Kamis, 21 Agustus 2025

Harapan Yang Membunuh

Harapan yang berubah menjadi mimpi memiliki potensi yang bisa menjadikannya bahaya. Harapan sendiri adalah kepercayaan bahwa masih ada jalan di tengah keputusasaan. Kepercayaan itu adalah bagaimana kita memahami sesuatu yang mungkin akan terjadi, mungkin ada, dan dari kata “mungkin” tersebut juga, kemungkinannya untuk tidak ada dan takkan pernah terjadi. Bisa dibilang, kemanusiaan terus eksis dengan adanya harapan, dan kemampuan manusia untuk terus bermimpi.

Namun, ketika dunia telah runtuh, dan manusia tidak memiliki pondasi di dalam alam pikirannya (filsafat, ketahan psikologi, rasio) dan hanya berpijak di dalam harapan, maka ia tengah berdiri pada pondasi yang rapuh.

Pikiran di atas kepikiran ketika saya menonton Angel’s Egg milik Mamoru Oshii. Entah apa arti sesungguhnya film tersebut karena film tersebut memiliki direksi artistik yang avant garde. Tapi saya memahaminya begini: Si gadis melindungi sebuah telur, kita menganggap telur itu adalah telur sebuah malaikat. Di tengah dunia yang tanpa harap, satu-satunya harapan sang gadis adalah menetasnya telur tersebut, yang entah apa ekspetasi sang gadis, apakah malaikat itu akan membebaskannya atau sesuatu, telur tersebut memberikannya makna untuk hidup dan bertahan. Sampai suatu saat seorang pria misterius datang, terganggu dengan harapan palsu itu dan di akhir film akhirnya memecahkan telur tersebut. Sang gadis melihat telur itu ternyata selama ini adalah telur kosong, dan dalam rasa kehilangan, membunuh dirinya sendiri. Dia telah kehilangan harapan terakhirnya, makna hidupnya, momen the loss of faith atau faith collapse.

Tentu tulisan di atas bisa saja salah karena memori saya yang buruk (saya menonton film tersebut dulu sekali), dan bisa saja juga maknanya bukan demikian karena kedangkalan saya memahami film tersebut. Tapi, saya pikir, hampir semua orang, terutama di Indonesia, berpegang teguh pada harapan untuk bertahan. Entah, harapan itu adalah cita-cita, cinta, mimpi, agama, dan lain sebagainya. Ketika negeri ini ditengah krisis, kita memegang dengan erat harapan itu, untuk sekedar bertahan.

Tapi bagaimana jika kita menghadapi the loss of faith moment? Seorang yang percaya akan kebaikan tuhan, tiba-tiba melihat sesuatu kekejaman luar biasa yang tuhan, yang maha kuasa dan maha baik, tidak mencegahnya. Seseorang yang mempercayai kemanusiaan, melihat kekejian massa di hadapannya. Seseorang yang berpegang teguh pada mimpi, kemudian dihadapi oleh kesadaran akan tembok seperti ekonomi, bakat dan keberuntungan. Seseorang yang berharap pada yang tercinta, untuk suatu saat ditinggal, mungkin dalam fisik (mati) atau pengkhianatan yang menyedihkan.

Belum lagi kita berbicara orang-orang yang mengeksploitasi harapan. Para messiah karbitan — politikus, pemuka agama, atau influencer motivasi, yang tahu orang-orang memakan telan-telan siapapun yang menjual harapan untuk memberi perasaan damai di antara kekacauan sehari-hari. Bagaimana mereka tergantung-gantung di dalamnya, berkonflik karenanya, dan kemudian mati secara filosofis dan bahkan materi ketika harapan itu pupus di tengah jalan. 

Saya berharap bisa menulis solusi di antara pernyataan ini, misal ketika saya berbicara soal filsafat, psikologis, rasionalitas yang demikian klise, tapi ketika kita berbicara soal nature manusia, memang kita adalah mahluk yang terus menerus memegang harapan dan tidak akan bisa menolaknya (menolaknya adalah hal yang bodoh). Pun jika secara sadar kita menolak alih-alih tidak ingin tersakiti, alam bawah sadar kita, yang tidak bisa kita kendalikan akan terus memasang ekspetasi akan adanya harapan, dan kita dipaksa untuk menjalaninya, menderita di dalamnya. 

Maka, mungkin, jalan terbaik adalah menerima. Misal, menerima fakta bahwa harapan adalah kemungkinan bukan kepastian. Bahwa semua belum tentu bermakna, bahkan kemungkinan besar tidak bermakna. Bahwa meski goyah, ketika kita berada di momen telur malaikat pecah dan tidak ada apapun di dalamnya, kita tetap tidak kehilangan pijakan untuk berdiri, karena kita sudah tidak lagi bersandar (lepas dari keterikatan), dan terus tetap melangkah mencari makna baru di dalam hidup.


Minggu, 17 Agustus 2025

Panik

Seorang yang saya kenal berteriak tepat di depan wajah saya sembari menjambaki rambutnya. Ia sendiri tidak benar-benar paham apa yang ia teriakkan. Jantungnya berdebar kencang, kepalanya terasa seperti dipukul benda tumpul, dan perasaannya kacau balau.

Sehari-hari hidupnya berjalan sama: bangun, mandi, berangkat kerja, berdesakan di kereta, pulang, kembali berdesakan di kereta, lalu tidur. Esoknya bangun, mengulang rutinitas itu lagi. Di akhir pekan, ia lebih banyak tidur untuk melepas letih. Sesekali menatap layar ponselnya, melihat reels dan story teman-temannya yang tampak bergembira.

Malam menjelang Senin, kami sempat mengobrol tentang hal-hal remeh, hingga tiba-tiba ledakan itu muncul.

Ketika saya tanya, ia hanya menjawab, “Gak tahu aku…”

Napasnya tersengal, tubuhnya rebah seakan sulit bernapas. Saya bingung harus berbuat apa — apakah perlu membawanya ke klinik, ke UGD? Ia menolak. “Biarkan… nanti reda sendiri,” katanya.

Lalu ia bercerita. Katanya, ia tidak bisa melihat masa depan. Di dalam dirinya ada kehampaan besar, perasaan bahwa dunia ini tidak menginginkan keberadaannya. Ia pernah ditolak di tempat-tempat yang menyimpan mimpinya. Kini ia bekerja di sebuah tempat yang bisa dimasuki siapa saja, hanya demi bertahan hidup. Tapi bertahan… untuk apa?

Hobinya pun seakan menguap. Ia bahkan lupa apa hobinya. Menonton film tidak lagi menyenangkan. Menulis, tak sanggup ia susun lebih dari dua kalimat. Hubungan antar manusia pun sama: renggang, jauh, seakan tidak ada pegangan. Teman-temannya sibuk dengan hidup masing-masing, begitu juga dirinya. Percintaan pun kandas, selalu jatuh ke dalam kedangkalan — karena ia tidak mampu mencintai dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa mencintai orang lain?

Ia berkata pernah bermimpi sudah mati. Ada kesedihan singkat, hanya sebatas kenangan dalam obrolan. Lalu hidup berjalan kembali, seperti biasa. Kesibukan membuat orang-orang tak bisa lama-lama bersedih. Perlahan, kuburnya pun tak lagi dikunjungi. Lumut tumbuh, lalu kuburan lain menimpa. Ia dilupakan. “Begitulah nasib manusia di bumi,” ucapnya.

Kehampaan itu, katanya, seperti berada di ruang antariksa yang sunyi. Meski kami sedang bicara hal remeh, di dalam dirinya ia merasa terlempar ke ruang kosong itu. Panik, karena hidup baginya tidak punya arti apa-apa.

Ia merasa terjebak dalam keputusan-keputusan salah, yang menyeretnya ke rutinitas menyesakkan.

Ia lelah. Ia berteriak sekencang mungkin, mencoba keluar dari kekosongan itu. Rasanya seperti bangun dari tindihan: tubuh lelah, jiwa tak berdaya.

“Biarkan aku berbaring di lantai,” katanya lirih.

Saya hanya bisa diam. Mendengarkan. Tanpa komentar. Karena sungguh, saya tidak sepenuhnya mengerti bagaimana rasanya terasing sedemikian rupa.

Jumat, 08 Agustus 2025

Pertanyaan Untuk Menikah

Memasuki usia 30, pemandangan teman-teman yang sudah menikah dan menggendong anak menjadi hal biasa. Saudara-saudara dekat pun begitu. Maka, tidak heran jika obrolan ringan dengan ibu saya kini kerap dibuka dengan satu kalimat andalan: "Mau kapan kamu menikah?"

Saya tak mendengarnya sebagai tekanan atau ancaman. Mungkin berbeda dengan sebagian orang seusia saya yang akan menanggapinya dengan sebal atau sinis, bagi saya pertanyaan itu lahir dari kasih sayang. Ibu ingin saya bahagia, sama seperti kebahagiaan yang ia temukan dulu hingga akhirnya melahirkan saya. Bahagia yang, bagi banyak orang, selaras dengan definisi umum: dianjurkan agama, terhindar dari gosip, punya teman hidup yang bisa diandalkan, menyambung garis keturunan. Mungkin juga, ada perasaan bahwa tugas orang tua belum tuntas sebelum anaknya menikah.

Justru dari pertanyaan itu, muncul pertanyaan balik di kepala saya: "Kenapa menikah?" Apakah menikah adalah jawaban dari rasa kekosongan yang dirasakan orang-orang? Apakah ia hanya lompatan hidup yang diambil karena umur, atau tekanan sosial?

Bagi saya, pernikahan tidak seharusnya menjadi tahap otomatis seperti lulus sekolah, kuliah, lalu bekerja. Ia bukan sekadar "check point" hidup yang wajib dilewati. Menikah adalah pilihan, dan pilihan itu sebaiknya lahir dari pemahaman yang matang, bukan sekadar mengikuti tradisi atau memenuhi ekspektasi.

Lalu, apa esensinya menikah? Apakah kita menikah karena takut kesepian di masa tua? Karena ingin disambut ketika pulang kerja? Karena ingin punya anak yang bisa dibanggakan? Atau karena merasa hidup akan lebih berarti jika ada seseorang di samping kita? Agar ada yang menemani dan merawat di hari tua?

Mungkin semuanya benar, dan setiap orang bebas mendefinisikan alasan itu sendiri. Tapi bagi saya, esensi menikah sederhana: menemukan seseorang yang pantas dicintai dan bisa mencintai saya kembali, dengan utuh. Bersamanya, saya ingin membangun rumah yang tidak hanya berdiri dari bata dan semen, tapi dari kedamaian dan kenyamanan. Sebuah tempat yang aman untuk menjadi diri sendiri, tumbuh, dan saling menyembuhkan.

Jika semua itu ada, maka menikah adalah keputusan untuk mengikatnya. Sebuah kesimpulan bahwa hubungan ini layak dijaga selamanya. Bahwa cinta tidak dibiarkan mengambang, tapi diberi bentuk, dalam janji.

Namun, justru karena itu, pernikahan tidak bisa dianggap enteng. Di dalamnya bukan hanya ada dua insan, tapi juga dua keluarga, dua latar belakang, dua sistem nilai yang kadang saling bertabrakan. Ada janji yang diucapkan, ada komitmen finansial, ada tanggung jawab yang jauh melampaui urusan membagi tagihan atau memilih warna sofa. Ada anak-anak yang mungkin lahir, membawa kebahagiaan sekaligus tantangan baru. Semua ini perlu dipikirkan sejak sebelum janji itu diucapkan.

Memahami itu membuat saya sadar: pernikahan yang bagi banyak orang terasa wajar bahkan wajib, sesungguhnya adalah lembaga kehidupan yang berat. Ia tidak boleh menjadi bentuk pelarian dari masalah pribadi, pelampiasan luka lama, atau proyek "healing" yang disangka akan selesai dengan mengucap ijab kabul. Pernikahan justru butuh mentalitas yang siap lelah, siap kecewa, dan tetap memilih bertahan. Siap menghadapi pertengkaran dan tidak buru-buru menyerah ketika rasa cinta meredup.

Ironisnya, di zaman serba instan, menikah sering terasa seperti keputusan kilat. Ada aplikasi, swipe kanan, ngobrol sebentar, bertemu sekali dua kali, lalu menikah. Banyak yang merasa cukup dengan kriteria: sudah kerja, sudah mapan, sama-sama ingin cepat menikah. Cocok! Tapi apa yang dimaksud "cocok" di sini? Sama-sama takut kesepian? Sama-sama khawatir umur bertambah dan tekanan keluarga membesar?

Yang saya khawatirkan adalah: bagaimana jika ternyata, setelah semua gegap gempita, ternyata tidak cocok? Bagaimana jika yang awalnya manis berubah jadi beban? Karena ketika sudah menikah, semua rasa sakit harus ditanggung bersama. Keluarga yang awalnya terasa menyatu bisa menjadi sumber tekanan, bahkan memperlihatkan retak di dalamnya. Sering kali, dua orang yang dulu saling jatuh cinta, kini saling menjatuhkan. Hubungan yang dulu terasa rumah, kini lebih mirip penjara.

Saya tidak ingin itu. Saya tidak ingin pernikahan menjadi penjara. Saya ingin ia menjadi taman.

Taman tidak tumbuh dari bibit yang dilempar sembarangan. Ia butuh tanah yang subur, perawatan, kesabaran, dan komitmen jangka panjang. Sama halnya dengan pernikahan. Ia tidak lahir dari kepanikan sosial karena umur, bukan dari sekadar menyenangkan orang tua, bukan dari rasa lelah hidup sendiri. Ia lahir dari kesiapan dua orang untuk saling merawat, bahkan ketika perasaan tidak lagi seindah awal.

Maka, ketika ibu kembali bertanya, saya tidak membalas dengan sinis. Saya hanya tersenyum kadang menjawabnya dengan canda. Namun, terkadang saya ingin berkata:

"Bu, saya juga ingin menikah. Tapi bukan karena umur, bukan karena takut sepi. Saya ingin menikah karena saya telah menemukan seseorang yang membuat saya yakin, hidup bersamanya adalah pilihan yang masuk akal, bahkan di hari-hari tersulit."

Saya tahu, saya belum sampai di sana. Tapi saya tidak berdiam diri. Saya sedang belajar memahami diri, mencintai hidup, dan membuka ruang bagi orang lain masuk dengan cara yang sehat. Saya sedang memupuk tanah itu, meski belum tahu kapan bibit akan saya tanam.

Karena saya percaya, pernikahan yang baik tidak lahir dari tergesa. Ia lahir dari keberanian untuk mencintai sepenuhnya, dan dari kedewasaan untuk menjaga cinta itu, meski dunia tak lagi semanis hari pertama kita jatuh hati. Dan seperti taman, ia hanya akan indah jika dirawat setiap hari, bersama-sama.

Rabu, 23 Juli 2025

Nuance: The Subtle Force That Shapes Everything

We live in an age deeply obsessed with rationality. Neuroscience, statistics, and causality have become the main interpreters of human behavior. Today, it seems like the world can be mapped through charts, explained by algorithms, and governed by data. And to be honest, the rational world has indeed answered many questions. I genuinely appreciate the clarity that scientific methods bring in understanding human nature.

But there's something else—something quieter, often overlooked in public discourse. It flows beneath the surface, invisible, immeasurable, and yet it has the power to move us, shape our decisions, even redirect the course of our lives.

That something is nuance.

And by nuance, I don’t simply mean atmosphere or faint feelings. I mean the deepest layer of human experience, something that exists before language, before thought takes form, before we even realize we are feeling something.

We often use “nuance” to describe a mood: a cozy café with dim lights, slow indie jazz, and the aroma of freshly brewed coffee. But that’s only the surface. True nuance is not just ambiance, it’s the emotional resonance between our inner and outer world. It’s not decor; it’s a bridge that connects our senses with our consciousness.


Nuance in Art and Everyday Life

I often sense this force most clearly through art.

Take Solaris by Andrei Tarkovsky. Unlike most science fiction, the film opens with an almost frozen stillness: a slow-moving river, gently swaying leaves, the protagonist standing in quiet contemplation. Narratively, nothing much happens. But in that emptiness, a certain mood takes over—a feeling of cosmic longing, quiet spiritual search, and grief without a name. Tarkovsky doesn’t explain things through dense dialogue. He speaks through nuance. His films don’t inform, they make you feel. He doesn’t explain the world: he invites you to experience it.

I’ve also felt nuance powerfully in literature. In Dostoevsky’s Crime and Punishment, the setting of St. Petersburg isn’t just background. It becomes a mirror to Raskolnikov’s tormented psyche. The damp walls, muddy streets, the smell of alcohol, the heaviness of footsteps, they aren’t just descriptive flourishes. They press down on the character’s mind, and on ours. They justify, in a haunting way, the moral logic of the murder that follows.

I often ask myself: if that story had taken place in a blooming garden, with birds chirping and laughter in the air, would the idea of murder have felt believable? I doubt it. In this sense, nuance isn’t passive setting, it’s the psychological atmosphere that shapes human morality.

And just as art reflects life, so too does nuance seep into even our most mundane moments.

Once, I was stuck in traffic at noon. The heat was brutal, horns blaring, tempers flaring. In that tension, a small incident, a brush between motorcycles, quickly escalated. Words turned harsh. Fists clenched. A fight nearly broke out.

Yet another time, something similar happened, but the context was completely different. It was the eve of Ramadan. The air was cool after rain, the call to prayer echoed gently from a nearby mosque. My father accidentally scratched a man’s expensive motorcycle while backing up. The man looked furious at first. But then something softened. “It’s almost Ramadan,” he muttered, and even refused the money my father offered.

What was different between these two events? Not the logic. Not the rules. Not even the ethics.

It was nuance.


Nuance as an Instrument

Nuance is the emotional field that shapes how we interpret and respond to the world, even before we have time to think. It slips in between stimulus and reaction. It can comfort or provoke, heal or destroy. And like fire, it can be created, controlled, even manipulated.

In communication, nuance is the underground layer of every message. A great speaker doesn’t just master their content, they master atmosphere. They know that audiences don’t respond to facts alone, but to the emotional rhythm of delivery. When attention fades, they slow their speech, soften their tone, pause: not to give us time to think, but to build emotional tension.

Tone, word choice, pauses, facial expressions, even silence, are not just accessories. They are affective instruments.

In politics, nuance becomes a battleground for collective consciousness. A charismatic leader knows exactly when to pause, when to look straight into the camera, when to repeat a phrase with dramatic emphasis. In those moments, people don’t just listen—they feel. They feel united, awakened, or even ready to be sacrificed for a cause.

Every visual symbol: flags, uniforms, lighting, staging, becomes part of the emotional choreography of power. This isn’t aesthetics. It’s affective control.

Soekarno understood this intuitively. He built national spirit not just through ideology, but through gestures, voice, rhythm, and the historic atmosphere he conjured. On the darker side, Hitler demonstrated how nuance can override reason entirely. Through grand symbols, martial music, dramatic lighting, and a sense of urgency, he evoked awe and fear, fueling mass fanaticism.

In both cases, what’s being controlled isn’t thought, but the emotional climate in which thought occurs.

Even in street protests, nuance can shift the course of events. One impassioned voice, one chant filled with urgency, can spark a collective fever. And often, it doesn’t matter what’s being shouted, what matters is the emotional frequency it radiates. That’s the moment nuance takes over. The air changes. Tension spreads. Rationality dissolves. The crowd moves.

Some call it “momentum.” Others call it “critical mass” or “a revolutionary mood.” But what it really is: is nuance in command.


Nuance in the Spiritual Realm

Spiritual experiences, too, are carried more by nuance than doctrine. There is a subtle space that connects the soul to the transcendent, it's a space that can’t be explained, only felt. It is there that nuance lives. Not as background, but as the very medium of spiritual presence.

In Islam, long before a Quranic verse is understood, the gentle recitation already stirs the heart. The tone of the voice opens the soul, inviting listening not just with the ears, but with feeling.

In Christianity, the glow of candles, the echo of organs, the stillness of a chapel, these are not decorative. They create the sacred mood. They don’t symbolize the divine. They manifest it.

In Buddhism, nuance is even more central: the slow movement, the sound of a distant bell, the scent of incense. None of this explains anything. But all of it prepares the inner space where awareness can arise. Nuance becomes the entry point of enlightenment, not its object.

At its deepest, spirituality doesn’t just live in scripture or argument. It is born from vibrations that defy definition, tremors we only notice in silence, in stillness, in the unspeakable.

A prophet, in any tradition, is not just a bearer of divine words. He carries the divine mood. His presence affects the heart long before his words are understood. That’s why true spirituality is affective before it is cognitive. It touches first—then reveals.

In a world that races toward speed and certainty, nuance may seem trivial or even blurry. But perhaps it is in that very blurriness that the sacred finds its home.


Toward a Nuance Literacy

The question now is: are we even aware of the nuances that shape us?

Do we notice when we’re swept up in an atmosphere we don’t understand? Can we pause and ask: what am I actually feeling right now? Where did this mood come from? Who or what created this emotional space?

This, I believe, is the foundation of what we need: a literacy of nuance.

Not just emotional sensitivity, but a reflective capacity to decode the affective layers around us. Without this, we become easily manipulated, reactive, pulled by moods that don’t belong to us. We may find ourselves shouting in a mob without knowing why. Or crying in a ritual, unaware of what moved us.

Nuance literacy isn’t something taught in school. It grows through experience, introspection, and a willingness to stay quiet long enough to really feel.

It is a form of wisdom born from the courage to be still.


Closing Thoughts

Maybe we can’t fully tame nuance. But we can learn to live with it. To notice its presence. To use it ethically. And at the most decisive moments in life, we can choose to trust something that transcends logic, yet isn’t irrational: the nuance that rises from the depths of the soul.

In love, in friendship, in belief, in prayer: there is always a part of us that doesn’t decide with reason, but with feeling.

Nuance is the language before language.
It is movement before action, vibration before sound, light before shape.
It arrives quietly, but it defines everything.

In the end, it may not be logic that governs the human world, but something far more subtle, far more tender—
nuance.

  

Selasa, 08 Juli 2025

Tuhan Menyelubungi Semuanya

 Disclaimer

Tulisan ini adalah catatan reflektif dan kontemplatif pribadi, bukan kajian teologis formal. Segala penyebutan konsep keagamaan, baik dari Islam maupun tradisi iman lainnya, disampaikan dengan niat untuk memahami dan menjembatani makna spiritual yang lebih luas, bukan untuk menyeragamkan atau menyamakan keyakinan.

Jam menunjukan pukul satu dini hari.

Sekre saat itu dingin, dipenuhi asap rokok yang mengepul dari kretek-kretek racikan yang dililit di atas kertas papir manis. Meja tua reyot, botol plastik yang beberapanya adalah botol anggur orang tua yang dibungkus plastik hitam, dan banyak aqua gelas berisikan ampas kopi menjelma menjadi asbak, semuanya menjadi saksi bisu obrolan paling liar malam itu.

Kami duduk melingkar seperti biasa, dan saya di sana adalah orang asing karena habis memberi makan lele atas bahan penelitian untuk kelulusan: “Frekuensi dan Waktu Pakan Lele Terhadap Enzim Amilase” yang dalam teorinya, Lele merupakan nocturnal, memaksa saya tersiksa tiap harinya selama dua bulan memberi makan ikan di tengah malam.

Saya sendiri sebenarnya tidak merokok, apalagi minum, tapi di tempat ini adalah tempat yang paling hangat karena jalan menuju kosan telah menjadi jalan yang paling sepi, yang paling malas saya lewati jika saja ngantuk terkadang membuat delusi aneh-aneh, seperti kuntilanak melayang di antara pepohonan…

…ehm, kembali ke soal obrolan.

Obrolan-obrolan saat itu adalah obrolan random, berbagi rasa lelah, gelisah, dalam candaan-candaan saru yang rasanya kelewat batas, tanpa sensor. Kita bisa saja membicarakan korupsi di kampus, ngomongin teori-teori anime one piece, romansa, artis-artis bokep, lalu membicarakan asal mula kata-kata jorok di lain waktu, kemudian mempertanyakan runtuhnya peradaban, dekonstruksi derrida yang kita semua gak paham, bahkan nyasar-nyasar mengenai agama, walau semuanya dalam level yang paling dangkal dan loncat-loncat tidak jelas.

Namun menarik hari itu, tiba-tiba seorang kawan dari Sastra yang ‘tersesat’ di fakultas Biologi tiba-tiba angkat bicara:

“Ngeliat kita ngomong saru mulu, gimana kalau kita sepakat ini jadi ruang bebas bereksperimen berpikir? Gak ada yang boleh tersinggung. Dunia luar sudah terlalu sesak dengan sopan santun palsu, dogma yang melarang berpikir dan political correctness. Kita kehilangan kreativitas karena takut salah, padahal segala yang ada, hasil dari kreativitas.”

Kami mengangguk. Bukan karena setuju sepenuhnya, tapi karena pada dasarnya kita sudah lelah jadi manusia yang harus selalu tampil benar di dunia yang semakin dangkal.

Di ruang sempit dan remang ini, batas-batas runtuh. Segala hal yang kami bicarakan, ras, seks, agama, politik, bisa dibicarakan tanpa maksud menyakiti, hanya ingin paham, hanya ingin menyelami sesuatu yang lebih dalam dari sebatas kulit luar, yang walau jujur, mungkin tidak ada satupun dari kita yang benar-benar mengerti.

Tidak ada saat itu semacam chatGPT yang bisa diajak berdiskusi. Hanya sesama individu tersesat dan kurang kerjaan saja di dini hari, di mana kita saling berbagi hal-hal yang belum tentu benar dan salah.

Kita semua bergantian membicarakan hal-hal yang mungkin dianggap tabu, walau tak benar-benar memahami apa yang kami bicarakan, tapi terasa begitu membebaskan. Lalu, entah dari mana, saya tiba-tiba mengangkat topik tentang seorang tokoh sufi besar yang pernah dihukum mati.

Ia berkata, dengan kebenaran yang hanya mungkin muncul dari pengalaman mistik yang melampaui batas:

“Ana al-Haqq” — Aku adalah Kebenaran, atau Aku adalah Tuhan.

Kata-kata itu jelas dianggap syirik oleh otoritas agama saat itu. Tapi, apakah memang itu maksudnya?

Saya kembali mengulang kalimat itu perlahan. “Tuhan adalah aku.”

Kalimat itu seperti memantul di dinding-dinding kepala kami. Sunyi.

Lalu saya menambahkan: bukan dalam arti egosentris atau merasa ilahi, tapi dalam kesadaran terdalam bahwa kita ini bukan entitas yang terpisah dari Tuhan, melainkan bagian dari keberadaan-Nya yang menyeluruh.


Dalam Al-Qur’an, Surah Qaf ayat 16, disebutkan:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Kalimat ini kerap kita baca, pun beserta interpetasinya yang harafiah, namun jarang kita merenunginya dalam kedalaman penuh, dalam level yang personal. Apa arti Tuhan lebih dekat dari urat leher?

Saya melihatnya sebagai firman bahwa dirinya adalah bukan hanya entitas di langit yang agung dan jauh, tapi juga hadir di dalam kita, di ruang yang paling dekat, jiwa dan kesadaran.

Jika Tuhan sungguh menyelubungi segalanya, seperti disebut dalam Surah Al-Hadid ayat 4:

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia berkuasa atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ia tidak hanya meliputi langit dan bumi, tapi juga pikiran dan emosi kita. Ia adalah asal dan tujuan. Alfa dan Omega.


Dalam tradisi tasawuf, konsep ini dikenal sebagai fana, lenyapnya ego pribadi dalam keberadaan Tuhan. Para sufi tidak ingin menjadi Tuhan dalam arti absolut, tapi ingin mengosongkan dirinya dari ego agar Tuhan bisa “tinggal” di dalamnya. Mereka menjadi saluran sifat-sifat ilahi.

Tak heran jika mereka bisa tampak menjadi seperti orang gila di mata masyarakat, karena logika mereka bukan lagi logika dunia.

Saya melihat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia yang paling berhasil menghidupi sifat-sifat Tuhan. Ia bukan Tuhan, tapi ia hidup seolah Tuhan “hidup” di dalam dirinya, dalam bentuk kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan kebijaksanannya.

Maka Sunnah bukan sekedar pakaian atau ritual, tapi kita hendak mencontoh jalan hidup yang mencerminkan ruh ilahiah.

Ketika kita diseru untuk mengikuti Nabi, itu berarti kita diajak mengikuti sifat-sifat Tuhan yang telah diwujudkan dalam laku kehidupan manusia. Quran, hadis, dan sunnah bukan hanya dokumen normatif, tapi peta spiritual menuju Tuhan.


Nah, ketika membahas ini, saya walau agak takut membahasanya, tapi pada akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dengan konsep Kekristenan, khususnya konsep Trinitas: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Umat Islam tentu secara otomatis akan menolaknya karena konsep tersebut dianggap menyekutukan Tuhan. Tapi jika kita dekati dengan pendekatan fenomenologis, konsep ini justru memperkaya.

Tuhan Bapa adalah sang Pencipta, serupa dengan Allah di dalam Islam. Yesus adalah Firman Tuhan yang menjadi manusia, mirip dengan gagasan Nabi Muhammad sebagai “Quran berjalan.” Dan Roh Kudus adalah energi ilahiah yang menghidupi orang-orang yang beriman, mirip dengan konsep ruh ilahiah dalam tradisi sufi yang menuntun hati manusia ke arah kebaikan (tentu ini adalah interpetasi saya yang kemungkinan besar salah).

Apakah ini bentuk lain dari satu gagasan yang sama? Kemungkinan besar tidak. Tapi yang pasti, esensinya adalah bahwa Tuhan tidak hanya bersemayam di langit, tapi juga hadir di dalam sejarah, dalam tubuh manusia pilihan, dan dalam hati setiap orang yang beriman.

Maka tugas manusia adalah menyelaraskan dirinya dengan sifat-sifat ilahiah, entah melalui jalan Kristus atau sunnah Nabi.

Di sini, pernyataan “Tuhan adalah aku” bukan lagi pengklaiman ego, tapi ekspresi kedekatan dan penyatuan. Tuhan menyelubungi segalanya, termasuk manusia.

Manusia yang hidup di dalam pelukan Tuhan akan selalu mengingatnya, mengamalkan firman-firman-Nya untuk berbuat kasih sayang, menegakkan keadilan, melindungi alam, menjaga martabatnya, dan menghormati sesama.

Inilah, menurut saya, bentuk spiritualitas yang tidak memisahkan lagi langit dan bumi, agama dan kehidupan, Tuhan dan manusia. Ini spiritualitas yang membumi dan membebaskan, bukan lagi yang menakuti-nakuti atau memenjarakan.

Ketika seseorang sadar bahwa dirinya selalu dalam pelukan Tuhan, ia akan berpikir dua kali untuk sebelum menyakiti, merusak atau menindas, sifat-sifat yang jauh dari sifat ilahiah, yang tentu dibenci-Nya.

Di sini, spiritualitas menemukan relevansi sosialnya. Ia tidak hanya menyelamatkan jiwa pribadi, tapi juga memperbaiki dunia. Seperti kata Imam Ali bi Abi Thalib:

Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

Tapi pengenalan ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab etis.


Untuk tidak terlalu jauh dan dianggap terlalu sesat, mungkin kita bisa meminjam logika diagram Venn. Tuhan adalah lingkaran terbesar, menyelubungi segalanya. Di dalamnya ada manusia, mahluk, alam semesta.

Dalam diri manusia, ada sifat-sifat baik yang merupakan bagian dari sifat Tuhan. Ketika kita mengamalkan keadilan, kasih sayang, kebijakan, maka kita sejatinya sedang mengaktualisasikan sifat Tuhan dalam hidup.

Namun, perlu diingat bahwa kita juga punya ego, nafsu, dan batas. Kita bukan “Yang Maha.” Tapi kita bisa menjadi bayangan-Nya yang baik di dunia.

Itulah tujuan hidup spiritual: bukan menjadi Tuhan, tapi menjadi cermin-Nya.


Namun, tampaknya dalam dunia modern, banyak para pelajar, intelektualis, bahkan masyarakat biasa, yang dalam kehidupan sehari-hari merasa terlepas dari Tuhan. Banyak dari mereka bukan ateis, mereka tetap berkata bahwa Tuhan itu ada, namun benak mereka tidak merasakan kehadiran-Nya.

Dunia terasa terlalu cepat, terlalu materialistik, terlalu dangkal. Orang hidup tanpa pusat. Hampa.

Maka muncul gelombang sinisme, kelelahan eksistensial, dan kehilangan makna, bahkan tanpa mereka sadari namun terefleksi dalam bagaimana mereka bertindak, yang jauh dari sifat-sifat kebajikan.

Spiritualitas menjadi demikian asing walau mesjid selalu penuh di hari Jumat, dan Tuhan menjadi konsep yang terlalu kabur atau terlalu dogmatis.

Di sini menurut saya adalah penting adanya kesadaran bahwa Tuhan menyelubungi segalanya. Bahwa kita tidak pernah sendirian. Bahwa setiap kebaikan kecil adalah bagian dari proyek ilahi yang besar.

Ketika kita bertindak dengan kasih, maka Tuhan sedang hidup dalam tindakan itu.

Itulah sebabnya dalam Islam, nama-nama Tuhan yang indah disebut “asmaul husna” atau artinya: sifat-sifat baik. Tuhan disebut dengan apa yang baik, karena Dia adalah asal-muasal dari segala kebaikan.

Tugas kita bukan sekadar menyebut nama itu, tapi menjadi saluran sifat itu. Seperti disebut dalam hadis qudsi:

Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku.

Tak sadar, azan subuh sudah berkumandang. Teman-teman sudah tertidur lelap. Obrolan malam itu ternyata hanya menjadi monolog panjang ngalor ngidul, loncat sana loncat sini, tanpa satupun pendengar.

Tapi tidak masalah. Kadang, percakapan terbaik memang terjadi dengan diri sendiri, sambil ditemani Tuhan yang diam-diam hadir dalam tiap tarikan napas.

Saya pun berdiri pelan berusaha tidak membangunkan dan berjalan menuju masjid kecil di sudut kampus.

Dalam gelap yang mulai bergeser ke terang, saya rasakan hangat yang aneh. Mungkin karena tubuh yang mulai bergerak. Mungkin karena kopi yang masih menyisa dalam lambung. Tapi saya lebih yakin: itu karena Tuhan sedang menyelimuti saya.

Bukan dalam wujud wahyu atau mimpi, tapi dalam kesadaran tenang bahwa saya ada, dan karena ada, saya berarti.

Tuhan menyelubungi segalanya.

Dan saya sedang belajar berjalan dalam pelukan-Nya.

Senin, 14 April 2025

Retrospektif 1

“Uangmu ditabung buat apa?”

“Buat RTX 4070 TI Super.”

Saya menjawab tanpa beban. Tapi respon yang saya dapat, “goblok”, cukup membuat saya diam sejenak. Bukan karena tersinggung. Tapi karena... saya mengerti.

Di usia saya sekarang, dengan kondisi ekonomi yang masih merangkak, membeli barang semacam itu memang tidak masuk akal. Apalagi, kata mereka, seumuran saya ini harusnya sudah mulai menabung buat menikah, beli rumah, kendaraan, dan segala tetek bengek masa depan mapan. Saya tak menyangkal itu. Semua itu penting. Bahkan, kalau mau, saya bisa mulai mencicilnya hari ini. Tapi ada yang lebih mendesak, sesuatu yang tidak bisa dicicil: jiwa saya meronta.

Itu bukan sekadar keinginan, itu suara dari masa lalu, seorang anak kecil yang dipaksa mengalah, puluhan tahun lalu, yang hanya bisa menatap layar youtube untuk melihat orang memainkan game yang ingin dimainkannya, tatapan iri pada teman-temannya yang bermain dengan apa yang tak bisa ia sentuh. Anak kecil yang tidak pernah bimbel untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari sekolahnya yang buruk, tidak bisa belajar piano, gitar, atau menggambar, yang makanannya seadanya, yang tidak ikut perpisahan ke Jogja, semuanya karena tak ingin membebani orang tuanya yang harus membagi rejeki untuk empat orang anak.

Kini, setelah bertahun-tahun bekerja, akhirnya saya bisa menghasilkan pendapatan yang layak. Tapi jalan saya tidak pernah secepat mereka yang lulusan universitas terbaik, punya koneksi, fasilitas, dan keberuntungan. Saya harus menempuh waktu lebih panjang untuk sekadar bisa bilang, “Saya mampu.”

Jadi ketika saya kulineran, ikut les, menyewa personal trainer gym, atau menabung untuk RTX 4070 TI Super, itu bukan gaya hidup, itu cara saya menyembuhkan. Itu cara saya menyentuh tangan si anak kecil yang dulu tak bisa berteriak, dan berkata, “Sudah, sekarang giliranmu bahagia.”

Tentu, saya tahu kewajiban akan datang. Saya tahu usia ini bukan lagi usia bermain. Tapi sebelum semua itu menuntut seluruh waktu dan penghasilan saya, biarlah saya menuntaskan dendam lembut ini, dendam kepada kemiskinan, keterbatasan, dan diam-diam, kepada diri saya sendiri yang dulu selalu mengalah.

Rabu, 09 April 2025

Jerat Sinisme pada Masyrakat

Sehari-hari, saya melihat kawan-kawan sosial media, mengejek masyarakat umum: soal pilihan politik mereka ke no.2, soal cara mereka yang berkendara sembrono, budaya-budaya yang dianggap “udik” seperti sound system horeg, atau aksi mereka memunguti telur yang berserakan saat ada truk telur yang terguling, dan banyak hal lainnya. Semua itu dikomentari dengan nada sinis, dibumbui istilah merendahkan seperti “SDM rendah”, seakan mereka adalah manusia yang terpisah dari kita, lebih rendah.

Entah mengapa, saya merasa terusik dengan cara pandang seperti ini. Terutama karena sebagian besar yang bersikap sinis itu merasa dirinya intelektual, tercerahkan, “berpendidikan”. Tapi, mengapa mereka tidak mencoba bertanya: dari mana asal-usul sifat-sifat yang mereka ejek itu bisa muncul? Mengapa kita tidak tertarik menelusuri bagaimana “kedunguan” itu terbentuk di masyarakat?

Saya teringat pada satu eksperimen berpikir. Ketika kita lahir, kita tidak pernah memilih banyak hal, jenis kelamin, etnis, agama, tingkat kekayaan, status sosial, bahkan tingkat kecerdasan. Di eksperimen berpikir ini kita diajak membayangkan: jika saya lahir sebagai mereka, dalam lingkungan dan kondisi mereka, apakah saya menjadi mereka?

Dan jika saya jujur menjawab, maka saya yakin: ya, saya juga akan menjadi bagian dari “SDM rendah” itu.

Saya ada di posisi ini, yang bisa menulis, merenung, merasa resah, karena banyak faktor yang yang tidak saya pilih. Orang tua yang terbuka, lingkungan pertemanan yang suportif, akses pendidikan yang cukup, dan kondisi ekonomi yang memungkinan saya sekolah hingga sarjana. Tapi, jika saya dibesarkan di lingkungan yang keras, yang sehari-ahrinya hanya tentang bertahan hidup, yang jauh dari bacaan, ruang diskusi yang melatih cara berpikir kritis, yang tidak memberi kesempatan untuk keluar dari cangkang “kejenakaan” itu, maka besar kemungkinan saya akan mengulang pola yang sama seperti mereka.

Lagipula, mari kita jujur: apakah sistem pendidikan formal di negeri ini, selain di segelintir sekolah favorit atau swasta elit, sungguh mampu membawa seseorang keluar dari kebodohan struktural? Pendidikan di banyak tempat justru tak mengubah apa-apa, bahkan memperpanjang siklus kedunguan yang diwariskan. Maka, kalau kebodohan itu tetap terjadi, seringkali itu bukan karena pilihan mereka, melainkan hasil dari sistem yang gagal dan tak mereka kendalikan.

Saya pernah mengalami langsung, ketika turun ke masyarakat dalam kegiatan KKN di daerah yang sangat tertinggal. Di sana, sebagian besar hanya tamat SD atau SMP karena untuk jenjang SMA mereka harus menyebrang lewat perahu dan kemudian naik angkot yang total perlu waktu 30 bahkan 1 jam lamanya, belum lagi biaya buku dan seragam, membuat orang tua dan anaknya sendiri malas mengenyam pendidikan lanjut. Tempat KKN saya ini disebut-sebut sebagai “gudang TKI”. Dan memang, kejenakaan yang kerap dikutuk warganet terjadi di sana: orang tua yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri lewat agen ilegal yang berujung perdagangan manusia; kasus kekerasan pada wanita bahkan pemerkosaan yang diselesaikan dengan pernikahan paksa; perdukunan yang banyak dijadikan jalan keluar instant; suami pengangguran yang berpoligami dengan istri-istri yang semuanya menjadi TKW. Dan yang lebih memilukan, banyak dari itu semua sudah dianggap wajar!

Namun, di sisi lain, saya juga melihat sesuatu yang berbeda. Saya melihat kehangat mereka menjamu orang asing, semangat gotong-royong untuk membangun desa seperti ketika kita membangun bank sampah, posdaya, perpustakaan dan mengenalkan potensi bisnis desa, solidaritas di antara rumah-rumah yang belum berubin seperti merawat tetangga yang sakit sampai berbagi makanan agar tidak ada tetangga yang kelaparan. Mereka sama-sama berharap kehidupan yang lebih baik di masa depan sehingga tidak perlu lagi takut oleh rasa lapar dan ditindas, juga kehidupan anak-anak mereka yang bisa lebih baik dari apa yang mereka alami. Jiwa perlawanan mereka juga bergejolak ketika penghidupan mereka terganggu, berdemo terkait lahan pertanian mereka yang dijadikan lahan latihan tentara atau pula kerugian akibat air yang kotor oleh oli ketika kilang minyak meledak, dan berakhir kembali lebam-lebam kena sol sepatu boot tentara.

Kalau saya tidak pernah melakukan eksperimen berpikir, kalau saya tidak pernah benar-benar turun dan menyelami realitas mereka, mungkin saya juga akan dengan mudah ikut menghakimi di sosial media. Tapi kini, setelah memahami bahwa “kejenakaan” itu bukan semata-mata produk dari pilihan bebas, melainkan lebih banyak merupakan hasil dari tempaan lingkungan yang kompleks, saya bisa melihat diri saya dalam diri mereka, sebagai sesama manusia.

Manusia itu kemudian dibentuk oleh lingkungan, oleh nasib, oleh sistem. Dan dari campuran itu, lahirlah “Aku”. Tapi di tempat lain, dari campuran yang berbeda, lahirlah “Mereka”. Dan kesadaran ini yang kini membuat saya resah, bahwa begitu banyak orang memilih untuk mengejek daripada memahami, untuk menghina daripada menyelami, dan untuk merasa lebih tinggi tanpa menyadari bahwa mereka hanyalah orang-orang yang sedang berada di sisi beruntung dari dadu kehidupan…

Tulisan ini bukan ajakan untuk menoleransi semua hal yang salah. Hati nurani dan kompas moral kita tetap harus bekerja. Kita tetap harus mengutuk hal-hal yang salah. Tapi bisakah kita melakukannya tanpa kehilangan empati? Bisakah kita marah tanpa menjadi sinis? Dan bisakah kita mengkritik tanpa kehilangan belas kasih terhadap masyarakat umum, sebagai sesama manusia?