Sabtu, 11 Maret 2017

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 12.5

Chapter 12.5 : Aslan Grief

Cahaya remang mulai masuk melewati jendela bermosaik di aula yang sebelumnya dirombak menjadi tempat pengadilan. Lantai kotor, berbau muntah, penuh dengan sayur-sayuran yang dibuang Cuma-Cuma, batu-batu kerikil yang dibawa dari luar, dan darah. Di tangga panggung, Aslan duduk sendirian disana sambil mengepalkan tangannya, menaruhnya di dagu, menekuk wajahnya.
Bayang-bayang memilukan memenuhi kepalanya. Seorang ibu yang sudah tidak berdaya, seorang anak yang bersimbah darah yang hampir dibuat babak belur seperti ibunya. Dia melihat badannya yang kekar kini penuh dengan lebam biru ketika melindungi anak tersebut, walau sakit, tapi tak sesakit perasaan yang kini mengaung dalam hatinya.
Dia merasa, baru saja melakukan kelalaian, yang membuat dua orang tidak bersalah ini teraniaya karenanya.
Baru saja dia berdebat dengan warga desa, bahkan mengeluarkan janji kosong untuk membawa dokter yang mampu menyembuhkan wabah di desa ini. Pikirannya juga dipenuhi dengan kejadian yang menahan dirinya pergi ke pengadilan, kapalnya yang lepas secara misterius berlabuh sendirian di lautan terhempas angin darat membuatnya harus memprioritaskan mata pencahariannya dalam ancaman karam, dan hal ini membuatnya begitu malu karena ia tidak berpikir jauh bahwa kebencian warga desa sudah jauh di luar nalar, dan perasaan yang tertinggal adalah seakan ia mengorbankan harga dirinya, kode moral yang ia pegang selama ini.
Pintu terbuka, angin kencang masuk bersama salju dan sosok berjaket tebal, sebelum sosok tersebut menutup lagi pintu besar tersebut dengan punggungnya, angin meniup tudung tersebut, membuat rambut yang tersembunyi dalam tudung tersebut terurai. Aslan mengenali rambut panjang hitam itu adalah milik istrinya seorang.
"Aslan... kau tidak apa?"
Istrinya, Selena, melihat badan Aslan yang sama lebamnya dengan anak yang diantarkan ke rumahnya oleh kru suaminya. Tapi hatinya lebih sedih melihat wajah suaminya itu, yang terlihat begitu bersalah. Seumur-umur pernikahan mereka, dia tidak pernah melihat sosok yang hidup penuh dengan kebanggaan ini terlihat penuh dengan beban dan kesal seperti ini.
Selena pun berjalan, duduk disamping suaminya yang tidak menjawab pertanyaannya, bertanda bahwa tidak baik-baik saja.
"Kau lihat tempat ini, baru saja seorang ibu dipukul dan ditendangi di hadapan anaknya. Baru saja tergelinang darah seorang anak yang tidak bersalah disini."
"Aslan..."
"Kau tahu apa yang anaknya katakan kepadaku saat itu? Mereka yang mampu melakukan dan membiarkan sesuatu yang mengerikan seperti ini adalah monster. Dan umurnya tidak lebih tua dari Hammond anak kita."
Selena diam, tidak tahu harus berkata apa. Suaminya saat itu menengok kepadanya, dan ia menatap tatapan sedih suaminya itu, tatapan asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya di mata suaminya.
"Bisa kau bayangkan Selena, ketika kita dipilih untuk memotong tangan kiri atau tangan kanan, bukankah wajar untuk memotong tangan kiri kita?"
Selena hanya bisa mengangguk. Suaminya pasti sedang bersedih dengan keadaan keluarga Lenard yang kini dirawat di rumah mereka pikir Selena. Disini dia sedang berdebat dalam dirinya sendiri, untuk melakukan pembenaran atas perbuatannya, ataupun menanggung kesalahannya sendiri. Dia tentu tidak ingin suaminya menanggung beban ini, dia ingin suaminya berpikir bahwa pilihannya benar, untuk mengorbankan tangan kirinya demi tangan kanan dominannya yang berharga, dia tidak berbuat apa-apa untuk keluar dari eksekusi tersebut.
"Kau tidak salah Aslan...kau sudah berusaha sebaik-baiknya..."
"Oh Selena, akan tetapi sama sakitnya apapun keputusanku, aku akan tetap menyesalinya."
"Tidak Aslan, kau haru—"
Tiba-tiba Aslan memegang tangan istrinya, wajahnya memerah dengan ekspresi marah.
"Aku mengorbankan harga diriku, pegangan hidup yang terus kupegang selama ini? Seakan... seakan nilai-nilai kehormatan yang kupunya..."
Selena mendengar itu langsung memeluk suaminya. Entah mengapa dadanya menjadi sesak. Dia tidak pernah melihat suaminya seputus-asa ini. Dia sadar bahwa ekspresi marahnya adalah kemarahan terhadap dirinya sendiri. Selena takut Aslan mulai membenci dirinya sendiri.
"Jangan pernah bilang seakan-akan kau sudah kehilangan segalanya Aslan..." Selena melepas peluknya, Aslan saat itu menyadari istrinya sama ikut menangis bersamanya, "Kau masih memiliki keluarga yang menunggumu di rumah, kau masih punya aku, dan keluarga Lenard yang kau merasa bersalah karenanya, mereka masih membutuhkan bantuan kita. Jangan bilang seakan-akan kau telah mentelantarkan mereka, ataupun mentelantarkan apa yang telah kau pegang teguh selama ini."
Aslan melihat istrinya sama bersedih seperti dirinya.
"Maafkan aku Selena..."
Selena menggelengkan kepalanya.
"Tidak Aslan, jika bisa, aku juga ingin merasakan apa yang kau rasakan, aku ingin tahu beban yang kau pegang selama ini." Selena tersenyum lagi, menyeka air matanya, "Kau selalu terlihat menjadi tokoh figur yang menganggumkan, di mataku, di mata anak-anak, dan juga warga desa. Seakan tak ada masalah yang tak bisa kau selesaikan. Tapi melihatmu kini, aku menjadi tahu bahwa terdapat sisi yang belum kulihat dari dirimu Aslan. Dan aku ingin, jika kau memiliki beban berat di punggungmu, aku ingin bisa menampung beban itu bersama."
Ketika Aslan mencium bibir istrinya, seakan dia menemukan pengampunan disitu. Selena mendorong suaminya dalam wajah memerahnya. Dia lalu menunjukan keranjang berisi sayur dan ikan yang ia taruh di sampingnya.
"Mereka di rumah pasti sedang kelaparan."
Lalu menarik tangan suaminya, keluar dari ruangan kelam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar