Senin, 06 Maret 2017

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 11

Chapter 11: A Cycle
Aku menutup kupingku, berjalan perlahan menyusuri lautan amarah dan makian di samping ibu yang dibopong oleh anak buah Aslan, lainnya melindungiku dengan pedang yang keluar dari sarungnya dari tangan-tangan yang ingin menarikku, memukuliku, dan meremukanku. Mereka tidak takut akan gertak pedang, mereka tahu tak mungkin anak buah Aslan mengibaskan pedang tersebut pada mereka. Akhirnya aku hanya mampu melihat ke arah ibu dalam rasa takut, menarik tangan malaikat bisu dengan erat, berjalan perlahan sambil menahan rasa tangisku. Aku ingin cepat keluar ibu. Mengapa pintu keluar terasa jauh sekali?
Orang-orang mulai melempar sesuatu, tomat, sayur-sayuran lainnya, dan anak buah Aslan mulai kewalahan. Seketika itu aku mendengar suara keras, pandanganku mendadak ke arah sumber suara itu yang kini menyentuh sepatu bootku. Batu.
"Hei!"
Aslan berteriak ke arah pelempar batu, menghampirinya.
Dan tiba-tiba aku terjatuh.
Perlahan muncul perih, rasa sakit.
"Racke!"
Kupegang kepalaku dan kurasakan sensasi basah, tanganku berlumuran darah.
"Lihat aku nak."
Aslan melihat mataku, menatapnya dalam-dalam. Kemudian dia merobek lengan bajunya, mengikatkan kain robek itu ke kepalaku. Tapi entah, aku lemas untuk berdiri kembali, lama-lama semuanya gelap.
"Kau akan baik-baik saja... oh tuhan."
...
***
...
Ini dimana?
Seketika rasa perih di kepalaku hilang, dan perasaanku dipenuhi oleh rasa sakit yang lain, perasaan yang janggal dan asing. Aku sadar, kini aku sedang bermimpi, dan aneh memang, bagaimana aku bermimpi dan sadar bahwa aku sedang mengalaminya? Seperti ketika kemarin itu aku bermimpi bersama malaikat bisu, senyata itu.
Kini aku berada di ruangan putih besar berbau aroma wewangian. Cahaya sedikit memasuki jendela, remang-remang cahaya dengan butir-butir debu yang melewatinya. Di dalamnya terdapat kasur besar, tertutupi oleh gorden putih, menyembunyikan suatu sosok yang tergeletak tidur di dalamnya. Aku tiba-tiba saja menatap ke arah kiriku, terdapat kasur bayi yang sunyi, dan hatiku terasa hancur entah mengapa, aku sungguh tak tahu.
Aku bergerak, dalam pasrah, mendekati kasur itu dalam kesedihan tak terelakkan. Kubuka gorden tersebut, dan kulihat sosok dibaliknya.
Wanita. Asing di pikiran, tapi perasaanku merasa begitu familiar. Dan dia bukan manusia, dan sepengetahuanku, bukan juga beastman. Rambutnya adalah bulu-bulu burung, putih, indah. Parasnya penuh kerut, kurus, tubuhnya dipenuhi oleh sisik, anehnya perasaanku mengatakan bahwa sosok di hadapanku ini begitu cantik, seakan tak ada kecantikan yang lain mampu menandinginya. Aku melihat sosoknya yang terlihat lemas segera mengelus kepalanya dalam rasa sayang, dan saat itu kusadari bahwa tanganku juga dipenuhi oleh sisik seperti wanita yang ada di hadapanku ini. Dan sosok wanita itu terbangun, dan aku seketika mengingat namanya, Aide, berarti cinta, puitis sekali.
"Aide, sayangku."
"...Anakku."
Dia memegangi perutnya yang kini telah kempis. Ingatan yang tiba-tiba muncul di kepalaku mengatakan perutnya berisi beberapa hari yang lalu.
"Anakku? Dimana anakku."
Pandangannya mengarah pada kasur bayi, yang diatasnya berputar mainan dengan bunyi lonceng yang menenangkan. Selain itu sepi, dan ia memandangiku, dengan pandangan penuh harapnya.
"Elnal, anak kita, itukah anak kita Elnal?"
Elnal? Siapa? Ah, ya itu aku. Dan aku mengangguk, dalam penuh kesedihan misterius yang entah mengapa kucoba sembunyikan kepadanya.
"Tolong sini bawakan dia ke ibunya, sini, tolong aku Elnal."
Dalam perasaan sakit hati aku berjalan menuju kasur bayi itu, dan kulihat terdapat sosok yang diam, lemas, tak bergerak, bernafas dalam sunyi. Sosok itu seperti ibunya, putih, ditutupi bulu-bulu kecil yang membuatnya hangat. Dalam selimut tipis yang menutupi badannya.
"..."
Tapi dia tidak normal, dia tidak hidup, tidak ada nyawa di dalamnya. Melihatnya langsung aku berkonklusi seperti itu, pikiran yang sekejap muncul begitu saja. Aku kemudian mengangkat bayi itu dengan kedua tanganku, menggendongnya dengan lembut, dan perlahan membawakannya ke ibunya, ah, istriku, Aide.
"Anakku... oh anakku."
Aide memeluknya, tapi bayi itu tidak merespon. Mata Aide tiba-tiba terbuka lebar seakan hatinya berdebar penuh kepanikan, ia buka bajunya dan memberikan payudaranya, dan bayi itu tidak juga merespon. Hanya air liur mengalir dari mulutnya, dan matanya yang kosong memandang langit-langit.
"Aide..."
Aku berusaha memberitahunya, memberitahu kabar buruk, entah kabar buruk apa. Aku merasai apa yang sosok Elnal ini rasai, rasa sesak, hingga rasanya susah bernafas, susah berkata apa-apa.
"Elnal... aku tidak bisa mencium bauku darinya..."
"Anak kita..."
"Aku tak bisa merasai ruhnya."
"Maafkan aku Aide."
"Elnal tinggalkan aku."
"Aide..."
"TINGGALKAN AKU SENDIRI!"
Aku segera berdiri, berlari, tak tertahankan sakit hatiku. Segera aku keluar menuju pintu, dan sebelum keluar itu aku menyempatkan menatap beberapa detik ke arahnya lagi. Ia masih berteriak dalam kata-kata yang tidak kumengerti, memeluk bayinya yang ia kandung dua tahun lebih, bayinya yang dengan segala kesedihan tersebut tidak mampu bereaksi sama sekali. Dia hanyalah daging berlapis kulit sisik dengan organ-organnya, wadah kosong, yang sebentar lagi mati. Perlahan pintu itu kututup, dan tangis keluar dari mataku, dengan nafas tersedak-sedak.
Pikiran asing di kepalaku berteriak-teriak, "Oh tuhan, mengapa engkau tak mengasihani kami, setelah semua yang kami lalui!"
Di luar kamar itu aku melihat sosok malaikat bisu yang bersender pada tembok, seperti telah menunggu lama. Dewasa, boneka porselin itu kini memiliki sayap yang utuh. Di belakangnya terdapat pelayan-pelayan yang bersujud di depan pintu, mereka seperti istriku yang dipenuhi bebuluan burung tak bersayap tertutupi baju jubah yang besar. Aku sambil menyembunyikan air mata di wajahku menyuruh salah satu dari mereka masuk untuk menemani Aide.
Dalam sesak tangis aku berjalan, lemas menyusuri lorong rumah besar yang asing tapi sekaligus itu juga terasa familiar, benar-benar perasaan yang saling kontradiktif, sempoyongan aku memasuki kamar, dan menatap kaca di hadapanku.
Siapa? Siapa sosok di hadapanku ini?
Bersisik di sekujur tubuhku, dan seperti nyala api korek yang menyulut membara di kepalaku. Dalam hatiku kurasai suatu kejijikan, keterasingan, dan perbedaan yang menyesakkan. Perasaan ini aku mengenalnya, ini perasaanku selama ini menjadi seorang Racke, menjadi berbeda, menjadi asing, kesendirian dan ketersiksaan melihat orang-orang yang kusayangi menderita karenanya.
Dan tiba-tiba kudengar suara panik, teriakan.
"Oh Tuhan, Nona!"
Aku segera keluar, dan berlari dalam panik.
Jangan, jangan lagi.
"Tuan..."
"Oh Aide..."
Aide berdiri menggendong bayi tersebut, menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Terdapat pisau di lantai, dan darah yang mengalir turun dari gendongan Aide.
"Lihat Elnal, lihat. Mirip sekali hidungnya denganmu, dan matanya mirip sepertiku, biru laut yang menyejukkan, bayi manis ini."
Darah keluar deras dari leher bayi tersebut.
"Aide, sini."
Aide menjauhiku.
"Dia baru saja tertidur, ssstt..."
"Aide, kumohon."
"Ssssttt... barusan dia menangis, menangis keras Elnal. Dan kini akhirnya dia terdiam, tertidur di gendonganku, ibunya."
Dan aku terduduk lemas, dan darah perlahan menggenangi kakiku, memperlihatkan refleksiku di darah itu, sosok api membara, terkutuk, iblis.
...
"Elnal."
Suara memanggilku, dan tiba-tiba aku sudah terduduk di singsana. Orang-orang bersujud, dan dihadapanku terdapat sosok malaikat dengan sayap hitam mengenakan topeng keemasan. Jantungku tiba-tiba saja berdebar melihatnya, seperti penampakan yang sering kulihat. Dan tanganku tiba-tiba saja hangat, malaikat bisu memegangi tanganku.
"Dan kau sudah tahu, bahwa aku disini atas nama Tuhan tengah menunggu keputusanmu."
Aku tak tahu apa yang ia maksud, tapi hatiku merasa telah mantap menjawab, Elnal, badan ini, tahu apa yang harus dikatakannya. Seketika aku merasakan sensasi aneh, seperti potong-potongan masa lalu. Sebuah ekspetasi, dan kehancuran yang mengikutinya. Wabah penyakit, bayi-bayi yang lahir tak bernyawa. Politik, perang, agama, ketidakadilan, kemiskinan, pengkhianatan. Dan terakhir cinta, ilusi yang begitu menyakitkan, seakan membantingku menuju ketiadaan.
"Aku memutus—"
Tiba-tiba aku tak bisa melanjutkan kata-kataku, dan kusadari semuanya berhenti mematung. Lilin-lilin yang memenuhi ruangan ini lalu turut mati, ruangan aula menjadi redup, gelap. Suara petir tiba-tiba muncul dari awan yang entah kapan telah memenuhi langit-langit ruangan. Ketika itu kulihat nafas malaikat bisu tersengal-sengal, hanya dia dan aku yang satu-satunya yang tidak mematung di ruangan ini.
"Akhirnya aku menemukanmu."
Aku merasakan tangan malaikat bisu menggenggam tanganku erat, sayapnya terbuka lebar penuh cahaya menyilaukan ruangan yang gelap ini. Kulihat wajahnya penuh amarah selagi dunia mimpi ini berhenti. Selagi itu muncul awan, kemerahan, menutupi malaikat bersayap hitam. Suara misterius itu berasal dari awan tersebut, dan ia tak bergeming pada gertak malaikat bisu dan melanjutkan ucapannya.
"Semua ini adalah akhir juga peringatan awal dari sandiwara tuhan."
"Siapa kau?"
"Temanmu, kawanmu, saudaramu. Beheric."
Sekali lagi nama yang terdengar begitu familiar.
"Jangan biarkan tuhan memainkanmu saudaraku, jangan lagi kau menginjakan kakimu dalam siklus yang ia ciptakan."
Kepalaku tiba-tiba begitu sakit, dan malaikat bisu memelukku. Sayapnya perlahan-lahan menutupiku.
"Ingat kata-kataku ini: Lawan, lawan dia."
Dan tiba-tiba aku merasa lemas, lelah, mimpi ini terasa begitu melelahkan. Lalu sayap malaikat bisu menutup rapat, dan semuanya gelap kembali.
*Bersambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar