kedua, kini aku mengacau..

Aku hanya bisa menutup mataku, tapi tak satupun panah mengenai badanku..

"Dia bisa menggunakan sihir!"

Ketika itu panah-panah tertahan dilangit-langit. Aku begitu terkagetkan oleh fakta bahwa sihir masih berlaku dibadanku walau disaat ini.. aku belum memakan daging ibuku..

"Matilah kalian semua! Sampah yang hanya bisa menyusahkan mereka yang lemah demi sebuah harta, makanan, dan kesenangan yang semu!"

Segera kuarahkan panah-panah tersebut kembali ke orang yang melepaskannya, lalu dengan segera kupakai sihir terlarang pada orang-orang yang tersisa didepanku dengan membuat darah mereka keluar dari tubuh mereka seperti apa yang dilakukan ibuku dulu.

"Ahh..Ahh!! Oh tuhan vaskala lindungilah hambamu ini.. *hiks*"

Ketika itu rasa nostalgia menghantui dadaku, suara bocah itu.. ah..

"Kau.."

"Ampun.. Aku..*hiks* dipaksa oleh mereka.."

Bocah tersebut yang dulu membunuh kakakku. Kembali keberuntungan membuatnya tersisa hidup diantara mayat-mayat temannya yang terbunuh oleh sihir.

"Siapa namamu bocah?"

"Suo Yan.."

"Vaskala adalah tuhanmu disini?"

Dia menganggukinya. Walau berbuat kemungkaran, ternyata mereka masih memiliki agama. Apakah mereka hanya ingat tuhan mereka didalam keadaan putus asa seperti ini?

"Coba kau jelaskan tentang tuhanmu itu.. Aku berjanji akan melepaskanmu dari sini jika kau memuaskanku."

"Ehh.. Vaskala.. *hiks* Dia tuhan kebaikan yang berbelas kasih pada kita.. maha mengampuni orang yang bertaubat, dan memberikan mereka kesempatan untuk *hiks* untuk hidup dijalan yang benar"

"Heh.. Jika Vaskala benar-benar ada dan aku memberikanmu kesempatan.. Apakah kau akan berlari menuju temanmu, dan menyuruh mereka memanahku dari belakang?"

"Maksudmu..?"

Aku berkata demikian mengingat kejadian kakakku. Melihat kedua kalinya anak ini selamat, mungkin tuhan memang memberkahi anak ini, dan memberikannya kesempatan untuk hidup dijalan pertaubatan. Sayangnya, pada momen ini sepertinya tuhan terpaksa memberikan nasib anak ini padaku, dan aku.. tidak begitu setuju dengan pendapat tuhan mengenai diberkahinya anak ini.

"Begitu baik tuhanmu Suo Yan, tapi begitu busuk umatnya. Ditanah seperti ini, moral dan agama tidak akan berjalan dengan semestinya, esensi ketuhanan terkotori karenanya. Tapi aku ini percaya dengan tuhan, dan aku juga percaya tuhan pasti memaafkanmu."

"Jadi kau akan melepaskanku?"

Aku tersenyum melihat bocah tersebut.

"Ya"

Segera kutebaskan pedangku kelehernya. Aku memberikannya kematian yang cepat karena tidak sekalipun ada dendam dihatiku padanya, dan karenanya aku memberikan kematian yang lebih baik dari hidup.

"Semoga..ah, tuhan Vaskala memberikanmu jalan menuju surga.. Suo Yan"

Ketika itu aku berdoa, atas korban busuknya dunia ini yang sengaja tuhan biarkan. Tuhan bekerja secara misterius, dan bukan hak kita untuk mempertanyakannya. Jika kubiarkan dia lepas, dia akan berbuat dosa lagi, dan kuanggap apa yang kulakukan tadi merupakan perbuatan terpuji walau tentu itu hanya pembenaranku atas dosa yang telah kulakukan.

“...”

Melihat bocah yang mati ini kembali membuatku merenungkan pemikiranku. Sudah lama kusadari bahwa mereka sebenarnya bukan benar-benar pendosa jika saja konsep ajaran tuhan benar-benar kita telaah.

Seorang bayi yang baru dilahirkan merupakan semurni-murninya gelas kosong, dia baru terkotori sesuai air yang tersedia untuk mengisinya. Bandit-bandit maupun anak-anak tersebut merupakan korban dunia yang membusuk ini, dan ketika itu kita boleh saja menyalahkan tuhan.. Walau tentu aku menolak untuk menyalahkan tuhan, dan aku yang mengetahui itu sudah lama mengabaikan adanya tuhan yang memegang kendali atas takdir dunia ini.

"Walau tuhan benar-benar ada, tuhan telah mati didalam diriku"

Kembali aku mengingat mimpiku, ketika dia mengatakan matanya yang telah membusuk dan tuhan telah mati ketika harapan-harapannya yang sudah menghilang. Saat ini aku mulai mengerti pandangannya, dan karenanya aku akan terus menanggung beban ini sendirian tanpa menyalahkan siapapun lagi..

...

"Lushan.."

Tiba-tiba kakak berada diluar seakan sudah melihat segala hal yang sudah kulakukan.

"Kau.. memakai pedang dan kau bisa menggunakan sihir?"

Ketika itu terror kembali menghantui pikiranku. Aku ingat betul bahwa rahasia menggunakan sihir ini tidak boleh sampai bocor, dan aku tidak bisa mentolerir siapapun itu.

"Kau membunuh orang.. dan bahkan kau membunuh anak kecil tidak bersalah seperti itu"

Ah, aku sudah hidup selama 60 tahun. Ya, tidak akan meninggalkan apa-apa jika kubunuh kakakku sekarang.. Ingatan indah bersamanya hanya fragmen kecil dalam hidupku, dan dengan membunuhnya membuat masa depanku aman.. Sepertinya aku tidak bisa menang dengan sifat paranoid ini..

Maafkan aku kakak.. aku tak bisa mengorbankan impianku demi hidupnya dirimu..

"Lushan!! Apa-apaan dengan pandangan membunuhmu itu!!"

Ketika itu ibu berteriak, dia berdiri dengan mukanya yang marah melihatku yang bahkan belum melakukan apa-apa.

"Siapa kau! Kenapa kau rasuki anakku!!"

"Ibu aku anakmu.."

"Lushan tidak mempunyai pandangan membunuh seperti itu.. Lushan tidak membunuh orang dengan keji seperti ini!! Dia anakku yang baik hati dan lembut, kembalikan dia dasar kau iblis!"

Ketika itu aku kebingungan dengan perkembangan peristiwa yang terjadi. Pasukan prajurit An kembali datang dengan terlambat persis seperti kejadian lalu, dan.. uh.. Kepalaku begitu pusing.

"Lushan.. kau mimisan.."

Ketika itu darah kembali mengalir dari hidungku, dan kesadaranku memudar..

Mungkin tubuh kecil ini memang tidak bisa menggunakan sihir tingkat tinggi seperti tadi, dan seketika seluruh energiku hilang.

Kakak hidup, sejarah terkacaukan, mereka tahu sihirku..

Tapi entah mengapa perasaan senang muncul diantara ketakutan diriku. Kini aku tak bisa menerka nasib apa yang akan terjadi setelah ini..

*To be continued*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar