Rabu, 09 April 2025

Jerat Sinisme pada Masyrakat

Sehari-hari, saya melihat kawan-kawan sosial media, mengejek masyarakat umum: soal pilihan politik mereka ke no.2, soal cara mereka yang berkendara sembrono, budaya-budaya yang dianggap “udik” seperti sound system horeg, atau aksi mereka memunguti telur yang berserakan saat ada truk telur yang terguling, dan banyak hal lainnya. Semua itu dikomentari dengan nada sinis, dibumbui istilah merendahkan seperti “SDM rendah”, seakan mereka adalah manusia yang terpisah dari kita, lebih rendah.

Entah mengapa, saya merasa terusik dengan cara pandang seperti ini. Terutama karena sebagian besar yang bersikap sinis itu merasa dirinya intelektual, tercerahkan, “berpendidikan”. Tapi, mengapa mereka tidak mencoba bertanya: dari mana asal-usul sifat-sifat yang mereka ejek itu bisa muncul? Mengapa kita tidak tertarik menelusuri bagaimana “kedunguan” itu terbentuk di masyarakat?

Saya teringat pada satu eksperimen berpikir. Ketika kita lahir, kita tidak pernah memilih banyak hal, jenis kelamin, etnis, agama, tingkat kekayaan, status sosial, bahkan tingkat kecerdasan. Di eksperimen berpikir ini kita diajak membayangkan: jika saya lahir sebagai mereka, dalam lingkungan dan kondisi mereka, apakah saya menjadi mereka?

Dan jika saya jujur menjawab, maka saya yakin: ya, saya juga akan menjadi bagian dari “SDM rendah” itu.

Saya ada di posisi ini, yang bisa menulis, merenung, merasa resah, karena banyak faktor yang yang tidak saya pilih. Orang tua yang terbuka, lingkungan pertemanan yang suportif, akses pendidikan yang cukup, dan kondisi ekonomi yang memungkinan saya sekolah hingga sarjana. Tapi, jika saya dibesarkan di lingkungan yang keras, yang sehari-ahrinya hanya tentang bertahan hidup, yang jauh dari bacaan, ruang diskusi yang melatih cara berpikir kritis, yang tidak memberi kesempatan untuk keluar dari cangkang “kejenakaan” itu, maka besar kemungkinan saya akan mengulang pola yang sama seperti mereka.

Lagipula, mari kita jujur: apakah sistem pendidikan formal di negeri ini, selain di segelintir sekolah favorit atau swasta elit, sungguh mampu membawa seseorang keluar dari kebodohan struktural? Pendidikan di banyak tempat justru tak mengubah apa-apa, bahkan memperpanjang siklus kedunguan yang diwariskan. Maka, kalau kebodohan itu tetap terjadi, seringkali itu bukan karena pilihan mereka, melainkan hasil dari sistem yang gagal dan tak mereka kendalikan.

Saya pernah mengalami langsung, ketika turun ke masyarakat dalam kegiatan KKN di daerah yang sangat tertinggal. Di sana, sebagian besar hanya tamat SD atau SMP karena untuk jenjang SMA mereka harus menyebrang lewat perahu dan kemudian naik angkot yang total perlu waktu 30 bahkan 1 jam lamanya, belum lagi biaya buku dan seragam, membuat orang tua dan anaknya sendiri malas mengenyam pendidikan lanjut. Tempat KKN saya ini disebut-sebut sebagai “gudang TKI”. Dan memang, kejenakaan yang kerap dikutuk warganet terjadi di sana: orang tua yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri lewat agen ilegal yang berujung perdagangan manusia; kasus kekerasan pada wanita bahkan pemerkosaan yang diselesaikan dengan pernikahan paksa; perdukunan yang banyak dijadikan jalan keluar instant; suami pengangguran yang berpoligami dengan istri-istri yang semuanya menjadi TKW. Dan yang lebih memilukan, banyak dari itu semua sudah dianggap wajar!

Namun, di sisi lain, saya juga melihat sesuatu yang berbeda. Saya melihat kehangat mereka menjamu orang asing, semangat gotong-royong untuk membangun desa seperti ketika kita membangun bank sampah, posdaya, perpustakaan dan mengenalkan potensi bisnis desa, solidaritas di antara rumah-rumah yang belum berubin seperti merawat tetangga yang sakit sampai berbagi makanan agar tidak ada tetangga yang kelaparan. Mereka sama-sama berharap kehidupan yang lebih baik di masa depan sehingga tidak perlu lagi takut oleh rasa lapar dan ditindas, juga kehidupan anak-anak mereka yang bisa lebih baik dari apa yang mereka alami. Jiwa perlawanan mereka juga bergejolak ketika penghidupan mereka terganggu, berdemo terkait lahan pertanian mereka yang dijadikan lahan latihan tentara atau pula kerugian akibat air yang kotor oleh oli ketika kilang minyak meledak, dan berakhir kembali lebam-lebam kena sol sepatu boot tentara.

Kalau saya tidak pernah melakukan eksperimen berpikir, kalau saya tidak pernah benar-benar turun dan menyelami realitas mereka, mungkin saya juga akan dengan mudah ikut menghakimi di sosial media. Tapi kini, setelah memahami bahwa “kejenakaan” itu bukan semata-mata produk dari pilihan bebas, melainkan lebih banyak merupakan hasil dari tempaan lingkungan yang kompleks, saya bisa melihat diri saya dalam diri mereka, sebagai sesama manusia.

Manusia itu kemudian dibentuk oleh lingkungan, oleh nasib, oleh sistem. Dan dari campuran itu, lahirlah “Aku”. Tapi di tempat lain, dari campuran yang berbeda, lahirlah “Mereka”. Dan kesadaran ini yang kini membuat saya resah, bahwa begitu banyak orang memilih untuk mengejek daripada memahami, untuk menghina daripada menyelami, dan untuk merasa lebih tinggi tanpa menyadari bahwa mereka hanyalah orang-orang yang sedang berada di sisi beruntung dari dadu kehidupan…

Tulisan ini bukan ajakan untuk menoleransi semua hal yang salah. Hati nurani dan kompas moral kita tetap harus bekerja. Kita tetap harus mengutuk hal-hal yang salah. Tapi bisakah kita melakukannya tanpa kehilangan empati? Bisakah kita marah tanpa menjadi sinis? Dan bisakah kita mengkritik tanpa kehilangan belas kasih terhadap masyarakat umum, sebagai sesama manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar