Senin, 14 April 2025

Retrospektif 1

“Uangmu ditabung buat apa?”

“Buat RTX 4070 TI Super.”

Saya menjawab tanpa beban. Tapi respon yang saya dapat, “goblok”, cukup membuat saya diam sejenak. Bukan karena tersinggung. Tapi karena... saya mengerti.

Di usia saya sekarang, dengan kondisi ekonomi yang masih merangkak, membeli barang semacam itu memang tidak masuk akal. Apalagi, kata mereka, seumuran saya ini harusnya sudah mulai menabung buat menikah, beli rumah, kendaraan, dan segala tetek bengek masa depan mapan. Saya tak menyangkal itu. Semua itu penting. Bahkan, kalau mau, saya bisa mulai mencicilnya hari ini. Tapi ada yang lebih mendesak, sesuatu yang tidak bisa dicicil: jiwa saya meronta.

Itu bukan sekadar keinginan, itu suara dari masa lalu, seorang anak kecil yang dipaksa mengalah, puluhan tahun lalu, yang hanya bisa menatap layar youtube untuk melihat orang memainkan game yang ingin dimainkannya, tatapan iri pada teman-temannya yang bermain dengan apa yang tak bisa ia sentuh. Anak kecil yang tidak pernah bimbel untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari sekolahnya yang buruk, tidak bisa belajar piano, gitar, atau menggambar, yang makanannya seadanya, yang tidak ikut perpisahan ke Jogja, semuanya karena tak ingin membebani orang tuanya yang harus membagi rejeki untuk empat orang anak.

Kini, setelah bertahun-tahun bekerja, akhirnya saya bisa menghasilkan pendapatan yang layak. Tapi jalan saya tidak pernah secepat mereka yang lulusan universitas terbaik, punya koneksi, fasilitas, dan keberuntungan. Saya harus menempuh waktu lebih panjang untuk sekadar bisa bilang, “Saya mampu.”

Jadi ketika saya kulineran, ikut les, menyewa personal trainer gym, atau menabung untuk RTX 4070 TI Super, itu bukan gaya hidup, itu cara saya menyembuhkan. Itu cara saya menyentuh tangan si anak kecil yang dulu tak bisa berteriak, dan berkata, “Sudah, sekarang giliranmu bahagia.”

Tentu, saya tahu kewajiban akan datang. Saya tahu usia ini bukan lagi usia bermain. Tapi sebelum semua itu menuntut seluruh waktu dan penghasilan saya, biarlah saya menuntaskan dendam lembut ini, dendam kepada kemiskinan, keterbatasan, dan diam-diam, kepada diri saya sendiri yang dulu selalu mengalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar