Jumat, 10 Maret 2017

Simfoni Cahaya Bulan - Chapter 12

Chapter 12: New Home
Ketika kubuka mataku, malaikat bisu ada disebelahku, menggenggam tanganku erat sambil air mata mengalir dari pipinya. Badanku lelah, terbangun dari mimpi yang lama dan asing. Suara asing terngiang di kepalaku: Lawan, lawan dia! Mimpi yang terasa begitu nyata, begitu aneh, bagaimana aku berada dalam tubuh lain, dunia yang lain. Mencoba mengingat lagi, hanya gambar-gambar yang buyar, malaikat, burung, sisik, bayi, rasa sedih? Dan yang jelas suara asing itu.
Mencoba mengingatnya membuat kepalaku pusing, mencoba melihat sekitar dan ternyata pandanganku buram. Ini dimana? Duh! Kepalaku sakit, perih.
Sensasi ini...
Kupegang kepalaku, dan ternyata terdapat perban yang membalut kepalaku. Ah, kepalaku baru saja terbentur batu, dan ibu? Ibu!
"Ibu!"
Aku membangunkan badanku, dan aku merasakan nyeri luar biasa.
"Racke... jangan langsung bangun begitu, sini minum obatnya."
Suara wanita dewasa, tapi bukan suara ibu.
"Ibu dimana?"
"Ibumu baik-baik saja, sini."
Tiba-tiba sosok itu dekat, membantuku menyender di bantal. Aku mulai sadar bahwa aku tertidur di sofa, di ruang yang asing. Sosok yang buyar itu juga kini mulai jelas. Sosok wanita yang cantik, rambutnya panjang hitam yang diikat melewati bahu kanannya. Dia menyuapiku obat, pahit!
"Uek!"
Aku seakan ingin melepehnya, membentuk ekspresi jijik, tapi tertelan juga. Wanita ini tertawa kecil melihat tingkahku, dan aku langsung menekuk wajahku malu. Entah mengapa.
"Kau tahu nak, semakin pahit, semakin cepat sembu—"
"Ibu, aku ingin ketemu ibu!"
Aku menengok ke kiri dan ke kanan tidak ada ibu. Aku menyeka mataku, dan semakin hilang buyar. Kulihat kejauhan, dan terdapat dua anak, mungkin seumuranku? Mengintip dibalik pintu yang terbuka.
"Nanti kalo Racke sudah baikan tante anterin ke ibu Racke, sekarang Racke istirahat."
"...Monster."
Dari kejauhan kudengar bisik "Monster" dari arah pintu tempat mereka mengintip. Wanita disebelahku menatap marah ke arah pintu tersebut.
"Clara!"
"Monster!"
Setelah berteriak, anak bernama Clara kemudian berlari menjauh. Wanita tersebut meminta maaf atas perbuatan anaknya, dan aku hanya diam. Entah mengapa aku merasa pernah melihat anak tersebut, mungkin yang sering bermain di depan teras? Walau demikian anak laki-laki disebelahnya masih berdiri di tempatnya, masih melihatku.
"Hammond, sini."
Anak bernama Hammond itu kemudian berjalan perlahan mendekatiku.
"Ini anakku Hammond, dan nama tante Selena. Dan yang kecil tadi namanya Clara. Sedangkan suamiku Aslan..." Tiba-tiba saja dia menelan ludahnya, aku melihat wajahnya sedikit pucat, "kini sedang berurusan dengan warga desa."
Aku hanya mengangguk dalam diam. Apakah aku dan ibu membuat mereka kini berada dalam masalah? Apakah aku harus meminta maaf? Berterima kasih? Pikiranku kosong, dan dalam bayanganku hanya ada ibu, ibu, dan ibu. Ibu kau dimana? Apa yang harus kulakukan.
Suasana terasa aneh dengan nyona Selena dan anaknya terdiam di hadapanku, aku merasakan kegelisahan di antara keduanya.
"Emm... Racke?"
Tiba-tiba Hammond berbicara, dan aku menengok perlahan padanya dalam rasa grogi luar biasa. Aku tak pernah bicara selain orang selain ibu.
"Boleh... aku pegang tandukmu?"
***
Sudah 30 menit, dan Hammond masih memegang-megang tandukku, dan kemudian menggoreskan pensil ke lembar kertas. Aku hanya diam setelah membolehkannya memegang tandukku. Nyonya Selena saat itu sudah pergi ke tempat suaminya, dan Clara berada di depan pintu kamar, masih mengintip-ngintip ketakutan.
Melihat Clara dan tatapan ketakutannya, aku menjadi ingat perasaan ketika tidak sengaja melihat seorang yang masuk teras rumah, dan berteriak menatapku. Matanya persis seperti itu, tatapan melihat monster, dan seakan sesuatu dalam dadaku yang telah kupedam lama meledak, entah dalam rasa sedih atau marah, perasaan bercampur-campur itu begitu menyiksa. Entah mengapa aku kini tak merasa seaneh itu lagi, kecuali sedih, dan ketidakberdayaan, seakan aku telah menerimanya setelah kejadian di tempat ibu tadi diadili.
"Hammond, menjauh darinya!"
"Clara! Mau kujitak kepalamu!?"
Clara mengeluarkan lidahnya, entah maksudnya apa? Tapi kulihat Hammond merasa kesal, dan memperlihatkan kepalnya, membuat Clara kabur. Ketika Hammond fokus menggambar lagi, Clara mengintip lagi.
"Racke, maafkan adikku."
Aku mengangguk, tapi tak bisa menjawab "Tidak apa." Seakan ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokanku.
"Kukira tak ada yang aneh dengan tandukmu, aku melihatnya unik bahkan..." Hammond terdiam sebentar, "Keren malah."
"..."
Aku diam dan diam, dalam rasa diam yang aneh bukan yang tadi-tadi, ada perasaan yang aneh di dadaku. Senang? Lebih dari itu.
"Tapi orang-orangnya melihatnya sebagai bencana, entah apa yang ada di pikiran mereka. Maksudku, tidak pernah ada yang memilih bukan kita menjadi seperti apa? Aku tiba-tiba saja menjadi aku, dan kau yang memiliki tanduk, aku pikir kau tidak memilih untuk memiliki tanduk. Jadi ini bukan salah siapa-siapa..." Dia diam sambil menghapus liku-liku di antara tandukku yang kini ia gambar, dan melanjutkan lagi, "Jika ada yang mau disalahkan, yah tuhan yang salah bukan?"
Aku hanya bisa mengangguk.
"Dan bagaimana bisa mereka kesal pada mahluk ciptaan tuhan, yang mereka elu-elukan?"
"...em, terima kasih."
Wajahku memerah. Perasaan senang, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Suatu penerimaan, yang bahkan tidak pernah ibu lakukan padaku.
"Kakak nanti kakak sakit!"
Dan tiba-tiba Clara sudah ada di belakang Hammond, menarik bajunya. Ketika itu Clara tiba-tiba saja memandangku, dan mata kita berdua bertemu.
"Huaaaa, kakak, aku lihat lagi matanya!"
"Maafkan Clara yah Racke, dia dengar cerita anak-anak jadinya seperti itu. Dan omong-omong, tandukmu ini unik sekali, bukan tanduk kambing, ataupun rusa, sebagaimana deskripsi beastman kebanyakan..." Mendengar kata beastman jantungku seakan meloncat, seakan teriakan orang di aula kembali terdengar, beastman! Beastman sialan! Dan Hammond memegang mulutnya seakan tersadar apa yang ia ucapkan, "Ah maaf, aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan beastman."
"...Tidak apa...apa..."
Lalu kudengar pintu terbuka.
"Ibu pulang!"
"Ibuuuu!!!"
Clara berlari ke arah ibunya, dan tinggal aku berdua dengan Hammond. Aku ingin sekali bicara dengan Hammond, tapi apa...
"...Kambing, seperti apa kambing itu?"
"Kau tidak tahu kambing?"
Aku menggelengkan kepalaku, dan Hammond tertawa kecil. Lalu dia bercerita tentang hewan itu, yang memakan rerumputan, berbulu, yang menghasilkan susu, walau tidak sebanyak sapi tapi tidak kalah enak. Berbau tidak enak, tapi katanya untuk menarik betina. Dagingnya enak, tapi bau amis kalau tidak dimasak dengan bumbu. Tanduknya melekuk ke belakang, namun di beberapa tempat beragam juga liku-likunya. Matanya kotak, dan giginya hanya dibawah panjang-panjang.
"Benar kau tak pernah lihat?"
"Hanya di buku."
"Jadi kau tahu?"
"Aku..." Aku hanya ingin mencari bahan pembicaraan, "Aku lupa."
Dan Hammond bercerita tentang sapi, rusa, dan lainnya menghentikan gambarnya. Dan tiba-tiba tercium bau harum, dan pintu terbuka. Aslan datang, dan kembali suara kaki kecil Clara terdengar berlari menuju ayahnya. Aslan yang melihatku mengobrol dengan anaknya Hammond tersenyum, mengelus kepala anaknya, dan pergi ke arah dapur.
"Ayo makan dulu semuanya! Hammond, bisa bantu Racke kesini?"
Hammond mencoba membangunkanku, dan kulihat tubuhku dipenuhi lebam. Aku tidak ingat apa yang terjadi selain kepalaku terbentur, tapi jelas orang-orang telah melampiaskan kekesalannya padaku. Di meja makan, aku melihat juga lebam-lebam di tangan dan wajah Aslan. Apa dia melindungiku?
"...Maaf..." Aku ingin meminta maaf, tapi sesak, aku berbicara seperti berbisik.
"Apa Racke?" Hammond yang mendengarku tiba-tiba berbicara, membuat semuanya beralih melihatku.
Aku menggelengkan kepalaku entah mengapa, tapi dadaku sesak.
"Aku tahu ada yang kau tahan Racke, ucapkan, jika itu membuatmu lega."
Aslan seakan tahu ada yang mengganjal dalam diriku. Lalu kukepalkan tanganku, aku harus bicara, ibu, aku harus bicara bukan?
"Maafkan aku, dan juga ibu... Aku pasti membawa masalah." Aku berbicara tersebut sambil melihat Aslan, dan Aslan hanya tersenyum walau terliha sedih di matanya, mengeluskan kepalaku.
"Aku yang seharusnya minta maaf, karena tak bisa melindungi kalian berdua dari ketidakadilan tadi."
"Sudah, sudah..." Nyonya Selena menaruh piring dan menuangkan sup, dan kulihat sup itu seperti sup yang ibu buat kemarin, sup ikan. "Lanjutkan lagi pembicaraan setelah makan."
Aslan kemudian mempin doa, sesuatu yang tak pernah ibu lakukan. Setelah berdoa, semuanya memakan lahap makanan mereka. Saat itu, aku menjadi ingat ibu, sup ibu, ibu yang kemarin hanya makan sedikit, yang ia berikan banyak padakku. Dimana dia sekarang? Apa ibu sudah makan?
Dalam bayanganku ibu sedang makan di hadapanku, dalam senyumnya, dalam setengah mangkuk itu. Lalu dia lihat mulutku yang belepotan, dan ia lap mulutku. Betapa senangnya ibu kemarin melihat anaknya dalam kenyang, walau ia hanya makan sedikit, yang mungkin masih berbunyi perutnya yang masih berteriak ingin. Ibu pasti sedih kalau aku tidak makan karena khawatir padanya. Dan aku segera melahap sup ini, juga roti disebelahku, benar-benar aku lapar, dan kupikir kini ibu tersenyum melihatku.
Enak.
Enak sekali ibu.
Dan aku tiba-tiba saja aku menangis, dan keluarga Aslan terdiam melihatku.
"Terima kasih..."
Seakan ibu menyuruhku mengucapkannya.
"Terima kasih..."
Dan aku mengucapkannya dua kali, seakan sekali saja tak cukup. Ibu, pertama kalinya aku sekenyang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar